Kamis, 10 Desember 2009

Refleksi Hari HAM, 10 Desember : Menguak Tabir Pelangaran HAM

Oleh: Andryan, SH

Setiap tangal 10 Desember, seluruh penduduk dunia akan memperingati hari yang amat krusial sebagai umat manusia di dunia yakni Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang dicetuskan lewat resolusi Perserikatan Bangsa-Bansa (PBB) pada tanggal 10 desember 1948. DUHAM merupakan dokumen tertulis pertama di dunia yang disepakati oleh bangsa-bangsa di dunia, dan merupakan pedoman standar internasional bagi tercapainya hak asasi manusia (HAM) universal. Sebagai halnya umat ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, tentu kita selaku umatNya diberikan hak secara kodrati. HAM itu sendiri lahir bersama dengan manusia. Artinya, hak asasi manusia timbul sejak adanya manusia. HAM juga dapat dikatakan sebagai hak dasar yang dimiliki oleh pribadi manusia sebagai anugrah Tuhan yang dibawa sejak lahir. Sesungguhnya HAM itu tidak dapat dipisahkan dari eksistensi pribadi manusia itu sendiri.

Peringatan ini sebenarnya tidak bermaksud untuk mengungkit-ungkit dendam, membuka luka-luka lama, melampiaskan kemarahan, mengumbar hujatan, menyebar kebencian atau mengipasi permusuhan melainkan untuk mengajak bangsa kita untuk menjunjung tinggi-tinggi perikemanusiaan, memupuk rasa persaudaraan, menghormati perasaan keadilan, menghormati hukum dan hak asasi manusia demi kebaikan bersama seluruh bangsa.

Khusus di Republik Indonesia, perlindungan serta penegakan HAM hingga kini pun masih larut dari kenyataan seiring perjalanan panjang mengenai pelanggaran HAM. Apakah negeri ini ada komitmen dalam menegakan serta memberi perlindungan HAM terhadap warga negaranya? Inilah pekerjaan rumah yang masih saja ada meskipun kepemimpinan negara telah silih berganti, akan tetapi penanganan kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di republik ini seakan tidak tersentuh hukum.

Kasus Pelanggaran HAM

Beberapa kasus pelanggaran HAM yang kini masih menjadi tanda-tanya dan kegalauan publik, berdasarkan data dari Kontras, bahwa kasus pelanggaran HAM yang kini masih belum tersentuh hukum yakni, (i) Pembantaian massal tahun 1965-1970 dengan jumlah korban 1.500.000, (ii) Penembakkan misterius “Petrus” tahun 1982-1985 dengan jumlah 1.678 Korban, (iii) Kasus di Timor Timur pra Referendum tahun 1974-1999 dengan jumlah Ratusan ribu, (iv) Kasus-kasus di Aceh pra DOM tahun 1976-1989, (v) Kasus-kasus di Papua 1966, (vi) Kasus Dukun Santet Banyuwangi tahun 1998, (vii) Kasus Marsinah 1995, dan (viii) Kasus Bulukumba tahun 2003.

Tidak hanya itu, kasus pelanggaran HAM yang macet di Komnas HAM dan Jaksa Agung menjadi polemik hingga kini, yakni; (i) kasus Talangsari Lampung tahun 1989, (ii) kasus Mei 1998 tahun 1998, (iii) Semanggi I 1998, (iv) Semanggi II 1999, serta (v) penembakkan mahasiswa Trisakti tahun 1998. Dan banyak lagi kasus pelanggaran HAM yang hingga kini masih jauh dari rasa keadilan perikemanusiaan meskipun telah dibawa ke pengadilan seperti kasus Timor-Timur, kasus tanjung priok, kasus 27 Juli 1996, kasus penculikan aktivis 1998, dan lain sebaginya. Lalu, yang teranyar tentu saja kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir tahun 2004. Inilah potret dan memperlihatkan betapa negeri ini masih melindungi kepentingan para pelaku pelanggaran HAM bukan kepentingan korban yang sudah lama menderita serta tidak mengusut tuntas kasus yang mengangkangi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan YME hingga hari ini tetap dibiarkan tanpa ada tindak lanjut sesuai dengan standar HAM internasional.

Penanganan masalah HAM di tanah air seakan dibuat geram oleh pemerintah karena tidak dapat menyeret dan menemukan pihak para pelaku dan aktor intelektual pelanggaran HAM itu kini bebas berkeliaran tanpa hukuman yang memadai (impunitas), belakangan mereka masih memegang beberapa jabatan penting di negeri ini. Kini publik tengah berharap pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Jilid II dalam penegakan hukum dan perlindungan HAM di tanah air, apabila pengusutan kasus pelanggaran HAM dimasa lampau tidak dapat ditegakan kebenarannya, maka boleh jadi rakyat akan semakin tidak percaya pada pemerintah dan kewibawaan pemerintah akan kian menurun.

