Kamis, 25 November 2010

Perubahan Lalu-lintas dan Solusi Kemacetan Kota Medan

Sejalan dengan bergantinya kepemimpinan di suatu daerah, mau tidak mau kebijakan yang dibuat oleh pemimpin di daerah tersebut pun harus juga berubah. Salah satu daerah yang sering merubah kebijakan seiring bergantinya kepemimpinan yakni kota Medan. Sebagai kota terbesar ketiga di nusantara, maka kota Medan pun diliputi oleh beragam problematika yang salah satunya yakni kemacetan. Dengan bertambah pesatnya jumlah penduduk dan kendaraan bermotor, kota Medan mau tidak mau harus segera berbenah untuk mengatasi problematika kemacetan yang semakin parah. Berbagai solusi mengatasi kemacetan pun digalakkan pemerintah kota Medan. Kebijakan tersebut yakni perubahan lalu lintas di sejumlah titik pusat kota Medan. Lantas, dengan kebijakan tersebut, dapatkah kemacetan lalu lintas kota Medan segera dituntaskan?

Perubahan lalu lintas di sejumlah titik kota Medan patut kita apresiasi dengan baik, sebab hal ini juga menandakan bahwa pemimpin di kota ini masih peduli dan berniat untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kota Medan. Akan tetapi, hal yang sangat disayangkan bahwa perubahan lalu lintas tersebut sebenarnya bukanlah solusi yang konkret dan terkesan hanyalah coba-coba. Mengapa demikian?. Sebab dengan perubahan lalu lintas tersebut, ada beberapa hal yang membuat masyarakat di kota Medan merasa terusik dan merasa dirugikan. Beberapa diantaranya yakni masyarakat yang terbiasa menggunakan angkutan kota atau angkot harus berpikir ulang dan mencari angkot baru untuk mencapai tujuannya seperti ke tempat kerja atau sekolah.

Pemko Medan telah beberapa kali melakukan uji coba perubahan arus lalin di sejumlah lokasi. Ada yang berhasil, ada pula yang gagal dan akhirnya dikembalikan seperti semula, seperti di Jalan Raden Saleh/Balaikota. Dulu pernah dijadikan satu arah tapi terjadi kemacetan luar biasa di persimpangan Lapangan Merdeka sehingga akhirnya dikembalikan dua arah lagi. Kalau sekarang kembali dijadikan satu arah karena volume kendaraan dari arah simpang Pengadilan dan Imam Bonjol menuju simpang Balaikota sangat tinggi dengan membuka akses Jalan Pulau Pinang langsung ke Jalan A. Yani VII (depan Lonsum) berarti tidak akan terjadi penumpukan kendaraan di simpang Balaikota. Kalaupun ada sifatnya sporadis. Namun, akibat dipasang ’traffic light’ di Jalan Ahmad Yani/Kesawan pastilah terjadi penumpukan di sana saat lampu merah.

Penyebab Kemacetan

Sebelum mengatasi problematika kemacetan lalu lintas di kota medan yang semakin parah, adakalanya kita mengungkap beberapa aspek penyebab kemacetan lalu lintas di kota Medan. Aspek pertama, yakni badan jalan yang tidak layak untuk ukuran kota sebesar medan. Apabila kita melintas jalan di perkotaan bahwa jarak antara bangunan seperti gedung, rumah, dan toko di pinggir badan jalan sangatlah dekat bahkan tidak ada jarak sedikitpun hal inilah yang dipakai pengunjung yang ingin ke toko atau gedung-gedung di jalan untuk memakirkan kendaraan mereka. Badan jalan yang sudah sedemikian sempit ditambah lagi oleh pengunjung yang memakirkan kendaraannya akan semakin membuat para pengguna jalan tidak dapat leluasa melintas di jalanan.

