Sabtu, 05 Desember 2009

Kriminalisasi dan Mafia Peradilan


Oleh: Andryan, SH

Awan hitam masih terus menghinggapi supremasi penegakkan hukum negara kita. Bahkan, meskipun reformasi telah diusung untuk mencapai perbaikan di masa depan, tapi hal itu belum cukup untuk menutupi kebobrokan instansi penegak hukum kita. Benarkah penegakkan hukum hanya menjadi slogan belaka dan adakah komitmen negara dalam hal upaya penegakkan hukum?


Penegakkan hukum menjadi harga yang mahal di negeri ini. Tentu saja ini menyangkut kesejahteraan dan rasa keadilan di masyarakat. Institusi penegak hukum yang seyogyanya menegakkan hukum dan memberikan rasa keadilan justru berbuat menyimpang dari haluan pendirian instansinya. Kejaksaan, Pengadilan, Kepolisian, serta dunia kepengacaraan (Advokat) adalah beberapa instansi penegak hukum yang maksud didirikannya instansi tersebut untuk memberi perlindungan, pengayoman, berkeadilan, kedamaian dalam masyarakat dan juga membuat kehidupan berbangsa dan bernegara berjalan sesuai koridornya.


Pada tahun 2009, merupakan waktu yang membuka mata kita sekalian sebagai bangsa yang menjadikan hukum sebagai panglima diatas segala-galanya. Tapi, hukum seolah tidak dapat berbuat apa-apa ketika instansi penegak hukum itu sendiri telah mencorengnya. Instansi yang sering mendapat sorotan akibat telah hilangnya kredibilitas (kepercayaan) di masyarakat yakni Kejaksaan serta Kepolisian. Pada semester pertama tahun ini dunia hukum kita telah tercoreng dengan adanya konspirasi di tubuh kejaksaan. Kejaksaan yang diberi amanat oleh Undang-undang sebagai instansi penuntut umum telah berbalik arah dengan melakukan konspirasi guna membebaskan para pelaku koruptor di republik ini.


Bahkan, tidak tanggung-tanggung para petinggi di Kejaksaan Agung terlibat dalam perkara BLBI, seperti Kemas Yahya sebagai Jampidsus serta Untung adji Santoso sebagai Jamdatun. Keduanya tertangkap melalui penyadapan telepon yang dilakukan penyidik dari KPK dengan pengusaha yang juga rekanan dari obligor Syamsul Nursalim yakni Artalita Suryani. Akibat ulahnya itu keduanya pun melepaskan jabatannya secara memalukan. Jaksa Urip sebagai Koordinator perkara BLBI juga telah mendekam di balik jeruji besi dalam kasus menerima suap senilai Rp.6 Miliar dari pengusaha Artalita Suryani agar dapat memuluskan perkaranya.


Tentu saja masalah ini bukanlah masalah kecil. Sebab, hal ini menyangkut penegakkan hukum di Indonesia. Bagaimana mungkin hukum dapat ditegakkan apabila aparaturnya sendiri melakukan penyimpangan dan menciderai hukum. Kemudian bagaimana mungkin instansi penegak hukum di berbagai daerah di tanah air dapat menjalankan tugasnya secara mulia, apabila pimpinan pusatnya (Kejaksaan Agung) tidak menjunjung hukum itu sendiri. Siapakah yang nantinya member arahan dan menjadi tauladan dalam penegakkan hukum di Indonesia. Itulah potret buram penegakkan hukum di Indonesia yang seolah telah berbelok arah dalam menjalankan tugas dan fungsi sebagai instansi penegak hukum.


Kriminalisasi


Belum berhenti sampai disini, pada semester kedua tahun ini lagi-lagi kebobrokan dalam instansi penegak hukum terungkap. Kali ini Institusi Kepolisian RI (Polri) mendapat kecaman dari berbagai pihak dalam kasus kriminalisasi yang menimpa pimpinan non aktif KPK Bibit Samad Ryanto dan Chandra M Hamzah. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyalahgunaan wewenang dan suap saat menangani kasus dugaan korupsi proyek sistem komunikasi radio terpadu di Departemen Kehutanan dengan tersangka Direktur PT.Masaro Radiokom, Anggoro Widjojo. Kebobrokan instansi penegak hukum tersebut terungkap ketika Mahkamah Konstitusi menggelar sidang permohonan uji materil kedua pimpinan non aktif KPK tersebut terhadap UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, pada Pasal 32 ayat (1) butir c. Saat dalam sidang pembuktian terkuak, KPK melalui kuasa hukumnya menyerahkan bukti penyadapan dalam percakapan antara Anggodo Widjojo dengan berbagai pihak terkait dan terungkap bahwa adik Anggoro Widjojo tersebut melakukan percobaan perbuatan pidana suap.


Tidak hanya itu, dalam percakapan tersebut terlihat bahwa pihak Anggodo telah melakukan rekayasa kasus yang melibatkan kedua pimpinan non aktif KPK tersebut. Bahkan, tindakan kriminalisasi tersebut juga melibatkan pimpinan aparatur penegak hukum yakni Abdul Hakim Ritonga yang menjabat sebagai Wakil Jaksa Agung RI, Kabareskrim Susno Djuaji, serta lembaga negara lainnya. Khusus mengenai instansi Polri, kasus kriminalisasi tersebut dapat menambah disharmonisasi dan hilangnya kredibilitas masyarakat terhadap instansi penegak hukum ini.


Kasus kriminalisasi terhadap KPK juga kembali membuka mata kita betapa belum berjalannya reformasi instansi penegak hukum di Indonesia. Hukum sebagai panglima ternyata dapat diperjualbelikan dan diatur-atur sedemikian oleh pihak tertentu. Kasus kriminalisasi dapat saja mengancam rasa keadilan terhadap warga negara. Pimpinan lembaga negara saja dapat diperlakukan tidak semestinya dengan membuat rekayasa perkara seolah-olah ia telah melakukan tindak pidana. Bagaimana dengan warga negara biasa?. Kemana lagi rakyat harus mendapatkan perlindungan hukum dengan memberikan rasa keadilan?


Mafia Peradilan


Bukan suatu hal yang tabu lagi untuk diperbincangkan ditengah-tengah masyarakat kita bahwa mafia peradilan telah membumi di negeri Indonesia. Mafia peradilan merupakan proses konspirasi dalam sebuah badan peradilan antara pihak-pihak penegak hukum yang menangani suatu perkara dengan membuat skenario agar perkara tersebut dapat diputuskan untuk menguntungkan pihak tertentu. Tentunya skenario itu dapat saja diperjualbelikan bagi orang yang mempunyai uang. Celakanya, bagaimana bagi orang biasa yang lebih mengharapkan rasa keadilan?. Tentu saja dalam mafia peradilan perkara dapat diperjualbelikan dengan tidak lagi mempertimbangkan rasa keadilan sebagaimana yang menjadi ciri hukum itu sendiri.


Berbicara mengenai mafia peradilan, hal ini juga menyangkut elemen-elemen hukum seperti kepolisian sebagai pihak penyidikan, kejaksaan sebagai pihak penuntut umum, serta kehakiman sebagai pihak yang memimpin dan memutus suatu perkara. Bagaimana jadinya apabila ketiga oknum tersebut bekerja sama dalam suatu peradilan dan membuat skenario sesuai yang diinginkan oleh pihak tertentu. Inilah yang membuat hukum semakin buram dengan adanya aksi mafia peradilan. Bahkan apabila pimpinan tingkat pusat saja seperti Mabes Polri, Kejaksaan Agung, serta Mahkamah Agung saja dapat menciderai hukum, bagaimana tingkat di daerah yang masih butuh arahan dari pimpinan pusat instansi-instansi penegak hukum tersebut.


Memberantas dunia mafia peradilan tidaklah segampang membalikkan telapak tangan, apalagi intansi penegak hukum tersebut telah terkontaminasi oleh perbuatan kotor yang mereka lakukan. Sebenarnya langkah yang tepat dalam membangun instansi penegak hukum yang bersih tersebut dimulai dari sistem rekrutmen aparaturnya. Tapi, seakan telah menjadi budaya, bahwa sistem penerimaan aparatur penegak hukum selalu dihinggapi oleh nuansa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Bukan rahasia umum lagi, bahwa penerimaan aparatur di kepolisisan, kejaksaan, serta di kehakiman selalu menggunakan iming-iming uang dan kekerabatan/family agar ia dapat lulus. Akibatnya, kebobrokan lah yang ada sebab sistem rekrutmen tersebut tidak lagi menjunjung nilai kejujuran. Bahkan di internal instansi tersebut jualbeli jabatan sering kali terhembus di masyarakat kita sehari-hari.


Kita cukup prihatin dengan negeri ini yang menjadikan hukum sebagai dasar dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam UUD 1945 pasal 1 ayat (3) hasil amandemen ke-3 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Hal ini berarti bahwa hukumlah yang tertinggi melebihi kekuasaan manapun, maka dapat dikatakan hukum di Indonesia sebagai Panglima di atas segala-galanya. Lalu, apabila para penegak hukumnya sendiri menyimpang dari hukum, lalu bagaimana dengan warga negara yang butuh perlindungan hukum dari penindasan para penguasa dan tindak kejahatan. Itulah ironi negara yang menjunjung hukum tetapi aparaturnya tidak taat terhadap hukum.