Sabtu, 16 Oktober 2010

1 Tahun KIB Jilid II : Rakyat Menggugat Janji

Tanggal 20 oktober 2010 adalah momen yang sangat krusial bagi pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II di bawah komando SBY-Boediono. Sebab, layaknya manusia yang begitu antusias acapkali menyambut hari kelahirannya, maka pada tanggal tersebut pula menjadi hari yang tidak akan terlupakan khususnya rakyat Indonesia untuk kembali mereview dan mengevaluasi pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya kurun waktu satu tahun belakang ini.

Tepat satu tahun sudah pemerintahan SBY memegang tambuk kepemimpinan negara ini. Akan tetapi, rakyat yang ingin mencapai kesejahteraan dan kemakmuran hidup dengan berharap kepada para pemimpinnya, kini harus kembali melupakan impiannya tersebut. Sebagian besar rakyat telah merasa pesimistis terhadap pemerintahan sekarang. Sangat wajar apabila rakyat yang telah menggantungkan harapan hidupnya terhadap para pemimpinnya tersebut hanya kembali mengerutkan dahi dalam menjalani kerasnya kehidupan ini. Pemerintah yang merupakan pilihan rakyat secara langsung dan juga memperoleh legitimasi tertinggi tidak mampu dalam melepaskan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang hingga kini masih terus menghantui.

Sebenarnya tidaklah tepat apabila kita mengreview dan mengevaluasi kinerja pemerintahan SBY hanya dalam kurun waktu setahun belakangan ini saja. Karena di bawah komando Presiden SBY, republik ini telah dipimpinnya genap berusia enam tahun, suatu usia yang relatif lama untuk seorang Presiden pasca tergulingnya pemimpin otoriter Soeharto selama lebih kurang 32 tahun. Usia enam tahun ibarat seorang anak yang baru lahir dan dengan usianya kini, tidak hanya dapat merangkak, melainkan juga dapat berlari sekencang-kencangnya serta dapat berbicara secara bijak.

Dalam situasi tersebut tentunya berbanding terbalik dengan kepemimpinan di negeri ini. Mengapa tidak, dalam kurun waktu enam tahun, apakah yang rakyat dapatkan dan nikmati?. Berbagai persoalan bangsa kini masih terus menyelimuti rakyat yang tidak tau kemana arah kebijakan negara ini bakal dibawa. Mulai dari masih banyaknya angka putus sekolah, jamkesmas untuk rakyat miskin yang tidak tepat sasaran, BLT yang telah di tiadakan, harga BBM yang semakin melonjak tinggi, TDL yang telah memuncak, pengangguran yang semakin parah, serta tidak ketinggalan harga kebutuhan pokok yang terus membengkak. Melihat kenyataan ini, apakah kita pantas menilai bahwa pelaksanaan pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dapat terlaksanakan dengan baik?

Belum lagi mengenai masalah kehidupan hukum, politik dan keamanan yang semakin pudar dan mengkhawatirkan seiring berjalannya waktu. Pengungkapan kasus kematian aktivis HAM Munir, penanganan lumpur panas lapindo, skandal dana bailout Bank Century, serta tidak ketinggalan kedaulatan negara yang kian di injak oleh negara lain, juga situasi keamanan di masyarakat yang mulai terusik oleh aksi teroris dan perampok menjadi sebagain dari beberapa cerita pahit di dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara republik Indonesia sekarang ini. Bahkan, apabila pemerintah bersikeras dengan mengatakan bahwa pencapaiannya untuk memberikan yang terbaik terhadap rakyat selama enam tahun adalah suatu omong kosong belaka. Sebab, bak anak balita yang telah mencapai usia matang, republik ini masih terus merangkak dan berdiam di tempat yang tidak seharusnya berdiam. Itulah cara pemerintah kita kini yang tidak mencapai kemajuan dan perkembangan untuk rakyatnya jelata.

Menggugat Janji Pemerintah


Apabila kita melihat visi dan misi pemerintahan KIB yang pada saat menggelar kampanye dahulu, sungguh membuat kita berdeguk kagum. Mengapa tidak, biang kesengsaraan dan kemelaranan rakyat bernama koruptor akan segera di tumpas hingga ke akar-akarnya dan tidak pandang. Bahkan, program 100 hari pertama KIB Jilid II untuk menangkap tikus-tikus besar segera dicanangkan untuk membuat rakyat percaya terhadap pemerintahannya. Akan tetapi, jangankan untuk menangkap tikus besar, tikus kecil saja pemerintah seperti kebakaran jenggot menghadapinya. Berbagai upaya untuk memuluskan para tikus tersebut dalam menggrogoti uang rakyat terus dilakukan, salah satunya dengan melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan lembaga super power (KPK) dalam memberantas korupsi.

Pemerintah tidak hanya membuat rakyat kecewa terhadap program 100 hari pertama, melainkan juga dalam satu tahun atau mungkin dalam enam tahun lamanya membuat rakyat kembali melupakan kesejahteraan hidupnya. Pemberantasan korupsi yang merupakan program unggulan pemerintah kini hanya menjadi wacana belaka. Sebab, dalam prakteknya makelar kasus, mafia peradilan, suap menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan liar dan sebagainya adalah bukti bahwa pemerintah masih lengah dalam menghadapi para penyakit negara tersebut.

Ironisnya, bukannya membasmi para koruptor, pemerintah justru membuat terobosan yang seakan membuat koruptor kembali menikmati angin surganya yakni memberikan grasi dan remisi secara gamlang terhadap para koruptor. Bagaimana mungkin koruptor dapat diberantas di republik ini jika sanksi yang bakal dihadapinya tidak dapat membuatnya jera?.

Rakyat kini menggugat janji-janji pemerintah SBY yang dahulu pernah dilayangkan pada saat kampanye untuk menarik simpati rakyat yang sekarang telah duduk di puncak kekuasaan negara. Rakyat dalam menggugat janji SBY tidaklah berlebihan dengan menuntut banyak. Rakyat kini hanya berharap kepada pemerintahan SBY agar membawa negara ke arah yang lebih baik dan harus menyentuh kepentingan rakyat melalui program dan kebijakan yang pro rakyat.

Evaluasi Pemerintah


Tanpa disadari sudah satu tahun pemerintahan KIB Jlid II berjalan. Akan tetapi, berbagai progran yang dicanangkan dengan nuansa pro rakyat belum teralisasi secara maksimal. Berbagai spekulasi untuk menggulingkan pemerintahan SBY terus bersahutan karena sebagian elemen masyarakat merasa kecewa dengan kinerja pemerintah selama ini. Lantas, melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan terhadap pembangunan bangsa dan negara, langkah apakah yang harus dilakukan menanggapi keadaan yang belum berpihak terhadap rakyat?

Dalam menjalankan tugas pemerintah dan negara, Presiden SBY tentunya harus diperbantukan oleh wakil Presiden, beserta para anggota kabinet dan staf khusus kepresidenan. Sukses atau tidaknya pemerintahan bergantung terhadap kinerja para pembantu Presiden tersebut. Para menteri yang membidangi setiap instansi pemerintah tentunya harus menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan. Maka, sudah barang tentu dengan satu tahun pemerintahan KIB Jilid II, Presiden harus segera mengevaluasi pemerintahannya sesegera mungkin. Salah satu langkah terbaik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan kini yakni dengan melakukan perombakan kabinet (reshuffle) terhadap para menteri KIB Jilid II.

