Senin, 28 Juli 2008

PARTAI POLITIK

“Suatu Keharusan atau Pemaksaan”

Tidak terasa setelah hampir satu masa kepemimpinan Presiden SBY akan berakhir, pada Tahun 2004 untuk pertama kalinya dalam sejarah bangsa Indonesia dilaksanakannya pemilihan umum secara langsung yang hal ini merupakan implementasi dari pelaksanaan sistem demokrasi yang dianut oleh Negara Republik Indonesia sejak masa awal kemerdekaan pada Tahun 1945.

Pada bulan April Tahun 2009 mendatang kita selaku bangsa Indonesia akan kembali merayakan pesta demokrasi dengan diadakannya pemilihan umum untuk memilih Partai Politik, anggota MPR (DPR dan DPD), anggota DPRD, dan satu paket untuk pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Semua anggota yang dipilih itu termaktub dalam suatu wadah yang dinamakan dengan “Partai Politik”.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Partai Politik adalah sekelompok organisasi yang sungguh-sungguh mempunyai kesamaan cita-cita, tujuan, atau kepentingan tertentu. Sedangkan mengenai fungsi Partai Politik itu sendiri pada hakikatnya adalah untuk menyalurkan aspirasi rakyat, dan ikut menetukan kebijaksanaan umum pemerintah. Dalam Ilmu Tata Negara Partai Politik terdiri dari 3 kategori, yakni Sistem Partai Tunggal, Sistem Dwi Partai, dan Sistem Multi Partai. Kesemuanya itu telah digunakan oleh beberapa negara baik negara maju maupun negara berkembang. Partai Tunggal, kecendrungan sistem satu partai ini untuk menjadikan pemerintahan diktator, kondisi partai tunggal sangat statis, karena diharuskan menerima peimpinan dari partai dominan (pusat) dan tidak dibenarkan melawan, sistem aprtai tunggal ini tidak mengakui adanya keanekaragaman sosial budayakarena hal itu dapat menghambat usaha-usaha pembangunan seperti yang dilakukan di negara RRC, Korea Utara dan dahulu Uni Soviet.
Sistem Dwi Partai, atau yang kita kenal dengan sistem dua partai ini merupakan ciri khas dari penerapan negara Anglo Saxion. Sistem ini hanya ada dua partai yang dominan, yaitu partai yang berkuasa (yang menang dalam pemilu) dan partai oposisi (yang kalah dalam pemilu). Sistem dwi partai ini pelaksanaan pemilu dilakukan dengan sistem distrik karena dapat menghambat laju partai politik. Dengan penerapan sistem dwi partai dimaksudkan untuk tidak membentuk pemerintahan dictator. Sistem partai ini banyak digunakan oleh negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxion seperti Inggris, Amerika dan Filipina.

Kemudian satu sistem partai yang kita kenal dengan Sistem Multipartai, sistem ini biasanya diterapkan di negara yang agama, ras, dan suku bangsanya yang sangat beragam. Oleh karena itu masyarakat suatu negara tersebut cenderung membentuk ikatan-ikatan terbatas (primordial) sebagai tempat penyaluran inspirasi politinya. Sistem multi partai banyak digunakan oleh beberapa negara yang antara lain Indonesia, Malaysia, dan Prancis.

Negara Republik Indonesia telah mengenal dan menggunakan sistem multipartai sejak awal kemerdekaan, kemudian pada awal pmerintahan rezim Soeharto Partai Politik telah berkurang menjadi hanya 3 Partai Politik saja yang boleh bertarung. Ketiga Partai Politik tersebut antara lain Partai Persatuan Pmembangunan (PPP), Partai Golongan Karya (GOLKAR), dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Hal ini Nampak dengan sedikitnya Partai Politik yang diperbolehkan tampil akan lebih mempermudah mencapai kembali dan memperpanjang kekuasaannya.

Setelah runtuhnya rezim Soeharto yang ditandai dengan awal reformasi, telah membawa banyak perubahan di dalam pelaksanaan pemerintahan dan demokrasi di Indonesia. Sejak Tahun 1999 telah banyak Partai Politik yang boleh diikutsertakan dalam pentas politik demokrasi, akan tetapi hal ini juga harus sesuai dengan verifikasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Akan tetapi banyak kalangan umumnya dari masyarakat Indonesia, bahwa dengan banyaknya Partai Politik akan tidak efektif dalam pentasan demokrasi secara luas. Sebenarnya dengan banyaknya Partai Politik, maka akan terbuka juga secara bebas dalam praktek KKN untuk mengejar kekuasaan dengan berbagai cara.