Aspek kedua, selain badan jalan yang digunakan untur parkir kendaraan, juga trotoar yang banyak digunakan untuk berjualan (pedagang kaki lima) dan kesadaran masyarakat belum sepenuhnya sehingga timbul kemacetan akibat salah fungsi dari trotoar tersebut. Sementara bila di luar negeri trotoar ada tiga baris, ada untuk pejalan kaki, untuk orang cacat dan untuk warga yang bersepeda. Trotoar sangat memiliki fungsi yang sangat penting dalam suasana perkotaan seperi kota sebesar Medan, hal ini agar tidak terganggunya para pejalan kaki yang ingin meninkmati suasana kota. Apabila trotoar disalahgunakan sebagai lahan berjualan bagi orang yang tidak mempunyai kesadaran dan kepedulian akan merusak keindahan kota dan pasti tentunya akan semakin membuat kemacetan semakin parah sebab pasti banyak kendaraan yang berhenti atau parkir apabila ingin membeli sesuatu di tempat trotoar tersebut.
Aspek ketiga, trayek bus dan angkutan kota (angkot) di mana sopir belum punya kesadaran untuk menaikkan dan menurunkan penumpang pada halte/terminal yang telah ditentukan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para sopir ankot di kota Medan terkenal sangat egois dalam berkendaraan untuk mencari penumpang dan juga menaikan serta menurunkan penumpang sampai pada tengah-tengah badan jalan. Hal ini disamping mendatangkan bahaya bagi penumpang yang turun juga sangat menzholimi para pengguna jalan yang tiba-tiba berhenti akan mencelakakan kendaraan yang melintas dan dapat menimbulkan kematian.

Aspek keempat, yakni buruknya sarana dan prasarana di kota Medan seperi jalanan yang berlubang dimana-mana. Jalanan yang berlubang tersebut tentunya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kemacetan lalu lintas, sebab para pengguna kendaraan yang melintas dengan adanya lubang didepannya tentu akan menyelip untuk menghindari lubang tersebut dan yang sangat perlu diperhatikan pemerintah kota yakni apabila turun hujan maka jalanan yang berlubang tersebut akan dapat mencelakakan para pengguna jalan. Pembenahan jalanan yang berlubang tidak cukup hanya dengan menambal pada bagian jalanan yang berlubang, sebab hal ini tentunya hanya bersifat sementara yang pada sewaktu-waktu pasti akan kembali berlubang.

Aspek kelima, tentunya kesadaran masyarakat pengguna jalan yang tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas. Pengguna jalan hanya mau mematuhi tata tertib lalu lintas apabila ada aparat polisi lalu lintas yang berjaga. Belum lagi apabila terjadi pemadaman aliran listrik yang tentu akan berakibat terhadap semberawutnya persimpangan lalu lintas, kemudian apabila ada perlintasan kereta api tetap saja ada kendaraan yang menyelinap masuk melewati batas garis, hal ini tentu sangat mengganggu pengguna jalan yang lain serta akan dapat berakibat fatal. Tertib dalam berkendaraan dan tidak saling mementingkan diri sendiri tentu sangat diharapkan oleh setiap pengguna jalan agar lalu lintas dapat kembali lancar.

Solusi Kemacetan

Dengan adanya beberapa aspek penyebab kemacetan di kota Medan tersebut, kebijakan pemko Medan terhadap perubahan arus lalu lintas yang dirasakan penduduk kota Medan beberapa waktu belakangan ini tidaklah akan banyak memberikan solusi dalam mengatasi kemacetan. Akan tetapi, setidaknya ada beberapa hal solusi yang konkret dalam mengatasi problematika kemacetan kota Medan. Beberapa solusi tersebut antara lain, pembersihan tempat-tempat liar di seputaran trotoar dan di pinggiran badan jalan. Lalu, memberikan sanksi tegas terhadap pengguna kendaraan bermotor yang memarkir kendaarannya di tepi badan jalan.

