Jumat, 31 Desember 2010

Tahun Baru Sebagai Momentum Penegakan Hukum

Hanya dengan hitungan waktu yang tidak lama lagi kita akan segera memasuki tahun baru. Tentu saja seperti tahun-tahun sebelumnya, pergantian tahun seakan menjadi momen yang sangat sulit untuk dilepaskan oleh masyarakat di belahan bumi ini. Berbagai cara yang berbeda-beda pun dilakukan dalam menyambut malam pergantian tahun. Akan tetapi, sebagaimana yang kita ketahui bahwa di malam pergantian tahun tersebut justru dijadikan sebagai malam yang hura-hura hingga ke hal yang menjerumuskan manusia ke dalam kenistaan.

Pada hakekatnya, pergantian tahun adalah momen yang sakral diri kita terhadap sang Khalik agar senantiasa memberikan kita penghidupan yang lebih baik di masa yang akan datang kelak. Di tahun yang baru tentu kita sebagai manusia hanya bisa berusaha dan berdo’a, maka yang bertindak dan memutuskan terhadap segala sesuatu tentu saja sang Maha Pencipta. Pantaskah kita menyambut malam pergantian tahun dengan hura-hura yang tidak ada memberikan kita faedah dalam perjalanan hidup ke depan?. Maka, di tahun yang baru sudah selayaknya kita kembali mengintrospeksi diri dan membuat resolusi untuk perubahan ke arah yang lebih baik.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa wajah penegakan hukum di republik Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini sungguh sangat buram. Mengapa tidak, di negeri yang sangat kaya akan sumber daya alam tersebut, para tikus berdasi atau para perampok uang rakyat dengan nama koruptor begitu tumbuh subur dan sangat merajalela. Maraknya berbagai tindakan korupsi, suap-menyuap, membeli-jual perkara, makelar kasus, serta mafia peradilan adalah segentir dari beberapa problematika yang besar dengan bukti bobroknya penegakan hukum di republik ini.

Kasus-kasus besar pun banyak yang tersendat ditengah jalan tidak jelas kelanjutannya seperti kasus BLBI, Bailout Century, makelar kasus Anggodo Widjoyo, penyuapan pemilihan Gubernur BI di DPR, hingga kasus mafia pajak Gayus Tambunan yang seakan terus meramaikan beberapa episode dalam drama sandiwara penegakan hukum kita. Apa yang terjadi dengan aparatur hukum di republik ini, mengapa begitu terlenanya aparat hukum kita hingga bisa dikendalikan oleh para koruptor yang semakin rakus dan merajalela.

Apabila kita telusuri bahwa bobroknya aparatur hukum juga berimbas terhadap kredibilitas institusi tempat mereka bernaung. Kini, rakyat pun semakin merasa pesimis terhadap kredibilitas lembaga-lembaga negara di Indonesia. Lembaga negara seperti DPR, Peradilan, Kepolisian, Kejaksaan, Pemerintahan dari pusat hingga ke daerah seakan sulit untuk di ditemukan dalam keadaan yang bersih dan kredibel. Tidak hanya itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga tinggi negara yang hadir dalam abad ke 21 seakan ikut terkontaminasi dalam permainan penuh sandiwara kotor tersebut.

Tentu saja bangsa ini semakin pesimistis, MK yang dikenal sebagai lembaga pengawal konstitusi dengan disokong oleh berbagai fasilitas mutakhir akhirnya mengalami berbagai isu-isu dalam kasus mafia peradilan. Sebenarnya isu yang santer menyerang MK berawal dari argumentasi pengamat hukum Refly Harun melalui tulisannya di salah satu surat kabar nasional. Dalam tulisannya tersebut mengungkapkan bahwa Refly Harun mengetahui ada hakim konstitusi yang menagih duit jatah Rp 1 miliar sebelum memutus sebuah perkara pilkada. Bak kebakaran jenggot, ketua MK pun melayangkan pledoinya dengan membentuk tim investigasi dalam mengusut skandal suap terhadap salah seorang hakim MK tersebut.

Memang tidaklah sepantasnya institusi yang dikenal bersih selama ini mengalami isu skandal penyuapan. Terlebih lagi bahwa seorang Refly Harun yang telah berkiprah dalam dunia hukum sebagai advokat tidaklah hanya berargumen tanpa adanya bukti yang melekat kepadanya. Apabila praktisi hukum tersebut tidak dapat membeberkan bukti-bukti otentik, maka tentu argumennya di media akan menjadi bumerang yang dapat mencela dan menghancurkan nama dirinya sendiri.

Momentum Penegakan Hukum


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa republik ini baru saja menetapkan pemimpin-pemimpin institusi hukum yakni Kepolisian, Kejaksaan, maupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setelah berbagai polemik terhadap pemilihan pimpinan institusi hukum tersebut, maka akhirnya telah ditetapkan secara konstitusional Timur Pradopo sebagai Kapolri, Basrief Arief Sebagai Jaksa Agung, dan Busyro Muqoddas sebagai ketua KPK.

Ketiga pimpinan institusi hukum tersebut tentulah dalam mengemban jabatan barunya tidak terlepas dari berbagai problematika yang seakan bertubi-tubi terus menyelimuti penegakan hukum di Indonesia dan pekerjaan rumah pun telah menunggu mereka untuk segera menyelesaikan dan menumpas berbagai kasus-kasus hukum yang sempat tersendat di tengah jalan. Tentu saja bukanlah skenario yang dibuat-buat bahwa ketiga pimpinan institusi yang paling gencar mendapatkan sorotan media tersebut menduduki jabatan barunya dalam waktu yang saling berdekatan.

Timur Pradopo menduduki jabatan sebagai Kapolri pada tanggal 22 oktober 2010 setelah menggantikan Bambang Danuri Hendarso setelah memasuki masa pensiun. Basrief Arief menduduki jabatan sebagai Jaksa Agung pada tanggal 26 november 2010 setelah menggantikan secara kontroversial Jaksa Agung “ilegal” sebelumnya Hendarman Supandji. Lalu, ada Busyro Muqoddas sebagai ketua KPK tanggal 20 desember 2010 setelah menggantikan Antasari Azhar yang terlibat dalam kasus pembunuhan.

Di samping harus menumpas berbagai macam kasus-kasus hukum yang terbengkalai, ketiga pimpinan institusi hukum tersebut haruslah juga mampu mengembalikan kredibilitas institusi tempat mereka memimpin agar kembali dapat membuat bangsa ini memberi pandangan positif dalam menumpas kejahatan negara khususnya terhadap kasus-kasus para perampok uang negara.

Lalu, di tengah sorotan tajam yang terus menghantui MK, Mahfud MD selaku pimpinan lembaga pengawal konstitusi tersebut juga harus memberi dan mengembalikan nama baik MK di tengah-tengah masyarakat. Bukan mustahil apabila skandal suap hakim MK yang kini dalam proses penyidikan tersebut tersendat juga tanpa ada kejelasan yang pasti, maka kredibilitas MK sebagai institusi bersih yang dapat diandalkan masyarakat akan mendapat penilaian yang buruk dan tercoreng seperti institusi-institusi hukum lainnya di negeri ini.

Sesungguhnya rencana langkah MK dengan melakukan pembentukan dewan kehormatan hakim di Majelis Konstitusi yang akan dilakukan menyusul pemeriksaan oleh KPK adalah tindakan yang sangat tepat. Hal ini di maksudkan untuk senantiasa melakukan kontrol terhadap internal di MK dan memberikan sanksi yang tegas terhadap perilaku hakim yang menyimpang.

Dengan bergantinya tahun yang baru seluruh bangsa ini berharap agar dapat dijadikan oleh para aparatur hukum sebagai momentum untuk mewujudkan sinergi penegakan hukum dalam memerangi mafia-mafia hukum. Terlebih lagi dengan terpilihnya ketiga pilar pemimpin baru institusi hukum menjelang akhir tahun dapat menjadi warna baru kebangkitan penegakan hukum di republik ini.

Dalam menuju kebangkitan penegakan hukum tersebut, aparatur hukum tentunya harus mengimplementasikan hukum sesuai dengan kaidah dan norma yang berlaku di masyarakat. Janganlah lantas dengan gencar ingin menegakkan hukum, rasa kemanusiaan dalam jiwa penegak hukum menjadi hilang. Aparatur hukum haruslah memposisikan hukum sebagaimana mestinya dengan merangkul dan memberi pengarahan kepada kaum-kaum lemah yang tidak mengerti akan hukum, bukan sebaliknya menindas kaum tidak berdosa tersebbut dengan pasal berlapis-lapis yang tidak jelas akan dasar perbuatannya. Semoga kedepannya hukum kita dapat kembali tegak dengan menjunjung rasa keadilan dan menegakkan hak asasi manusia tanpa pandang bulu. Semoga...!!!

Kamis, 25 November 2010

Perubahan Lalu-lintas dan Solusi Kemacetan Kota Medan

Sejalan dengan bergantinya kepemimpinan di suatu daerah, mau tidak mau kebijakan yang dibuat oleh pemimpin di daerah tersebut pun harus juga berubah. Salah satu daerah yang sering merubah kebijakan seiring bergantinya kepemimpinan yakni kota Medan. Sebagai kota terbesar ketiga di nusantara, maka kota Medan pun diliputi oleh beragam problematika yang salah satunya yakni kemacetan. Dengan bertambah pesatnya jumlah penduduk dan kendaraan bermotor, kota Medan mau tidak mau harus segera berbenah untuk mengatasi problematika kemacetan yang semakin parah. Berbagai solusi mengatasi kemacetan pun digalakkan pemerintah kota Medan. Kebijakan tersebut yakni perubahan lalu lintas di sejumlah titik pusat kota Medan. Lantas, dengan kebijakan tersebut, dapatkah kemacetan lalu lintas kota Medan segera dituntaskan?

Perubahan lalu lintas di sejumlah titik kota Medan patut kita apresiasi dengan baik, sebab hal ini juga menandakan bahwa pemimpin di kota ini masih peduli dan berniat untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kota Medan. Akan tetapi, hal yang sangat disayangkan bahwa perubahan lalu lintas tersebut sebenarnya bukanlah solusi yang konkret dan terkesan hanyalah coba-coba. Mengapa demikian?. Sebab dengan perubahan lalu lintas tersebut, ada beberapa hal yang membuat masyarakat di kota Medan merasa terusik dan merasa dirugikan. Beberapa diantaranya yakni masyarakat yang terbiasa menggunakan angkutan kota atau angkot harus berpikir ulang dan mencari angkot baru untuk mencapai tujuannya seperti ke tempat kerja atau sekolah.

Pemko Medan telah beberapa kali melakukan uji coba perubahan arus lalin di sejumlah lokasi. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal dan akhirnya dikembalikan seperti semula, seperti di Jalan Raden Saleh/Balaikota. Dulu pernah dijadikan satu arah tapi terjadi kemacetan luar biasa di persimpangan Lapangan Merdeka sehingga akhirnya dikembalikan dua arah lagi. Kalau sekarang kembali dijadikan satu arah karena volume kendaraan dari arah simpang Pengadilan dan Imam Bonjol menuju simpang Balaikota sangat tinggi dengan membuka akses Jalan Pulau Pinang langsung ke Jalan A. Yani VII (depan Lonsum) berarti tidak akan terjadi penumpukan kendaraan di simpang Balaikota. Kalaupun ada sifatnya sporadis. Namun, akibat dipasang ’traffic light’ di Jalan Ahmad Yani/Kesawan pastilah terjadi penumpukan di sana saat lampu merah.

Penyebab Kemacetan

Sebelum mengatasi problematika kemacetan lalu lintas di kota medan yang semakin parah, adakalanya kita mengungkap beberapa aspek penyebab kemacetan lalu lintas di kota Medan. Aspek pertama, yakni badan jalan yang tidak layak untuk ukuran kota sebesar medan. Apabila kita melintas jalan di perkotaan bahwa jarak antara bangunan seperti gedung, rumah, dan toko di pinggir badan jalan sangatlah dekat bahkan tidak ada jarak sedikitpun hal inilah yang dipakai pengunjung yang ingin ke toko atau gedung-gedung di jalan untuk memakirkan kendaraan mereka. Badan jalan yang sudah sedemikian sempit ditambah lagi oleh pengunjung yang memakirkan kendaraannya akan semakin membuat para pengguna jalan tidak dapat leluasa melintas di jalanan.

Aspek kedua, selain badan jalan yang digunakan untur parkir kendaraan, juga trotoar yang banyak digunakan untuk berjualan (pedagang kaki lima) dan kesadaran masyarakat belum sepenuhnya sehingga timbul kemacetan akibat salah fungsi dari trotoar tersebut. Sementara bila di luar negeri trotoar ada tiga baris, ada untuk pejalan kaki, untuk orang cacat dan untuk warga yang bersepeda. Trotoar sangat memiliki fungsi yang sangat penting dalam suasana perkotaan seperi kota sebesar Medan, hal ini agar tidak terganggunya para pejalan kaki yang ingin meninkmati suasana kota. Apabila trotoar disalahgunakan sebagai lahan berjualan bagi orang yang tidak mempunyai kesadaran dan kepedulian akan merusak keindahan kota dan pasti tentunya akan semakin membuat kemacetan semakin parah sebab pasti banyak kendaraan yang berhenti atau parkir apabila ingin membeli sesuatu di tempat trotoar tersebut.
Aspek ketiga, trayek bus dan angkutan kota (angkot) di mana sopir belum punya kesadaran untuk menaikkan dan menurunkan penumpang pada halte/terminal yang telah ditentukan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para sopir ankot di kota Medan terkenal sangat egois dalam berkendaraan untuk mencari penumpang dan juga menaikan serta menurunkan penumpang sampai pada tengah-tengah badan jalan. Hal ini disamping mendatangkan bahaya bagi penumpang yang turun juga sangat menzholimi para pengguna jalan yang tiba-tiba berhenti akan mencelakakan kendaraan yang melintas dan dapat menimbulkan kematian.