Pembatasan Terhadap Suatu Jabatan

Negara republik Indonesia merupakan negara hukum yang salah satu cita-citanya adalaah menciptakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat. Di Indonesia banyak terdapat orang-orang intelektual akan tetapi minim orang-orang bermoral baik. Sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia bahwa salah satu penyakit negeri ini adalah rakusnya dalam hal meraih suatu jabatan bahkan bagi sebagian orang dalam meraih suatu jabatan ia rela melakukan dan berbuat apa saja demi suatu yang ia didambakan. Akan tetapi sebagian orang-orang tersebut tidak menyadari akan suatu kelemahan dan kekurangannya dalam menduduki suatu jabatan tersebut.

Sebenarnya masyarakat dapat menilai seseorang tersebut melalui latar belakangnya, entah itu dalam hal pendidikan, hubungan sosial maupun kepribadiannya. Tetapi lain hal teoritis atau praktis, negeri ini seakan menjadi sarang atau wadah mafia bagi orang yang ingin menduduki suatu jabatan. Seseorang dapat menduduki suatu jabatan tersebut padahal ia tidak mengetahui seluk beluk atau latar belakang jabatan tugas yang ia emban, sebagaimana dalam sabda Rasulullah, bahwa tunggulah kehancuran apabila di pimpin oleh orang yang bukan ahlinya.

Itulah yang menjadi penyebab kemerosotan negara Indonesia di segala bidang, baik dalam bidang ekonomi, hukum, social ataupun dalam bidang olah raga yang seakan-akan meraih suatu prestasi dikancah internasional merupakan suatu yang mustahil atau suatu impian belaka. Para pejabat kita banyak yang mengemban lebih dari satu jabatan, hal ini tidak terlepas dari rakusnya ia ingin menduduki suatu jabatan tersebut, akan tetapi di lain pihak banyak para ahli di bidangnya merana karena tidak memiliki suatu jabatan yang secara kasat mata cocok untuk ia emban. Kita ambil contoh yang sangat sederhana dan tidak asing di panca indera kita, seorang gubernur yang notabene harus berkosentrasi dan bekerja secara aktif dibidangnya untuk mencapai tujuan kerja, sebenarnya untuk mengemban sebuah jabatan gubernur saja sulit, akan tetapi banyak gubernur di negeri ini iningin menduduki suatu jabatan lainnya entah itu dalam suatu organisasi olah raga maupun organisasi kemasyarakatan. Hasilnya, karena tidak adanya focus terhadap satu jabatan maka jabatan yang ia emban itu tidak dapat berjalan sebagaimana yang di harapkan dan bahkan ada yang hancur total!!!.

Padahal kalaulah kita jeli melihat di sekeliling kita, maka tidaklah sulit untuk mencari para ahli di bidangnya dan kalaupun di beri kesempatan mungkin saja suati jabatan yg ia embank itu akan berjalan sesuai yang di harapkan dan akan mencapai tujuan kerjanya. Akan tetapi karena ia tidak diberi kesempatan, dan kesempatan itu diambil oleh orang yang rakus jabatan maka ia menjadi menganggur dan bangsa ini sangat menyesal tidak memakai dan kehilangan orang-orang seperti itu.

Akan kah negeri ini terus begini dan tidak berbenah, untuk menjawab suatu persoalan tersebut tidaklah sulit. Pihak legislatif dan eksekutif harus bekerja sama untuk membuat suatu rancangan undang-undang yang intinya mengatur suatu pembatasan jabatan.

AMANDEMEN KE- 5

"Implementasi Bab IV UUD Negara RI Tahun 1945"

Sejak runtuhnya rezim Soeharto pada pertengahan tahun 1998, bangsa Indonesia membuka lembaran baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hal ini ditandai oleh lahirnya era perubahan yang dikenal dengan era reformasi. Barbagai tuntutan di arahkan kepada pemerintahan baru pasca kediktatoran Soeharto. Reformasi hukum, adili soeharto beserta kroni-kroninya, itu merupakan bagian sepengal dari beberapa agenda dan amanah reformasi. Memang apabila kita melihat ke belakang, dimana untuk meruntuhkan rezim soeharto, bangsa Indonesia mengalami pengorbanan yang sangat berarti dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak sedikit pengorbanan yang dilakukan bangsa Indonesia untuk meraih orde reformasi, dari pengorbanan nyawa mahasiswa yang dikenal dengan peristiwa semanggi, melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga pada saat itu dari 2500 ke angka yang fantastis yakni 20.0000 rupiah. Akan tetapi, buntut dari beberapa pengorbanan bangsa Indonesia dapat menghirup angin segar dalam lembaran baru reformasi seperti sistem demokrasi langsung dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, kebebasan berargumen dan berekspresi, hingga tidak adanya lagi ketakutan terhadap penculikkan yang dahulu rentan dilakukan di era orde baru.

Salah satu tuntutan dan agenda dari reformasi adalah reformasi hukum, sebenarnya buntut dari kediktatoran dan kekacauan suatu negara tidak dapat dilihat hanya pada pemimpin atau orang dalam pemerintahan suatu negara tersebut melainkan dilihat dari beberapa kelemahan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indoenasia, sehingga kelemahan yang ada dapat dimanfaatkan secara mendalam oleh pemimpin-pemimpin negara pada saat itu. Maka awal reformasi para pejabat pemerintahan dan negara sepakat untuk merubah dasar konstitusi kita yakni UUD Negara RI Tahun 1945. Istilah dalam bahasa hukum dalam merubah konstitusi yakni dengan nama amandemen. Sejak era reformasi tidak kurang telah dilakukan amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 sebanyak 4 kali dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Tidak kurang dari hasil 4 kali amandemen tersebut, telah mengubah ketentuan atau subtansi dalam UUD Negara RI Tahun 1945 itu 300 persen dan kemudian telah lahir berbagai macam lembaga, dewan, atau komisi negara dalam penyelenggaraan negara. Di samping lahirnya lembaga-lembaga negara baru juga ada lembaga yang telah dihapuskan dalam ketentuan tersebut karena dianggap sebagai lembaga negara ompong dan tidak menmpunyai peranan yang berarti dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Salah satu lembaga negara yang dimaksud adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dahulu DPA adalah lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan Presiden, DPR, BPK, dan MA. Tugas DPA tidak lain adalah memberi masukkan berupa pertimbangan dan nasihat kepada Presiden. Akan tetapi dewan yang beranggotakan 45 orang tersebut tidak relevan karena sarat dengan unsure politik dan moral. Kemudian Badan Pekerja (BP) di MPR padda saat itu sepakat untuk menghapus keberadaannya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Akan tetapi, setelah penghapusan DPA yang dahulu keberadaannya diatur dalam bab tersendiri yakni Bab IV Pasal 16. Kemudian setelah amandemen ke 4 Pasal 16 itu telah diganti dengan lembaga penasihat baru untuk presiden dengan nama Dewan Pertimbangan Presiden (DPP) yang keberadaannya dimasukkan dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Tapi, setelah bab III tentang kekuasaan pemerintah negara kemudian dilanjutkan dengan bab V tentang Menteri Negara. Hal ini sangat rapuh sebab Bab IV tidak dimasukkan keberadaannya dalam ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945.

Sebernarnya apabila suatu pelajar yang ingin meneliti dan kemudian di masukkan ke dalam subtansi penulisan atau para penulis yang dituangkan dalam bentuk sebuah buku. Akan tetapi dalam subtansi penulisannya yang terdiri dari beberapa Bab, tapi ada bab yang tidak dimasukkan atau diselingi oleh bab yang lain, maka dapat dikatakan sebuah tulisan itu keliru dan dapat dikatakan sebagai ketidaksempurnaan walaupun isi dalam pembahasan itu mungkin saja bagus dan menarik.

Kini saatnya para badan panitia khusus di MPR untuk merumuskan kembali pembahasan mengenai perubahan ke V UD Negara RI Tahun 1945 dan yang paling menjadi perhatian adalah penempatan Bab IV ke dalam subtansi UUD Negara RI Tahun 1945, penempatan Bab IV itu pun dapat dimasukkan ke dalam pembahasan baru dalam amandemen ke V atau dapat juga Bab IV di isi tentang Menteri Negara yang dahulu termaktub dalam Bab V, hal ini dimaksudkan untuk tidak menjauhkan ketentuan Menteri Negara dengan Kekuasaan Pemerintahan Negara, sebab kedua Bab tersebut merupakan aktor dalam pelaksanaan pemerintahan Republik Indonesia.

Melihat kerancuan UUD Negara RI Tahun1945 yang tidak menempatkan Bab IV dalam ketentuan subtansi batang tubuh UUD Negara RI Tahun 1945, ada juga kerancuan lain yang menurut penulis harus segera di amandemen agar tidak terjadinya penyimpangan pelaksanaan dari ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945. Kerancuan yang lainnya yakni terdapat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dari ketentuan ini yang terdapat kerancuan menurut penulis adalah “dipelihara”. Sedangkan dalam penjelasan UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa Pasal 34 “telah jelas”, akan tetapi masih terdapat permasalahan yang menurut sebagian orang sepele, akan tetapi dampaknya akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Dalam kalimat “dipelihara” dalam kata sehari-hari dapat juga dartikan sebagai pertumbuhan yang akan selalu berkembangbiak dan akan terus berkembangan. Hal ini berakibat fatal sebab Negara harus mengasihi fakir miskin dan anak-anak terlantar, bukan untuk dikembangbiakan terus menerus yang akan dapat menghambat pertumbuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Jadi kalimat yang pas untuk amandemen Pasal 34 ayat (1) adalah “Negara wajib mengasihi fakir miskin dan anak-anak terlantar”.