Minggu, 12 Juli 2009

Kemenangan Mutlak SBY-Boediono: Membangun Pemerintahan Diktator?


Oleh: Andryan, SH


Meskipun hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) terhadap pemilihan presiden (pilpres) 2009 belum final, akan tetapi hasil penghitungan cepat (Quick Count) dan juga penghitungaan sementara oleh KPU menempatkan pasangan dengan nomor urut 2 yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono masih bercokol di puncak klasemen. Bahkan, hasil perhitungan suara baik secara nasional maupun tiap daerah yang ada di Indonesia, pasangan SBY-Boediono menang mutlak atas seterunya.


Sebagaimana yang telah di prediksi sebelumnya yang dilakukan oleh lembaga survei atau iklan yang di usung oleh tim kampanye, SBY-Berbudi menang dengan 1 putaran. Sungguh inilah hasil yang dilakukan oleh rakyat sebagai konstetuen, meskipun banyak kalangan baik dari lawan politik maupun kalangan yang kontra dengan pemerintahan SBY menyebutkan pemilu 2009 kental dengan nuansa curang dan manipulasi suara. Tetapi itulah politik, kawan bisa jadi lawan dan lawan bisa jadi kawan. Bisa di maklumi bagi kalangan yang tidak terima terhadap hasil pilpres tersebut, sebab mereka ada di pihak yang kalah dan sebagai hukum alam bahwa tidak ada seorang pun yang dengan ikhlas menerima kekalahannya.


Terlepas dari permasalahan dan konflik yang terjadi antara elit politik, kita sebagai rakyat telah dipertontonkan nuansa politik yang tidak mendidik dan cenderung lebih mengutamakan kekuasaan belaka di bandingkan dengan mengutamakan kepentingan rakyat. Hingga hari kedua setelah perhelatan akbar pilpres 2009, pasangan SBY-Boediono yang notabene telah memperoleh kemenangannya dengan satu putaran belum ditanggapi oleh lawan politiknya, baik capres Megawati maupun Jusuf Kalla (JK). Akan tetapi, JK yang masih menjabat sebagai wakil presiden dengan jiwa negarawannya menelepon SBY dan mengucapkan selamat atas kemenangannya. Bagaimana dengan Megawati? Tokoh yang satu ini masih saja dendam dengan sikap SBY yang ketika itu mengundurkan diri sebagai Menko Polkam pada masa pemerintahannya dan mencalonkan sebagai capres. Dalam masa kampanye rakyat juga telah dipertontonkan dengan pertebatan yang tidak mendidik dengan saling menyindir dan menjatuhkan antara satu sama lain. Sungguh beginikah sikap sebagai seorang negarawan?.


Apabila kita cermati pada pilpres Amerika Serikat yang juga baru saja menggelar pesta akbar demokrasi tahun 2008, pada saat kampanye baik Barack Obama yang merupakan capres Demokrat dengan lawan politik John McCain dari partai republik saling panas dalam perdebatan visi dan misi antara keduannya. Akan tetapi pada saat pemilihan presiden, rakyat AS telah memilih Barack Obama sebagai capres pilihan rakyat dan yang perlu diketahui oleh para politikus di Indonesia, pada saat hari itu juga Obama menggelar pidato kemenangannya yang disambut meriah oleh jutaan pendukungnya. Lantas bagaimana dengan sikap McCain? Tidak seperti yang terjadi di Indonesia, McCain juga menggelar pidato di depan para pendukungnya dengan mengucapkan “Obama Presidenku” lalu mengucapkan selamat kepada Obama sebagai pemenang capres pilihan rakyat. Inilah potret yang perlu politikus Indonesia untuk banyak belajar dari negeri paman sam tersebut.


Pemerintahan yang Kokoh


Terlepas dari hingar-bingar pilpres 2009, capres incambent SBY yang telah memenangkan hati rakyat di hadapkan dengan membangun sebuah kekuatan pemerintahan yang sangat kokoh bahkan menyerupai rezim orde baru. Bagaimana tidak, disamping menempatkannya sebagai capres terpilih oleh rakyat juga menempatkan partai politiknya yakni Demokrat sebagai partai pemenang pemilu 2009. Maka sudah barang tentu para kader demokrat banyak bercokol di gedung dewan sebagai anggota DPR RI masa bakti 2009-2014. Partai Demokrat meraih suara terbanyak (pemenang) dengan meraih suara nasional 21.703.137 (20,85) dan memperoleh 148 kursi DPR atau 26,43 persen dari keseluruhan kursi parlemen yang berjumlah 560 kursi.


