Selasa, 27 Juli 2010

Dilema Program Konversi Gas

Sungguh tragis apabila kita melihat pemberitaan di media cetak dan elektronik beberapa pekan belakangan ini. Mengapa tidak, berbagai korban terus bergelimpangan. Dari kehilangan rumah, cedera ringan dan berat, cacat total, hingga berujung terengutnya nyawa secara sia-sia. Hal ini tidak lain adalah korban ledakan gas elpiji yang semakin marak terjadi di tanah air. Ledakan gas elpiji yang diakibatkan oleh buruknya fasilitas-fasilitas pendukung kompor gas elpiji seperti selang, regulator, serta tabung gas mengakibatkan banyak korban yang berjatuhan dan hingga kini penggunaan gas elpiji pun belum dapat dikatakan aman dan bisa saja memakan korban selanjutnya dan kapan saja.

Berbagai pertanyaan pun kini menyelimuti negeri ini, siapakah yang harus disalahkan? Pemerintah-kah, Pertamina-kah, Perusahaan tender-kah, atau rakyat sendiri sebagai pengguna yang harus menanggung sendiri?. Yang jelas dengan semakin maraknya korban ledakan gas, masyarakat kita kini dihinggapi rasa takut dan trauma untuk memasak sebagai asupan kebutuhan pokok dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan. Bahkan, berbagai korban ledakan gas yang menderita luka bakar harus menerima kenyataan secara pahit yang akan merusak masa depan terutama pada anak-anak korban ledakan gas tersebut.

Untuk kesekian kalinya kita dihamparkan pada ketidakcermatan program pemerintah, khususnya menyangkut masyarakat kecil. Mulai dari JPS, BLT, Asuransi Kesehatan Miskin, hingga konversi minyak tanah ke gas. Tentu saja semua bertujuan mulia. Konversi ini jelas untuk mengurangi subsidi minyak tanah yang nilainya cukup besar ketimbang elpiji. Program konversi minyak tanah ke elpiji yang dimulai Mei 2007 itu bisa sedikit menyehatkan APBN. Berdasarkan hasil kajian empiris Pertamina, bahwa satu liter minyak tanah setara dengan 0,4 kg elpiji. Dengan menghitung subsidi per liter setara minyak tanah, maka besarnya subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk minyak tanah sebesar Rp 3.869,82, sedangkan elpiji hanya Rp 1.534,54, sehingga ada penghematan subsidi per liter minyak tanah sebesar Rp 2.335.

Untuk menyukseskan pemakaian elpiji, pemerintah akan menyiapkan tabung elpiji ukuran kecil yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Jadi, elpijinya bukan pakai tabung yang besar kalau untuk masyarakat kecil, maka disiapkan yang tiga kilogram. Ukuran tabung tiga kilogram (kg) ini ekuivalen sekira Rp 12.000,00. Dalam perhitungannya, penggunaan elpiji ini jauh lebih murah ketimbang minyak tanah. Satu kilogram elpiji setara dengan 3 liter minyak tanah. Apabila diversifikasi energi ini berhasil, negara bisa berhemat sekitar Rp 30 triliun per tahun. Misalnya, kalau bisa melakukan diversifikasi segera, dari anggaran subsidi minyak Rp 54 triliun pada tahun 2007, anggaran akan tinggal Rp 24 triliun.

Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil. Namun, subsidi minyak tanah dalam beberapa tahun terakhir masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam managemen energi nasional. Kondisi ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran USD 50-60 per barel. Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN.

Dari berbagai sumber diketahui bahwa pemerintah mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010, yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah.
Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti menekan subsidi BBM yang selama ini ditanggung APBN. Selain itu juga pemakaian elpiji juga tidak menimbulkan polusi yang berlebihan.

Berdasarkan kajian ilmiah, pemakaian 1 liter minyak tanah equivalent 0,4 kg elpiji. Sehingga jika menggunakan elpiji, masyarakat akan menghemat Rp 1700 dibanding minyak tanah. Selanjutnya, berdasarkan uji coba disejumlah daerah konversi minyak tanah ke elpiji bisa mendatangkan penghematan Rp 25.000 per bulan per KK. Bagi pemerintah, program konversi memang membutuhkan dana investasi bagi pembangunan prasarana yang besar, yakni sekitar Rp 20 triliun. Namun, penghematan yang bisa dilakukan juga tidak kecil. Jika pemakaian minyak tanah bisa diganti seluruhnya dengan elpiji itu berarti subsidi sebesar Rp 30 triliun per tahun untuk minyak tanah tidak diperlukan.
Dilema Konversi Minyak Tanah ke Elpiji.