Evaluasi terhadap para menteri tersebut sangat wajar mengingat belum banyaknya pencapaian instansi pemerintah yang dipimpin para pembantu Presiden tersbut. Bahkan, rapor merah yang diberikan oleh beberapa lembaga survei dan independen adalah salah satu bukti masih tidak maksimalnya kinerja para menteri KIB Jilid II dalam membantu Presiden. Sebuah hal yang wajar apabila para menteri mendapat rapor merah karena tidak adanya kapabilitas dan integritas yang dimiliki para menteri untuk memimpin sebuah instansi pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengangkatan para menteri kental dengan nuansa politis dan kepentingan. Maka, kriteria yang seharusnya dimiliki para pemimpin instansi pemerintah untuk memberikan peranan secara optimal terhadap jalannya pemerintah seakan terabaikan.

Kini, satu tahun KIB Jilid II berjalan atau enam tahun sudah Presiden SBY memimpin negeri ini. Rakyat harus kembali berharap terhadap para penguasa untuk segera memberikan arah dan kebijakan yang terbaik terhadap republik ini khususnya rakyat yang ingin segera mengakhiri segala penderitaan, kemelaratan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, ketimpangan sosial, serta ketidakadilan.

Minggu, 10 Oktober 2010

Urgensi Reformasi Sepakbola Nasional

Kalah lagi.. kalah lagi... Itulah segelumit bentuk kekecewaan masyarakat kita terhadap kondisi sepakbola nasional Indonesia. Mengapa tidak, untuk yang entah berapa kalinya sepakbola nasional kita hanya menjadi bualan permainan oleh tim-tim sepakbola nasional negara lain. Terakhir kali adalah semifinalis piala dunia 2010, Uruguay yang seakan kembali menampar sepakbola nasional kita yang telah dalam kondisi antiklimaks tersebut. Uruguay bertandang ke Stadion Gelora Bung Karno tidak hanya berbekal ranking peringkat 7 dunia, melainkan juga Uruguay dengan sejarah panjang sukses sepakbolanya menjadi bagian yang teramat penting bagi sepakbola nasional kita untuk kembali belajar bagaimana bermain sepakbola modern nan indah tersebut.

Sepakbola nasional Indonesia bak anak TK yang tak kunjung naik kelas meskipun tahun silih berganti, para pemain silih dibongkar pasang, dan tidak ketinggalan pelatih yang bertugas mengatur strategi pun telah beberapa kali bergantian untuk menaikkan kelas sepakbola nasional. Alhasil, apakah yang di dapat? Jangankan prestasi tingkat dunia yang dapat membanggakan negeri ini, dalam kawasan Asia Tenggara saja kita masih menjadi bual-bualan tim yang dahulu banyak belajar bermain sepakbola dari kita.

Sudah bertahun-tahun sepak bola nasional Indonesia mengalami paceklik prestasi. Untuk negara besar dengan penduduk 240 juta, Indonesia selama ini hanya menggunakan ukuran kawasan Asia Tenggara sebagai titik ukur prestasi. Celakanya, di kawasan ini saja sepakbola nasional Indonesia tidak bisa berprestasi. Terakhir kali Tim Merah Putih meraih medali emas di SEA Games adalah pada 1991. Di Piala AFF, yang digelar sejak 1996, Indonesia sama sekali tak pernah merasakan menjadi juara. Di tahun-tahun belakangan, prestasi sepakbola nasional Indonesia justru semakin tenggelam. Hasil kompetisi memalukan yang terakhir didapat saat SEA Games 2009 karena Indonesia tak pernah menang di babak grup dan mendapat kekalahan pertama dari Laos. Di Piala Asia, Indonesia untuk pertama kalinya dalam 14 tahun terakhir juga gagal menuju putaran final di Qatar tahun depan.

Kemunduran prestasi tim sepakbola nasional Indonesia dalam tahun-tahun belakangan berakibat pada semakin rendahnya ranking sepakbola nasional Indonesia di FIFA. Semenjak 2003, peringkat Indonesia terus menerus terus mengalami penurunan mulai dari peringkat 91 di tahun 2003 dan 2004, peringkat 109 di tahun 2005, peringkat 153 di tahun 2006, peringkat 133 di tahun 2007, peringkat 139 di tahun 2008, dan peringkat 120 di tahun 2009. Peringkat Indonesia tahun ini semakin rendah. Saat ini Tim Merah Putih menempati peringkat ke-138.

Miskinnya prestasi tim nasional sepakbola Indonesia harus dibaca sebagai kegagalan pengelola sepakbola di Indonesia dalam melakukan pembinaan sepakbola di Indonesia. Mukadimah Statuta PSSI menyebutkan bahwa ideologi perjuangan atau misi inti PSSI adalah: ”Bahwa keberhasilan pembinaan sepak bola diukur dari prestasi yang dicapai, sebab tingginya prestasi sepakbola menimbulkan kebanggaan nasional”. Dengan demikian keberhasilan pembinaan perlu dilakukan secara terorganisir untuk meningkatkan prestasi sepakbola nasional.

Apa yang salah dengan sepakbola nasional kita, mengapa negara lain yang dapat dikatakan tidak lebih besar dari negara kita, akan tetapi sepakbolanya dapat berkembang begitu cepat dan pesat? Bahkan, dengan jumlah penduduk terbesar ke empat dunia, apakah kita kesulitan untuk menemukan bakat-bakat anak negeri dalam bermain sepakbola modern?. Setidaknya, problematika sepakbola nasional tidak hanya satu saja. Begitu kompleksitasnya permasalahan sepakbola nasional yang akan dapat menjadi bom waktu dan dapat meledak setiap saat.

Kalimat dalam Mukadimah Statuta PSSI secara jelas menggambarkan bahwa muara dari seluruh kegiatan pembinaan sepakbola di Indonesia adalah prestasi, dan prestasi yang semakin menurun menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan sepakbola di Indonesia. Oleh karena itu sepakbola Indonesia harus dibenahi dan di reformasi untuk kemajuan di masa depan.

Reformasi Sepakbola Nasional

Kompleksitas permasalahan sepakbola nasional bukanlah hal yang baru. Dari pembinaan bakat-bakat belia yang tidak terorganisir, pengurus PSSI yang bobrok dan tidak sadar akan lemahnya menangani organisasi sepakbola nasional, kompetisi liga domestik yang tidak kompetitif, hingga para pendukung klub di liga domestik yang selalu menggunakan egonya untuk selalu bertikai, bentrok, serta tawuran dengan sesama suporter klub.

Tim sepakbola nasional bukanlah dimiliki oleh PSSI saja, melainkan sepakbola nasioanal adalah kepunyaan kita, bangsa dan warga negara Indonesia. Oleh karenanya, kita sebagai bangsa haruslah mendukung perkembangan dan kemajuan sepak bola nasional dalam berprestasi di kancah Internasional baik secara langsung maupun tidak langsung. Acapkali bentrok dan bertikai antar sesama suporter klub di liga domestik adalah salah satu bentuk betapa kita berperan sangat besar dalam menghancurkan sepakbola nasional.

Untuk memulai reformasi sepakbola nasional, haruslah terlebih dahulu di awali oleh kepemimpinan yang mengelola sepakbola nasional itu sendiri yakni ketua umum beserta jajaran pengurus PSSI. Hingga kini kepemimpinan dan pengurus PSSI di jabat oleh manusia yang seakan tidak tau akan lemahnya ia dalam mengelola PSSI. Entah berapa banyak kritikan yang menghujati kepada Nurdin Halid selaku ketua umum PSSI agar segera melepaskan jabatannya untuk memimpin PSSI. Akan tetapi, meskipun hujan kritik dan mendekam di jeruji besi terkait skandal korupsi, NH tidak mau melepaskan embel pemimpin PSSI.

Dalam mengelola sepakbola nasional, para jajaran PSSI haruslah di duduki oleh orang-orang yang tidak hanya mengerti seluk-beluk sepakbola modern, melainkan juga harus dibekali karakter yang bersih, integritas, dan bersinergi dalam mengelola sepakbola nasional. Lalu, disamping mempunyai manajemen dalam mengelola sepakbola nasional, juga penggunaan anggaran dana PSSI haruslah transparan untuk mengetahui sejauh mana penggunaan anggaran tepat sasaran yang setiap tahunnya mencapai puluhan miliar rupiah tersebut.

Setelah reformasi dalam internal PSSI dengan kepemimpinan yang dapat dipertanggungjawabkan, kini saatnya membina talenta muda dengan membuka ruang yang seluas-luas dalam mengembangkan bibit para pemain sepakbola nasional secara terorganisir. Dalam menumbuh-kembangkan bibit unggul pesepakbola nasional kelak, PSSI harus turun secara langsung dengan menyuntikkan dana secara khusus untuk sarana dan prasarana terhadap pemain muda sepakbola nasional Indonesia tersebut. Terlebih lagi, para pemain muda haruslah mendapat kesempatan bermain di klub liga domestik. Hal ini dimaksudkan untuk melatih kemampuan mental bertanding dan mengembangkan bakat sepakbolanya.

Kemudian hal yang terpenting untuk memajukan sepakbola nasional setiap negara adalah reformasi dalam kompetisi liga domestik. Telah menjadi rahasia umum, bahwa kondisi sepakbola nasional Indonesia semakin hari semakin meredup karena kondisi kompetisi liga domestik yang tidak terorganisir dan tidak kompetitif dengan baik layaknya liga domestik di negara modern. Kemunculan dualisme liga domestik adalah salah satu bentuk betapa PSSI belum profesional dalam menangani liga domestik di tanah air.

Semberawutnya liga domestik tentu saja dipengaruhi beberapa faktor yakni tingginya penggunaan pemain asing oleh klub lokal, pendukung klub yang selalu bersikap anarkis, serta anggaran dana klub peserta liga domestik yang masih berpegang teguh terhadap APBD. Belum lagi para wasit yang memimpin pertandingan di liga domestik yang masih di nilai kurang fair serta Komisi Disiplin yang kurang tegas memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pargelaran kompetisi di liga domestik.

Kini, saatnya kita bahu-membahu membenahi sepakbola nasional yang dalam kondisi memprihatinkan tersebut. Reformasi sepakbola nasional haruslah di mulai dari diri kita sendiri dengan bersikap sebagai suporter yang fair dan tidak anarkis agar prestasi menghampiri sepakbola nasional Indonesia.

Minggu, 03 Oktober 2010

Teroris dan Koruptor

Maraknya aksi perampokan yang juga dikutsertakan oleh tindakan brutal para terorisme tentu saja sangat mengganggu ketertiban dan keamanan di masyarakat kita. Hal ini bisa disadari mengingat aksi yang di pertontonkan para terorisme tersebut dapat sewaktu-waktu mengancam jiwa penduduk di negeri ini. Masih segar dalam ingatan kita akan begitu beringasnya para perampok bank CIMB Niaga di Medan yang menewaskan satu anggota Brimob Poltabes Medan serta melukai dua orang satpam yang berjaga di tempat kejadian perkara.

Peristiwa mengenaskan terhadap anggota kepolisian tidak berhenti di situ saja, beberapa minggu berselang anggota Densus 88 yang dikirimkan dari Mabes menangkap serta menembak mati 3 orang yang diduga terlibat dalam aksi perampokan di Medan beberapa waktu lalu tersebut. Akan tetapi, penangkapan dan penyergapan yang dilakukan Densus 88 tersebut mendapatkan perlawanan yang maha dahsyat. Setidaknya 3 orang anggota kepolisian setempat saat bertugas piket di Polsek Hamparan Perak harus mengakhiri hidupnya lebih cepat karena ditembak secara sadis oleh kawanan perampok yang disebut juga terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia.

