Kamis, 24 Desember 2009

PRESIDEN DAN WARGA NEGARA


Oleh: Andryan, SH


Presiden dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia mempunyai fungsi pokok, yakni sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Dalam berfungsi sebagai kepala negara, Presiden mempunyai kekuasaan tidak tak terbatas. Sedangkan dalam hal berfungsi sebagai kepala pemerintahan, kekuasaan Presiden terbatas menurut peraturan perundang-undangan.


Tidak seperti halnya kekuasaan sebagai kepala pemerintahan (Eksekutif) yang hanya berwenang penuh terhadap lembaga eksekutif saja. Akan tetapi dalam hal melaksanakan kekuasaan sebagai kepala negara, Presiden dapat saja memasuki ranah kekuasaan di luar lembaga eksekutif, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif), Mahkamah Agung (Yudikatif), serta Badan Pemeriksa Keuangan (Eksaminatif). Presiden atas nama negara dapat saja melakukan sesuatu di lingkungan lembaga negara tersebut.


Sebelum diangkat menjadi seorang pemimpin negara, Presiden harus memenuhi syarat pokok yang salah satunya adalah warga negara asli Republik Indonesia. Lantas apakah setelah menjadi seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, status warga negara di benak Presiden menjadi hilang? Jawabannya adalah tidak. Selain mempunyai kedua fungsi tersebut, Presiden juga dapat bertindak sebagai warga negara Republik Indonesia biasa yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Hal inilah yang menjadikan seorang Presiden Republik Indonesia sebagai lembaga Super Power dalam NKRI walaupun kedudukannya sama dengan DPR/MPR, MA, serta BPK sebagai lembaga tinggi negara di bawah UUD 1945 menurut ketatanegaraan Republik Indonesia

.

Sangat sulit apabila kita memandang diri seorang Presiden dalam melaksanakan tugas dan fungsi kenegaraannya, apakah bertindak sebagai kepala negara, sebagai kepala pemerintahan, atau sebagai warga negara biasa, itu semua tergantung kepada situasi dan keadaan pada saat-saat tertentu. Dalam peristiwa seperti ini yang paling nyata terjadi pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Masih ingat peristiwa perseteruan yang terjadi pada lembaga tinggi negara antara DPR dan MA pada tahun 2005. Perseruan tersebut tidak saja dapat menghilangkan efektivitas sebagai lembaga tinggi negara juga hal itu sangat berbahaya dan dapat menghilangkan kelangsungan NKRI untuk mencapai tujuan negara.


Lantas dengan cara bagaimana kedua lembaga negara tersebut dapat di damaikan? Menurut peraturan perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang berwenang dalam menyelesaikan perselisihan antar lembaga negara adalah Mahkamah Konstitusi. Lantas mengapa Presiden yang ketika itu bertindak menjadi mediator dan apakah berwenang. Walaupun Presiden secara teknis tidak mempunyai wewenang dalam menyelesaikan perselisihan antar lembaga negara, akan tetapi dalam hal ini menyangkut kepentingan negara dan menjaga stabilitas dalam bingkai NKRI. Maka Presiden dalam hal ini sebagai kepala negara dapat bertindak sebagai mediator untuk mendamaikan perselisihan antar lembaga negara yang ketika itu terjadi antara DPR vs MA.


Atas Nama Warga Negara


Kemudian masih ingat perseteruan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Amin Rais pada tahun 2006 silam. Perseruan itu bermula dari pernyataan Amin Rais yang menyebutkan SBY menerima dana kampanye tahun 2004 dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Beberapa hari kemudian Presiden secara resmi mengadakan konferensi pers beserta sejumlah kabinet Indonesia Bersatu untuk membuat pernyataan bahwa Amin Rais telah memfitnahnya. Akan tetapi dalam hal mengadakan konferensi pers tersebut, SBY mengatasnamakan Presiden atau warga negara biasa dengan menggelar konferensi pers untuk menyatakan fitnah tersebut. Apabila ia mengatasnamakan Presiden, sangat tidak tepat apabila ia menggelar suatu kenferensi pers resmi dan terlalu terbawa emosi hanya untuk menyangkal pernyataan Amin Rais tersebut. Kemudian apabila ia mengatasnamakan warga negara, mengapa ia membawa sejumlah kabinet yang salah satunya adalah Hatta Rajasa yang notabene adalah satu payung dengan Amin Rais dibawah panji-panji Partai Amanat Nasional. Hal inilah yang menjadi perdebatan antara sejumlah elit politisi yang beranggapan bahwa SBY terlalu pengecut dan tidak tepat menggunakan jabatannya dalam berbagai situasi dan keadaan.