Aspek keempat, yakni buruknya sarana dan prasarana di kota Medan seperi jalanan yang berlubang dimana-mana. Jalanan yang berlubang tersebut tentunya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemacetan lalu lintas, sebab para pengguna kendaraan yang melintas dengan adanya lubang didepannya tentu akan menyelip untuk menghindari lubang tersebut dan yang sangat perlu diperhatikan pemerintah kota yakni apabila turun hujan maka jalanan yang berlubang tersebut akan dapat mencelakakan para pengguna jalan. Pembenahan jalanan yang berlubang tidak cukup hanya dengan menambal pada bagian jalanan yang berlubang, sebab hal ini tentunya hanya bersifat sementara yang pada sewaktu-waktu pasti akan kembali berlubang.

Aspek kelima, tentunya kesadaran masyarakat pengguna jalan yang tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Pengguna jalan hanya mau mematuhi tata tertib lalu lintas apabila ada aparat polisi lalu lintas yang berjaga. Belum lagi apabila terjadi pemadaman aliran listrik yang tentu akan berakibat terhadap semberawutnya persimpangan lalu lintas, kemudian apabila ada perlintasan kereta api tetap saja ada kendaraan yang menyelinap masuk melewati batas garis, hal ini tentu sangat mengganggu pengguna jalan yang lain serta akan dapat berakibat fatal. Tertib dalam berkendaraan dan tidak saling mementingkan diri sendiri tentu sangat diharapkan oleh setiap pengguna jalan agar lalu lintas dapat kembali lancar.

Solusi Kemacetan

Dengan adanya beberapa aspek penyebab kemacetan di kota Medan tersebut, kebijakan pemko Medan terhadap perubahan arus lalu lintas yang dirasakan penduduk kota Medan beberapa waktu belakangan ini tidaklah akan banyak memberikan solusi dalam mengatasi kemacetan. Akan tetapi, setidaknya ada beberapa hal solusi yang konkret dalam mengatasi problematika kemacetan kota Medan. Beberapa solusi tersebut antara lain, pembersihan tempat-tempat liar di seputaran trotoar dan di pinggiran badan jalan. Lalu, memberikan sanksi tegas terhadap pengguna kendaraan bermotor yang memarkir kendaarannya di tepi badan jalan.

Pemberian sanksi terhadap kendaraan bermotor yang parkir sembarangan harus secara konsisten dijalankan pemko Medan. Pemberian sanksi tersebut setidaknya akan dirasakan oleh para pemilik gedung-gedung dan pertokoan agar segera membuat sendiri lahan parkir dan tidak menggangu lalu lintas. Kemudian, dengan semakin pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor di kota Medan, maka ada baiknya pemberlakuan dan penerapan jalur 3 in 1 untuk kendaraan roda empat serta 2 in 1 untuk roda dua di jalur-jalur titik kemacetan tertentu sangat efektif dilakukan, sebab hal ini akan mengurangi jumlah kendaraan yang melintas.

Lalu hal yang utama secara tidak langsung tapi berperan sangat besar mengatasi kemacetan dan memperlancar lalu lintas di kota Medan yakni pembenahan jalan. Jalan merupakan central dalam berlalu lintas, maka sudah barang tentu dengan jalan yang buruk, berlobang, serta tidak sesuai dengan standar, lalu lintas pun akan tersendat dan mengalami kemacetan yang parah terutama pada musim hujan karena genangan air dan terjadi kebanjiran akan memperparah penunpukan kendaraan. Pembenahan jalan bukan bukan hanya dengan menambal sulam pada titik lobang tertentu saja, tetapi membenahi dan memperbaiki badan jalan sesuai standar pengaspalan badan jalan di seluruh kawasan lalu lintas yang ada di kota Medan tanpa terkecuali. Semoga kedepannya pemko Medan dapat lebih bijak dalam mengatasi kemacetan dan bukan dengan kebijakan coba-coba.

Kamis, 18 November 2010

Hilangnya Kredibilitas Penegak Hukum

Aparat penegak hukum kita lagi-lagi mendapat sorotan yang maha tajam dari berbagai media cetak dan elektronik nasional serta masyarakat di tanah air. Hal ini tidak lain dengan kembalinya melakukan blunder yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri khususnya pihak kepolisian terkait dengan berkeliarnya terdakwa korupsi mafia pajak Gayus Halomoan P. Tambunan. Sangat sulit dipercaya dengan foto yang memperlihatkan Gayus bertamasya di Bali, padahal ia masih bertatus tahanan oleh Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.

Kuat dugaan dari berbagai pihak bahwa keluarnya Gayus dari sel tahanan karena memberikan segepok uang kepada pihak kepolisian di Rutan Mako Brimob. Sungguh sebuah tindakan yang memprihatinkan dan semakin mencoreng penegakan hukum di republik ini. Apa yang melatarbelakangi aparat penegak hukum di negara kita mau saja di kelabui dengan segepok uang dan memperjual-belikan supremasi penegakan hukum?

Sebelumnya masih ingat dalam ingatan kita bagaimana hukum di negeri ini seakan dikangkangi oleh para kawanan perampok uang rakyak bernama koruptor dengan berbagai intrik dan rekayasa serta melakukan bermacam kriminalisasi. Penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, serta Kepolisian dan juga tidak ketinggalan para advokat ikut dalam permainan penuh sandiwara busuk tersebut. Berbagai kasus besar maupun kecil menjadi lahan yang sangat empuk oleh aparat penegak hukum di negeri ini untuk terus memanen kekayaan dari hasil permainan kotor.

Hilangnya kredibilitas


Kini, dengan keluar masuknya dari tahanan terdakwa kasus mafia pajak Gayus di Bali membuat masyarakat kita merasa pesimis dan kembali membuat hilangnya kredibilitas atau kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hukum begitu tercemar dan mudah diperjual-belikan oleh aksi aparat penegak hukum itu sendiri yang notabene adalah pengawal dan pendekar hukum dalam menjunjung tinggi supremasi hukum. Lantas, melihat situasi penegakan hukum yang bobrok, dimanakah kita mencari lagi aparat penegak hukum yang benar-benar bersih dan patriotik dalam penegakan hukum di bumi pertiwi?

Dalam beberapa waktu belakangan ini kita melihat aparat penegak hukum sangat mudah menjual sumpah jabatan yang mereka emban. Beberapa aparat penegak hukum yang dimaksud diantaranya yakni Jaksa koordinator kasus BLBI, Urip terlibat kasus suap oleh pengusaha Artalita Suryani, Komjen Susno Djuaji terlibat dalam kasus pencairan dana Bailout Bank Century, beberapa petinggi Polri juga terlibat skandal dalam rekening gendut yang mencurigakan dan diduga sebagai pembeking para koruptor, Jaksa Cyrus Sinaga yang menangani perkara Gayus pun terlibat dengan semakin mencurigakan harta yang dimilikinya. Serta angin yang mulai berhenbus kencang di permukaan media nasional yakni dugaan terjadinya mafia peradilan di lembaga yang selama ini dikenal bersih dan transparansi, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Dugaan terjadinya praktek suap antar hakim MK terkait perkara yang ditanganinya sungguh mengejutkan kita, skandal ini pun mulai tercium oleh tulisan intelektual Refky Harun di rubrik opini Harian Kompas. Tulisan pemerhati hukum konstitusi tersebut tentulah beralasan karena ia melihat sendiri terjadinya transaksi dan barang bukti hasil mafia hukum di MK. Sungguh membuat bangsa ini kembali mengalami degradasi moralitas penegak hukum. Bahkan, di lembaga pemasyarakatan yang merupakan tempat pesakitan narapidana, ada juga kita menemukan berbagai permainan busuk yang tidak lain adalah sandiwara dalam mafia hukum. Kita berkeyakinan bahwa di dalam sel tahanan tersebut masih banyak terdapat permainan kotor seperti transaksi narkoba, ruang tahan mewah seperti yang dimiliki oleh narapidana suap Artalita Suryani, hingga keluar-masuknya para tahanan untuk keperluan yang tidak dapat menjadi alasan pembenar.

Pembenahan Mental


Berbicara penegakan supremasi hukum tentu juga erat kaitannya dengan aparat penegak hukum itu sendiri. Dengan aparatur penegak hukum tersebut-lah hukum dapat di kendarai sesuai koridor atau sebaliknya. Hukum secara normatif telah sesuai dengan asas kemanfaatan dan berkeadilan. Akan tetapi, aparat penegak hukum yang merupakan aktor dalam menjalankan hukum normatif tersebut seakan tidak dapat menjalankan tujuan luhurnya yakni menegakkan kebenaran yang bernuansa keadilan di masyarakat.

Kita menyadari bahwa dalam pembentukkan aparat penegak hukum tersebut
tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Ada beberapa proses yang secara sistematis harus dimiliki dalam pembentukkan menjadi aparat penegak hukum yang kredibel, kompeten, dan bermoralitas. Langkah pertama dalam pembentukkan figur penegak hukum tersebut haruslah dimulai dengan proses rekrutmen yang bersih, transparansi, dan bebas dari unsur KKN. Bukanlah cerita yang menggemparkan apabila selama ini dalam proses rekrutmen aparat penegak hukum seperti Hakim, Polisi, Jaksa, serta lembaga lainnya sangat kental dengan nuansa kecurangan. Bahkan, praktek sogok-menyogok seakan sudah menjadi budaya yang sulit dihapuskan dalam proses rekrutmen tersebut. Hal inilah yang menjadi fondasi utama bagaimana aparat penegak hukum yang ingin menjalankan karir dalam penegakan hukum itu sudah bermental korup. Maka, sudah pasti dalam menjalankan tugasnya, ia hanya bermental materi dan selalu berupaya bagaimana mengembalikan uangnya yang telah terkuras saat praktek sogok-menyogok dalam proses rekrutmen dengan berbagai macam cara kotor demi segepok uang/materi.

Lalu, apabila proses rekrutmen telah bersih dari unsur kecurangan dan budaya korup, para calon penegak hukum haruslah dibekali oleh pendidikan. Dalam proses pendidikan inilah sesungguhnya penegak hukum tersebut dapat membentuk karakter yang tangguh dan berjiwa pendekar hukum yang tidak gampang di suap serta bermental tegas dan berani. Dalam pendidikan yang membentuk karakter penegak hukum seharusnya telah dimulai sejak menginjak di bangku perguruan tinggi. Sebab, apabila pelajar hukum di perguruan tinggi yang ingin menerjunkan jalan hidupnya untuk menjadi aparatur penegak hukum, maka instansi-instansi penegak hukum tersebut tidaklah bersusah payah dalam membentuk kembali karakter sebagai pendekar hukum.

Pendidikan hukum di berbagai perguruan tinggi di tanah air sesungguhnya tidaklah sesuai dengan realita dalam perkembangan masyarakat kita. Sebagai pendidikan yang lebih menekankan terhadap keahlian dan pembentukan karakter, maka sudah sepantasnya pendidikan hukum di perguruan tinggi lebih berbasis moralitas tanpa mengurangi kurikulum untuk membentuk keahlian hukumnya. Pendidikan berbasis moralitas dimaksudkan selain dapat membentuk karakter menjadi pendekar hukum yang tegas, juga dapat bermental luhur dan tidak mudah tergoyah oleh materi.

Pendidikan hukum selama ini pun cendrung mengutamakan pendidikan yang menekankan pada penguasaan dan kompetensi professional. Tujuan tersebut sesungguhnya bukanlah hal yang buruk, sebab sesuai permintaan konsumen agar dapat bersaing di pasar pekerjaan hukum. Akan tetapi, jika selama ini pendidikan hukum lebih memusatkan perhatian terhadap pendidikan untuk mengejar kompetensi professional, maka hal tersebut tentu dapat mengabaikan dimensi pendidikan hukum untuk menghasilkan manusia berbudi pekerti luhur seperti perilaku baik, seperti kejujuran, keterbukaan, kemampuan untuk turut merasakan dan mengasihi.

Aparat penegak hukum bekerja bukanlah dengan materi melainkan dengan keluhurannya dalam menjalankan profesi sebagai penegak supremasi hukum. Apabila aparat penegak hukum dalam melakukan aksi suap dan korupsi berdalih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sungguh hal tersebut tidaklah dapat menjadi alasan. Sebab, menjadi penegak hukum bukanlah membuat seseorang menjadi kaya raya, melainkan bertekad untuk berupaya membuat kebenaran, keadilan, keamanan, ketertiban, dan pengayom masyarakat. Apabila penegak hukum hanya berkeinginan untuk menjadi kaya dan bergelumur materi, bukankah lebih pantasnya ia melepaskan embel penegak hukum dan terjun ke dunia bisnis dengan menjadi pengusaha yang tujuannya yakni mencari keuntungan dengan materi?

Rabu, 10 November 2010

Pelajaran Hidup dari Para Penulis

Menulis adalah peradaban manusia yang tidak akan sirna hingga akhir zaman. Banyak manusia yang ingin menjadi penulis meskipun itu bukanlah cita-cita hidupnya. Berbagai motivator agar dapat menghasilkan para calon penulis baru pun banyak bermunculan dari masa ke masa. Dari berbagai pelatihan singkat, kursus, hingga lewat buku motivator-motivator para penulis dituangkan untuk dapat merangsang para calon penulis agar senantiasa mengimplementasikan ilmu yang mereka terima dari sang motivator para penulis tersebut.

Meskipun banyak dari kita tidak dapat menulis dikarenakan tidak adanya keinginan untuk melakukan pekerjaan menulis. Hal ini bisa dimaklumi melihat tingkat kebutuhan akan membaca di masyarakat sangat rendah dan yang paling banyak menghambat seorang untuk menjadi penulis adalah adanya pemahaman yang keliru berkembang di masyarakat dan sangat sulit dihapuskan bahwa pekerjaan menulis sangat erat kaitannya dengan bakat atau talenda yang dimiliki seseorang.

