Sabtu, 31 Oktober 2009

Kasus Bibit dan Chandra: Dilematis Institusi Penegak Hukum


Oleh: Andryan, SH

Perseteruan antara institusi penegak hukum di Indonesia antara Kepolisian RI dengan Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) telah memasuki episode yang semakin memanas, hal ini menyusul penahanan kedua pimpinan non aktif KPK yakni Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah oleh Mabes Polri terkait kasus penyalahgunaan wewenang dan suap. Penahanan kedua pimpinan KPK tersebut jelas dapat menimbulkan berbagai persepsi di kalangan masyarakat Indonesia. Ada yang mengatakan bahwa sebenarnya penahanan yang dilakukan oleh pihak kepolisian tersebut telah berlebihan dan kepolisian pun bersikap arogan dengan menggunakan kewenangannya. Presiden SBY pun melalui konferensi pers yang digelar di istana negara menyatakan ia menyesalkan penahanan terhadap pimpinan KPK non aktif tersebut.


Sebenarnya kasus kedua pimpinan KPK tersebut berawal dari episode lalu yang sangat menggeletarkan publik di tanah air saat itu yakni pembunuhan berencana atas korban Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang melibatkan mantan ketua KPK, Antasari Azhar. Mantan ketua KPK tersebut memang sedang menjalani kasus hukum di persidangan, akan tetapi melalui tertimoni yang dibuat oleh Antasari Azhar terkuak bahwa terjadinya kasus suap yang melibatkan dua pimpinan KPK yang sekarang statusnya telah non aktif saat menangani kasus dugaan korupsi proyek sistem komunikasi rasio terpadu di Departemen Kehutanan dengan tersangka Direktur PT.Masaro Radiokom, Anggoro Wijojo. Tidak hanya itu, dugaan kasus penyalahgunaan wewenang terkait penerbitan surat pengajuan dan pencabutan pencekalan terhadap Anggoro Widjojo dan Djoko Tjandra sedang dilancarkan oleh penyidik Mabes Polri untuk diproses secara hukum.


Dilematis Institusi Penegak Hukum


Apa yang telah dipertontonkan oleh publik antara dua institusi penegak hukum tersebut ibaratkan perseteruan antara buaya (kepolisian) dan cicak (KPK). Kepolisian sebagai pihak yang berwenang dalam hal penyidikan sebenarnya telah melaksanakan tugasnya secara professional, sedangkan KPK sebagai pihak yang berjasa dalam menjerat berbagai koruptor di tanah air, kini mengalami nasib kesimpang-siuran terkait masalah hukum yang dijalani oleh beberapa pimpinan KPK. Kini baik kepolisian maupun KPK saat ini sedang dihadapkan oleh sikap yang dilematis usai merebaknya isu rekayasa dan kriminalisasi kasus pimpinan KPK non aktif tersebut.


Kepolisian dalam menggelar proses hukum terhadap pimpinan KPK, tentunya menggunakan asas equality before the law yang dapat memberi arti bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan membedaan perlakuan. Tidak ada pengecualian terhadap para pelaku tindak pidana, mereka sama kedudukan di hadapan hukum. Meskipun demikian banyak pihak yang menyayangkan penahanan tersebut. Sebab, boleh jadi kedua pimpinan non aktif KPK dapat bernasib sama dengan mantan ketua KPK, Antasari Azhar yang telah menduduki kursi pesakitan dan kursinya sebagai ketua KPK telah diberhentikan oleh Presiden.


Sesuai dengan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, pada Pasal 32 ayat (1) butir c ; menyatakan bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan di karenakan telah menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan. Dengan kata lain, pimpinan non aktif KPK tersebut tinggal menunggu waktu saja untuk diberhentikan secara tetap apabila berkas P21 yang ditangani pihak kepolisian di limpahkan ke Kejaksaan sebagai pihak yang berwenang dalam hal penuntutan, tetapi pihak kejaksaan pun harus bertindak professional. Apabila cukup bukti maka perkara tersebut harus segera dilimpahkan ke pengadilan, begitu juga sebaliknya apabila tidak cukup bukti maka harus dikembalikan ke penyidik (Mabes Polri).


Sesuai dengan KUHAP, maka kepolisian telah melaksanakan tugasnya secara professional dengan menerapkan asas perlakuan sama di depan hukum terhadap semua orang. Akan tetapi, meskipun demikian kepolisian masih saja mengalami dilematis terkait penahan yang dilakukannya terhadap pimpinan nonaktif KPK. Pihak kepolisian di hujat dan dimusuhi oleh berbagai pihak, sebab pihak kepolisian melakukan penahanan selama 20 hari dan didasari alasan objektif dan subjektif. Alasan objektif, antara lain ancaman hukuman di atas lima tahun serta telah terpenuhinya alat bukti yang cukup untuk ditetapkannya sebagai tersangka. Sedangkan alasan subjektif adalah agar tidak melarikan diri, tidak menghilangkan barang bukti dan agar tidak mengulangi perbuatannya. Tindakan yang dilakukan kepolisian tersebut sebenarnya bukanlan berlebihan dan itu sesuai dengan prosedur yang ada dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).


Meskipun pimpinan KPK turut berjasa dalam membongkar jaringan dan menjerat para koruptor di Indonesia. Akan tetapi, mereka sebenarnya bukanlah malaikat melainkan adalah hanya manusia biasa yang tidak lepas dari rasa khilaf dan kesalahan. Banyak pihak yang merasa keberatan terhadap penahanan yang didasari oleh alasan subjektif. Mereka pun berdalih tidak mungkin pimpinan KPK melanggar alasan subjektif tersebut. Tapi, alangkah lebih baik jika kepolisian bertindak lebih cermat agar sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi dan kepolisian pun mempunyai dalil dalam penerapan proses hukum tersebut.


Akan tetapi, permasalahan juga muncul manakala apabila Bibit dan Chandra telah menduduki kursi pesakitan di pengadilan sebagai terdakwa, maka ia pun harus diberhentikan sebagai pimpinan KPK. Lalu seiring proses hukum di pengadilan, ternyata bukti yang telah dikumpulkan baik oleh pihak penyidik polri maupun jaksa penuntut umum tidak cukup dan tidak meyakini hakim bahwasanya terdakwa telah melakukan tindak kriminal seperti yang di sangkakan kepadanya. Tapi meskipun Bibit dan Chandra telah dibebaskan secara murni dan tidak adanya proses upaya hukum, maka bebaslah Bibit dan Chandra. Tapi, embel-embel jabatan sebagai pimpinan KPK telah dilepas kepadanya. Lantas, sesungguhnya tindakkan kepolisian inilah dapat telah merugikan dan menggoyahkan KPK sendiri dalam mengungkap perkara korupsi.


Upaya Menggoyahkan KPK


Kita sebagai bangsa yang terus berupa untuk mewujudkan agenda reformasi berupa pemberantasan KKN cukup prihatin dengan apa yang di alami KPK sebagai institusi penegak hukum yang konsen terhadap permasalahan korupsi di Indonesia. Hingga kini KPK sedang mengalami ketimpangan terkait permasalahan yang cukup pelik dialami oleh beberapa unsur pimpinan KPK. Sejak keterlibatan mantan ketua KPK Antasari Azhar dalam kasus pembunuhan, KPK secara terus-menerus mengalami disharmonisasi. Apakah masalah yang dihinggapi oleh KPK akibat adanya unsur balas dendam oleh para koruptor, baik yang telah masuk bui maupun yang sedang menjalani proses hukum?.


Telah kita simak dalam berbagai liputan media, bahwa sesungguhnya kasus yang menimpa pimpinan KPK non aktif Bibit dan Chandra mengemuka disamping adanya testimoni dari Antasari Azhar, juga merebak terkait upaya KPK dalam membongkar secara mendalam kasus Bank Century yang telah merugikan banyak pihak khususnya negara. Lalu, adanya keterlibatan antara Kabareskrim Mabes Polri, Komjen. POL Susno Duadji yang mengekspos kasus Bibit dan Chandra tersebut. Banyak pihak yang mempertanyakan sebenarnya antara Kabareskrim dengan Bank Century memiliki ikatan moral. Jadi, dengan diangkatnya kasus Bibit dan Chandra tersebut, dapat melupakan kasus Bank Century yang sebenarnya merupakan fokus utama kita dalam hal pemberantasan korupsi.


Indonesia yang menganut dasar hukum dalam melaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara, hukum seyogyanya harus dijunjung tinggi. Alangkah baiknya kasus yang menimpa pimpinan KPK Bibit dan Chandra dapat sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kepada pihak kepolisian haruslah bekerja secara professional dengan menyakini bahwa yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah, bukan sebaliknya. Sebab, apabila kasus ini dipolitisi oleh pihak yang tidak bertanggungjawab, maka hukum seolah dapat dibeli dan tidak mempertimbangkan law enforcement (penegakkan hukum) sebagaimana yang telah diamanatkan oleh konstitusi kita.

Kamis, 29 Oktober 2009

Urgensi Dewan Pertimbangan Presiden ?


Oleh: Andryan, SH

Dalam pernyataan Presiden SBY ketika mengumumkan susunan anggota kabinetnya, juga tersiar maksud untuk memilih para deputi atau wakil menteri dan membentuk suatu keanggotaan lembaga yang turut membantu Presiden dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan negara. Keanggotaan lembaga tersebut yakni Dewan Pertimbangan Presiden (wantimpres). Tentu saja wantimpres tidaklah sepopuler dengan lembaga kementerian negara. Akan terbesit dibenak kita acapkali kita mendengar mengenai keanggotaan wantimpres, apakah lembaga ini memang benar-benar dibutuhkan Presiden atau hanya untuk menarik para mitra politik beliau saja?.


Pembentukkan Dewan Pertimbangan Presiden tentu saja dapat menimbulkan kontroversi, mengingat selain para angota kabinet di tambah para deputi/wakil menteri pada bidang tertentu. Belum lagi adanya staf khusus kepresidenan dalam berbagai bidang. Tentu saja hal ini dapat membuat keanggotaan di tubuh lembaga kepresidenan menjadi gemuk, selain terjadinya tumpang tindih kewenangan, membludaknya para pembantu Presiden tersebut juga dapat memboroskan kas negara.


Khusus terhadap Dewan Pertimbangan Presiden (wantimpres), lembaga ini sebenarnya secara konstitusional adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Dasar pembentukkan Wantimpres berlandasan Pasal 16 UUD 1945 pasca amandemen ke-IV dan diperkuat dengan di sahkannya UU No.19 Thaun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Dewan ini sebenarnya adalah sebuah Council of State yang berkewajiban memberi pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah. Dewan ini merupakan sebuah badan penasihat belaka.


Wantimpres jelmaan DPA?


Berbicara mengenai Wantimpres, juga tidak bisa kita lepaskan oleh keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dahulu kala merupakan lembaga tinggi negara. Akan tetapi, seiring dengan proses agenda reformasi, maka terjadilah amandemen UUD 1945 yang berujung dihapuskannya lembaga tinggi negara tersebut dalam perubahan keempat tahun 2002. DPA sebelumnya diatur dalam bab tersendiri, yakni BAB IV tentang Dewan Pertimbangan Agung. Setelah perubahan, keberadaan DPA diganti dengan suatu dewan pertimbangan yang ditempatkan dalam satu rumpun bab yang diatur dalam BAB III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Dengan dihapuskannya DPA, maka pada BAB IV yang sebelumnya merupakan landasan lembaga ini menjadi kosong dan tidak dicantumkan dalam subtansi UUD 1945 pasca amandemen ke-IV.


