Sabtu, 31 Oktober 2009

Kasus Bibit dan Chandra: Dilematis Institusi Penegak Hukum


Oleh: Andryan, SH

Perseteruan antara institusi penegak hukum di Indonesia antara Kepolisian RI dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) telah memasuki episode yang semakin memanas, hal ini menyusul penahanan kedua pimpinan non aktif KPK yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah oleh Mabes Polri terkait kasus penyalahgunaan wewenang dan suap. Penahanan kedua pimpinan KPK tersebut jelas dapat menimbulkan berbagai persepsi di kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut telah berlebihan dan kepolisian pun bersikap arogan dengan menggunakan kewenangannya. Presiden SBY pun melalui konferensi pers yang digelar di istana negara menyatakan ia menyesalkan penahanan terhadap pimpinan KPK non aktif tersebut.


Sebenarnya kasus kedua pimpinan KPK tersebut berawal dari episode lalu yang sangat menggeletarkan publik di tanah air saat itu yakni pembunuhan berencana atas korban Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan mantan ketua KPK, Antasari Azhar. Mantan ketua KPK tersebut memang sedang menjalani kasus hukum di persidangan, akan tetapi melalui tertimoni yang dibuat oleh Antasari Azhar terkuak bahwa terjadinya kasus suap yang melibatkan dua pimpinan KPK yang sekarang statusnya telah non aktif saat menangani kasus dugaan korupsi proyek sistem komunikasi rasio terpadu di Departemen Kehutanan dengan tersangka Direktur PT.Masaro Radiokom, Anggoro Wijojo. Tidak hanya itu, dugaan kasus penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan surat pengajuan dan pencabutan pencekalan terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra sedang dilancarkan oleh penyidik Mabes Polri untuk diproses secara hukum.


Dilematis Institusi Penegak Hukum


Apa yang telah dipertontonkan oleh publik antara dua institusi penegak hukum tersebut ibaratkan perseteruan antara buaya (kepolisian) dan cicak (KPK). Kepolisian sebagai pihak yang berwenang dalam hal penyidikan sebenarnya telah melaksanakan tugasnya secara professional, sedangkan KPK sebagai pihak yang berjasa dalam menjerat berbagai koruptor di tanah air, kini mengalami nasib kesimpang-siuran terkait masalah hukum yang dijalani oleh beberapa pimpinan KPK. Kini baik kepolisian maupun KPK saat ini sedang dihadapkan oleh sikap yang dilematis usai merebaknya isu rekayasa dan kriminalisasi kasus pimpinan KPK non aktif tersebut.


Kepolisian dalam menggelar proses hukum terhadap pimpinan KPK, tentunya menggunakan asas equality before the law yang dapat memberi arti bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan membedaan perlakuan. Tidak ada pengecualian terhadap para pelaku tindak pidana, mereka sama kedudukan di hadapan hukum. Meskipun demikian banyak pihak yang menyayangkan penahanan tersebut. Sebab, boleh jadi kedua pimpinan non aktif KPK dapat bernasib sama dengan mantan ketua KPK, Antasari Azhar yang telah menduduki kursi pesakitan dan kursinya sebagai ketua KPK telah diberhentikan oleh Presiden.


Sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, pada Pasal 32 ayat (1) butir c ; menyatakan bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan di karenakan telah menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dengan kata lain, pimpinan non aktif KPK tersebut tinggal menunggu waktu saja untuk diberhentikan secara tetap apabila berkas P21 yang ditangani pihak kepolisian di limpahkan ke Kejaksaan sebagai pihak yang berwenang dalam hal penuntutan, tetapi pihak kejaksaan pun harus bertindak professional. Apabila cukup bukti maka perkara tersebut harus segera dilimpahkan ke pengadilan, begitu juga sebaliknya apabila tidak cukup bukti maka harus dikembalikan ke penyidik (Mabes Polri).


