Kamis, 24 Desember 2009

HUKUMAN TUTUPAN UNTUK SANG KORUPTOR…??


Oleh : Andryan, SH

Dalam asas hukum tersirat makna equality before the law yang dapat memberi arti bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan membedaan perlakuan.Tidak ada pengecualian terhadap para pelaku tindak pidana, mereka sama kedudukan di hadapan hukum. Begitulah suatu negara yang menganut hukum sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bernegara.


Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menganut hukum sebagai panglima tertinggi, hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konstitusi tertulis Republik Indonesia menjelaskan bahwa dalam melaksanakan sesuatu hal haruslah sesuai dengan aturan-aturan dan kaidah atau norma yang berlaku di baik masyarakat nasional maupun masyarakat internasional.


Sudah sangat lama rakyat Indonesia mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat para pejabatnya terus menerus melakukan aktifitas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin dan bertambah merajalela. Dalam hal melakukan aktifitas korupsi, tidak saja dilakukan oleh pejabat eksekutif dalam hal ini pemerintah dan juga pejabat legislatif yakni DPR pusat dan daerah.


Akan tetapi, juga dilakukan oleh pejabat yang notabene merupakan pejabat dari lembaga yudikatif yang melaksanakan tugas negara menegakkan hukum dan mengawasi para pejabat seperti eksekutif maupun legislatif agar tidak melakukan aktifitas korupsi, pada akhirnya terbawa angin keterpurukan yakni juga ikut secara bersama-sama melakukan perbuatan korupsi. Bahkan lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Komsi Yudisial, Kejaksaan maupun Kepolisian telah mengalami kemerosotan akibat hilangnya kredibilitas pada lembaga tersebut dimata masyarakat Indonesia maupun Internasional.


Akibat kurang memuaskannya kinerja para lembaga penegak hukum tersebut, maka masyarakatpun lebih percaya dan bangga terhadap lembaga khusus untuk menjerat koruptor yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semula merupakan lembaga negara bantu yang bertugas untuk meringankan kerja dan tugas kejaksaan. Hal ini telah membuat ketar ketir para korupotr yang ingin mencuri uang negara. Akan tetapi, KPK bukanlah lembaga yang menangani semua kasus korupsi, sebab KPK hanya bisa menangani suatu perkara korupsi yang diduga merugikan negara diatas 1 Miliar Rupiah.


Walaupun KPK telah berhasil menangkap serta menghotel prodeo-kan para koruptor kelas kakap, tetapi tidak membuat para koruptor yang belum tertangkap merasa ketakutan. Hal ini nampak terhadap semakin maraknya perilaku korupsi di lembaga-lembaga pemerintah dan negara itu. Bahkan, KPK telah melakukan suatu terobosan-terobosan dalam membuat efek jera para koruptor, salah satunya adanya pakaian khusus terhadap para tersangka koruptor.


Meskipun KPK telah mencoba membuat suatu terobosan agar dampak efek jera dapat efektif, namun hal itu hanyalah isapan jempol belaka dan hanya merupakan suatu impian yang imosibel. Mengapa? Sebab dalam kodifikasi hukum pidana (KUHP) telah mengatur sedemikian rupa agar para koruptor tidak jera.


Pidana Tutupan


Para pelaku yang telah menerima vonis dari majelis hakim dan mendekam di jeruji penjara dipastikan tidak menderita sebagaimana masyarakat memandangnya. Sebab, didalam hotel prodeo tersebut para pejabat negara yang sebagian besar terlilit kasus korusi telah mendapat perlakuan yang istimewa seperti raja. Perlakuan yang istimewa tersebut dirasakan oleh sang korupsor tidaklah suatu hal yang aneh. Di dalam Kodifikasi hukum pidana yakni KUHP Pasal 10 menjelaskan bahwa jenis hukum pidana berupa :


A. Pidana Pokok

1. Pidana mati

2. Pidana Penjara

3. Pidana Kurungan

4. Pidana Denda

5. Pidana Tutupan

B. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tetentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman keputusan hakim


Dalam hal jenis hukuman tutupan inilah para koruptor mendapat perlakuan yang istimewa. Hukuman tutupan hanya dikhususkan terhadap para terpidana yang memiliki keluarga yang patut dihormati serta berkedudukan yang tinggi. Para koruptor yang mendekam dengan adanya jenis hukuman tutupan tersebut serasa seperti tinggal dirumah sendiri dengan dilengkapi fasilitas yang mumpuni dan memadai. Memang hingga sekarang masih sedikit buku-buku pidana yang membahas jenis hukuman pidana tutupan tersebut, sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya.


Hapus Pidana Tutupan


Para pejabat lembaga pemasyarakatan dibawah naungan Departemen Hukum dan Ham, menyatakan dalam perlakuan yang istimewa terhadap tahanan pejabat pemerintah negara ini dikarenakan agar terpidana tidak merasa terkejut bahkan stres apabila mendekam di jeruji penjara yang digunakan oleh terpidana masyarakat biasa. Dalam hal apabila kita mencermati terhadap hukum sebab-akibat, bahwa konsekuensi seseorang dalam melakukan suatu perbuatan akan mendapatkan timbalan atas apa yng telah ia lakukan. Sepertinya para pejabat di negeri ini seakan tidak rela apabila pejabat yang melakukan tindak pidana tersebut mengalami penderitaan di balik jeruji besi.


Apabila adanya perlakuan yang istimewa terhadap para tindak pidana tertentu di Indonesia, maka hal ini telah mencoreng wajah negara Republik Indonesia yang menjunjung dan berlandaskan hukum dalam kehidupan masyarakat bernegara. Dan yang paling mengkwatirkan apabila masih terdapatnya jenis pidana tutupan di dalam KUHP ysng mengistimewakan para terpidana tertentu yang notabene mantan pejabat negara, hukum akan mengalami kegagalan dalam hal efektifitas hukuman dan kemungkinan besar para perpidana yang telah mendekam tersebut tidak akan jera dan iapun akan melakukan perbuatan serupa apabila ia telah merdeka keluar dari penjara tersebut.


Dalam beberapa kode etik jabatan maupun peraturan yang berkaitan dengan jabatan para penegak hukum seperti jaksa, hakim,serta polisi menyatakn apabila penegak hukum tersebut melakukan pelangaran pidana maka harus mendapatkan hukuman lebih berat dibandingkan masyarakat biasa. Sebab, hal ini untuk menjunjung tinggi para penegakan hukum agar menjadi teladan yang baik untuk mesyarakat. Akan tetapi, bagaimana halnya dengan pejabat negara yang bukan penegak hukum melakukan perbuatan pidana?


Telah banyak pejabat seperti ini yang mendekam de penjara akan tetapi tidak dihukum lebih berat, bahkan boleh dikatan lebih ringgan hukuman pidana dalam melakukan delik serupa dengan masyarakat biasa. Kesalahan dalam menegakkan rasa kepatutan dan keadilan bukanlah terletak oleh para pelaksana negara, melainkan kesalahan oleh sistem peraturan-peraturan tersebut. Semoga kita dapat memperbaiki atau merevisi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan haluan negara agar ketertiban, keadilan serta kesejahteraan masyarakat dapat terjamin. Semoga…!!!

Tidak ada komentar: