Kamis, 08 April 2010

Pendidikan Hukum Berbasis Moralitas

Sangat sulit dipungkiri bahwa maraknya kasus korupsi, makelar kasus, mafia pajak, serta berbagai mafia hukum lainnya di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari aparatur penegak hukum itu sendiri. Aparat penegak hukum yang seyogyanya menegakkan panji-panji hukum, justru terlibat dalam skenario yang dapat meluluhlantakkan hukum. Hakim, Pengacara, Jaksa serta Polisi adalah sekumpulan insan-insan dari hukum. Mereka tentu dibentuk menjadi professional hukum agar dapat menegakkan hukum, bukan justru sebaliknya membuat hukum tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Apakah yang salah dengan hukum kita, apakah sistem hukum atau pendidikan hukum yang membentuk professional hukum tersebut telah keluar jalur?


Pendidikan hukum jelas mempunyai porsi dan peran yang sangat vital dalam menjalankan suatu negara yang berdasarkan atas hukum. Dengan pendidikan hukum itulah maka lahir para pendekar-pendekar hukum. Para pendekar hukum yang dihasilkan melalui proses pendidikan hukum tersebut, tentu bukan saja menjadi bingkai dan fondasi bagi negara dalam menjalankan pemerintahan dan kehidupan bernegara, tapi juga menjadi pergerakan suatu negara menuju kesejahteraan rakyatnya. Akan tetapi, bagaimana jadinya apabila pendidikan hukum tersebut justru melahirkan para pendekar hukum yang bermental korup, abmoral, serta hanya sebagai penguras uang rakyat.


Satjipto Rahardjo dalam bukunya yang berjudul hukum dan perilaku, mengatakan bahwa dalam dunia pendidikan hukum dewasa ini, pendidikan hukum untuk profesi ini mendominasi tipe pembelajaran hukum, sehingga lebih pantas disebut sebagai pendidikan untuk profesi. Para anak didik dipersiapkan sebagai petarung-petarung yang hanya akan bersaing dalam pasar pekerjaan hukum. Bahkan di Amerika Serikat, pendidikan hukum yang demikian itu telah mendapat kritik keras.


Sebagai pendidikan untuk menjadi orang hukum professional, maka seharusnya tidak pantas jika disebut “fakultas hukum”, melainkan “fakultas profesi hukum”. Pendidikan, dalam hal ini pendidikan hukum modern, memang merupakan komponen penting dalam kaitan dengan pembicaraan kita mengenai berhukum dengan cara subtansial ini. Sebagai bagian dari pendidikan modern yang mengejar kompetensi dan professionalitas itu, maka pendidikan hukum pun cendrung mengutamakan pendidikan yang menekankan pada penguasaan dan kompetensi professional.


Pendidikan hukum kini lebih menekankan pada perburuan untuk memiliki kompetensi professional yang tinggi. Tujuan tersebut sesungguhnya bukanlah hal yang buruk, sebab sesuai permintaan konsumen agar dapat bersaing di pasar pekerjaan hukum. Akan tetapi, jika selama ini pendidikan hukum lebih memusatkan perhatian terhadap pendidikan untuk mengejar kompetensi professional, maka hal tersebut tentu dapat mengabaikan dimensi pendidikan hukum untuk menghasilkan manusia berbudi pekerti luhur.


Lebih jauh juga, Satjipto Rahardjo dalam bukunya tersebut, mengutarakan bahwa advokat senior di Amerika Serikat, Gerry Spence mengatakan “sejak para mahasiswa hukum menginjak kakinya di fakultas hukum, maka sejak hari itu pula ia telah dirampas dan ditumpulkan rasa-perasaan kemanusiannya”. Rasa perasaan kemanusian tidak lain adalah perilaku baik, seperti kejujuran, keterbukaan, kemampuan untuk turut merasakan dan mengasihi.


Para professional hukum seperti lawyer yang hanya memikirkan keuntungan sebagai orang-orang yang bekerja dengan orientasi penembak bayaran yang dapat disewa oleh siapa saja asal bayarannya cocok, maka mereka tentu dapat disebut sebagai “pelacur”.

Para aparatur penegak hukum hanya berhukum melalui teks saja tanpa melibatkan perilaku, kaidah serta norma yang tumbuh dan berkembang di masyarakat. Oleh karenanya, hukum menjadi tumpul di kalangan para pejabat dan golongan kelas atas, sedangkan untuk para golongan bawah dan orang kecil, hukum seakan bagaikan pedang yang tanpa ampun melibas bagi siapa saja yang melanggarnya.


Pada hakikatnya, hukum adalah sekumpulan peraturan serta kaidah dan norma yang berlaku dimasyarakat, bersifat tegas bagi siapa yang melanggarnya. Beberapa tujuan hukum salah satunya yakni, menegakkan keadilan di masyarakat. Lantas, apa gunanya ada hukum jika keadilan di masyarakat sangat sulit diwujudkan. Salah satu wujud ketidakadilan dalam menerapkan hukum yakni antara kasus korupsi miliaran rupiah dengan pencurian seekor ayam.


Lalu, pada akhirnya kasus pencurian seekor ayam tersebut lebih berat hukumannya ketimbang korupsi miliaran rupiah. Bukan sistem hukum yang salah, melainkan para penegak hukum-lah yang hanya berhukum melalui teks dan tidak mempunyai moralitas dan berbudi pekerti luhur. Mengapa penulis katakan demikian?. Sebab, untuk meringankan kasus korupsi miliaran rupiah yang lebih ringan ketimbang pencurian seekor ayam, aparat penegak hukum turut andil dalam membuat skenario melalui “makelar kasus dan mafia peradilan”. Inilah bentuk bobroknya aparat penegak hukum yang dihasilkan dari proses pendidikan hukum yang hanya mementingkan kompetensi dan profesionalitas ketimbang mengedepankan moralitas dan berbudi pekerti luhur.


Pendidikan Hukum Berbasis Moralitas


Pendidikan hukum perlu didorong untuk menjadi suatu tipe pendidikan yang peka-kemanusiaan, seperti memikirkan dan mengasihi rakyat yang membutuhkan bantuan hukum. Lebih tepatnya, bahwa disamping mengedepankan tipe pendidikan yang berkemanusiaan, juga perlu ditekankan dalam membentuk professional hukum yang mempunyai moralitas dan berbudi pekerti luhur. Para professional hukum tidak hanya memikirkan kemakmuran dan kesejahteraan atas dirinya saja, tapi juga membuat rakyat mendapatkan keadilan atas tindakannya.


Para professional hukum bukanlah bekerja dengan uang, tapi mereka justru bekerja dengan penuh hati nurani dan moralitas yang tinggi. Seberapa pun bayaran yang mereka dapatkan, mereka harus tetap menegakkan panji keadilan sebagaimana yang menjadi ciri hukum itu sendiri. Hingga kini para professional hukum yang terlibat dalam praktek memalukan seperti korupsi, makelar kasus, serta mafia hukum, beralasan apa yang mereka lakukan tersebut hanya untuk menutupi “urusan dapur”.


Hal tersebut mengingat kecilnya gaji yang mereka dapatkan sebagai aparatur penegak hukum. Jika seperti ini alasan yang mereka utarakan, mengapa mereka justru lebih memilih berkarir di bidang hukum? Bukankah mereka sebelumnya telah mengetahui besaran gaji yang di dapatkan dalam menjadi professional hukum. Apabila mereka ingin lebih mendapatkan gaji yang memadai dan berkecukupan, alangkah lebih bijaknya mereka justru lebih memilih menjadi pedagang yang hanya memikirkan mencari keuntungan sebesar-besarnya tanpa perlu mengedepankan moralitas dan berbudi perkerti luhur.


Para professional hukum lebih dihargai dengan moralitasnya dalam menegakkan keadilan di masyarakat. Maka sudah sepatutnya-lah pendidikan hukum yang selama ini menjadi urat nadi untuk tegaknya hukum direformasi dan lebih menekankan pendidikan hukum yang berbasis moralitas agar para pendekar hukum yang dihasilkan juga memiliki moralitas dalam menjalankan amanat mulianya.

Khusus bagi negara kita, pendidikan hukum haruslah berorientasi dan bertumpu pada amalan pancasila sebagaimana yang telah menjadi sumber dari segala sumber hukum di republik ini. Apabila pendidikan hukum bertumpu pada pancasila, sudah barang tentu para professional hukum yang dihasilkan dalam pendidikan hukum tersebut memiliki moralitas dan berbudi-pekerti luhur. Kini, sepatutnya-lah pendidikan hukum yang professional perlu di imbangi dengan pendidikan yang membangun manusia Indonesia yang dipenuhi watak-watak manusia yang baik dan luhur serta bermoral agar dalam penegakan hukum tidak terbuai dengan meterialisme. Semoga..!!