Konversi minyak tanah ke elpiji (liquefied petroleum gas) ternyata kedodoran dan banyak menimbulkan permasalahan di masyarakat. Daerah-daerah secara nasional yang semula menjadi target konversi mengeluh karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Jikapun ada, harganya mahal, sekitar Rp 8.000-an, karena tak ada lagi subsidi. Di berbagai wilayah di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, serta di pulau Sumatera banyak rakyat miskin dan pedagang kecil kelabakan karena depo minyak menghilang. Padahal minyak tanah masih sangat dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas, meski tabung gas berisi 3 kilogram elpiji disertai kompor gas sudah diberikan gratis oleh pemerintah.

Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji itu memang bertujuan baik, yaitu mengurangi subsidi minyak tanah untuk keperluan rumah tangga yang nilainya sekitar Rp 30 triliun. Tapi sayang, dalam menentukan kebijakan tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa kesalahan mendasar sehingga kebijakan konversi itu akhirnya menimbulkan problematika besar di masyarakat yang tak kunjung teratasi.
Sejak awal pemerintah memang tidak konsisten dalam menentukan kebijakan konversi minyak tanah. Terbukti, gagasan konversi minyak tanah ke batu bara yang saat itu sudah mulai dikampanyekan tiba-tiba dibatalkan begitu saja. Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada tahun 2006, tiba-tiba menyatakan bahwa konversi ke batu bara diganti ke elpiji. Pergantian konversi secara tiba-tiba itu tidak hanya mengejutkan masyarakat yang sudah mulai bersiap-siap mengganti minyak tanah ke batu bara, tapi juga mengecewakan para perajin tungku batu bara dan para peneliti yang telah berhasil membuat tungku batu bara modern, yang bisa mengatur nyala api dan menghemat pemakaian batu bara.

Konversi permakaian minyak tanah ke elpiji bagi masyarakat kecil niscaya akan menimbulkan banyak masalah. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, dari aspek fisik. Minyak tanah bersifat cair sehingga transportasinya mudah, pengemasannya mudah, dan penjualan sistem eceran pun mudah. Masyarakat kecil, misalnya, bisa membeli minyak tanah hanya 0,5 liter (katakanlah Rp 1.500 dengan harga subsidi) dan mereka dapat membawanya sendiri dengan mudah. Minyak tanah 0,5 liter bisa juga dimasukkan ke plastik.

Kondisi ini tak mungkin bisa dilakukan untuk pembelian elpiji. Ini karena elpiji dijual per tabung, yang isinya 3 kg, dengan harga Rp 14.500-15.000. Masyarakat jelas tidak mungkin bisa membeli elpiji hanya 0,5 kg, lalu membawanya dengan plastik atau kaleng susu bekas. Kedua, dari aspek kimiawi. Elpiji jauh lebih mudah terbakar (inflammable) dibanding minyak tanah. Melihat perbedaan sifat fisika dan kimia (minyak tanah dan elpiji) tersebut, kita memang layak mempertanyakan sejauh mana efektivitas dan keamanan kebijakan. Maka tidak heran berbagai kasus ledakan gas pun kini mulai bergerilya memakan nyawa rakyat sebagai korban yang tak berdosa.
Sekali lagi, dengan program yang ditetapkan pemerintah dengan melakukan konversi minyak tanah ke gas bukan mengatasi masalah, melainkan justru menimbulkan masalah yang tak kunjung usai. Rakyat kembali hanya meratapi nasib buruk di negeri kaya sumber daya alam, akan tetapi juga kaya melahirkan koruptor. Program konversi hanya menimbulkan kepentingan belaka bukan meringankan beban rakyat miskin. Kepentingan untuk menghemat yang justru dikorup dan rakyat kembali menderita sebagai korban ledakan gas yang bermuara terhadap kebijakan pemerintah yang menyimpang dari nilai kemanusiaan.