Sesungguhnya pekerjaan menulis dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang latar pekerjaan, pendidikan, gender, maupun status sosial seseorang. Sebab, menjadi seorang penulis adalah mutlak berasal dari kemauan dan kerja kerasnya agar dapat menghasilkan bacaan kepada khalayak ramai. Setidaknya, walaupun sebagian masyarakat di sekitar kita belum tersalurkan kemauan menuliskan, ada beberapa hikmah pelajaran yang sangat berharga untuk dipetik dalam perjalanan hidup kita yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja dari para penulis yang telah menerjunkan gagasannya ke dalam dunia pena.

Menulis adalah pekerjaan yang selalu memerlukan tingkat berpikir dan kemudian menuangkan hasil pemikiran kita ke dalam secarbik kertas atau mengetik di hadapan monitor komputer. Lalu, apakah dengan berpikir para penulis tersebut dapat merasakan hasilnya?. Tentu saja tidak, selain dengan terus-menerus berpikir dalam menuangkan gagasannya, para penulis juga haruslah bekerja keras apabila tulisan yang berbuah dari pemikirannya tersebut ingin dapat dipublikasikan dan dibaca oleh khalayak ramai melalui media massa ataupun buku-buku terbitan.

Banyaknya orang yang ingin dapat menulis, akan tetapi ia hanya selalu berkhayal dan sesunggunya malas dalam berpikir serta bekerja keras untuk terus berkarya dalam menulis agar dapat dipublikasikan di media massa. Dengan demikian pelajaran hidup yang dapat kita petik dari pekerjaan para penulis yakni bahwa dalam menjalani aktivitas kehidupan, manusia senantiasa harus dihadapi oleh berlika-liku batu sandungan dalam kehidupan. Oleh karenanya, kita harus dapat selalu berpikir dengan proses pembelajaran dalam mencari solusi atau mencari alternatif, serta inovasi agar dapat memudahkan kita dalam menjalani rutinitas kehidupan.

Disamping dalam menjalani kehidupan ini harus selalu menggunakan dan memaksimalkan pola pikir kita, para penulis juga mengajarkan akan makna dari kerja keras. Sebab, apabila segala pola pikir kita tidak disertai dengan kerja keras untuk terus berusaha mencapai tujuan, niscaya angan-angan kita dalam mengarungi tujuan hidup akan tersendat di tengah jalan. Para penulis selalu bekerja keras dengan mencapai angan-angannya tersebut, maka hal yang sesungguhnya mustahil pun akan dapat kita capai dengan hanya bekerja keras.

Banyak para penulis kondang yang telah menghasilkan beberapa buah maha karya dan dikenang dari masa ke masa memiliki perjalanan yang tentunya tidak mudah dan lebih berliku-liku. Penulis buku laris luar negeri Harry Potter, JK Rowling dan penulis dalam negeri melalui buku Tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata adalah segelincir contoh para penulis yang pantang menyerah untuk terus bekerja keras dalam mencapai tujuan hidup. Bahkan, kedua penulis sekaliber dunia ini mendapati perlakuan yang tidak menyenangkan dari berpuluh-puluh perusahaan penerbit yang dengan lantang menolak tulisannya untuk dapat dipublikasikan dalam bentuk buku.

Dengan perjuangan kerja keras yang tiada henti, maka para penulis tersebut pun diberi kesempatan dengan dipublikasikannya tulisan mereka. Hasilnya, tentu saja sangat mengejutkan seantreo dunia karena disamping telah meroketkan namanya ke dalam popularitas tertinggi, juga melalui goresan penanya, perusahaan penerbit seakan mendapatkan durian runtuh dengan memperoleh label best seller atas bukunya tersebut. Setidaknya apa yang para penulis perjuangkan dalam kisahnya tersebut mengingatkan kepada kita akan arti kerja keras yang pantang menyerah. Kerja keras untuk mencapai kehidupan yang layak, sejahtera, serta mencapai tujuan hidup adalah langkah yang sangat nyata. Bahkan, oleh kerja keras 99 persen dapat mengalahkan hanya 1 persen intelektual seorang Thomas Alfa Edison untuk menemukan bola lampu modern.

Selain berpikir dan bekerja keras secara konstan dalam menjalani kehidupan, para penulis seakan menghipnotis kita akan aktivitas dalam menulisnya. Selain itu, ada lagi pelajaran hidup yang kita petik dari para penulis yakni bersikap rendah hati. Sudah menjadi rahasia umum apabila pekerjaan menulis adalah pekerjaan yang sangat mulia. Disamping dapat menyebarkan informasi yang sangat berharga dari masa ke masa, menulis juga dapat membangkitkan motivasi serta semangat seseorang dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup dengan membaca tulisannya tesebut.

Maka sudah barang tentu dengan menjadi penulis, seseorang dapat menaikkan status sosialnya di masyarakat. Dengan demikian, kita pun lantas berpikir bahwa para penulis akan bersikap arogan, sombong, serta menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya di masyarakat, benarkah argumen tersebut? Tentu saja tidak, sebab para penulis tentulah harus memiliki sikap tawadhu atau rendah hati. Sikap ini harus dimiliki seorang penulis apabila ia ingin mempublikasikan gagasannya di khalayak ramai. Bukanlah hal yang mustahil apabila para penulis senior maupun penulis junior kedudukannya sama. Yang membedakan keduanya yakni hasil karya tulisannya yang layak terbit. Seandainya seseorang penulis menganggap dirinya mumpuni dalam hal menulis, akan tetapi hasil karya tulisannya tidak mampu menembus media cetak atau penerbit, maka ia pun akan kembali menyadarkan dirinya akan sikap rendah hati karena masih banyak orang-orang yang lebih cerdas dan lebih kaya gagasan dibanding dirinya untuk dapat mempublikasikan tulisannya.

Sikap rendah hati yang para penulis rasanya tersebut, tentunya juga mempunyai petikan hikmah dalam kehidupan kita. Banyak disekitar kita yang merasa dirinya lebih tinggi kedudukannya dikarenakan mungkin dibekali oleh kepintaran, kekayaan, kecantikan, ataupun ketenaran. Akan tetapi, apabila seseorang tidak memiliki sikap rendah hati, cepat atau lambat apa yang telah dimilikinya dan dibanggakannya tersebut akan segera sirna seiring dengan sikap keangkuhan atau arogannya. Para penulis memberikan kita hikmah bagaimana sikap rendah hati dapat membawanya ke puncak kesuksesan.

Lalu, pelajaran hidup yang sangat penting dan berharga untuk kita petik dari aktivitas para penulis yakni bersikap sportif. Dalam melakukan kegiatan menulis, sudah barang tentu kita juga terikat oleh moralitas dan etik dalam menuangkan gagasan kita. Beberapa hal yang senantiasa harus ditegakkan dalam menulis yakni menghindari sikap plagiator (penciplakan karya orang lain). Tentu tindakan sportifitas dalam menulis adalah hal yang patut dijunjung tinggi oleh para penulis. Menciplak karya tulis orang lain, mengirim tulisan kembar di media cetak berbeda, serta beberapa tindakan lainnya yang hanya menjatuhkan dan mencorengkan citranya sebagai penulis.

Menulis bukan hanya sekedar menuangkan gagasan ke khalayak ramai, mencari popularitas lalu menerima honor, akan tetapi juga dengan menulis kita dilatih untuk senantiasa bersikap sportif dan berbuat dengan kejujuran. Inilah bentuk pelajaran hidup yang paling utama dari para penulis. Dengan melakukan tindakan sportifitas yang diiringi dengan nilai kejujuran, maka kita pun dalam mengarungi kehidupan ini tidak akan terbuai dengan perbuatan tercela dan kotor karena sikap sportifitas dalam kehidupan akan mengawal kita menjadi pribadi yang bersih dan menghargai karya orang lain.

Sabtu, 16 Oktober 2010

1 Tahun KIB Jilid II : Rakyat Menggugat Janji

Tanggal 20 oktober 2010 adalah momen yang sangat krusial bagi pemerintahan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II di bawah komando SBY-Boediono. Sebab, layaknya manusia yang begitu antusias acapkali menyambut hari kelahirannya, maka pada tanggal tersebut pula menjadi hari yang tidak akan terlupakan khususnya rakyat Indonesia untuk kembali mereview dan mengevaluasi pemerintahan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya kurun waktu satu tahun belakang ini.

Tepat satu tahun sudah pemerintahan SBY memegang tambuk kepemimpinan negara ini. Akan tetapi, rakyat yang ingin mencapai kesejahteraan dan kemakmuran hidup dengan berharap kepada para pemimpinnya, kini harus kembali melupakan impiannya tersebut. Sebagian besar rakyat telah merasa pesimistis terhadap pemerintahan sekarang. Sangat wajar apabila rakyat yang telah menggantungkan harapan hidupnya terhadap para pemimpinnya tersebut hanya kembali mengerutkan dahi dalam menjalani kerasnya kehidupan ini. Pemerintah yang merupakan pilihan rakyat secara langsung dan juga memperoleh legitimasi tertinggi tidak mampu dalam melepaskan penderitaan dan kesengsaraan rakyat yang hingga kini masih terus menghantui.

Sebenarnya tidaklah tepat apabila kita mengreview dan mengevaluasi kinerja pemerintahan SBY hanya dalam kurun waktu setahun belakangan ini saja. Karena di bawah komando Presiden SBY, republik ini telah dipimpinnya genap berusia enam tahun, suatu usia yang relatif lama untuk seorang Presiden pasca tergulingnya pemimpin otoriter Soeharto selama lebih kurang 32 tahun. Usia enam tahun ibarat seorang anak yang baru lahir dan dengan usianya kini, tidak hanya dapat merangkak, melainkan juga dapat berlari sekencang-kencangnya serta dapat berbicara secara bijak.

Dalam situasi tersebut tentunya berbanding terbalik dengan kepemimpinan di negeri ini. Mengapa tidak, dalam kurun waktu enam tahun, apakah yang rakyat dapatkan dan nikmati?. Berbagai persoalan bangsa kini masih terus menyelimuti rakyat yang tidak tau kemana arah kebijakan negara ini bakal dibawa. Mulai dari masih banyaknya angka putus sekolah, jamkesmas untuk rakyat miskin yang tidak tepat sasaran, BLT yang telah di tiadakan, harga BBM yang semakin melonjak tinggi, TDL yang telah memuncak, pengangguran yang semakin parah, serta tidak ketinggalan harga kebutuhan pokok yang terus membengkak. Melihat kenyataan ini, apakah kita pantas menilai bahwa pelaksanaan pemerintah untuk mensejahterakan rakyatnya dapat terlaksanakan dengan baik?

Belum lagi mengenai masalah kehidupan hukum, politik dan keamanan yang semakin pudar dan mengkhawatirkan seiring berjalannya waktu. Pengungkapan kasus kematian aktivis HAM Munir, penanganan lumpur panas lapindo, skandal dana bailout Bank Century, serta tidak ketinggalan kedaulatan negara yang kian di injak oleh negara lain, juga situasi keamanan di masyarakat yang mulai terusik oleh aksi teroris dan perampok menjadi sebagain dari beberapa cerita pahit di dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara republik Indonesia sekarang ini. Bahkan, apabila pemerintah bersikeras dengan mengatakan bahwa pencapaiannya untuk memberikan yang terbaik terhadap rakyat selama enam tahun adalah suatu omong kosong belaka. Sebab, bak anak balita yang telah mencapai usia matang, republik ini masih terus merangkak dan berdiam di tempat yang tidak seharusnya berdiam. Itulah cara pemerintah kita kini yang tidak mencapai kemajuan dan perkembangan untuk rakyatnya jelata.

Menggugat Janji Pemerintah


Apabila kita melihat visi dan misi pemerintahan KIB yang pada saat menggelar kampanye dahulu, sungguh membuat kita berdeguk kagum. Mengapa tidak, biang kesengsaraan dan kemelaranan rakyat bernama koruptor akan segera di tumpas hingga ke akar-akarnya dan tidak pandang. Bahkan, program 100 hari pertama KIB Jilid II untuk menangkap tikus-tikus besar segera dicanangkan untuk membuat rakyat percaya terhadap pemerintahannya. Akan tetapi, jangankan untuk menangkap tikus besar, tikus kecil saja pemerintah seperti kebakaran jenggot menghadapinya. Berbagai upaya untuk memuluskan para tikus tersebut dalam menggrogoti uang rakyat terus dilakukan, salah satunya dengan melakukan kriminalisasi terhadap pimpinan lembaga super power (KPK) dalam memberantas korupsi.

Pemerintah tidak hanya membuat rakyat kecewa terhadap program 100 hari pertama, melainkan juga dalam satu tahun atau mungkin dalam enam tahun lamanya membuat rakyat kembali melupakan kesejahteraan hidupnya. Pemberantasan korupsi yang merupakan program unggulan pemerintah kini hanya menjadi wacana belaka. Sebab, dalam prakteknya makelar kasus, mafia peradilan, suap menyuap, pemerasan, jual beli perkara, mengancam saksi, mengancam pihak-pihak lain, pungutan-pungutan liar dan sebagainya adalah bukti bahwa pemerintah masih lengah dalam menghadapi para penyakit negara tersebut.

Ironisnya, bukannya membasmi para koruptor, pemerintah justru membuat terobosan yang seakan membuat koruptor kembali menikmati angin surganya yakni memberikan grasi dan remisi secara gamlang terhadap para koruptor. Bagaimana mungkin koruptor dapat diberantas di republik ini jika sanksi yang bakal dihadapinya tidak dapat membuatnya jera?.

Rakyat kini menggugat janji-janji pemerintah SBY yang dahulu pernah dilayangkan pada saat kampanye untuk menarik simpati rakyat yang sekarang telah duduk di puncak kekuasaan negara. Rakyat dalam menggugat janji SBY tidaklah berlebihan dengan menuntut banyak. Rakyat kini hanya berharap kepada pemerintahan SBY agar membawa negara ke arah yang lebih baik dan harus menyentuh kepentingan rakyat melalui program dan kebijakan yang pro rakyat.