Semakin tumbuh suburnya jaringan yang dibangun teroris di berbagai daerah di tanah air membuat pihak kepolisian seakan kebakaran jengot serta kewalahan dalam menghadapi para kelompok separatis tersebut. Bahkan, banyak pihak yang menyarankan kepada pihak kepolisian agar meminta bantuan kepada TNI dalam upaya memberantas aksi terorisme. Dengan dilibatkannya TNI dalam mengatasi aksi kekerasan dan teroris merupakan pilihan yang jitu mengingat TNI merupakan institusi yang siap untuk menjaga keamanan serta yang terpenting dalam mengawal kedaulatan dari ancaman musuh yang ingin menduduki republik ini.

Koruptor = Teroris

Berbicara mengenai terorisme yang telah memiliki jaringan kuat dan sangat sulit diberantas, kita pun sepintas teringat akan problema bangsa yang sepertinya sulit juga untuk diberantas yakni perilaku “korupsi”. Korupsi bukanlah hal yang baru di negeri ini. Dengan maraknya aksi kekerasan dan tindakan terorisme, kasus korupsi yang merupakan permasalahan bangsa lebih besar seakan terlupakan. Aksi korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab tersebut mengakibatkan bangsa kita kesulitan untuk bersaing dengan negara lain terutama dalam hal pendidikan karena banyaknya angka putus sekolah di Indonesia.

Entah berapa banyak para pejabat di negeri ini yang telah mendekam di jeruji besi karena terlibat dalam perilaku korupsi. Akan tetapi, seakan tindakan korupsi telah menjadi tren modern di era globalisasi yang tidak tentu arah ini. Oleh karenanya, sudah selayaknya para koruptor disandingkan atau disamakan dengan teroris yang keduanya tersebut selalu menimbulkan pemberitaan yang tiada henti baik di media cetak maupun media elektronik nasional.

Mengapa kita perlu menyandingkan para teroris dengan koruptor?. Karena antara keduanya merupakan masalah utama bangsa dan negara yang sampai kapanpun tiada henti menjadi promblematika akibat penegakan hukum yang lemah. Selama ini kita selalu menilai bahwa teroris adalah musuh amat yang sangat menakutkan dan harus dienyahkan hingga ke akarnya. Bahkan, dengan begitu membahayakannya para teroris, aparat keamanan pun langsung menembak mati kawanan yang masih diduga sebagai tersangka teroris dan belum melalui proses hukum yang semestinya. Akan tetapi, untuk urusan koruptor, kita selalu mempunyai alibi yang bermacam-macam dan menganggap perilaku koruptor adalah perilaku yang manusiawi dan telah menjadi tren modern untuk dilakukan secara jamak diberbagai instansi di tanah air.

Padahal apabila kita kaji lebih jauh, para koruptor yang telah “merampok” uang rakyat sesungguhnya merupakan musuh yang sangat beringas dibandingkan dengan aksi teroris. Sebab, dengan merampok uang rakyat tersebut pembangunan sumber daya manusia di republik ini akan tersendat hingga beberapa waktu yang sangat jauh. Pembangunan sumber daya manusia tersebut salah satunya adalah pendidikan. Bagaimana mungkin suatu negara akan dapat maju dan berkembang dengan sangat baik, manakala pendidikan untuk anak negeri tidak dapat di implementasikan dengan baik, yang salah satu indikator penghambatnya adalah perilaku korupsi yang dilakukan oleh para pemangku jabatan di negara kita.

Selanjutnya para koruptor yang telah mengakibatkan puluhan juta anak Indonesia tidak mempunyai pendidikan yang layak, juga diperparah dengan menumbuh-suburkan angka kemiskinan yang semakin memprihatinkan tersebut. Belum lagi beberapa dampak negatif sosial di masyarakat kita yang serba tidak menentu. Hal ini diakibatkan oleh sulitnya penegakan hukum terhadap para pelaku koruspi di republik ini.