Dalam mengatasnakan warga negara tidak sampai disitu saja, dalam kasus perseteruannya dengan Zainal Ma’arif yang sangat marah dengan SBY sebab ia setuju untuk menandatangani surat Recall nya sebagai wakil dan anggota DPR. Singkat cerita SBY ketika itu difitnah oleh Zainal Ma’arif yang mengatakan SBY telah menikah sebelum masuk AKABRI. Kemudia SBY beserta Ibu Ani mendatangi Polda Metro Jaya untuk membuat pengaduan atas pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Zainal Ma’arif. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh SBY sangat arif dan bijaksana. Beliau tidak menggunakan jabatannya untuk menindak pelaku pencemaran nama baiknya, dan ia lebih menggunakan prosedur hukum yang berlaku dengan membuat pengaduan atas nama warga negara Republik Indonesia. Alhasil perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan tersebut hanyalah menjadi perbincangan sementara saja yang akhirnya termakan oleh waktu dan tidak ada lagi perkembangannya, tapi itulah apabila para pejabat yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu saja diuntungkan dan ketidakjelasannya dimakan oleh waktu.


Atas Nama Partai Politik


Masih segar diingatan kita pada tanggal 11 Februari 2009 yang lalu, Presiden SBY ketika itu kembali mengadakan konferensi pers resmi untuk menjawab akar permasalahannya. Kali ini ia mengadakan jumpa pers tersebut dengan mengatasnamakan partai politiknya yakni Demokrat, yang pada saat itu sangat panas dengan menyudutkan Partai Golkar. Kejadian berawal ketika salah satu pimpinan kader Demokrat terceplos mengatakan bahwa Partai Golkar hanya akan memperoleh 2,5 % suara di pemilu tahun ini. Pernyataan itu mengundang perhatian ketua umun Golkar yang juga sebagai patner pemerintahan SBY yang mengecam pernyataan kubu Demokrat tersebut. Untuk tidak memperuncing keadaan dan menjawab permasalahan, SBY mengadakan konferensi pers yang kali ini ia berdiri dengan menyebut sebagai Dewan Pembina Demokrat bukan sebagai Presiden R.I.


Sangat diuntungkan seorang Presiden dan juga seorang pemimpin partai politik, yang mana ia bisa saja menggunakan kesempatan ini untuk mencari perhatian masyarakat dan menambah popularitasnya mengingat pemilu telah diambang pintu. Saat ini belum adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur keadaan Presiden dalam memangku jabatannya antara seorang kepala negara, kepala pemerintahan dan juga sebagai seorang warga negara dalam menghadapi permasalahan untuk kepentingan negara, kelompok atau pribadinya.


Akan tetapi sebaiknya seorang presiden yang setelah disumpah dan diangkat untuk menduduki jabatannya, haruslah melepaskan embel-embel politiknya dan harus fokus terhadap masa jabatannya saja. Sebab apabila seorang Presiden telah diangkat untuk menjalankan jabatanya selama periode tertentu, maka seorang Presiden telah menjadi milik seluruh warga negara tanpa ada terkecuali. Jadi sangat tidak tepat apabila Presiden yang pada saat tertentu mengadakan acara untuk kepentingan partai politiknya dan hal tersebutpun berubah statusnya tidak sebagi seorang Pemimpin negara melainkan sebagai pemimpin suatu partai politik tertentu. Hal ini untuk menghindari berbagai macam kecaman dari lawan politiknya yang pada akhirnya jangankan untuk mensejahterakan rakyat, dengan perseteruan antar elit politik tersebut membuat rakyat menjadi bingung dan terkesan untuk mementingkan segelintir pribadi serta kelompoknya saja. Semoga pemimpin yang akan datang benar-benar menggunakan jabatannya untuk kepentingan dan menuju kesejahteraan rakyat. Semoga..!!

Tidak ada komentar: