Minggu, 10 Oktober 2010

Urgensi Reformasi Sepakbola Nasional

Kalah lagi.. kalah lagi... Itulah segelumit bentuk kekecewaan masyarakat kita terhadap kondisi sepakbola nasional Indonesia. Mengapa tidak, untuk yang entah berapa kalinya sepakbola nasional kita hanya menjadi bualan permainan oleh tim-tim sepakbola nasional negara lain. Terakhir kali adalah semifinalis piala dunia 2010, Uruguay yang seakan kembali menampar sepakbola nasional kita yang telah dalam kondisi antiklimaks tersebut. Uruguay bertandang ke Stadion Gelora Bung Karno tidak hanya berbekal ranking peringkat 7 dunia, melainkan juga Uruguay dengan sejarah panjang sukses sepakbolanya menjadi bagian yang teramat penting bagi sepakbola nasional kita untuk kembali belajar bagaimana bermain sepakbola modern nan indah tersebut.

Sepakbola nasional Indonesia bak anak TK yang tak kunjung naik kelas meskipun tahun silih berganti, para pemain silih dibongkar pasang, dan tidak ketinggalan pelatih yang bertugas mengatur strategi pun telah beberapa kali bergantian untuk menaikkan kelas sepakbola nasional. Alhasil, apakah yang di dapat? Jangankan prestasi tingkat dunia yang dapat membanggakan negeri ini, dalam kawasan Asia Tenggara saja kita masih menjadi bual-bualan tim yang dahulu banyak belajar bermain sepakbola dari kita.

Sudah bertahun-tahun sepak bola nasional Indonesia mengalami paceklik prestasi. Untuk negara besar dengan penduduk 240 juta, Indonesia selama ini hanya menggunakan ukuran kawasan Asia Tenggara sebagai titik ukur prestasi. Celakanya, di kawasan ini saja sepakbola nasional Indonesia tidak bisa berprestasi. Terakhir kali Tim Merah Putih meraih medali emas di SEA Games adalah pada 1991. Di Piala AFF, yang digelar sejak 1996, Indonesia sama sekali tak pernah merasakan menjadi juara. Di tahun-tahun belakangan, prestasi sepakbola nasional Indonesia justru semakin tenggelam. Hasil kompetisi memalukan yang terakhir didapat saat SEA Games 2009 karena Indonesia tak pernah menang di babak grup dan mendapat kekalahan pertama dari Laos. Di Piala Asia, Indonesia untuk pertama kalinya dalam 14 tahun terakhir juga gagal menuju putaran final di Qatar tahun depan.

Kemunduran prestasi tim sepakbola nasional Indonesia dalam tahun-tahun belakangan berakibat pada semakin rendahnya ranking sepakbola nasional Indonesia di FIFA. Semenjak 2003, peringkat Indonesia terus menerus terus mengalami penurunan mulai dari peringkat 91 di tahun 2003 dan 2004, peringkat 109 di tahun 2005, peringkat 153 di tahun 2006, peringkat 133 di tahun 2007, peringkat 139 di tahun 2008, dan peringkat 120 di tahun 2009. Peringkat Indonesia tahun ini semakin rendah. Saat ini Tim Merah Putih menempati peringkat ke-138.

Miskinnya prestasi tim nasional sepakbola Indonesia harus dibaca sebagai kegagalan pengelola sepakbola di Indonesia dalam melakukan pembinaan sepakbola di Indonesia. Mukadimah Statuta PSSI menyebutkan bahwa ideologi perjuangan atau misi inti PSSI adalah: ”Bahwa keberhasilan pembinaan sepak bola diukur dari prestasi yang dicapai, sebab tingginya prestasi sepakbola menimbulkan kebanggaan nasional”. Dengan demikian keberhasilan pembinaan perlu dilakukan secara terorganisir untuk meningkatkan prestasi sepakbola nasional.

Apa yang salah dengan sepakbola nasional kita, mengapa negara lain yang dapat dikatakan tidak lebih besar dari negara kita, akan tetapi sepakbolanya dapat berkembang begitu cepat dan pesat? Bahkan, dengan jumlah penduduk terbesar ke empat dunia, apakah kita kesulitan untuk menemukan bakat-bakat anak negeri dalam bermain sepakbola modern?. Setidaknya, problematika sepakbola nasional tidak hanya satu saja. Begitu kompleksitasnya permasalahan sepakbola nasional yang akan dapat menjadi bom waktu dan dapat meledak setiap saat.

Kalimat dalam Mukadimah Statuta PSSI secara jelas menggambarkan bahwa muara dari seluruh kegiatan pembinaan sepakbola di Indonesia adalah prestasi, dan prestasi yang semakin menurun menunjukkan ada sesuatu yang salah dalam pengelolaan sepakbola di Indonesia. Oleh karena itu sepakbola Indonesia harus dibenahi dan di reformasi untuk kemajuan di masa depan.

Reformasi Sepakbola Nasional

Kompleksitas permasalahan sepakbola nasional bukanlah hal yang baru. Dari pembinaan bakat-bakat belia yang tidak terorganisir, pengurus PSSI yang bobrok dan tidak sadar akan lemahnya menangani organisasi sepakbola nasional, kompetisi liga domestik yang tidak kompetitif, hingga para pendukung klub di liga domestik yang selalu menggunakan egonya untuk selalu bertikai, bentrok, serta tawuran dengan sesama suporter klub.

Tim sepakbola nasional bukanlah dimiliki oleh PSSI saja, melainkan sepakbola nasioanal adalah kepunyaan kita, bangsa dan warga negara Indonesia. Oleh karenanya, kita sebagai bangsa haruslah mendukung perkembangan dan kemajuan sepak bola nasional dalam berprestasi di kancah Internasional baik secara langsung maupun tidak langsung. Acapkali bentrok dan bertikai antar sesama suporter klub di liga domestik adalah salah satu bentuk betapa kita berperan sangat besar dalam menghancurkan sepakbola nasional.

Untuk memulai reformasi sepakbola nasional, haruslah terlebih dahulu di awali oleh kepemimpinan yang mengelola sepakbola nasional itu sendiri yakni ketua umum beserta jajaran pengurus PSSI. Hingga kini kepemimpinan dan pengurus PSSI di jabat oleh manusia yang seakan tidak tau akan lemahnya ia dalam mengelola PSSI. Entah berapa banyak kritikan yang menghujati kepada Nurdin Halid selaku ketua umum PSSI agar segera melepaskan jabatannya untuk memimpin PSSI. Akan tetapi, meskipun hujan kritik dan mendekam di jeruji besi terkait skandal korupsi, NH tidak mau melepaskan embel pemimpin PSSI.

Dalam mengelola sepakbola nasional, para jajaran PSSI haruslah di duduki oleh orang-orang yang tidak hanya mengerti seluk-beluk sepakbola modern, melainkan juga harus dibekali karakter yang bersih, integritas, dan bersinergi dalam mengelola sepakbola nasional. Lalu, disamping mempunyai manajemen dalam mengelola sepakbola nasional, juga penggunaan anggaran dana PSSI haruslah transparan untuk mengetahui sejauh mana penggunaan anggaran tepat sasaran yang setiap tahunnya mencapai puluhan miliar rupiah tersebut.

Setelah reformasi dalam internal PSSI dengan kepemimpinan yang dapat dipertanggungjawabkan, kini saatnya membina talenta muda dengan membuka ruang yang seluas-luas dalam mengembangkan bibit para pemain sepakbola nasional secara terorganisir. Dalam menumbuh-kembangkan bibit unggul pesepakbola nasional kelak, PSSI harus turun secara langsung dengan menyuntikkan dana secara khusus untuk sarana dan prasarana terhadap pemain muda sepakbola nasional Indonesia tersebut. Terlebih lagi, para pemain muda haruslah mendapat kesempatan bermain di klub liga domestik. Hal ini dimaksudkan untuk melatih kemampuan mental bertanding dan mengembangkan bakat sepakbolanya.

Kemudian hal yang terpenting untuk memajukan sepakbola nasional setiap negara adalah reformasi dalam kompetisi liga domestik. Telah menjadi rahasia umum, bahwa kondisi sepakbola nasional Indonesia semakin hari semakin meredup karena kondisi kompetisi liga domestik yang tidak terorganisir dan tidak kompetitif dengan baik layaknya liga domestik di negara modern. Kemunculan dualisme liga domestik adalah salah satu bentuk betapa PSSI belum profesional dalam menangani liga domestik di tanah air.

Semberawutnya liga domestik tentu saja dipengaruhi beberapa faktor yakni tingginya penggunaan pemain asing oleh klub lokal, pendukung klub yang selalu bersikap anarkis, serta anggaran dana klub peserta liga domestik yang masih berpegang teguh terhadap APBD. Belum lagi para wasit yang memimpin pertandingan di liga domestik yang masih di nilai kurang fair serta Komisi Disiplin yang kurang tegas memberikan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi dalam pargelaran kompetisi di liga domestik.

Kini, saatnya kita bahu-membahu membenahi sepakbola nasional yang dalam kondisi memprihatinkan tersebut. Reformasi sepakbola nasional haruslah di mulai dari diri kita sendiri dengan bersikap sebagai suporter yang fair dan tidak anarkis agar prestasi menghampiri sepakbola nasional Indonesia.