Pemberian sanksi terhadap kendaraan bermotor yang parkir sembarangan harus secara konsisten dijalankan pemko Medan. Pemberian sanksi tersebut setidaknya akan dirasakan oleh para pemilik gedung-gedung dan pertokoan agar segera membuat sendiri lahan parkir dan tidak menggangu lalu lintas. Kemudian, dengan semakin pesatnya pertumbuhan kendaraan bermotor di kota Medan, maka ada baiknya pemberlakuan dan penerapan jalur 3 in 1 untuk kendaraan roda empat serta 2 in 1 untuk roda dua di jalur-jalur titik kemacetan tertentu sangat efektif dilakukan, sebab hal ini akan mengurangi jumlah kendaraan yang melintas.

Lalu hal yang utama secara tidak langsung tapi berperan sangat besar mengatasi kemacetan dan memperlancar lalu lintas di kota Medan yakni pembenahan jalan. Jalan merupakan central dalam berlalu lintas, maka sudah barang tentu dengan jalan yang buruk, berlobang, serta tidak sesuai dengan standar, lalu lintas pun akan tersendat dan mengalami kemacetan yang parah terutama pada musim hujan karena genangan air dan terjadi kebanjiran akan memperparah penunpukan kendaraan. Pembenahan jalan bukan bukan hanya dengan menambal sulam pada titik lobang tertentu saja, tetapi membenahi dan memperbaiki badan jalan sesuai standar pengaspalan badan jalan di seluruh kawasan lalu lintas yang ada di kota Medan tanpa terkecuali. Semoga kedepannya pemko Medan dapat lebih bijak dalam mengatasi kemacetan dan bukan dengan kebijakan coba-coba.

Kamis, 18 November 2010

Hilangnya Kredibilitas Penegak Hukum

Aparat penegak hukum kita lagi-lagi mendapat sorotan yang maha tajam dari berbagai media cetak dan elektronik nasional serta masyarakat di tanah air. Hal ini tidak lain dengan kembalinya melakukan blunder yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri khususnya pihak kepolisian terkait dengan berkeliarnya terdakwa korupsi mafia pajak Gayus Halomoan P. Tambunan. Sangat sulit dipercaya dengan foto yang memperlihatkan Gayus bertamasya di Bali, padahal ia masih bertatus tahanan oleh Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.

Kuat dugaan dari berbagai pihak bahwa keluarnya Gayus dari sel tahanan karena memberikan segepok uang kepada pihak kepolisian di Rutan Mako Brimob. Sungguh sebuah tindakan yang memprihatinkan dan semakin mencoreng penegakan hukum di republik ini. Apa yang melatarbelakangi aparat penegak hukum di negara kita mau saja di kelabui dengan segepok uang dan memperjual-belikan supremasi penegakan hukum?

Sebelumnya masih ingat dalam ingatan kita bagaimana hukum di negeri ini seakan dikangkangi oleh para kawanan perampok uang rakyak bernama koruptor dengan berbagai intrik dan rekayasa serta melakukan bermacam kriminalisasi. Penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, serta Kepolisian dan juga tidak ketinggalan para advokat ikut dalam permainan penuh sandiwara busuk tersebut. Berbagai kasus besar maupun kecil menjadi lahan yang sangat empuk oleh aparat penegak hukum di negeri ini untuk terus memanen kekayaan dari hasil permainan kotor.

Hilangnya kredibilitas


Kini, dengan keluar masuknya dari tahanan terdakwa kasus mafia pajak Gayus di Bali membuat masyarakat kita merasa pesimis dan kembali membuat hilangnya kredibilitas atau kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hukum begitu tercemar dan mudah diperjual-belikan oleh aksi aparat penegak hukum itu sendiri yang notabene adalah pengawal dan pendekar hukum dalam menjunjung tinggi supremasi hukum. Lantas, melihat situasi penegakan hukum yang bobrok, dimanakah kita mencari lagi aparat penegak hukum yang benar-benar bersih dan patriotik dalam penegakan hukum di bumi pertiwi?