Maka tidah heran bahwa sebenarnya Wantimpres adalah penjelmaan dari DPA sebagai Dewan Pertimbangan untuk Presiden. Akan tetapi, meskipun jelmaan DPA, Wantimpres tentu sangat berbeda dengan lembaga penasihat di masa lalu tersebut. Wantimpres merupakan lembaga yang tergabung dalam lembaga kepresidenan, sedangan DPA dahulu adalah lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan Presiden. Dapat dikatakan bahwa Wantimpres adalah pembantu presiden yang kewenangan pengangkatan dan pemberhentian keanggotaannya berada di tangan Presiden.


Awal pembentukkan lembaga kepenasihatan lahir dari pernyataan Prof.Dr.Supomo,SH. dalam rapat besar Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 15 Juli 1945 menyatakan; “bahwa Kepala Negara dalam memegang dan menjalankan kekuasaan pemerintah negara di dampingi oleh satu atau dua orang Wakil Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara dan dibantu pula oleh Dewan Penasihat yang bernama Dewan Pertimbangan Agung (Moh.Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, 1978, hlm 150). Jadi Dewan Pertimbangan Presiden ini digambarkan sebagai pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan”.


Dahulu DPA sebagai lembaga tinggi negara yang telah berdiri sejak tahun 1945, yaitu pertama kali dibentuk dengan Pengumuman Pemerintah tertanggal 25 September 1945. Pada waktu itu jumlah anggotanya hanya sebelas orang dan diketuai oleh Margono Djojohadikusumo hanya untuk waktu singkat sampai ia mengundurkan diri pada tanggal 6 November 1945 dan digantikan oleh Wiranatakusumah pada tanggal 29 November 1945. Selama periode revolusi fisik sampai tahun 1949, memang tidak banyak yang dapat dinilai mengenai keberadaan lembaga DPA ini. Apalagi dibawah konstitusi RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950, memang tidak dikenal adanya lembaga DPA.


Perumus UUD RI Tahun 1945, telah memperhitungkan betapa seorang Presiden yang mendapat kekuasaan yang demikian besar serta tanggung jawab yang berat pula, senantiasa sibuk, dalam penyelenggaraan pemerintah serta menghadapi bermacam-macam masalah dan kesulitan. Berhubung dengan itu perlu ia di dampingi oleh suatu dewan yang akan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang obyektif dan bijaksana yang berdiri di luar kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini berarti kepada DPA, dibebankn kewajiban untuk senantiasa mengikuti perkembangan yang meliputi masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat, bangsa dan negara, demikian juga usul-usul yang diberikan DPA tidak mengurangi tanggung jawab kepada negara dan bangsa.


DPA dahulu memang sangat dikenal sebagai lembaga akomodasi politik dan unsur moral pemerintah, yang mana keanggotaannya dipilih berdasarkan balas jasa, yang mana juga pada masa Orde Baru lembaga ini di isi oleh para purnawirawan TNI. Maka tidak heran DPA pada saat itu tidak dapat memberikan kinerja yang baik sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.


Urgensi Wantimpres


Melihat sepak terjang DPA yang tidak memberikan kinerja yang efektif, maka tidak heran sejak diadakannya Wantimpres pada tahun 2007, banyak menimbulkan berbagai kontroversi oleh sebagian kalangan. Sebab, apabila Presiden membutuhkan suatu masukkan berupa pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil suatu kebijakan ketatanegaraan, telah ada sebuah lembaga sebelum berdirinya Wantimpres. Lembaga tersebut yakni Unit Kerja Presiden untuk Program Percepatan Reformasi (UKP3R) dan juga ada beberapa staf khusus kepresidenan. Akan tetapi, beberapa anggota DPR yang telah merumuskan terbentuknya Wantimpres menyatakan bahwa sebenarnya UKP3R maupun staf khusus sangat berbeda dengan Wantimpres. UKP3R dapat dikategorikan sebagai unit kerja atau staf Presiden, sedangkan Wantimpres adalah semacam dewan penasehat atau pemberi pertimbangan untuk Presiden, meskipun sama-sama sebagai pembantu Presiden, tapi anggota DPR menjamin keduanya tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.