Sesuai dengan KUHAP, maka kepolisian telah melaksanakan tugasnya secara professional dengan menerapkan asas perlakuan sama di depan hukum terhadap semua orang. Akan tetapi, meskipun demikian kepolisian masih saja mengalami dilematis terkait penahan yang dilakukannya terhadap pimpinan nonaktif KPK. Pihak kepolisian di hujat dan dimusuhi oleh berbagai pihak, sebab pihak kepolisian melakukan penahanan selama 20 hari dan didasari alasan objektif dan subjektif. Alasan objektif, antara lain ancaman hukuman di atas lima tahun serta telah terpenuhinya alat bukti yang cukup untuk ditetapkannya sebagai tersangka. Sedangkan alasan subjektif adalah agar tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi perbuatannya. Tindakan yang dilakukan kepolisian tersebut sebenarnya bukanlan berlebihan dan itu sesuai dengan prosedur yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


Meskipun pimpinan KPK turut berjasa dalam membongkar jaringan dan menjerat para koruptor di Indonesia. Akan tetapi, mereka sebenarnya bukanlah malaikat melainkan adalah hanya manusia biasa yang tidak lepas dari rasa khilaf dan kesalahan. Banyak pihak yang merasa keberatan terhadap penahanan yang didasari oleh alasan subjektif. Mereka pun berdalih tidak mungkin pimpinan KPK melanggar alasan subjektif tersebut. Tapi, alangkah lebih baik jika kepolisian bertindak lebih cermat agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi dan kepolisian pun mempunyai dalil dalam penerapan proses hukum tersebut.


Akan tetapi, permasalahan juga muncul manakala apabila Bibit dan Chandra telah menduduki kursi pesakitan di pengadilan sebagai terdakwa, maka ia pun harus diberhentikan sebagai pimpinan KPK. Lalu seiring proses hukum di pengadilan, ternyata bukti yang telah dikumpulkan baik oleh pihak penyidik polri maupun jaksa penuntut umum tidak cukup dan tidak meyakini hakim bahwasanya terdakwa telah melakukan tindak kriminal seperti yang di sangkakan kepadanya. Tapi meskipun Bibit dan Chandra telah dibebaskan secara murni dan tidak adanya proses upaya hukum, maka bebaslah Bibit dan Chandra. Tapi, embel-embel jabatan sebagai pimpinan KPK telah dilepas kepadanya. Lantas, sesungguhnya tindakkan kepolisian inilah dapat telah merugikan dan menggoyahkan KPK sendiri dalam mengungkap perkara korupsi.


Upaya Menggoyahkan KPK


Kita sebagai bangsa yang terus berupa untuk mewujudkan agenda reformasi berupa pemberantasan KKN cukup prihatin dengan apa yang di alami KPK sebagai institusi penegak hukum yang konsen terhadap permasalahan korupsi di Indonesia. Hingga kini KPK sedang mengalami ketimpangan terkait permasalahan yang cukup pelik dialami oleh beberapa unsur pimpinan KPK. Sejak keterlibatan mantan ketua KPK Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan, KPK secara terus-menerus mengalami disharmonisasi. Apakah masalah yang dihinggapi oleh KPK akibat adanya unsur balas dendam oleh para koruptor, baik yang telah masuk bui maupun yang sedang menjalani proses hukum?.


Telah kita simak dalam berbagai liputan media, bahwa sesungguhnya kasus yang menimpa pimpinan KPK non aktif Bibit dan Chandra mengemuka disamping adanya testimoni dari Antasari Azhar, juga merebak terkait upaya KPK dalam membongkar secara mendalam kasus Bank Century yang telah merugikan banyak pihak khususnya negara. Lalu, adanya keterlibatan antara Kabareskrim Mabes Polri, Komjen. POL Susno Duadji yang mengekspos kasus Bibit dan Chandra tersebut. Banyak pihak yang mempertanyakan sebenarnya antara Kabareskrim dengan Bank Century memiliki ikatan moral. Jadi, dengan diangkatnya kasus Bibit dan Chandra tersebut, dapat melupakan kasus Bank Century yang sebenarnya merupakan fokus utama kita dalam hal pemberantasan korupsi.


Indonesia yang menganut dasar hukum dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum seyogyanya harus dijunjung tinggi. Alangkah baiknya kasus yang menimpa pimpinan KPK Bibit dan Chandra dapat sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kepada pihak kepolisian haruslah bekerja secara professional dengan menyakini bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, bukan sebaliknya. Sebab, apabila kasus ini dipolitisi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, maka hukum seolah dapat dibeli dan tidak mempertimbangkan law enforcement (penegakkan hukum) sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi kita.