Dalam beberapa waktu belakangan ini kita melihat aparat penegak hukum sangat mudah menjual sumpah jabatan yang mereka emban. Beberapa aparat penegak hukum yang dimaksud diantaranya yakni Jaksa koordinator kasus BLBI, Urip terlibat kasus suap oleh pengusaha Artalita Suryani, Komjen Susno Djuaji terlibat dalam kasus pencairan dana Bailout Bank Century, beberapa petinggi Polri juga terlibat skandal dalam rekening gendut yang mencurigakan dan diduga sebagai pembeking para koruptor, Jaksa Cyrus Sinaga yang menangani perkara Gayus pun terlibat dengan semakin mencurigakan harta yang dimilikinya. Serta angin yang mulai berhenbus kencang di permukaan media nasional yakni dugaan terjadinya mafia peradilan di lembaga yang selama ini dikenal bersih dan transparansi, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Dugaan terjadinya praktek suap antar hakim MK terkait perkara yang ditanganinya sungguh mengejutkan kita, skandal ini pun mulai tercium oleh tulisan intelektual Refky Harun di rubrik opini Harian Kompas. Tulisan pemerhati hukum konstitusi tersebut tentulah beralasan karena ia melihat sendiri terjadinya transaksi dan barang bukti hasil mafia hukum di MK. Sungguh membuat bangsa ini kembali mengalami degradasi moralitas penegak hukum. Bahkan, di lembaga pemasyarakatan yang merupakan tempat pesakitan narapidana, ada juga kita menemukan berbagai permainan busuk yang tidak lain adalah sandiwara dalam mafia hukum. Kita berkeyakinan bahwa di dalam sel tahanan tersebut masih banyak terdapat permainan kotor seperti transaksi narkoba, ruang tahan mewah seperti yang dimiliki oleh narapidana suap Artalita Suryani, hingga keluar-masuknya para tahanan untuk keperluan yang tidak dapat menjadi alasan pembenar.

Pembenahan Mental


Berbicara penegakan supremasi hukum tentu juga erat kaitannya dengan aparat penegak hukum itu sendiri. Dengan aparatur penegak hukum tersebut-lah hukum dapat di kendarai sesuai koridor atau sebaliknya. Hukum secara normatif telah sesuai dengan asas kemanfaatan dan berkeadilan. Akan tetapi, aparat penegak hukum yang merupakan aktor dalam menjalankan hukum normatif tersebut seakan tidak dapat menjalankan tujuan luhurnya yakni menegakkan kebenaran yang bernuansa keadilan di masyarakat.

Kita menyadari bahwa dalam pembentukkan aparat penegak hukum tersebut
tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Ada beberapa proses yang secara sistematis harus dimiliki dalam pembentukkan menjadi aparat penegak hukum yang kredibel, kompeten, dan bermoralitas. Langkah pertama dalam pembentukkan figur penegak hukum tersebut haruslah dimulai dengan proses rekrutmen yang bersih, transparansi, dan bebas dari unsur KKN. Bukanlah cerita yang menggemparkan apabila selama ini dalam proses rekrutmen aparat penegak hukum seperti Hakim, Polisi, Jaksa, serta lembaga lainnya sangat kental dengan nuansa kecurangan. Bahkan, praktek sogok-menyogok seakan sudah menjadi budaya yang sulit dihapuskan dalam proses rekrutmen tersebut. Hal inilah yang menjadi fondasi utama bagaimana aparat penegak hukum yang ingin menjalankan karir dalam penegakan hukum itu sudah bermental korup. Maka, sudah pasti dalam menjalankan tugasnya, ia hanya bermental materi dan selalu berupaya bagaimana mengembalikan uangnya yang telah terkuras saat praktek sogok-menyogok dalam proses rekrutmen dengan berbagai macam cara kotor demi segepok uang/materi.

Lalu, apabila proses rekrutmen telah bersih dari unsur kecurangan dan budaya korup, para calon penegak hukum haruslah dibekali oleh pendidikan. Dalam proses pendidikan inilah sesungguhnya penegak hukum tersebut dapat membentuk karakter yang tangguh dan berjiwa pendekar hukum yang tidak gampang di suap serta bermental tegas dan berani. Dalam pendidikan yang membentuk karakter penegak hukum seharusnya telah dimulai sejak menginjak di bangku perguruan tinggi. Sebab, apabila pelajar hukum di perguruan tinggi yang ingin menerjunkan jalan hidupnya untuk menjadi aparatur penegak hukum, maka instansi-instansi penegak hukum tersebut tidaklah bersusah payah dalam membentuk kembali karakter sebagai pendekar hukum.

Pendidikan hukum di berbagai perguruan tinggi di tanah air sesungguhnya tidaklah sesuai dengan realita dalam perkembangan masyarakat kita. Sebagai pendidikan yang lebih menekankan terhadap keahlian dan pembentukan karakter, maka sudah sepantasnya pendidikan hukum di perguruan tinggi lebih berbasis moralitas tanpa mengurangi kurikulum untuk membentuk keahlian hukumnya. Pendidikan berbasis moralitas dimaksudkan selain dapat membentuk karakter menjadi pendekar hukum yang tegas, juga dapat bermental luhur dan tidak mudah tergoyah oleh materi.

Pendidikan hukum selama ini pun cendrung mengutamakan pendidikan yang menekankan pada penguasaan dan kompetensi professional. Tujuan tersebut sesungguhnya bukanlah hal yang buruk, sebab sesuai permintaan konsumen agar dapat bersaing di pasar pekerjaan hukum. Akan tetapi, jika selama ini pendidikan hukum lebih memusatkan perhatian terhadap pendidikan untuk mengejar kompetensi professional, maka hal tersebut tentu dapat mengabaikan dimensi pendidikan hukum untuk menghasilkan manusia berbudi pekerti luhur seperti perilaku baik, seperti kejujuran, keterbukaan, kemampuan untuk turut merasakan dan mengasihi.

Aparat penegak hukum bekerja bukanlah dengan materi melainkan dengan keluhurannya dalam menjalankan profesi sebagai penegak supremasi hukum. Apabila aparat penegak hukum dalam melakukan aksi suap dan korupsi berdalih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sungguh hal tersebut tidaklah dapat menjadi alasan. Sebab, menjadi penegak hukum bukanlah membuat seseorang menjadi kaya raya, melainkan bertekad untuk berupaya membuat kebenaran, keadilan, keamanan, ketertiban, dan pengayom masyarakat. Apabila penegak hukum hanya berkeinginan untuk menjadi kaya dan bergelumur materi, bukankah lebih pantasnya ia melepaskan embel penegak hukum dan terjun ke dunia bisnis dengan menjadi pengusaha yang tujuannya yakni mencari keuntungan dengan materi?

Rabu, 10 November 2010

Pelajaran Hidup dari Para Penulis

Menulis adalah peradaban manusia yang tidak akan sirna hingga akhir zaman. Banyak manusia yang ingin menjadi penulis meskipun itu bukanlah cita-cita hidupnya. Berbagai motivator agar dapat menghasilkan para calon penulis baru pun banyak bermunculan dari masa ke masa. Dari berbagai pelatihan singkat, kursus, hingga lewat buku motivator-motivator para penulis dituangkan untuk dapat merangsang para calon penulis agar senantiasa mengimplementasikan ilmu yang mereka terima dari sang motivator para penulis tersebut.

Meskipun banyak dari kita tidak dapat menulis dikarenakan tidak adanya keinginan untuk melakukan pekerjaan menulis. Hal ini bisa dimaklumi melihat tingkat kebutuhan akan membaca di masyarakat sangat rendah dan yang paling banyak menghambat seorang untuk menjadi penulis adalah adanya pemahaman yang keliru berkembang di masyarakat dan sangat sulit dihapuskan bahwa pekerjaan menulis sangat erat kaitannya dengan bakat atau talenda yang dimiliki seseorang.