Evaluasi Pemerintah


Tanpa disadari sudah satu tahun pemerintahan KIB Jlid II berjalan. Akan tetapi, berbagai progran yang dicanangkan dengan nuansa pro rakyat belum teralisasi secara maksimal. Berbagai spekulasi untuk menggulingkan pemerintahan SBY terus bersahutan karena sebagian elemen masyarakat merasa kecewa dengan kinerja pemerintah selama ini. Lantas, melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan terhadap pembangunan bangsa dan negara, langkah apakah yang harus dilakukan menanggapi keadaan yang belum berpihak terhadap rakyat?

Dalam menjalankan tugas pemerintah dan negara, Presiden SBY tentunya harus diperbantukan oleh wakil Presiden, beserta para anggota kabinet dan staf khusus kepresidenan. Sukses atau tidaknya pemerintahan bergantung terhadap kinerja para pembantu Presiden tersebut. Para menteri yang membidangi setiap instansi pemerintah tentunya harus menjadi orang yang bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan. Maka, sudah barang tentu dengan satu tahun pemerintahan KIB Jilid II, Presiden harus segera mengevaluasi pemerintahannya sesegera mungkin. Salah satu langkah terbaik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan kini yakni dengan melakukan perombakan kabinet (reshuffle) terhadap para menteri KIB Jilid II.

Evaluasi terhadap para menteri tersebut sangat wajar mengingat belum banyaknya pencapaian instansi pemerintah yang dipimpin para pembantu Presiden tersbut. Bahkan, rapor merah yang diberikan oleh beberapa lembaga survei dan independen adalah salah satu bukti masih tidak maksimalnya kinerja para menteri KIB Jilid II dalam membantu Presiden. Sebuah hal yang wajar apabila para menteri mendapat rapor merah karena tidak adanya kapabilitas dan integritas yang dimiliki para menteri untuk memimpin sebuah instansi pemerintah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pengangkatan para menteri kental dengan nuansa politis dan kepentingan. Maka, kriteria yang seharusnya dimiliki para pemimpin instansi pemerintah untuk memberikan peranan secara optimal terhadap jalannya pemerintah seakan terabaikan.

Kini, satu tahun KIB Jilid II berjalan atau enam tahun sudah Presiden SBY memimpin negeri ini. Rakyat harus kembali berharap terhadap para penguasa untuk segera memberikan arah dan kebijakan yang terbaik terhadap republik ini khususnya rakyat yang ingin segera mengakhiri segala penderitaan, kemelaratan, kemiskinan, kebodohan, pengangguran, ketimpangan sosial, serta ketidakadilan.

Minggu, 10 Oktober 2010

Urgensi Reformasi Sepakbola Nasional

Kalah lagi.. kalah lagi... Itulah segelumit bentuk kekecewaan masyarakat kita terhadap kondisi sepakbola nasional Indonesia. Mengapa tidak, untuk yang entah berapa kalinya sepakbola nasional kita hanya menjadi bualan permainan oleh tim-tim sepakbola nasional negara lain. Terakhir kali adalah semifinalis piala dunia 2010, Uruguay yang seakan kembali menampar sepakbola nasional kita yang telah dalam kondisi antiklimaks tersebut. Uruguay bertandang ke Stadion Gelora Bung Karno tidak hanya berbekal ranking peringkat 7 dunia, melainkan juga Uruguay dengan sejarah panjang sukses sepakbolanya menjadi bagian yang teramat penting bagi sepakbola nasional kita untuk kembali belajar bagaimana bermain sepakbola modern nan indah tersebut.

Sepakbola nasional Indonesia bak anak TK yang tak kunjung naik kelas meskipun tahun silih berganti, para pemain silih dibongkar pasang, dan tidak ketinggalan pelatih yang bertugas mengatur strategi pun telah beberapa kali bergantian untuk menaikkan kelas sepakbola nasional. Alhasil, apakah yang di dapat? Jangankan prestasi tingkat dunia yang dapat membanggakan negeri ini, dalam kawasan Asia Tenggara saja kita masih menjadi bual-bualan tim yang dahulu banyak belajar bermain sepakbola dari kita.

Sudah bertahun-tahun sepak bola nasional Indonesia mengalami paceklik prestasi. Untuk negara besar dengan penduduk 240 juta, Indonesia selama ini hanya menggunakan ukuran kawasan Asia Tenggara sebagai titik ukur prestasi. Celakanya, di kawasan ini saja sepakbola nasional Indonesia tidak bisa berprestasi. Terakhir kali Tim Merah Putih meraih medali emas di SEA Games adalah pada 1991. Di Piala AFF, yang digelar sejak 1996, Indonesia sama sekali tak pernah merasakan menjadi juara. Di tahun-tahun belakangan, prestasi sepakbola nasional Indonesia justru semakin tenggelam. Hasil kompetisi memalukan yang terakhir didapat saat SEA Games 2009 karena Indonesia tak pernah menang di babak grup dan mendapat kekalahan pertama dari Laos. Di Piala Asia, Indonesia untuk pertama kalinya dalam 14 tahun terakhir juga gagal menuju putaran final di Qatar tahun depan.

Kemunduran prestasi tim sepakbola nasional Indonesia dalam tahun-tahun belakangan berakibat pada semakin rendahnya ranking sepakbola nasional Indonesia di FIFA. Semenjak 2003, peringkat Indonesia terus menerus terus mengalami penurunan mulai dari peringkat 91 di tahun 2003 dan 2004, peringkat 109 di tahun 2005, peringkat 153 di tahun 2006, peringkat 133 di tahun 2007, peringkat 139 di tahun 2008, dan peringkat 120 di tahun 2009. Peringkat Indonesia tahun ini semakin rendah. Saat ini Tim Merah Putih menempati peringkat ke-138.

Miskinnya prestasi tim nasional sepakbola Indonesia harus dibaca sebagai kegagalan pengelola sepakbola di Indonesia dalam melakukan pembinaan sepakbola di Indonesia. Mukadimah Statuta PSSI menyebutkan bahwa ideologi perjuangan atau misi inti PSSI adalah: ”Bahwa keberhasilan pembinaan sepak bola diukur dari prestasi yang dicapai, sebab tingginya prestasi sepakbola menimbulkan kebanggaan nasional”. Dengan demikian keberhasilan pembinaan perlu dilakukan secara terorganisir untuk meningkatkan prestasi sepakbola nasional.

Apa yang salah dengan sepakbola nasional kita, mengapa negara lain yang dapat dikatakan tidak lebih besar dari negara kita, akan tetapi sepakbolanya dapat berkembang begitu cepat dan pesat? Bahkan, dengan jumlah penduduk terbesar ke empat dunia, apakah kita kesulitan untuk menemukan bakat-bakat anak negeri dalam bermain sepakbola modern?. Setidaknya, problematika sepakbola nasional tidak hanya satu saja. Begitu kompleksitasnya permasalahan sepakbola nasional yang akan dapat menjadi bom waktu dan dapat meledak setiap saat.

Kalimat dalam Mukadimah Statuta PSSI secara jelas menggambarkan bahwa muara dari seluruh kegiatan pembinaan sepakbola di Indonesia adalah prestasi, dan prestasi yang semakin menurun menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan sepakbola di Indonesia. Oleh karena itu sepakbola Indonesia harus dibenahi dan di reformasi untuk kemajuan di masa depan.

Reformasi Sepakbola Nasional

Kompleksitas permasalahan sepakbola nasional bukanlah hal yang baru. Dari pembinaan bakat-bakat belia yang tidak terorganisir, pengurus PSSI yang bobrok dan tidak sadar akan lemahnya menangani organisasi sepakbola nasional, kompetisi liga domestik yang tidak kompetitif, hingga para pendukung klub di liga domestik yang selalu menggunakan egonya untuk selalu bertikai, bentrok, serta tawuran dengan sesama suporter klub.

Tim sepakbola nasional bukanlah dimiliki oleh PSSI saja, melainkan sepakbola nasioanal adalah kepunyaan kita, bangsa dan warga negara Indonesia. Oleh karenanya, kita sebagai bangsa haruslah mendukung perkembangan dan kemajuan sepak bola nasional dalam berprestasi di kancah Internasional baik secara langsung maupun tidak langsung. Acapkali bentrok dan bertikai antar sesama suporter klub di liga domestik adalah salah satu bentuk betapa kita berperan sangat besar dalam menghancurkan sepakbola nasional.

Untuk memulai reformasi sepakbola nasional, haruslah terlebih dahulu di awali oleh kepemimpinan yang mengelola sepakbola nasional itu sendiri yakni ketua umum beserta jajaran pengurus PSSI. Hingga kini kepemimpinan dan pengurus PSSI di jabat oleh manusia yang seakan tidak tau akan lemahnya ia dalam mengelola PSSI. Entah berapa banyak kritikan yang menghujati kepada Nurdin Halid selaku ketua umum PSSI agar segera melepaskan jabatannya untuk memimpin PSSI. Akan tetapi, meskipun hujan kritik dan mendekam di jeruji besi terkait skandal korupsi, NH tidak mau melepaskan embel pemimpin PSSI.

Dalam mengelola sepakbola nasional, para jajaran PSSI haruslah di duduki oleh orang-orang yang tidak hanya mengerti seluk-beluk sepakbola modern, melainkan juga harus dibekali karakter yang bersih, integritas, dan bersinergi dalam mengelola sepakbola nasional. Lalu, disamping mempunyai manajemen dalam mengelola sepakbola nasional, juga penggunaan anggaran dana PSSI haruslah transparan untuk mengetahui sejauh mana penggunaan anggaran tepat sasaran yang setiap tahunnya mencapai puluhan miliar rupiah tersebut.

Setelah reformasi dalam internal PSSI dengan kepemimpinan yang dapat dipertanggungjawabkan, kini saatnya membina talenta muda dengan membuka ruang yang seluas-luas dalam mengembangkan bibit para pemain sepakbola nasional secara terorganisir. Dalam menumbuh-kembangkan bibit unggul pesepakbola nasional kelak, PSSI harus turun secara langsung dengan menyuntikkan dana secara khusus untuk sarana dan prasarana terhadap pemain muda sepakbola nasional Indonesia tersebut. Terlebih lagi, para pemain muda haruslah mendapat kesempatan bermain di klub liga domestik. Hal ini dimaksudkan untuk melatih kemampuan mental bertanding dan mengembangkan bakat sepakbolanya.

Kemudian hal yang terpenting untuk memajukan sepakbola nasional setiap negara adalah reformasi dalam kompetisi liga domestik. Telah menjadi rahasia umum, bahwa kondisi sepakbola nasional Indonesia semakin hari semakin meredup karena kondisi kompetisi liga domestik yang tidak terorganisir dan tidak kompetitif dengan baik layaknya liga domestik di negara modern. Kemunculan dualisme liga domestik adalah salah satu bentuk betapa PSSI belum profesional dalam menangani liga domestik di tanah air.

Semberawutnya liga domestik tentu saja dipengaruhi beberapa faktor yakni tingginya penggunaan pemain asing oleh klub lokal, pendukung klub yang selalu bersikap anarkis, serta anggaran dana klub peserta liga domestik yang masih berpegang teguh terhadap APBD. Belum lagi para wasit yang memimpin pertandingan di liga domestik yang masih di nilai kurang fair serta Komisi Disiplin yang kurang tegas memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pargelaran kompetisi di liga domestik.

Kini, saatnya kita bahu-membahu membenahi sepakbola nasional yang dalam kondisi memprihatinkan tersebut. Reformasi sepakbola nasional haruslah di mulai dari diri kita sendiri dengan bersikap sebagai suporter yang fair dan tidak anarkis agar prestasi menghampiri sepakbola nasional Indonesia.

Minggu, 03 Oktober 2010

Teroris dan Koruptor

Maraknya aksi perampokan yang juga dikutsertakan oleh tindakan brutal para terorisme tentu saja sangat mengganggu ketertiban dan keamanan di masyarakat kita. Hal ini bisa disadari mengingat aksi yang di pertontonkan para terorisme tersebut dapat sewaktu-waktu mengancam jiwa penduduk di negeri ini. Masih segar dalam ingatan kita akan begitu beringasnya para perampok bank CIMB Niaga di Medan yang menewaskan satu anggota Brimob Poltabes Medan serta melukai dua orang satpam yang berjaga di tempat kejadian perkara.

Peristiwa mengenaskan terhadap anggota kepolisian tidak berhenti di situ saja, beberapa minggu berselang anggota Densus 88 yang dikirimkan dari Mabes menangkap serta menembak mati 3 orang yang diduga terlibat dalam aksi perampokan di Medan beberapa waktu lalu tersebut. Akan tetapi, penangkapan dan penyergapan yang dilakukan Densus 88 tersebut mendapatkan perlawanan yang maha dahsyat. Setidaknya 3 orang anggota kepolisian setempat saat bertugas piket di Polsek Hamparan Perak harus mengakhiri hidupnya lebih cepat karena ditembak secara sadis oleh kawanan perampok yang disebut juga terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia.

Semakin tumbuh suburnya jaringan yang dibangun teroris di berbagai daerah di tanah air membuat pihak kepolisian seakan kebakaran jengot serta kewalahan dalam menghadapi para kelompok separatis tersebut. Bahkan, banyak pihak yang menyarankan kepada pihak kepolisian agar meminta bantuan kepada TNI dalam upaya memberantas aksi terorisme. Dengan dilibatkannya TNI dalam mengatasi aksi kekerasan dan teroris merupakan pilihan yang jitu mengingat TNI merupakan institusi yang siap untuk menjaga keamanan serta yang terpenting dalam mengawal kedaulatan dari ancaman musuh yang ingin menduduki republik ini.

Koruptor = Teroris

Berbicara mengenai terorisme yang telah memiliki jaringan kuat dan sangat sulit diberantas, kita pun sepintas teringat akan problema bangsa yang sepertinya sulit juga untuk diberantas yakni perilaku “korupsi”. Korupsi bukanlah hal yang baru di negeri ini. Dengan maraknya aksi kekerasan dan tindakan terorisme, kasus korupsi yang merupakan permasalahan bangsa lebih besar seakan terlupakan. Aksi korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab tersebut mengakibatkan bangsa kita kesulitan untuk bersaing dengan negara lain terutama dalam hal pendidikan karena banyaknya angka putus sekolah di Indonesia.

