Senin, 30 Agustus 2010

Menyoal Remisi Terhadap Koruptor

Beberapa waktu yng lalu bangsa kita telah dihebohkan dengan pemberian remisi terhadap para koruptor oleh pemerintah melalui Kementerian Depkumham sebagai pihak yang berwenang. Entah apa yang ada dibenak pejabat di pemerintahan kita kala itu dengan memberikan pengurangan terhadap para perampok uang rakyat tersebut. Seiing dengan berjalannya waktu pemberian remisi terhadap para koruptor pun seakan terpendam ditengah maraknya kasus perampokan bersenjata api yang tengah melanda di beberapa tempat perdagangan di tanah air. Lalu, belum selesai dan belum tertangkapnya para penjahat tersebut, bangsa kita pun seakan kembali diributkan oleh aksi negeri jiran Malaysia yang kali ini membuat suhu perpolitikan luar negeri menjadi panas setelah ditangkanya tiga anggota sipil DKP yang justru ditangkap diperairan Indonesia.

Setidaknya, meskipun pemberitaan remisi terhadap koruptor seakan sirna oleh aksi maha dahsyat yang berbeda tujuan satu sama lainnya. Akan tetapi, bagi kita selaku rakyat yang berhak atas kesejahteraan dan kemakmuran hidup, pemberian remisi terhadap para koruptor haruslah tetap menjadi polemik bangsa yang harus segera dievaluasi serta ditata ulang sesegera mungkin.

Hampir seluruh bangsa kita menyatakan kekecewaannya terhadap pemerintah yang seakan melukai hati rakyatnya dengan membebaskan serta pengurangi hukuman terhadap para koruptor yang mendekam dijeruji besi. Lantas, meskipun kritik bertubi-tubi menghampiri pemerintah, seolah tanpa adanya rasa berdosa serta bersalah Kemenkumham yang dipimpin oleh Patrialis Akbar tersebut malah membenarkan serta merasa layak atas pemberian remisi untuk koruptor karena di dasari oleh undang-undang. Benarkah demikian dasarnya seperti itu?

Apabila kita mengacu terhadap dasar hukum remisi sebagaimana yang tertuang dalam Keppres No.174 Tahun 1999 tentang Remisi, bahwa dalam ketentuan tersebut tidaklah ada pernyataan wajib untuk memberikan remisi terhadap narapidana. Akan tetapi, pemberian remisi tersebut akan diberikan oleh Menteri Hukum dan Ham apabila narapidana berkelakuan baik selama masa menjalani pidana. Hingga kini ukuran yang dinilai baik tersebut pun beraneka ragam tergantung hati nurani serta kehendak pimpinan lapas atau atasannya lainnya seperti Menkumham.

Lalu, dimanakah dasar hukum tidak layak atau pantasnya pemberian remisi untuk penjahat koruptor?. Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 3 (1) huruf a, menyatakan bahwa “berbuat baik kepada negara”, huruf b menyatakan “melakukan perbuatan yang bermanfaat bagi negara atau kemanusiaan.

Dalam ketentuan tersebut, bahwa narapidana hanya diberikan apabila yang bersangkutan dapat berbuat baik kepada negara serta melakukan perbuatan yang bermanfaat untuk kemanusiaan. Sedangkan, sebagaimana yang kita ketahui dan telah menjadi rahasia umum, bahwa perbuatan korupsi tidak hanya merugikan negara dengan merampas, pencuri, merampok, serta menggerogoti keuangan negara hingga dapat berakibat buruk terhadap penyelenggaraan negara. Apakah pantas perampok uang negara dikatakan berbuat baik kepada negara, lalu diberikan remisi untuk cepat atau lambat mereka akan bebas serta menikmati kehidupan dengan uang hasil rampasan dari negara?

Tidak hanya itu, perampok uang negara yang dinamakan koruptor tersebut juga dapat menyengsarakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang juga secara langsung dirasakan oleh rakyat sebagai makhluk tak berdosa untuk hidup di negara bergelumuran tikus-tikus nan rakus. Data ICW mencengangkan kita, karena berdasarkan penelitian lembaga pemantau korupsi di Indonesia tersebut mencatakan bahwa lebih kurang 90 juta penduduk kita miskin dan sengsara akibat ulah para koruptor. Masihkah kita lagi-lagi mendukung atau sejenak memikirkan sesaat untuk memberikan remisi terhadap koruptor? Tentu saja tidak untuk tindakan yang hanya menyengsarakan rakyat dan tidak berkemanusiaan tersebut.

Pemerintah Tidak Berkomitmen

Sesungguhnya apa yang telah dilakukan dengan memberikan remisi secara gamlang terhadap koruptor, menyadarkan kita juga bahwa pemerintah kini yang telah dibangun lebih kurang enam tahun lamanya tidaklah ada berkomitmen untuk memberantas praktek korupsi di tanah air. Bahkan, kita pun telah menduga adanya skenario yang menjebloskan Aulia Pohan selaku besan SBY untuk mendekam dijeruji besi agar publik merasa yakin pemerintah dibawah kepemimpinan SBY mendapat sambutan yang hangat untuk memberantas korupsi.

Ketidakseriusan pemerintah untuk membumihanguskan praktek korupsi tidaklah hanya dengan melihat pemberian remisi untuk besannya Aulia Pohan dan juga pemberian Grasi untuk Syaukani, melainkan juga daripada itu berbagai hal-hal yang tidak mendukung pemberantasan korupsi. Tertundanya dasar hukum pembentukan peradilan tindak pidana koruptor (Tipikor), pemberian fasilitas mewah di penjara untuk kasus korupsi, tidak adanya proses lebih lanjut skandal Century, kriminalisasi pimpinan KPK, serta berbagai hal-hal yang seakan kembali menyakinkan kita sebagai rakyat bahwa selama ini pemerintah tidak ubahnya seperti rezim orde baru dan tidak berkomitmen untuk memberantas korupsi.

Praktek korupsi yang hampir melanda disegala dimensi khususnya lembaga pemerintah serta lembaga negara sangatlah kronis, bahkan hampir mustahil diberantas apabila kita melihat segala tindakan dan kebijakan pemerintah dalam menangani masalah korupsi. Para koruptor sebagai pengrusak generasi penerus bangsa serta secara perlahan- lahan dapat membuat negara tenggelam dan hancur seiring semakin suburnya para koruptor di republik ini dengan berbagai macam modus operandi dalam menjalankan niat busuknya tersebut.

Untuk itu, sudah sangat dan sepantasnya-lah pemerintah kembali mengevalusi dan mentata ulang agar segala aturan dapat membuat koruptor jera serta merasa tersiksa atas hukuman yang diterimanya, bukan sebaliknya yang kini kita saksikan begitu nyaman serta mewahnya kehidupan para koruptor dalam menjalankan hukumannya. Terlebih lagi apa yang telah dilakukan para koruptor dengan memakan berpuluh-puluh miliar atau bahkan triliunan rupiah untuk memperkaya diri sendiri haruslah mendapat ganjaran yang serupa dengan apa yang telah dilakukannya.

Koruptor bukan hanya musuh rakyat dan negeri ini, melainkan juga musuh seluruh umat manusia yang mengalami penderitaan, kesengsaraan, dan ketimpangan sosial. Oleh karenanya, tidak ada toleran untuk para koruptor manapun untuk menikmati kehidupannya dengan hasil uang rakyat. Koruptor sangat tidak berkemanusiaan dan hanya mementingkan diri sendiri serta mengabaikan hak orang lain. Sampai kapanpun negeri ini akan terus dihinggapi oleh para koruptor apabila pemerintah masih terus memberikan remisi terhadap penjahat keuangan negara tersebut.