Apabila kita mengacu terhadap sistem ketatanegaraan suatu negara, baik yang menerapkan sistem pemerintahan presidensil maupun sistem parlementer. Banyak negara yang menempatkan suatu wadah bagi lembaga yang akan memberi pertimbangan maupun nasihat kepada kepala negara; Raja, Presiden, maupun Perdana Menteri. Seperti yang diterapkan oleh Negara Belanda dengan nama Raad van Nederlandsch Indie (Raad van State) dan Negara prancis, Counseil d’Etat. Hal ini pun dimaksudkan agar kepala negara tersebut dalam mengambil kebijakkannya dapat berjalan secara cepat, efektif, dan dapat mengatasi persoalan bangsa dan negara yang sangat komplek. Jadi kehadiran Wantimpres sangatlah dibutuhkan oleh negara yang menjunjung tinggi demokrasi.


Wantimpres terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota dan 8 (delapan) orang anggota lainnya. Jadi jumlah seluruh anggota Dewan Pertimbangan Presiden sebanyak 9 orang, yang masing-masing membidangi suatu bagian berdasarkan keahliannya. Di lihat dari bidang-bidang yang ada, hal ini sangat mendukung bagi Presiden dalam menjalankan roda pemerintahannya. Mengingat bidang-bidang tersebut merupakan bidang yang secara praktis dapat mensejahterakan rakyat melalui kebijakan yang pro rakyat. Untuk itu Presiden harus sungguh-sungguh dalam menempati seseorang yang menduduki bidang-bidang tersebut. Seseorang yang menduduki bidang tertentu harus benar-benar ahli di bidangnya agar ia sanggup dan mampu menjalankan tugasnya secara maksimal dan juga dapat membantu Presiden dalam membuat dan memutuskan kebijakan dengan masing-masing pembidangan tersebut.

Kamis, 15 Oktober 2009

Menanti Sikap Politik PDI-P : Koalisi atau Oposisi?

Oleh: Andryan, SH

Desas-desus mengenai arah politik yang akan ditempuh partai nan sarat dengan kata lantang yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) masih menimbulkan pertanyaan besar baik oleh para kader/simpatisan maupun para seterunya. Apakah partai berlambang moncong putih itu akan meneruskan sikap lantangnya terhadap kebijakan oleh pemerintah atau malah mendukung penuh arah kebijakan pemerintah tersebut, inilah nuansa politik yang kian hari kian panas guna mencapai tambuk kekuasaan belaka.


Sebelumnya banyak kalangan yang menilai bahwa sejak kekalahan PDI-P baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden silam, akan dapat memecah belah partai titisan Megawati Soekarnoputri tersebut. Kemudian para pimpinan internal partai juga banyak yang menilai telah jenuh untuk terus ber-oposisi dan mereka ingin ada kadernya duduk di kursi kabinet pemerintah kelak. Malahan isu-isu yang bekembang hangat belakang ini juga telah memberitakan sekjen PDI-P Pramono Anung akan di rekrut oleh Presiden terpilih Soesilo Bambang Yudhoyono untuk mengisi pos kabinetnya kelak.


Sangat disayangkan apabila kelak haluan politik PDI-P menjalin koalisi dengan pemerintah, sebab sebelumnya banyak partai politik telah menjalin koalisi dengan pemerintah. Bahkan, partai berlambang pohon beringin Golkar telah menyatakan dengan tegas akan mendukung penuh pelaksanaan kebijakan pemerintah mendatang. Lantas, jika semua partai politik termasuk juga PDI-P ber-koalisi dengan pemerintah, siapakah yang akan mengontrol setiap kebijakan pemerintah? Memang dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia peran sebagai pengontrol atau mengawas setiap langkah kebijakan pemerintah/eksekutif ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tapi, apakah ke depannya fungsi DPR sebagai controlling dapat berjalan efektif? Hal ini mengingat kurang lebih 80% kursi di anggota dewan lebih berpijak terhadap pemerintah yang notabene telah menjalin koalisi besar.


Sudah bukan rahasia lagi bahwa PDI-P dikenal sangat lantang dan anti pemerintah yang merupakan seteru abadinya di bawah panji Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Awal perseteruan antara PDI-P dengan Partai Demokrat kian memanas sejak SBY keluar dari kabinet Megawati sebagai Menko Polhukam yang kemudian akhirnya SBY mencalonkan diri sebagai calon presiden pada tahun 2004 silam. Sejak saat itu antara hubungan Megawati dengan SBY berbalik seratus delapan puluh derajat hingga keduanya jarang terlibat pembicaraan bahkan ketika keduanya berjabat tangan pun pada pemilu presiden 2009 masih menunjukkan sikap dingin antara keduanya. Celakanya, meskipun dalam suatu forum terlihat dingin, tapi di belakang forum antara keduanya saling menjatuhkan dan membunuh karakter satu sama lainnya. Hal inilah yang semakin memperuncing hubungan politik antar elit tersebut.


Perseteruan antara SBY tidak hanya pada ketua umum PDI-P, Megawati saja. Melainkan juga sikap dewan pertimbangan partai yang merupakan suami Megawati, Taufik Kiemas juga tidaklah dikatakan bersahabat. Pada saat SBY keluar dari kabinet Megawati tersebut, Taufik Kiemas secara mengejutkan mengkritik SBY dengan menyebutkan bahwa “SBY adalah Jenderal yang kekanak-kanakan”. Untung saja SBY ketika itu tidak menunjukkan respon terhadap kritikan Taufik Kiemas, yang mana sikap diam SBY tersebut membawanya popular dengan merebut hati jutaan rakyat Indonesia dan SBY pun memenangkan pemilu presiden 2004 dan berhak mengukir sejarah dengan mencatatkan tinda emas sebagai pemimpin pilihan rakyat pertama secara langsung. Kemenangan SBY pada pemilu 2004 tentu saja membuat lawan politik SBY menjadi semakin memanas, terutama Megawati yang pada sebelumnya “sakit hati” akibat ulah SBY.


Pada awal kepemimpinan SBY sejak terpilihnya ia sebagai presiden secara langsung oleh rakyat tahun 2004, sangat diwarnai oleh banjirnya kritikan pedas oleh seterunya. Meskipun Megawati yang terlebih dahulu dikenal bersikap dingin terhadap SBY tetapi ia tidaklah segencar Amien Rais dalam memberikan kritik terhadap arah kebijakan pemerintahan SBY. Amien Rais yang juga lawan politik SBY ketika berhadapan pada Pilpres 2004, sangat bertentangan arus dengan kebijakan SBY. Padahal pada putaran kedua Pilpres tersebut, partai besutan Amin Rais yakni Partai Amanat Nasional (PAN) telah menjalin koalisi dengan partai Demokrat besutan SBY. Pada formasi kabinet SBY pun banyak kader PAN mengisi pos sebagai anggota dewan Menteri, tapi sikap Amien Rais yang kontra dengan pemerintah cukup diacungi jempol. Hal ini tentu saja agar pemerintah dalam membuat kebijakannya selalu berpijak terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat.