Entah berapa banyak para pejabat di negeri ini yang telah mendekam di jeruji besi karena terlibat dalam perilaku korupsi. Akan tetapi, seakan tindakan korupsi telah menjadi tren modern di era globalisasi yang tidak tentu arah ini. Oleh karenanya, sudah selayaknya para koruptor disandingkan atau disamakan dengan teroris yang keduanya tersebut selalu menimbulkan pemberitaan yang tiada henti baik di media cetak maupun media elektronik nasional.

Mengapa kita perlu menyandingkan para teroris dengan koruptor?. Karena antara keduanya merupakan masalah utama bangsa dan negara yang sampai kapanpun tiada henti menjadi promblematika akibat penegakan hukum yang lemah. Selama ini kita selalu menilai bahwa teroris adalah musuh amat yang sangat menakutkan dan harus dienyahkan hingga ke akarnya. Bahkan, dengan begitu membahayakannya para teroris, aparat keamanan pun langsung menembak mati kawanan yang masih diduga sebagai tersangka teroris dan belum melalui proses hukum yang semestinya. Akan tetapi, untuk urusan koruptor, kita selalu mempunyai alibi yang bermacam-macam dan menganggap perilaku koruptor adalah perilaku yang manusiawi dan telah menjadi tren modern untuk dilakukan secara jamak diberbagai instansi di tanah air.

Padahal apabila kita kaji lebih jauh, para koruptor yang telah “merampok” uang rakyat sesungguhnya merupakan musuh yang sangat beringas dibandingkan dengan aksi teroris. Sebab, dengan merampok uang rakyat tersebut pembangunan sumber daya manusia di republik ini akan tersendat hingga beberapa waktu yang sangat jauh. Pembangunan sumber daya manusia tersebut salah satunya adalah pendidikan. Bagaimana mungkin suatu negara akan dapat maju dan berkembang dengan sangat baik, manakala pendidikan untuk anak negeri tidak dapat di implementasikan dengan baik, yang salah satu indikator penghambatnya adalah perilaku korupsi yang dilakukan oleh para pemangku jabatan di negara kita.

Selanjutnya para koruptor yang telah mengakibatkan puluhan juta anak Indonesia tidak mempunyai pendidikan yang layak, juga diperparah dengan menumbuh-suburkan angka kemiskinan yang semakin memprihatinkan tersebut. Belum lagi beberapa dampak negatif sosial di masyarakat kita yang serba tidak menentu. Hal ini diakibatkan oleh sulitnya penegakan hukum terhadap para pelaku koruspi di republik ini.

Sementara itu, untuk urusan aksi terorisme yang juga dapat melumpuhkan sektor perekonomian kita, berbagai cara di lakukan untuk membasmi para teroris. Tidak sama halnya dengan koruptor, para teroris seakan tidak mempunyai rasa keadilan akibat tidak adanya pembelaan dari mereka untuk proses persidangan. Tidak hanya itu, di negara yang menjunjung tinggi hukum ini, proses hukum pun tidak selayaknya dijalankan dengan baik. Akibatnya, asas praduga tak bersalah yang menjadi satu kesatuan dalam KUHP dilanggar dengan dalih untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban di masyarakat. Padahal apabila negeri ini berkeinginan untuk membasmi para teroris, haruslah menangkap hidup-hidup lalu dengan proses persidangan supaya gerbong teroris dapat di ungkap hingga ke akar-akarnya, bukan sebaliknya menembak mati secara membabi-buta para kawanan yang masih diduga sebagai pelakunya.
Remisi untuk Teroris dan Koruptor?

Secara mengejutkan beberapa waktu yang lalu, pemerintah yang diwakili oleh Kemendepkumham akan memberikan pengurangan hukuman bagi pelaku terorisme. Pemerintah sementara mengambil kebijakan tidak akan memberikan remisi apalagi grasi kepada narapidana teroris. Ide penghapusan remisi yang akan digalakkan pemerintah ini berkembang dari aksi Abu Tholut alias Mustofa alias Imron yang dipenjara karena peledakan bom di Atrium Senen namun bebas sebelum habis masa vonisnya berkat remisi. Abu Tholut kembali beraksi bahkan memimpin pelatihan bersenjata ilegal di Aceh beberapa waktu lalu. Nama Abu Tholut kembali muncul ketika polisi membongkar jaringan perampok Bank CIMB Niaga di Medan. Abu Tholut di duga yang memerintahkan serangkaian perampokan sehingga polisi lalu menetapkannya sebagai buronan.

Wacana penghapusan remisi maupun grasi terhadap para teroris banyak mendapat dukungan dari berbagai kelompok dan parpol pendukung pemerintah. Lantas, sudah selayaknya-kah teroris tidak mendapatkan remisi maupun grasi?. Sementara itu, beberapa waktu silam juga republik ini seakan dikejutkan juga dengan diberikannya remisi dan grasi secara gamlang oleh pemerintah kepada para koruptor yakni Aulia Pohan dan Syaukarni. Dalam bebebapa argumen yang dilontarkan pemerintah pada saat itu bahwa pemberian remisi dan grasi terhadap para koruptor adalah perintah undang-undang.

Padahal apa bedanya teroris dengan korupsi. Mengapa pemerintah begitu antusias menghapus remisi dan grasi terhadap pada teroris dibandingkan dengan koruptor. Hal inilah yang masih menjadi pertanyaan besar di benak kita. Koruptor tak ubahnya dengan para kawanan perampok yang juga di duga sebagai teroris. Maka, sudah saatnya kita dan terutama aparat penegak hukum membasmi juga para koruptor seperti halnya membasmi para teroris. Tidak itu saja, apabila pemerintah berwacana menghapus remisi dan grasi terhadap narapidana teroris, maka harus juga di ikutsertakan menghapus remisi maupun grasi terhadap para narapidana koruptor. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah tidak membedakan mana yang perampok uang rakyat sesungguhnya. Apabila penghapusan remisi dan grasi terhadap para teroris maupun koruptor dapat dilaksanakan. Maka, akan dapat memberikan efek jera antara keduanya agar pelaksanaan pembangunan, serta kemakmuran, kesejahteraan, dan juga rasa keamanan di masyarakat dapat terwujud di negara kita. Semoga..!!!

Sabtu, 11 September 2010

Menanti Figur Pendekar Hukum

Penegakan hukum di Indonesia kini seakan tidak habisnya bagaikan buah simalakama yang baik melangkah salah, mundur pun tambah salah. Hal ini pun tidak dapat kita sangkal karena bobroknya aparatur penegak hukum itu sendiri. Beberapa instansi yang sering mendapat sorotan tajam yakni Pengadilan, Kepolisian, Kejaksaan. Dua nama terakhir mendapat perhatian khusus berbagai elemen masyarakat karena ketidakcermatan dan ketidakadilan dalam menjalankan proses hukum.

Masih segar dalam ingatan kita beberapa waktu lalu tidak hanya instansi Kepolisian dan Kejaksaan saja yang mendapat predikat degradasi moralitas para oknumnya, melainkan juga instansi sebagai pengalawal kasus korupsi di tanah air yakni KPK. Ketiga instansi ini seakan menghadapai rintangan berupa batu besar nan berlobang. Setidaknya ketimpangan yang dialami oleh instansi penegak hukum tersebut juga berimbas terhadap para pimpinannya. Bambang Hendarso Danuri, Hendraman Supadji, serta Antasari Azhar adalah para pemimpin instansi penegak hukum tersebut yang mendapat penilaian negatif di mata masyarakat. Akan tetapi, dari ketiga pimpinan instansi hukum tersebut, nama mantan ketua KPK yang mendapat sorotan paling tajam karena kasus percintaan segitiga yang berujung terhadap kasus pembunuhan dan membuatnya takluk hingga mendekam di sel tahanan.

Sebenarnya kebobrokan yang dialami oleh instansi penegak hukum tersebut tidak terlepas dari para musuh yang terus menggrogoti uang rakyat seperti para koruptor. Berbagai trik dan intrik mereka buat untuk melemahkan penegakan hukum yang justru akan melempangkan jalan mereka sebagai tikus negara. Dari masalah kasus suap di Kejaksaan, rekening gendut serta juga penyuapan di Kepolisian hingga kasus kriminalisasi anggota KPK dan kasus pembunuhan yang melibatkan pimpinannya adalah bukti bahwa negeri ini masih terus dibayangi oleh para koruptor yang seakan lebih pintar dari penegak hukum dan dalam menjalankan aksinya tidak hanya untuk berbalas dendam, melainkan juga sebagai bekal untuk menjalankan misinya merampok uang rakyat.

Selepas di depaknya mantan ketua KPK Antasari Azhar dari kursi kepemimpinan, KPK pun seakan secara perlahan kehilangan nahkoda untuk terus berlayar memberantas koruptor yang semakin marak di republik ini. Walaupun pimpinan KPK selepas Antasari Azhar diemban oleh pejabat pelaksana tugas Tumpak Hatorangan Panggabean, akan tetapi pemimpin tersebut hanyalah bersifat sementara hingga menunggu hasil pemilihan ketua KPK yang baru.

Dalam penerimaan ketua KPK yang diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan Ham sebagai pihak yang berwenang, berbagai pihak pun seakan meramaikan penerimaan pimpinan KPK tersebut. Mulai dari dosen, politikus, pengacara, mantan pimpinan lembaga negara, hingga masyarakat umum yang memenuhi syarat berbondong-bondong untuk mencalonkan dirinya manjadi pendekar hukum yang siap memberantas para koruptor di negeri ini.

Dari ratusan nama yang terdaftar dalam berbagai proses pemilihan, kini hanya ada dua nama calon pimpinan KPK yang siap bertarung menjadi nahkoda instansi penegak hukum tersebut. Nama tersebut yakni pengacara kondang Bambang Widjojanto serta mantan ketua Komisi Yudisial Busyro Muqoddas. Setidaknya kedua nama tersebut bukanlah orang yang sembarangan. Dalam rekam jejak serta hasil dari proses pemilihan, kedua nama tersebut tentu memiliki segudang kemampuan untuk memimpin instansi besar yang siap untuk menerima berbagai resiko yang termasuk kategori tidak mudah.

Selain telah diuji kompetensinya untuk menjalankan instansi dengan musuh utama koruptor, kedua calon pimpinan KPK yang telah ditetapkan oleh Presiden selanjutnya akan diserahkan ke DPR guna menjalankan proses fit and proper test untuk memilih satu orang yang tentunya dengan kualitas yang terbaik. Anggota dewan yang telah dihadapkan oleh dua pilihan terbaik tersebut tentunya tidak mudah memilih dari yang terbaik. Selain benar-benar mengetahui integritas dan kapabilitas calon pendekar hukum, proses pemilihan tersebut haruslah terbebas dari unsur politis, penyuapan, serta nuansa “titipan” yang acapkali sering terjadi saat proses pemilihan pimpinan lembaga negara di gedung senayan.

Selain menanti calon figur pendekar hukum yang mampu membasmi para koruptor, negeri ini juga tengah disibukan oleh proses rekrutmen Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri). Dari berbagai isu yang berkembang di masyarakat dua nama calon Kapolri sudah disodorkan ke Presiden SBY yakni Komjen Pol Nanan Soekarna tak termasuk di dalamnya. Dua nama calon Kapolri yang disodorkan ke Presiden adalah Kepala Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri Irjen Imam Sudjarwo dan Kapolda Sumatera Utara Irjen Oegroseno. Berbagai sumber di Mabes Polri pun mengungkapkan, posisi Komjen Pol Nanan Soekarna yang kini menjabat Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) digeser Kapolda Sumatera Utara Irjen Pol Oegroseno.

Mengenai kabar tergusurnya Nanan oleh Ogroseno ini cukup mengejutkan berbagai pihak dan terkesan dipaksakan, sebab Imam Sudjarwo dan Oegroseno baru berpangkat bintang dua. Sementara Nanan adalah lulusan terbaik angkatan 78 peraih bintang Adhi Makayasa. bahkan, dari sisi kepangkatan Nanan Soekarna lebih tinggi dan tradisinya pengganti Kapolri pasti dari bintang tiga. Presiden pun selanjutnya akan mengajukan calon Kapolri tersebut kepada DPR. Kita pun berharap agar presiden tidak mengajukan satu nama sehingga masih ada pilihan.

Kabar bursa kepemimpinan instansi hukum tidaklah sampai di sini, intansi yang kerap kali juga menerima tiupan angin kencang akibat ketidakmampuan oknumnya menghadapi para koruptor dengan menerima berbagai uang suap. Kejaksaan Agung kini sedang dalam proses reformasi di internal lembaga tersebut. Berbagai nama ini telah mengisi pos untuk segera menjadi calon Jaksa Agung yang baru. Beberapa nama yang berkembanag di masyarakat masihlah kategori muka lama di instansi penuntutan tersebut.

Marwan Efendi sebagai Jampidsus, Edwin Pamimpin Situmorang sebagai Jamdatun, serta Darmono sebagai wakil Jaksa Agung adalah nama yang kini masuk bursa dan bakal menggantikan Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung. Sangat wajar apabila Presiden kini disibukkan untuk menggantikan pos Jaksa Agung, mengingat berbagai polemik yang seakan masih mengganjal di masyarakat kini mengenai legalitas Hendarman Supandji sebagai Jaksa Agung.

Menanti Figur Pendekar Hukum

Dalam menegakkan hukum dan keadilan di republik ini, kita sangat mendambakan sebuah figur pendekar hukum yang tidak hanya dapat dijadikan sebagai teladan bagi orang-
orang yang berani melawan arus kebobrokan serta pengaruh kapitalisme dan liberalisme dalam hukum, akan tapi juga dapat mewariskan yang mulia untuk menegakkan keadilan serta keberanian penegakan hukum tanpa pandang bulu bagi bangsanya.

Tanpa mengurangi sikap optimistis kita dalam penegakan hukum di Indonesia selama ini, sudah rahasia umum bahwa masyarakat kita pun seakan mengalami penurunan kepercayaan terhadap para aparatur penegak hukum untuk menegakkan hukum yang mengalami kesulitan untuk tegak. Para penegak hukum tidak hanya membuat hilangnya jati diri sebagai negara yang menganut dan berlandaskan hukum sebagai panglima dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan juga membuat rakyat harus menanggung kemiskinan yang tiada henti akibat lemahnya penegakan hukum terutama dalam penanganan kasus korupsi.

Kini kita akan menanti kehadiran sang pendekar hukum baik di Kepolisian, Kejaksaan Agung, serta di KPK untuk mengawal hukum dari serangan para koruptor. Setidaknya para pendekar hukum yang akan dinantikan tersebut tidak hanya mumpuni dalam segi kapasitas menegakkan hukum, tetapi juga mampu menjalankan amanah yang diberikan kepadanya dengan bersikap tegas, adil, serta bersih godaan yang menghampirinya. Terlebih lagi para pendekar hukum tersebut harus mampu untuk mereformasi instansinya masing-masing mulai dari proses rekrutmen aparaturnya serta proses promosi jabatan yang jauh dari unsur yang sering melekat dan sulit untuk dihapuskan selama ini yakni korupsi, kolusi serta nepotisme. Semoga..!!!

Senin, 30 Agustus 2010

Menyoal Remisi Terhadap Koruptor

Beberapa waktu yng lalu bangsa kita telah dihebohkan dengan pemberian remisi terhadap para koruptor oleh pemerintah melalui Kementerian Depkumham sebagai pihak yang berwenang. Entah apa yang ada dibenak pejabat di pemerintahan kita kala itu dengan memberikan pengurangan terhadap para perampok uang rakyat tersebut. Seiing dengan berjalannya waktu pemberian remisi terhadap para koruptor pun seakan terpendam ditengah maraknya kasus perampokan bersenjata api yang tengah melanda di beberapa tempat perdagangan di tanah air. Lalu, belum selesai dan belum tertangkapnya para penjahat tersebut, bangsa kita pun seakan kembali diributkan oleh aksi negeri jiran Malaysia yang kali ini membuat suhu perpolitikan luar negeri menjadi panas setelah ditangkanya tiga anggota sipil DKP yang justru ditangkap diperairan Indonesia.

Setidaknya, meskipun pemberitaan remisi terhadap koruptor seakan sirna oleh aksi maha dahsyat yang berbeda tujuan satu sama lainnya. Akan tetapi, bagi kita selaku rakyat yang berhak atas kesejahteraan dan kemakmuran hidup, pemberian remisi terhadap para koruptor haruslah tetap menjadi polemik bangsa yang harus segera dievaluasi serta ditata ulang sesegera mungkin.

Hampir seluruh bangsa kita menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah yang seakan melukai hati rakyatnya dengan membebaskan serta pengurangi hukuman terhadap para koruptor yang mendekam dijeruji besi. Lantas, meskipun kritik bertubi-tubi menghampiri pemerintah, seolah tanpa adanya rasa berdosa serta bersalah Kemenkumham yang dipimpin oleh Patrialis Akbar tersebut malah membenarkan serta merasa layak atas pemberian remisi untuk koruptor karena di dasari oleh undang-undang. Benarkah demikian dasarnya seperti itu?

Apabila kita mengacu terhadap dasar hukum remisi sebagaimana yang tertuang dalam Keppres No.174 Tahun 1999 tentang Remisi, bahwa dalam ketentuan tersebut tidaklah ada pernyataan wajib untuk memberikan remisi terhadap narapidana. Akan tetapi, pemberian remisi tersebut akan diberikan oleh Menteri Hukum dan Ham apabila narapidana berkelakuan baik selama masa menjalani pidana. Hingga kini ukuran yang dinilai baik tersebut pun beraneka ragam tergantung hati nurani serta kehendak pimpinan lapas atau atasannya lainnya seperti Menkumham.

Lalu, dimanakah dasar hukum tidak layak atau pantasnya pemberian remisi untuk penjahat koruptor?. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 (1) huruf a, menyatakan bahwa “berbuat baik kepada negara”, huruf b menyatakan “melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan.

Dalam ketentuan tersebut, bahwa narapidana hanya diberikan apabila yang bersangkutan dapat berbuat baik kepada negara serta melakukan perbuatan yang bermanfaat untuk kemanusiaan. Sedangkan, sebagaimana yang kita ketahui dan telah menjadi rahasia umum, bahwa perbuatan korupsi tidak hanya merugikan negara dengan merampas, pencuri, merampok, serta menggerogoti keuangan negara hingga dapat berakibat buruk terhadap penyelenggaraan negara. Apakah pantas perampok uang negara dikatakan berbuat baik kepada negara, lalu diberikan remisi untuk cepat atau lambat mereka akan bebas serta menikmati kehidupan dengan uang hasil rampasan dari negara?

Tidak hanya itu, perampok uang negara yang dinamakan koruptor tersebut juga dapat menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga secara langsung dirasakan oleh rakyat sebagai makhluk tak berdosa untuk hidup di negara bergelumuran tikus-tikus nan rakus. Data ICW mencengangkan kita, karena berdasarkan penelitian lembaga pemantau korupsi di Indonesia tersebut mencatakan bahwa lebih kurang 90 juta penduduk kita miskin dan sengsara akibat ulah para koruptor. Masihkah kita lagi-lagi mendukung atau sejenak memikirkan sesaat untuk memberikan remisi terhadap koruptor? Tentu saja tidak untuk tindakan yang hanya menyengsarakan rakyat dan tidak berkemanusiaan tersebut.

Pemerintah Tidak Berkomitmen

Sesungguhnya apa yang telah dilakukan dengan memberikan remisi secara gamlang terhadap koruptor, menyadarkan kita juga bahwa pemerintah kini yang telah dibangun lebih kurang enam tahun lamanya tidaklah ada berkomitmen untuk memberantas praktek korupsi di tanah air. Bahkan, kita pun telah menduga adanya skenario yang menjebloskan Aulia Pohan selaku besan SBY untuk mendekam dijeruji besi agar publik merasa yakin pemerintah dibawah kepemimpinan SBY mendapat sambutan yang hangat untuk memberantas korupsi.

Ketidakseriusan pemerintah untuk membumihanguskan praktek korupsi tidaklah hanya dengan melihat pemberian remisi untuk besannya Aulia Pohan dan juga pemberian Grasi untuk Syaukani, melainkan juga daripada itu berbagai hal-hal yang tidak mendukung pemberantasan korupsi. Tertundanya dasar hukum pembentukan peradilan tindak pidana koruptor (Tipikor), pemberian fasilitas mewah di penjara untuk kasus korupsi, tidak adanya proses lebih lanjut skandal Century, kriminalisasi pimpinan KPK, serta berbagai hal-hal yang seakan kembali menyakinkan kita sebagai rakyat bahwa selama ini pemerintah tidak ubahnya seperti rezim orde baru dan tidak berkomitmen untuk memberantas korupsi.

Praktek korupsi yang hampir melanda disegala dimensi khususnya lembaga pemerintah serta lembaga negara sangatlah kronis, bahkan hampir mustahil diberantas apabila kita melihat segala tindakan dan kebijakan pemerintah dalam menangani masalah korupsi. Para koruptor sebagai pengrusak generasi penerus bangsa serta secara perlahan- lahan dapat membuat negara tenggelam dan hancur seiring semakin suburnya para koruptor di republik ini dengan berbagai macam modus operandi dalam menjalankan niat busuknya tersebut.

Untuk itu, sudah sangat dan sepantasnya-lah pemerintah kembali mengevalusi dan mentata ulang agar segala aturan dapat membuat koruptor jera serta merasa tersiksa atas hukuman yang diterimanya, bukan sebaliknya yang kini kita saksikan begitu nyaman serta mewahnya kehidupan para koruptor dalam menjalankan hukumannya. Terlebih lagi apa yang telah dilakukan para koruptor dengan memakan berpuluh-puluh miliar atau bahkan triliunan rupiah untuk memperkaya diri sendiri haruslah mendapat ganjaran yang serupa dengan apa yang telah dilakukannya.

Koruptor bukan hanya musuh rakyat dan negeri ini, melainkan juga musuh seluruh umat manusia yang mengalami penderitaan, kesengsaraan, dan ketimpangan sosial. Oleh karenanya, tidak ada toleran untuk para koruptor manapun untuk menikmati kehidupannya dengan hasil uang rakyat. Koruptor sangat tidak berkemanusiaan dan hanya mementingkan diri sendiri serta mengabaikan hak orang lain. Sampai kapanpun negeri ini akan terus dihinggapi oleh para koruptor apabila pemerintah masih terus memberikan remisi terhadap penjahat keuangan negara tersebut.

Selasa, 24 Agustus 2010

Mengawal Kedaulatan Negara

Kedaulatan merupakan konsep mengenai kekuasaan tertinggi dalam penyelenggaraan suatu negara. Kata “daulat” dalam pemerintahan berasal dari kata arab (daulah), yang berarti rezin politik atau kekuasaan. Menurut seorang ahli pikir Prancis, Jean Bodin (1500-1596) mengatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara.

Kedaulatan merupakan suatu hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan dan masyarakat. Dalam hukum konstitusi dan internasional, konsep kedaulatan terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yurisdiksi hukum sendiri. Penentuan apakah suatu entitas merupakan suatu entitas yang berdaulat bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan seringkali merupakan masalah sengketa diplomatik.

Dengan demikian, jika kekuasaan diartikan secara yuridis, maka kekuasaan dapat disebut sebagai kedaulatan. Tentang pengertian kedaulatan ini terdapat perbedaan pendapat oleh beberapa para sarjana karena kedaulatan sering ditinjau menurut sejarahnya. Mula-mula kedaulatan dapat diartikan sebagai kekuasaan tertinggi yang bersifat mutlak, karena tidak ada kekauasaan lain yang mengatasinya (superlative). Kemudian dengan timbulnya hubungan antar bangsa dan negara, maka kedaulatan itu mulai terasa terbatas, terlebih dengan adanya perjanjian internasional tersebut secara otomatis juga telah mengurangi kedaulatan negara keluar. Kedaulatan ke dalam dengan dibatasi oleh hukum positifnya, sehingga arti kedaulatan ini menjadi relatif.

Kedaulatan suatu negara sangat erat kaitannya dengan wilayah. Wilyah suatu negara merupakan tempat berlindung bagi rakyat sekaligus sebagai tempat bagi pemrintahan untuk mengorganir dan menyelenggarakan pemerintahannya. Wilayah suatu negara terdiri atas daratan, lauatan, serta udara. Akan tetapi, di antara tiga wilayah tersebut, yang sering menjadi sengketa dan perselisihan antar negara adalah batas wilayah laut. Dewasa ini, masalah wilayah laut telah memperoleh dasar hukum yaitu Konferensi Hukum Laut Internasioan III tahun 1982 yang diselenggarakan oleh PBB atau United Nations Conference on The Law of The Sea (UNCLOS) di Jamaica. Konferensi PBB tersebut pun telah ditandatangani oleh 119 peserta dari 117 negara dan 2 organisasi kebangsaan dunia tangal 10 Desember 1982.

Kedaulatan Indonesia

Indonesia sebagai negara merdeka telah memiliki kedaulatan dari hasil perjuangan revolusi kemerdekaan yang berpuncak pada proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Akan tetapi, isi proklamasi kemerdekaan itu sendiri barulah bersifat simbolik. Secara teknis, Indonesia sebagai negara merdeka dan menetapkan kedaulatannya pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan disahkannya UUD 1945 sebagai dasar hukum negara dan juga dipilihnya Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai presiden dan wakil presiden. Maka, secara otomatis sejak saat itu Indonesia telah resmi memiliki kadaulatannya berupa wilayah, pemerintah yang berdaulat, sumber hukum, serta rakyat sebagai warga negara yang sah.

Dalam dunia Internasional, Indonesia pun telah mendapat dukungan dan pengakuan dari negara lain atas kemerdekaan Indonesia dan juga berupa kedaulatan. Ketentuan mengenai wilayah negara ditegaskan pula dalam Pasal 25A UUD 1945 yang menyatakan, “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang”.

Mengawal Kedaulatan

Setelah melalui perjuangan yang maha berat dalam mendapatkan kedaulatan, maka sudah barang tentu apa yang telah dicapai tersebut harusnya mendapat perlindungan serta pengawalan dari negara yang telah memiliki kedaulatan. Sebab, apabila negara tersebut lalai dalam mengawal kedaulatannya, maka negara tetangga atau negara lain yang jauh dari wilayah kedaulatannya akan serta merta menduduki bahkan mengklaim memiliki wilayah dari hasil perjuangan tersebut.

Lantas, dapatkah kita menggadaikan begitu saja hasil perjuangan para pendiri negara dalam merebut wilayah dari para penjajah? Tentu saja tidak. Kedaulatan negara adalah harga mati suatu martabat bangsa dan negara. Apabila suatu sebagian wilayah telah dijual atau digadaikan karena kelalaian para pemimpin negeri ini, sama saja kita kehilangan sebagian martabat yang telah diwarisi para leluhur.

Malaysia adalah salah satu negara yang acapkali mengklaim bahkan telah merampas wilayah laut yang merupakan kedaulatan Indonesia. Peristiwa perebutan pulau ambalat yang kaya akan sumber minyak adalah salah satu dari sekian banyak sengketa antar batas wilayah negara. Sebagaimana yang telah kita ketahui juga, bahwa negara Malaysia tidak hanya merampas kedaulatan kita, melainkan berbagai perampasan lainnya seperti pencaplokan budaya, mencuri ikan di wilayah Indonesia, serta kasus-kasus penyiksaan terhadap pahlawan devisa Indonesia yang mengadu nasib di negeri jiran Malaysia.

Indonesia telah merdeka dan memperoleh kedaulatan yang diakui oleh negara-negara Internasional selama lebih kurang 65 tahun. Akan tetapi, martabat serta wibawa Indonesia sebagai negara berdaulat saat ini seakan di injak-injak oleh negara serumpun bahkan negara lainnya akibat kurang tegasnya pemimpin negeri ini dalam memberikan teguran dan sanksi yang mengganggu kedaulatan Indonesia.

Sebagian besar bangsa kita sepakat apabila perundingan diplomatik pun tidak dapat mencapai kata sepakat untuk tidak mengusik-usik kedaulatan negara kita, maka segala upaya termasuk angkat senjata atau perang saudara serumpun pun dapat menjadi jawaban terakhir untuk mengakhiri perselisihan tersebut. Lalu, masihkah para pemimpin kita termasuk juga para kedutaan besar di negara-negara diplomatik berperan aktif mempertahankan kedaulatan republik ini dari para negara penjajah modern?

Untuk dapat mengawal kedaulatan suatu negara tidak hanya dengan memberikan sanksi yang tegas serta teguran yang keras bagi siapa yang mengganggu kedaulatan berupa wilayah negara tersebut, melainkan juga dengan memberikan pendataan atas segala batas-batas maupun pulau-pulau kecil yang masih berada dalam kedaulatan wilayah suatu negara. Kemudian dengan membenahi sistem pertahanan negara baik darat, laut, maupun udara untuk menangkal segala bentuk intimidasi serta penindasan terhadap batas wilayah oleh suatu negara.

Apabila hal ini dilakukan oleh para pemimpin suatu negara, niscaya kedaulatan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan dalam menghadapi para penjajah akan segera dipertahankan. Akan tetapi, jika hal tersebut tidak dilakukan dan dibenani secara akurat, maka sampai kapan pun negeri ini akan selalu dilecehkan, ditindas, dirampas, serta diganggu kedaulatannya oleh negara lain, terutama negara tetangga. Kedaulatan negeri ini adalah harga mati yang harus dipertahankan untuk mengangkat martabat serta harga diri di dunia Internasional agar bangsa dan negara republik ini dapat dikatakan masih mempunyai wibawa dan jati diri dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Senin, 02 Agustus 2010

Menyambut Bulan Ramadhan, 1431 H : Ramadhan Sebagai Transformasi Diri

Bulan suci ramadhan kini sedang menanti kita. Bulan yang penuh berkah ini akan kembali menghinggapi umat muslim di seluruh pelosok dunia. Dengan kehadiran bulan ramadhan, maka kita selaku umat muslim akan kembali dipenuhi dan dilimpahi pahala yang sangat besar dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Hal ini pun sebagaimana yang diceritakan oleh Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Barang siapa yang berpuasa pada bulan ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, niscaya ia akan mendapatkan ampunan dari dosa-dosa yang terdahulu.” (HR.Khamsah & Ahmad)

Kita diwajibkan untuk menyambut kehadiran bulan ramadhan dengan penuh suka cita. Karena bulan ramadhan tentu selain memiliki berjuta hikmah serta berkah dibandingkan dengan sebelas bulan lainnya, juga bulan ramadhan merupakan bulan yang penuh rahmat dengan diturunkannya kitab suci Al-Qur’an sebagai pedoman kehidupan umat islam hingga akhir zaman. Maka, tidak heran begitu banyak umat yang menyambut datangnya bulan ramadhan dengan penuh suka cita karena Allah Swt.

Limpahan Pahala dan Pintu Surga

Pada bulan ramadhan Allah Swt telah menjanjikan limpahan pahala dan pintu surga bagi hamba-Nya yang menunaikan ibadah puasa dan ibadah lainnya di bulan ramadhan. Cerita Shl ra., bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat suatu pintu (masuk) yang dikenal dengan nama Ar-Rayyan, kelak di hari kiamat orang-orang yang ahli puasa masuk dari pintu itu, tiada seorang pun yang memasukinya kecuali hanya mereka. Dikatakan (dari pintu itu), “Manakah orang-orang yang puasa”, lalu mereka masuk (ke surga) dari pintu itu. Apabila orang yang terakhir dari mereka telah masuk, maka pintu itu ditutup, lalu tidak ada seorang pun yang masuk dari pintu itu” (HR.Syaikhain & Nasa’i).

Rasulullah Saw bersabda dalam hadis yang di riwayatkan oleh Baihaqi, Ahmad & Imam Bazzar, “Dalam bulan ramadhan umatku diberi lima perkara yang tidak pernah diberikan kepada (umat) seorang Nabi pun sebelumku; yang pertama, apabila awal puasa ramadhan tiba, maka Allah Swt memandang kepada mereka, barang siapa yang Allah Swt mau memandang kepadanya, niscaya Allah Swt tidak akan menyiksanya selama-lamanya. Yang kedua, sesungguhnya bau mulut mereka (yang berpuasa) di kala sore hari lebih wangi daripada bau minyak kesturi di sisi Allah Swt.

Yang ketiga, sesungguhnya para malaikat meminta ampun buat mereka pada siang dan malam (bulan ramadhan). Yang keempat, sesungguhnya Allah Swt memerintahkan kepada surga-Nya, lalu berfirman, “Bersiap-siaplah engkau dan hiasilah dirimu untuk hamba-hamba-Ku, mereka sudah dekat masanya untuk beristirahat dari kelelahan dunia menuju ke rumah-Ku dan penghormatan-Ku.

Yang kelima, sesungguhnya apabila tiba akhir malam bulan ramadhan, Allah Swt mengampuni mereka semuanya. Kemudian seorang lelaki dari kalangan kamu ada yang bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan malam terakhir itu adalah malam kemuliaan (Lailatul Qadar)?” Rasulullah Saw menjawab, “Bukan, tidakkah engkau melihat kepada para pekerja yang sedang bekerja itu, apabila mereka selesai dari pekerjaannya, niscaya mereka akan segera memperoleh upah-upah mereka.”

Ramadhan Sebagai Transformasi Diri

Bulan ramadhan selain memiliki pahala yang berlimpah sebagaimana yang telah ditegaskan dalam sabda Rasulullah di atas, bulan ramadhan juga sebagai bulan transformasi diri agar kita menjadi pribadi yang berkualitas secara spiritual, emosional, serta dapat meningkatkan vitalitas dan energy tubuh kita dalam menjalankan kehidupan di dunia. Oleh karenanya, selama bulan ramadhan kita dituntut untuk menjadi pribadi yang sabar, ikhlas, serta disiplin.

Selama bulan ramadhan tersebut kita tentunya harus senantiasa bersabar, baik bersabar dalam menahan lapar dan haus, juga bersabar dalam hal menjaga hal-hal yang membatalkan puasa kita seperti pandangan, perkataan, serta perilaku kita yang pada bulan-bulan lainnya acapkali sulit untuk kita jaga dengan baik. Kemudian pada bulan ramadhan juga kita dilatih untuk menjadi pribadi yang benar-benar ikhlas karena Allah Swt, sebab tanpa benar-benar ikhlas maka kita akan kesulitan dalam menjalankan ibadah puasa di bulan ramadhan.

Lalu dengan berpuasa kita dapat menerapkan pola disiplin seperti dalam hal mengkomsumsi makanan dan minuman yang telah disajikan pada saat sahur maupun berbuka puasa. Saat sahur maupun berbuka puasa kita di anjurkan untuk mengkomsumsi makanan dengan asupan gizi yang memadai, hal ini di maksudkan agar kita dapat menjalankan aktifitas sehari-hari tanpa meninggalkan kewajiban ibadah kita. Hal yang terpenting lagi adalah pola makan yang positif dengan mutu lebih baik dalam jumlah yang lebih sedikit. Dalam berdisiplin tidak hanya untuk makanan dan minuman, tapi juga dalam hal beribadah seperti melaksanakan sholat fardu yang mana harus kita tunaikan dengan tepat waktu dan berjama’ah.

Disamping dapat menggembleng kita menjadi pribadi yang sabar, ikhlas, serta disiplin, bulan ramadhan juga dapat mengajarkan kita untuk senantiasa mempunyai kepekaan sosial yang tinggi. Tidak anyal lagi bahwa puasa juga diperuntukkan agar kita dapat merasakan kepedihan dan penderitaan orang-orang yang kurang beruntung. Bahkan, dengan melaksanakan puasa pun kita belum benar-benar dapat merasakan seperti yang mereka rasakan setiap saatnya. Kita berpuasa hanya menahan lapar dan haus sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, setelah itu kita dapat menyantap makanan yang membuat perut kita kelabakan untuk menerimanya karena begitu banyak makanan yang ada di meja hidangan. Lalu, bagaimana dengan orang yang kurang beruntung tersebut?. Mereka tentunya tidak tau kapan mereka harus menyantap makanan dan minuman, disebabkan kesulitan perekonomian yang mereka alami.

Bulan ramadhan memang merupakan bulan yang penuh rahmat, selain berlimpahan pahala dengan dibukakan selebar-lebarnya pintu surga dan juga sebagai trasformasi diri kita menjadi pribadi yang lebih baik, bulan ramadhan lagi-lagi memiliki limpahan yang maha dasyat. Limpahan selain pintu surga, yakni limpahan rezeki bagi yang mengharapkan rezeki dari Allah Swt.

Tidak dapat kita pungkiri bahwa dengan kehadiran bulan ramadhan, banyak umat yang berkelimpahan pintu rezeki yang tidak disangka-sangka. Salah satu pintu rezeki yang sangat hidup di bulan ramadhan yakni aneka santapan makanan dan minuman. Tentunya banyak pedagang yang memperoleh keuntungan berlipat-lipat dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Selain itu, ada juga pedagang pakaian yang seakan mendapat rezeki bulanan yang berlimpah. Karena bisnis pakaian pada saat bulan ramadhan-lah yang paling diminati untuk persiapan menyambut lebaran tiba.

Bulan ramadhan kini sedang dihadapan kita untuk kembali mencurahkan segala rahmat dan berkahnya. Kita patut bersyukur pada ramadhan tahun ini Allah Swt masih memberikan kita umur dan fisik yang sehat dalam menjalankan ibadah di bulan ramadhan. Maka sudah sepantasnya-lah kita jadikan bulan ramadhan tahun ini sebagai bulan penyerahan diri kita di hadapan Allah Swt. Sebab, boleh jadi bulan ramadhan tahun ini adalah bulan ramadhan yang terakhir bagi kita apabila ajal telah menjemput kita.

Tidak ada lagi bulan seindah bulan ramadhan. Oleh karenanya, janganlah merusak bulan yang penuh berkah ini dengan tindakan acapkali mencela dan merusak agama islam itu sendiri seperti asmara subuh dengan bergandengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, serta bermain petasan pada malam hari yang hanya mengganggu orang lain dan merusak ibadah shalat tarawih. Bulan ramadhan adalah bulan yang sangat tepat sebagai bulan evaluasi bagi diri kita yang selama sebelas bulan sering kita abaikan. Semoga bulan ramadhan tahun ini selain sebagai bulan transformasi pribadi kita ke arah yang lebih baik dan berkualitas, juga dapat meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt, serta dapat meningkatkan kualitas hidup kita dengan bersikap sabar, ikhlas, dan disiplin.

Selasa, 27 Juli 2010

Dilema Program Konversi Gas

Sungguh tragis apabila kita melihat pemberitaan di media cetak dan elektronik beberapa pekan belakangan ini. Mengapa tidak, berbagai korban terus bergelimpangan. Dari kehilangan rumah, cedera ringan dan berat, cacat total, hingga berujung terengutnya nyawa secara sia-sia. Hal ini tidak lain adalah korban ledakan gas elpiji yang semakin marak terjadi di tanah air. Ledakan gas elpiji yang diakibatkan oleh buruknya fasilitas-fasilitas pendukung kompor gas elpiji seperti selang, regulator, serta tabung gas mengakibatkan banyak korban yang berjatuhan dan hingga kini penggunaan gas elpiji pun belum dapat dikatakan aman dan bisa saja memakan korban selanjutnya dan kapan saja.

Berbagai pertanyaan pun kini menyelimuti negeri ini, siapakah yang harus disalahkan? Pemerintah-kah, Pertamina-kah, Perusahaan tender-kah, atau rakyat sendiri sebagai pengguna yang harus menanggung sendiri?. Yang jelas dengan semakin maraknya korban ledakan gas, masyarakat kita kini dihinggapi rasa takut dan trauma untuk memasak sebagai asupan kebutuhan pokok dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan. Bahkan, berbagai korban ledakan gas yang menderita luka bakar harus menerima kenyataan secara pahit yang akan merusak masa depan terutama pada anak-anak korban ledakan gas tersebut.

Untuk kesekian kalinya kita dihamparkan pada ketidakcermatan program pemerintah, khususnya menyangkut masyarakat kecil. Mulai dari JPS, BLT, Asuransi Kesehatan Miskin, hingga konversi minyak tanah ke gas. Tentu saja semua bertujuan mulia. Konversi ini jelas untuk mengurangi subsidi minyak tanah yang nilainya cukup besar ketimbang elpiji. Program konversi minyak tanah ke elpiji yang dimulai Mei 2007 itu bisa sedikit menyehatkan APBN. Berdasarkan hasil kajian empiris Pertamina, bahwa satu liter minyak tanah setara dengan 0,4 kg elpiji. Dengan menghitung subsidi per liter setara minyak tanah, maka besarnya subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk minyak tanah sebesar Rp 3.869,82, sedangkan elpiji hanya Rp 1.534,54, sehingga ada penghematan subsidi per liter minyak tanah sebesar Rp 2.335.

Untuk menyukseskan pemakaian elpiji, pemerintah akan menyiapkan tabung elpiji ukuran kecil yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Jadi, elpijinya bukan pakai tabung yang besar kalau untuk masyarakat kecil, maka disiapkan yang tiga kilogram. Ukuran tabung tiga kilogram (kg) ini ekuivalen sekira Rp 12.000,00. Dalam perhitungannya, penggunaan elpiji ini jauh lebih murah ketimbang minyak tanah. Satu kilogram elpiji setara dengan 3 liter minyak tanah. Apabila diversifikasi energi ini berhasil, negara bisa berhemat sekitar Rp 30 triliun per tahun. Misalnya, kalau bisa melakukan diversifikasi segera, dari anggaran subsidi minyak Rp 54 triliun pada tahun 2007, anggaran akan tinggal Rp 24 triliun.

Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil. Namun, subsidi minyak tanah dalam beberapa tahun terakhir masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam managemen energi nasional. Kondisi ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran USD 50-60 per barel. Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN.

Dari berbagai sumber diketahui bahwa pemerintah mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010, yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah.
Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti menekan subsidi BBM yang selama ini ditanggung APBN. Selain itu juga pemakaian elpiji juga tidak menimbulkan polusi yang berlebihan.

Berdasarkan kajian ilmiah, pemakaian 1 liter minyak tanah equivalent 0,4 kg elpiji. Sehingga jika menggunakan elpiji, masyarakat akan menghemat Rp 1700 dibanding minyak tanah. Selanjutnya, berdasarkan uji coba disejumlah daerah konversi minyak tanah ke elpiji bisa mendatangkan penghematan Rp 25.000 per bulan per KK. Bagi pemerintah, program konversi memang membutuhkan dana investasi bagi pembangunan prasarana yang besar, yakni sekitar Rp 20 triliun. Namun, penghematan yang bisa dilakukan juga tidak kecil. Jika pemakaian minyak tanah bisa diganti seluruhnya dengan elpiji itu berarti subsidi sebesar Rp 30 triliun per tahun untuk minyak tanah tidak diperlukan.
Dilema Konversi Minyak Tanah ke Elpiji.

Konversi minyak tanah ke elpiji (liquefied petroleum gas) ternyata kedodoran dan banyak menimbulkan permasalahan di masyarakat. Daerah-daerah secara nasional yang semula menjadi target konversi mengeluh karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Jikapun ada, harganya mahal, sekitar Rp 8.000-an, karena tak ada lagi subsidi. Di berbagai wilayah di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, serta di pulau Sumatera banyak rakyat miskin dan pedagang kecil kelabakan karena depo minyak menghilang. Padahal minyak tanah masih sangat dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas, meski tabung gas berisi 3 kilogram elpiji disertai kompor gas sudah diberikan gratis oleh pemerintah.

Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji itu memang bertujuan baik, yaitu mengurangi subsidi minyak tanah untuk keperluan rumah tangga yang nilainya sekitar Rp 30 triliun. Tapi sayang, dalam menentukan kebijakan tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa kesalahan mendasar sehingga kebijakan konversi itu akhirnya menimbulkan problematika besar di masyarakat yang tak kunjung teratasi.
Sejak awal pemerintah memang tidak konsisten dalam menentukan kebijakan konversi minyak tanah. Terbukti, gagasan konversi minyak tanah ke batu bara yang saat itu sudah mulai dikampanyekan tiba-tiba dibatalkan begitu saja. Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada tahun 2006, tiba-tiba menyatakan bahwa konversi ke batu bara diganti ke elpiji. Pergantian konversi secara tiba-tiba itu tidak hanya mengejutkan masyarakat yang sudah mulai bersiap-siap mengganti minyak tanah ke batu bara, tapi juga mengecewakan para perajin tungku batu bara dan para peneliti yang telah berhasil membuat tungku batu bara modern, yang bisa mengatur nyala api dan menghemat pemakaian batu bara.

Konversi permakaian minyak tanah ke elpiji bagi masyarakat kecil niscaya akan menimbulkan banyak masalah. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, dari aspek fisik. Minyak tanah bersifat cair sehingga transportasinya mudah, pengemasannya mudah, dan penjualan sistem eceran pun mudah. Masyarakat kecil, misalnya, bisa membeli minyak tanah hanya 0,5 liter (katakanlah Rp 1.500 dengan harga subsidi) dan mereka dapat membawanya sendiri dengan mudah. Minyak tanah 0,5 liter bisa juga dimasukkan ke plastik.

Kondisi ini tak mungkin bisa dilakukan untuk pembelian elpiji. Ini karena elpiji dijual per tabung, yang isinya 3 kg, dengan harga Rp 14.500-15.000. Masyarakat jelas tidak mungkin bisa membeli elpiji hanya 0,5 kg, lalu membawanya dengan plastik atau kaleng susu bekas. Kedua, dari aspek kimiawi. Elpiji jauh lebih mudah terbakar (inflammable) dibanding minyak tanah. Melihat perbedaan sifat fisika dan kimia (minyak tanah dan elpiji) tersebut, kita memang layak mempertanyakan sejauh mana efektivitas dan keamanan kebijakan. Maka tidak heran berbagai kasus ledakan gas pun kini mulai bergerilya memakan nyawa rakyat sebagai korban yang tak berdosa.
Sekali lagi, dengan program yang ditetapkan pemerintah dengan melakukan konversi minyak tanah ke gas bukan mengatasi masalah, melainkan justru menimbulkan masalah yang tak kunjung usai. Rakyat kembali hanya meratapi nasib buruk di negeri kaya sumber daya alam, akan tetapi juga kaya melahirkan koruptor. Program konversi hanya menimbulkan kepentingan belaka bukan meringankan beban rakyat miskin. Kepentingan untuk menghemat yang justru dikorup dan rakyat kembali menderita sebagai korban ledakan gas yang bermuara terhadap kebijakan pemerintah yang menyimpang dari nilai kemanusiaan.

Minggu, 25 Juli 2010

Warnet, Mendidik atau Merusak?

Tidak dapat kita pungkiri bahwa di era globalisasi yang semakin pesat dengan teknologi dan informasi, maka segala sesuatu pun dapat kita peroleh dengan begitu cepat serta akurat. Salah satu perkembangan yang paling menonjol dengan pesatnya teknologi informasi tersebut yakni internet. Dengan berselancar di dunia maya dan mengetik beberapa kata kunci di situs pencarian, maka apa yang kita inginkan pun akan segera muncul dengan berbagai referensi dan berbagai topik, baik topik yang telah usang maupun topik yang terhangat sekalipun.


Dengan semakin dibutuhkannya akan dunia internet di masyarakat, maka internet pun menjadi ladang bisnis yang menjanjikan dan paling tren saat ini. Warung internet atau yang lebih familiar masyarakat menyebutnya sebagai warnet adalah tempat dimana disediakannya berbagai fasilitas bagi para pecinta dunia maya. Bisnis warnet kini seakan berkembang begitu pesat sebagaimana pesatnya teknologi informasi yang telah menjadi kebutuhan di masyarakat. Dengan semakin menjamurnya warnet-warnet baik disudut kota maupun dipelosok desa, mau tidak mau para pengelola warnet pun kini bersaing untuk merebut hati para pelangannya agar dapat menggunakan jasa internet


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa warnet pun telah menjadi sebuah kebutuhan bukan lagi sebagai gaya hidup yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi, ditengah pesatnya pertumbuhan warnet ditanah air, berbagai permasalahan dan kegoncangan masyarakat pun kini seakan menghantui bisnis kalangan anak muda ini. Masalah yang kerap timbul dengan semakin menjamurnya warnet-warnet yakni semakin merosotnya moralitas dan mental para anak muda sebagai pecinta internet di tanah air.


Hal ini tentu saja beralasan, sebab para pengguna internet yang di mayoritasi kalangan remaja dalam mengakses dunia maya bukanlah untuk menambah wawasan, membuka jendela cakrawala dunia, belajar teknologi, serta berbagai pengetahuan yang dapat menunjang studi anak muda di republik ini. Melainkan para anak muda di Indonesia kini lebih sibuk memainkan mouse dan keyboard komputernya dengan membuka berbagai situs porno, jejaring sosial, serta tidak ketinggalan game online yang semakin marak dan hanya dapat mengganggu mental anak muda Indonesia.


Penulis dalam memberikan opini tersebut tentulah berdasarkan pengamatan yang sebagian besar para pengusaha warnet lebih banyak menyediakan berbagai fiktur untuk menarik para pelangannya tanpa memberikan efek yang positif bagi perkembangan mental dan wawasan para penggunanya. Salah satunya yakni menyediakan fasilitas game online yang buka hingga 24 jam nonstop setiap harinya, bahkan dapat juga kita katakan buka selamanya selagi masih ada kehidupan.


Sungguh tragis apabila pengusaha internet hanya lebih mengutamakan keuntungan finasial belaka tanpa melihat dampak negatif yang apabila hal tersebut dilakukan dapat merusak para penerus bangsa dan negara. Bahkan, hal lebih mengkhawatirkan melihat perkembangan internet yakni para pelajar yang masih mengenyam pendidikan dengan seragam merah putih dan putih biru lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berselancar di dunia maya dan kemudian membuka situs porno, mengakses situs jejaring, dan duduk berjam-jam di depan komputer untuk bermain game online.


Para pelajar yang seyogyanya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan belajar, berdiskusi, serta bersahabat dengan buku, kini hanyalah menjadi barang yang langka. Para pelajar yang masuk kategori remaja tersebut, sehabis pulang sekolah dengan masih menggunakan seragam lengkapnya, lebih banyak perkunjung ke warnet-warnet hingga berjam-jam. Meskipun telah duduk berlama-lama hingga berjam-jam di depan komputer, seakan tidak cukup dengan permainan game online-nya dan membuka situs jejaring sosial, sebagian besar remaja pun sehabis magrib langsung kembali menyerbu para warnet-warnet terdekat yang menyedikan fiktur game online dan kembali duduk berjam-jam lamanya. Bahkan, lebih menyedihkan dan mengnyesakkan hati yakni penulis saat itu pernah mendapati seorang anak yang berusia lebih kurang 10 tahun dengan asyik bermain game online hingga pukul 11 malam. Sungguh dimanakan kontrol pemerintah dan peran orang tua mereka saat itu?


Kontrol Pemerintah


Perkembangan dunia teknologi dan informasi tentu banyak menimbulkan kemanfaatan positif bagi para pengguna yang lebih jeli memanfaatkan arus globalisasi tersebut. Akan tetapi, bagi sebagian besar masyarakat khususnya anak muda dan pelajar yang menyalahgunakannya, maka cepat atau lambat dapat mempengaruhi perkembangan mentalitas dan moralitas yang kian merosot dan terpuruk.


Melihat kemerosotan mentalitas dan moralitas anak muda republik ini, lantas siapakah yang akan dirugikan?. Tentu saja efek yang akan berakibat fatal dengan merosotnya mentalitas dan moralitas anak bangsa tersebut yakni negara. Sebab, cepat atau lambat tambuk kepemimpinan negara akan segera dialihkan kepada para anak muda kita sebagai cikal bakal penerus bangsa dan negara ini. Dengan demikian, sudahkah pemerintah saat ini benar-benar berupaya memperhatikan perkembangan mentalitas dan meningkatkan moralitas anak bangsa serta memberdayakan pendidikan karakter yang hanya menjadi wacana belaka tanpa benar-benar diterapkan di lembaga pendidikan tersebut?.


Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) mewajibkan setiap warnet menggunakan software untuk memblokir situs porno agar pengguna internet tidak mengakses konten pornografi (Harian Analisa, 14/07/10). Hal ini diberlakukan karena dari tahun ke tahun Indonesia terus mengalami peningkatan sebagai pengakses situs porno di Internet. Berdasarkan “Internet Pornography Statistic”, Indonesia menempati peringkat kelima dunia pada tahun 2007 dan terus meningkat menjadi peringkat ketiga pada tahun 2009 sebagai pengakses situs porno.


Melihat kebijakan yang ditetapkan pemerintah tersebut, setidaknya dapat melindungi para pengguna intenet agar tidak mengalami penurunan mentalitas dan kemerosotan moralitas. Kebijakan mewajibkan para warnet agar menggunakan software untuk memblokir situs porno perlu kita apresiasi dengan sangat baik, akan tetapi perlu juga kita melihat kaca spion atas kebijakan tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui beberapa tahun belakangan ini, pemerintah sebelumnya juga telah memberlakukan dan mewajibkan para warnet untuk pemblokiran konten situs porno. Akan tetapi, kebijakan yang ditetapkan pemerintah tersebut hanyalah sebagai isapan jempol belaka. Karena hingga kini konten pornografi masih dapat memangsa siapa saja para pengguna internet.


Pemerintah tentu mempunyai otoritas yang tinggi sebagai kontrol (pengawasan) terhadap para pengguna internet khususnya para warnet yang telah tumbuh dan berkembang sangat pesat. Setidaknya kontrol atau pengawasan yang dilakukan pemerintah tidak hanya di fokuskan terhadap konten porno, melainkan juga terhadap game online dan situs jejaring sosial. Kedua konten terakhir tersebut tentu juga dapat mengancam mentalitas dan merosotnya moralitas. Pengguna situs jejaring sosial untuk kategori remaja atau bahkan dibawah umur tidaklah dapat dibenarkan. Sebab, penggunaannya dapat saja disalahgunakan apabila ada sebagian orang yang tidak bertanggung jawab justru dapat mengeksploitasi sang anak-anak remaja dan dibawah umur tersebut.


Untuk para penggila game online, pemerintah juga selayaknya mewajibkan para warnet agar membatasi jam pengguna game online yang masih kategori pelajar dan dibawah umur. Sedangkan pada malam harinya, para pengguna game online yang disemarakkan para remaja dibawah umur tersebut haruslah dilarang. Hal ini untuk memberikan waktu belajar kepada anak-anak yang masih menembuh pendidikan.


Pemerintah dalam memberikan pengawasan yang ekstra ketat tersebut harusnya bersikap tegas. Apabila para pengusaha warnet yang tidak mengindahkan kewajibanya haruslah memberikan sanksi tegas dan bila perlu penarikan izin usaha warnet. Para pengusaha warnet janganlah hanya meraup keuntungan belaka. Akan tetapi, haruslah senantiasa mendidik, bukan sebaliknya menjadi pengrusak generasi masa depan anak negeri ini.