Jika kita cermati juga dengan kedikdayaan partai demokrat yang merupakan partai polesan SBY, juga di ikuti oleh beberapa partai koalisi yang telah memenangkan capres Sby dan parpol tersebut telah lolos dari ambang batas perolehan suara nasional sebesar 2,5 % (parliamentary threshold) yakni, PKS 8.206.955 (7,88) suara dan 59 kursi (10,54 persen), PAN 6.254.580 (6,01) suara dan 42 kursi (7,50 persen), PPP 5.533.214 (5,32) suara dan 39 kursi (6,96 persen), PKB 5.146.122 (4,94) suara dan 26 kursi (4,64 persen). Dengan demikian apabila kita kalkulasikan bahwa perolehan kursi di senayan dengan basis dukungan kepada SBY mencapai 314 kursi. Sungguh jumlah perolehan kursi yang sangat besar dengan menempatkan lebih dari setengah kuota di gedung dewan. Melihat kenyataan ini, apakah lantas fungsi DPR sebagai pengawas (monitoring) pemerintah menjadi mandul, sebab baik partai Demokrat maupun partai koalisinya akan lebih pro terhadap pemerintahan SBY kelak.


Apabila fungsi DPR sebagai pengawas pemerintahan menjadi mandul atau tidak berfungsi, maka otomatis kekuasaan yang dibangun pemerintahan SBY menjadi sangat luas dan kokoh dari ancaman partai oposisi yang ingin mencoba menggulingkan pemerintahannya. Sebagimana yang kita ketahui juga, bahwa apabila presiden ingin dilengserkan dari kedudukannya, maka usul pemberhentiannya dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, menyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela atau pendapat presiden tidak memenuhi syarat sebagai presiden. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.


Lalu dengan ketentuan tersebut, maka capres terpilih SBY kelak tidak akan mampu untuk digulingkan. Sebab telah disinggung sebelumnya bahwa dukungan terhadap SBY di DPR telah melebihi setengah jumlah anggota DPR. Jadi tidak ada cara apapun untuk menjatuhkan kursi presiden apabila tidak adanya dukungan 2/3 dari jumlah kursi di DPR untuk menjatuhkan presiden. Melihat fakta tersebut, apakah pemerintahan SBY kelak dapat menjadi diktator dan bersikap arogan?. Hanya waktu yang akan dapat menjawab tindakan tersebut.


Sistem Pemerintahan


Sistem pemerintahan berkaitan berkaitan dengan pengertian penyelenggaraan pemerintahan eksekutif dalam hubungannya dengan legislatif. Sistem pemerintahan yang dikenal dunia saat ini secara garis besar di bedakan dalam tiga macam yakni, sistem pemerintahan presidensiil, sistem pemerintahan parlementer, dan sistem campuran. Dalam sistem pemerintahan presidensiil merupakan sistem pemerintahan yang terpusat kepada jabatan presiden sebagai kepala pemerintahan sekaligus sebagai kepala negara. Sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer itu dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. kedua jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan itu pada hakikatnya, sama-sama merupakan cabang kekuasaan eksekutif. Sementara itu, dalam sistem campuran, unsur-unsur kedua sistem itu tercampur di mana ciri-ciri kedua sistem tersebut sama-sama dianut. (Jimly Ashhidiqie, Pokok-Pokok HTN).


Melihat penjabaran antara beberapa sistem pemerintahan tersebut, Negara Republik Indonesia pada saat ini menganut sistem pemerintahan presidensiil yang menempatkan presiden sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai kepala negara. Akan tetapi pada kenyataan pelaksanaannya, kita menganut sistem presidensiil dengan bergaya sistem parlementer. Mengapa demikian? Sebab pada masa awal pemerintahan SBY, DPR yang melaksanakan fungsi pengawasan dapat dengan leluasa dan agrogan dengan memanggil dan memeriksa para anggota kabinet maupun presiden berkali-kali yang menurut dugaan tidak menjalankan pemerintahan dengan baik. Lalu, apakah fungsi DPR sebagai pengawas sebagaimana yang telah dijalankan pada periode sebelumnya dapat berjalan secara efektif pada periode mendatang? Marilah kita tunggu..!!