Tapi, sejak kritikan Amin Rais terhadap SBY yang mengatakan ia menerima kucuran dana kampanye dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sungguh di luar dugaan. SBY sangat marah mendapatkan kritikan yang mana ia menyebutnya sebagai perbuatan “fitnah”. Untuk itu SBY pun mengadakan konferensi pers secara langsung untuk menjawab fitnah yang dilayangkan kepadanya. Lalu, SBY mengadakan pertemuan tertutup dengan Amien Rais yang menurut info saat itu pertemuan itu bermaksud untuk menjalin silatuhrahmi antar kedua elit politik tersebut. Pertemuan antara SBY dengan Amien Rais tidaklah berlangsung lama hanya kurang lebih 10 menit. Tapi, sejak pertemuan itu sikap Amien Rais berubah seratus delapan puluh derajat. Amien Rais tidak pernah lagi mengeluarkan kritikan terhadap kebijakan pemerintahan SBY hingga saat ini. Tentu saja kita bertanya-tanya ada apa dengan pertemuan singkat tersebut?.


Pada saat pemilu 2009, Amien Rais tidak mencalonkan diri sebagai Presiden tapi ia malahan mendukung SBY untuk maju sebagai calon Presiden incumbent. Untuk itu ia merekomendasikan agar PAN dapat menjalin koalisi dengan partai Demokrat. Padahal ketua umum PAN Soetrisno Bahir ingin mencalonkan diri sebagai calon presiden ketika itu. Hal ini tentu saja membuat hubungan Amen Rais dengan Soetrisno Bahir agak renggang dengan berbeda haluan.


Lawan jadi Kawan?


Seperti halnya nuansa politik yang selalu memainkan peran memanas untuk mencapai tambuk kekuasaan. Politik yang di perankan oleh para elit pun selalu tidak dapat di prediksi. Politik selalu mempunyai kata serapah yakni “kawan bisa jadi lawan dan lawan pun bisa menjadi kawan”. Kata tersebut selalu dapat menjadi kenyataan dalam berpolitik. Amein Rais yang dahulunya merupakan lawan politik SBY hingga kini berubah haluan menjadi kawan SBY dengan memberikan dukungan kepadanya. Lalu setelah Amien Rais, kini nampaknya lawan politik SBY yang diproyeksikan akan dapat menjadi kawan yakni penasihat PDI-P Taufiq Kiemas yang juga merupakan suami dari mantan Presiden ke- 5 R.I. Megawati Soekarnoputri.


Taufik Kiemas yang dahulu pernah mengejek SBY dengan mengatakan “SBY adalah Jenderal kekanak-kanakan”, kini seakan telah meninggalkan ucapannya dan segera menjadi mitra SBY. Bahkan, Taufiq Kiemas pun telah mendatangi kediaman SBY di Ciekeas guna memberikan undangan pada pelantikan Presiden terpilih 2009. Pada kesempatan itu juga Taufiq Kiemas meyakinkan SBY bahwa Megawati akan dijadwalkan untuk menghadiri acara pelantikkan tersebut. Jikalau Megawati datang pada pelantikkan SBY kelak tentu saja ini sangat menarik, sebab telah satu periode SBY menjabat sebagai Presiden R.I. baik pada acara kenegaraan maupun acara resmi lainnya, Megawati tidak menampakkan dirinya hadir pada acara resmi kenegaraan meskipun ia telah diundang. Apakah jikalau dengan hadirnya Megawati pada pelantikan SBY kelak akan menjawab pertanyaan publik bahwa kubu PDI-P telah menjadin koalisi dengan pemerintah?.


Kita sebagai bangsa yang telah menerapkan Negara kesatuan sebagai sistem Negara tentu sangat senang apabila elit politik yang sebelumnya menjadi lawan kini dapat menjadi kawan dalam membangun dan menjalankan pemerintahan negara. Akan tetapi, apabila tidak adanya partai oposisi di tambah lagi anngota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berlabuh mendukung pemerintahan, apakah sesuai dengan sistem presidensial yang kita anut. Yang mana pada sistem tersebut, pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dilakukan oleh DPR maupun partai oposisi. Semoga sikap PDI-P yang berhaluan keras terhadap pemerintah dapat dipertahankan guna efektifnya tugas dan fungsi pemerintah kelak.