Sementara itu, untuk urusan aksi terorisme yang juga dapat melumpuhkan sektor perekonomian kita, berbagai cara di lakukan untuk membasmi para teroris. Tidak sama halnya dengan koruptor, para teroris seakan tidak mempunyai rasa keadilan akibat tidak adanya pembelaan dari mereka untuk proses persidangan. Tidak hanya itu, di negara yang menjunjung tinggi hukum ini, proses hukum pun tidak selayaknya dijalankan dengan baik. Akibatnya, asas praduga tak bersalah yang menjadi satu kesatuan dalam KUHP dilanggar dengan dalih untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban di masyarakat. Padahal apabila negeri ini berkeinginan untuk membasmi para teroris, haruslah menangkap hidup-hidup lalu dengan proses persidangan supaya gerbong teroris dapat di ungkap hingga ke akar-akarnya, bukan sebaliknya menembak mati secara membabi-buta para kawanan yang masih diduga sebagai pelakunya.
Remisi untuk Teroris dan Koruptor?

Secara mengejutkan beberapa waktu yang lalu, pemerintah yang diwakili oleh Kemendepkumham akan memberikan pengurangan hukuman bagi pelaku terorisme. Pemerintah sementara mengambil kebijakan tidak akan memberikan remisi apalagi grasi kepada narapidana teroris. Ide penghapusan remisi yang akan digalakkan pemerintah ini berkembang dari aksi Abu Tholut alias Mustofa alias Imron yang dipenjara karena peledakan bom di Atrium Senen namun bebas sebelum habis masa vonisnya berkat remisi. Abu Tholut kembali beraksi bahkan memimpin pelatihan bersenjata ilegal di Aceh beberapa waktu lalu. Nama Abu Tholut kembali muncul ketika polisi membongkar jaringan perampok Bank CIMB Niaga di Medan. Abu Tholut di duga yang memerintahkan serangkaian perampokan sehingga polisi lalu menetapkannya sebagai buronan.

Wacana penghapusan remisi maupun grasi terhadap para teroris banyak mendapat dukungan dari berbagai kelompok dan parpol pendukung pemerintah. Lantas, sudah selayaknya-kah teroris tidak mendapatkan remisi maupun grasi?. Sementara itu, beberapa waktu silam juga republik ini seakan dikejutkan juga dengan diberikannya remisi dan grasi secara gamlang oleh pemerintah kepada para koruptor yakni Aulia Pohan dan Syaukarni. Dalam bebebapa argumen yang dilontarkan pemerintah pada saat itu bahwa pemberian remisi dan grasi terhadap para koruptor adalah perintah undang-undang.

Padahal apa bedanya teroris dengan korupsi. Mengapa pemerintah begitu antusias menghapus remisi dan grasi terhadap pada teroris dibandingkan dengan koruptor. Hal inilah yang masih menjadi pertanyaan besar di benak kita. Koruptor tak ubahnya dengan para kawanan perampok yang juga di duga sebagai teroris. Maka, sudah saatnya kita dan terutama aparat penegak hukum membasmi juga para koruptor seperti halnya membasmi para teroris. Tidak itu saja, apabila pemerintah berwacana menghapus remisi dan grasi terhadap narapidana teroris, maka harus juga di ikutsertakan menghapus remisi maupun grasi terhadap para narapidana koruptor. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah tidak membedakan mana yang perampok uang rakyat sesungguhnya. Apabila penghapusan remisi dan grasi terhadap para teroris maupun koruptor dapat dilaksanakan. Maka, akan dapat memberikan efek jera antara keduanya agar pelaksanaan pembangunan, serta kemakmuran, kesejahteraan, dan juga rasa keamanan di masyarakat dapat terwujud di negara kita. Semoga..!!!