Sesungguhnya pekerjaan menulis dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang latar pekerjaan, pendidikan, gender, maupun status sosial seseorang. Sebab, menjadi seorang penulis adalah mutlak berasal dari kemauan dan kerja kerasnya agar dapat menghasilkan bacaan kepada khalayak ramai. Setidaknya, walaupun sebagian masyarakat di sekitar kita belum tersalurkan kemauan menuliskan, ada beberapa hikmah pelajaran yang sangat berharga untuk dipetik dalam perjalanan hidup kita yang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja dari para penulis yang telah menerjunkan gagasannya ke dalam dunia pena.

Menulis adalah pekerjaan yang selalu memerlukan tingkat berpikir dan kemudian menuangkan hasil pemikiran kita ke dalam secarbik kertas atau mengetik di hadapan monitor komputer. Lalu, apakah dengan berpikir para penulis tersebut dapat merasakan hasilnya?. Tentu saja tidak, selain dengan terus-menerus berpikir dalam menuangkan gagasannya, para penulis juga haruslah bekerja keras apabila tulisan yang berbuah dari pemikirannya tersebut ingin dapat dipublikasikan dan dibaca oleh khalayak ramai melalui media massa ataupun buku-buku terbitan.

Banyaknya orang yang ingin dapat menulis, akan tetapi ia hanya selalu berkhayal dan sesunggunya malas dalam berpikir serta bekerja keras untuk terus berkarya dalam menulis agar dapat dipublikasikan di media massa. Dengan demikian pelajaran hidup yang dapat kita petik dari pekerjaan para penulis yakni bahwa dalam menjalani aktivitas kehidupan, manusia senantiasa harus dihadapi oleh berlika-liku batu sandungan dalam kehidupan. Oleh karenanya, kita harus dapat selalu berpikir dengan proses pembelajaran dalam mencari solusi atau mencari alternatif, serta inovasi agar dapat memudahkan kita dalam menjalani rutinitas kehidupan.

Disamping dalam menjalani kehidupan ini harus selalu menggunakan dan memaksimalkan pola pikir kita, para penulis juga mengajarkan akan makna dari kerja keras. Sebab, apabila segala pola pikir kita tidak disertai dengan kerja keras untuk terus berusaha mencapai tujuan, niscaya angan-angan kita dalam mengarungi tujuan hidup akan tersendat di tengah jalan. Para penulis selalu bekerja keras dengan mencapai angan-angannya tersebut, maka hal yang sesungguhnya mustahil pun akan dapat kita capai dengan hanya bekerja keras.

Banyak para penulis kondang yang telah menghasilkan beberapa buah maha karya dan dikenang dari masa ke masa memiliki perjalanan yang tentunya tidak mudah dan lebih berliku-liku. Penulis buku laris luar negeri Harry Potter, JK Rowling dan penulis dalam negeri melalui buku Tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata adalah segelincir contoh para penulis yang pantang menyerah untuk terus bekerja keras dalam mencapai tujuan hidup. Bahkan, kedua penulis sekaliber dunia ini mendapati perlakuan yang tidak menyenangkan dari berpuluh-puluh perusahaan penerbit yang dengan lantang menolak tulisannya untuk dapat dipublikasikan dalam bentuk buku.

Dengan perjuangan kerja keras yang tiada henti, maka para penulis tersebut pun diberi kesempatan dengan dipublikasikannya tulisan mereka. Hasilnya, tentu saja sangat mengejutkan seantreo dunia karena disamping telah meroketkan namanya ke dalam popularitas tertinggi, juga melalui goresan penanya, perusahaan penerbit seakan mendapatkan durian runtuh dengan memperoleh label best seller atas bukunya tersebut. Setidaknya apa yang para penulis perjuangkan dalam kisahnya tersebut mengingatkan kepada kita akan arti kerja keras yang pantang menyerah. Kerja keras untuk mencapai kehidupan yang layak, sejahtera, serta mencapai tujuan hidup adalah langkah yang sangat nyata. Bahkan, oleh kerja keras 99 persen dapat mengalahkan hanya 1 persen intelektual seorang Thomas Alfa Edison untuk menemukan bola lampu modern.

Selain berpikir dan bekerja keras secara konstan dalam menjalani kehidupan, para penulis seakan menghipnotis kita akan aktivitas dalam menulisnya. Selain itu, ada lagi pelajaran hidup yang kita petik dari para penulis yakni bersikap rendah hati. Sudah menjadi rahasia umum apabila pekerjaan menulis adalah pekerjaan yang sangat mulia. Disamping dapat menyebarkan informasi yang sangat berharga dari masa ke masa, menulis juga dapat membangkitkan motivasi serta semangat seseorang dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup dengan membaca tulisannya tesebut.

Maka sudah barang tentu dengan menjadi penulis, seseorang dapat menaikkan status sosialnya di masyarakat. Dengan demikian, kita pun lantas berpikir bahwa para penulis akan bersikap arogan, sombong, serta menganggap dirinya lebih tinggi kedudukannya di masyarakat, benarkah argumen tersebut? Tentu saja tidak, sebab para penulis tentulah harus memiliki sikap tawadhu atau rendah hati. Sikap ini harus dimiliki seorang penulis apabila ia ingin mempublikasikan gagasannya di khalayak ramai. Bukanlah hal yang mustahil apabila para penulis senior maupun penulis junior kedudukannya sama. Yang membedakan keduanya yakni hasil karya tulisannya yang layak terbit. Seandainya seseorang penulis menganggap dirinya mumpuni dalam hal menulis, akan tetapi hasil karya tulisannya tidak mampu menembus media cetak atau penerbit, maka ia pun akan kembali menyadarkan dirinya akan sikap rendah hati karena masih banyak orang-orang yang lebih cerdas dan lebih kaya gagasan dibanding dirinya untuk dapat mempublikasikan tulisannya.

Sikap rendah hati yang para penulis rasanya tersebut, tentunya juga mempunyai petikan hikmah dalam kehidupan kita. Banyak disekitar kita yang merasa dirinya lebih tinggi kedudukannya dikarenakan mungkin dibekali oleh kepintaran, kekayaan, kecantikan, ataupun ketenaran. Akan tetapi, apabila seseorang tidak memiliki sikap rendah hati, cepat atau lambat apa yang telah dimilikinya dan dibanggakannya tersebut akan segera sirna seiring dengan sikap keangkuhan atau arogannya. Para penulis memberikan kita hikmah bagaimana sikap rendah hati dapat membawanya ke puncak kesuksesan.

Lalu, pelajaran hidup yang sangat penting dan berharga untuk kita petik dari aktivitas para penulis yakni bersikap sportif. Dalam melakukan kegiatan menulis, sudah barang tentu kita juga terikat oleh moralitas dan etik dalam menuangkan gagasan kita. Beberapa hal yang senantiasa harus ditegakkan dalam menulis yakni menghindari sikap plagiator (penciplakan karya orang lain). Tentu tindakan sportifitas dalam menulis adalah hal yang patut dijunjung tinggi oleh para penulis. Menciplak karya tulis orang lain, mengirim tulisan kembar di media cetak berbeda, serta beberapa tindakan lainnya yang hanya menjatuhkan dan mencorengkan citranya sebagai penulis.

Menulis bukan hanya sekedar menuangkan gagasan ke khalayak ramai, mencari popularitas lalu menerima honor, akan tetapi juga dengan menulis kita dilatih untuk senantiasa bersikap sportif dan berbuat dengan kejujuran. Inilah bentuk pelajaran hidup yang paling utama dari para penulis. Dengan melakukan tindakan sportifitas yang diiringi dengan nilai kejujuran, maka kita pun dalam mengarungi kehidupan ini tidak akan terbuai dengan perbuatan tercela dan kotor karena sikap sportifitas dalam kehidupan akan mengawal kita menjadi pribadi yang bersih dan menghargai karya orang lain.