Penanganan kasus pelanggaran HAM hingga saat ini masih menggantung. Beberapa proses hukum kasus pelanggaran HAM ini sebenarnya telah dilaksanakan oleh Lembaga Penegak Hukum dan HAM yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHam) dan Kejaksaan Agung. Sayangnya penyelesaian kasus ini oleh aparat penegak hukum tampaknya tidak berjalan mulus. Walaupun demikian, pemerintah perlu memberikan komitmen bahwa kasus kasus pelanggaran HAM akan diselesaikan melalui jalur hukum sesuai dengan peraturan dan ketentuan hukum yang berlaku dan terus mendorong lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM dimasa lampau karena kasus ini diduga berkaitan dengan pelanggaran HAM berat yang dilakukan secara sistematis dan terorganisir sehingga kasus pelanggaran HAM tidak lagi menjadi bola liar bagi pemerintahan baru serta pemerintahan akan datang kelak.

Menuntut Penegakkan HAM

Selanjutnya yang semakin membuat masyarakat publik semakin yakin terhadap buramnya pelaksanaan HAM di Indonesia ini adalah, dari berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di berbagai daerah, terutama yang dilakukan aparat keamanan/militer ini, di lihat dari segi penyelesaian juga semakin buram. Kalangan Militer pun masih mendominasi pelaku pelanggaran HAM, baik dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan mental. Selama ini berbagai pelanggaran HAM yang indikasi kuatnya dilakukan aparat keamanan tidak jelas penyelesain hukumnya. Kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan aparat keamanan cenderung ditutup-tutupi dan bahkan diendapkaan. Berapologi dengan retorika khas militer dan berlindung di balik baju ”kebesarannya”, berdalih tugas negara, menyelamatkan negara, menjaga ”stabilitas nasional” dan sebagainya, menjadikan kasus tersebut semakin tidak jelas arahnya penyelesaiannya.

Berbagai deretan perangkat UU, peraturan-peraturan hukum telah di buat oleh pemerintah Indonesia. Namun sangat disayangkan deretan panjang perangkat hukum mengenai HAM ini sekan-akan hanya dijadikan sebuah pajangan buku yang disimpan begitu saja, realisasi dan penerapan dari aturan hukum terebut masih bagaikan jauh panggang dari api. Dengan kata lain, perangkat hukum tersebut belum mampu menjerat berbagai peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM, dalam bentuk kekerasan fisik maupun kekerasan mental – baik itu yang dilakukan aparat militer maupun kelompok sipil. Pendek kata, peristiwa pelanggaran HAM dalam bentuk dan manifestasinya masih mewarnai kehidupan sosial politik negeri ini. Tidak itu saja, semua elemen hukum ini akan menjadi sirna tanpa hasil jika aparatur terkait dan tentunya pemimpin negeri ini tidak ada integritas dan komitmen dalam menangani kasus pelanggaran HAM dimasa lampau dan menegakan HAM dimasa depan

Budaya kekerasan yang marak baik dalam dimensi politik, sosial, dan ekonomi tampaknya makin meruyak di negeri. Hegemoni kekuasaan berupa dominasi kekerasan fisik oleh negara sebagai peninggalan rezim Orde Baru tampaknya masih mengambil tempat ke tataran masyarakat, yang kemudian memicu terjadinya konflik horizontal di samping konflik vertikal yang bersumber dari bipolarisme antara kepentingan rakyat dengan kepentingan kekuasaan.

Kasus misterius pembunuhan Munir salah satu kenyataan yang pahit mengenai penegakan HAM. Padahal, telah nyata bahwa aktivis yang memperjuangkan hak asasi manusia itu telah dilenyapkan dengan cara sistematis dan terorganisis bak mafia kelas kakap. Tapi, dalang pembunuhan Munir tidak terungkap meskipun telah menyeret pilot Garuda, Pollycarpus melalui upaya hukum PK Mahkamah Agung. Beberapa nama yang disinyalir juga terlibat seperti mantan Damjen Kopassus, Muchdi PR dibebaskan secara murni. Dan publik pun menilai bahwa adanya perlindungan bagi korban pelanggaran HAM tersebut disebabkan pemimpin saat ini (SBY) merupakan pemimpin dengan latar belakang militer, dan Munir diketahui sangat membenci pemimpin dengan latarbelakang Militer karena menurut almarhum, Militer banyak terlibat dalam pelanggaran HAM berat di tanah air.

Kini, saatnya Pelanggaran HAM dihentikan agar bangsa kita kembali bangkit menjadi bangsa yang beradap dimana kekerasan tidak lagi mendapatkan tempat yang penting dalam budaya bangsa. Marilah kita bangun kembali bangsa ini menjadi bangsa yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, demokrasi dan keadilan sebagai tonggak nilai budaya bangsa dimasa mendatang. Semoga..!!