Senin, 30 November 2009

Akankah UN Dihapus ?


Oleh: Andryan, SH


Kontroversi tentang penghapusan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) kini telah mencapai titik terang setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi gugatan UN yang diajukan pemerintah. UN dinilai cacat hukum dan pemerintah pun dilarang menyelenggarakan UN. ‘’Putusan MA adalah menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi, yakni Pemerintah RI, putusan MA tersebut diambil pada 14 September lalu. Mengutip data MA, perkara gugatan warga negara (citizen lawsuit) yang diajukan Kristiono melalui Tim Advokasi Korban UN (TeKUN) dan Education Forum tersebut, diputus dengan putusan perkara Nomor Register 2596 K/PDT/2008. Majelis hakimnya adalah Mansur Kartayasa, Imam Harjadi, dan Abbas Said. Kristiono adalah orang tua Indah, yang dinyatakan tidak lulus dari sekolah lantaran nilai UN tidak sesuai standar pemerintah. Keputusan MA itu menguatkan putusan PT yang juga menolak permohonan pemerintah. (Republika Online, 26/11/09).


Pertimbangannya, para tergugat, yakni Presiden, Wapres, Mendiknas, dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), dinyatakan lalai memberikan pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap warga negara. Pemerintah juga dinilai lalai meningkatkan kualitas guru, sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah sebelum menggelar UN. Pemerintah diminta mengambil langkah-langkah konkret untuk mengatasi gangguan psikologis dan mental peserta didik usia anak akibat UN. MA juga menilai UN melanggar Pasal 61 UU Sisdiknas, menyatakan bahwa yang berhak menentukan kelulusan adalah pihak sekolah dan bukan negara.


Akan tetapi, kini muncul keraguan apakah UN benar-benar akan dihapus sesuai amanat MA? Sebab, pemerintah mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) untuk mempertahankan pelaksanaan UN. Bahkan, meskipun telah ada putusan kasasi, pelaksanaan UN masih tetap akan dilaksanakan oleh BSNP tahun 2010. Mereka pun berdalih anggaran pelaksanaan UN telah masuk APBN 2010. Lalu, apakah pemerintah tidak mengindahkan amar putusan MA yang memerintahkan penghapusan UN? Inilah ironi sebagai negara yang menjunjung tinggi hukum dan pemerintah dalam hal ini Presiden, Wapres, Mendiknas, serta BSNP seakan bersikap superior dengan tidak melaksanakan putusan kasasi MA tersebut.


Banyak yang pihak yang mendukung penghapusan UN. Bahkan, Prof Dr Arief Rahman Hakim, selaku pengamat pendidikan, mengaku senang dengan penghapusan UN. “Sejak dulu saya tidak setuju dengan adanya UN, kata sesepuh pendidikan tersebut. Beliau juga menilai rumusan UN ada yang salah. Apalagi, katanya, UU Sisdiknas tidak menyinggung soal UN.


Hapuskan UN


Pemerintah memang memiliki tujuan baik. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya pemerintah memilih timing yang tidak tepat. Standar nilai yang ditetapkan pemerintah adalah upaya untuk mendongkrak prestasi pendidikan kita, dan tentu saja menunjukkan prestise bangsa kita dimata dunia, sehingga dilaksanakan sebuah ujian bernama UN. Tapi, dalam UN itu sendiri, pemerintah tidak menggali unsur kemanusiaan lebih dalam lagi. Sistem UN hanyalah sistem robot, menilai 3 tahun belajar dari 3 hari. Mempekerjakan mesin untuk menilai keringat para siswa yang telah menghabiskan tiga tahun berharga hidupnya untuk datang mencari ilmu ke sebuah sekolah. UN pun menilai manusia dari segi semu, bukan moral. Bahkan, dengan adanya UN banyak para siswa yang mengalami gangguan psikis yang sangat berat seperti stres, percobaan bunuh diri, hilangnya kepercayaan diri dan gangguan mental lainnya.


Penulis sendiri pada tahun 2004 atau tepatnya untuk yang kedua kalinya UN diselenggarakan dengan nama yang sebelumnya, UAN, pernah merasakan betapa beratnya mental yang diemban ketika akan menghadapi UN. Meskipun pada akhirnya penulis merasakan bak orang paling bahagia sedunia ketika menerima amplop yang menerangkan pernyataan kelulusan. Tapi, kebahagiaan yang penulis rasakan tidak serta merta di ikuti oleh beberapa rekan penulis yang ketika itu mengalami ketidakberuntungan. Padahal dalam segi prestasi baik tingkat sekolah maupun di luar sekolah, mereka banyak mengharumkan nama sekolah dan daerah. Tapi, apa yang mereka rasakan ketika itu? Seakan dunia telah menjadi gelap setelah menerima surat ketidaklulusannya.


Tidak hanya itu, pelaksanaan UN dapat juga memancing seseorang untuk melakukan tindak pidana. Sebab, untuk mencapai nilai kelulusan, maka banyak pelajar yang akan menempuh berbagai cara untuk dapat meraih kelulusan meskipun dilalui dengan cara yang salah. UN memang selalu diliputi oleh kecurangan baik yang dilakukan oleh seorang pelajar maupun oleh pihak pendidik seperti kepala sekolah dan guru.


Bukankah tindakan kecurangan tersebut telah menjadi suatu tindak pidana? Inilah potret dari hasil yang ingin diharapkan oleh pemerintah. Bahkan tindakan untuk melakukan kecurangan UN telah memasuki tingkat perencanaan dan pengorganisasian. Boleh dikatakan, apa yang telah dilakukan oleh pelajar dan pendidik tersebut sebenarnya jauh dari apa yang diinginkan. Mereka tentunya tidak ingin mengotori suatu wadah pendidikan dengan tindakan kecurangan. Tapi, meskipun suatu sekolah dapat kategori “sekolah unggulan”, lalu pada pelaksanaan UN, siswanya banyak yang tidak lulus. Apakah lantas predikat sekolah unggulan masih melekat di sekolah tersebut?, Memang, untuk mendapatkan hasil kelulusan dari UN adalah dengan bekerja keras dan mengikuti bimbingan belajar secara komprehensif. Tapi, permasalahan kembali muncul, apakah semua siswa dapat mengikuti bimbingan belajar di luar jam sekolah dengan biaya yang relatif mahal dan mendapatkan buku-buku pelajaran yang berkualitas, sementara nilai standar UN yang ditetapkan pemerintah semuanya sama untuk seluruh Indonesia.


Sebenarnya, apa yang diajarkan dari UN hanyalah pendidikan tanpa ilmu penghetahuan, karena yang ada dipikiran hanyalah bagaimana cara lulus dengan menembus angka yang telah ditetapkan pemerintah untuk kelulusan. Menjelang UN, materi pun dikejar, murid-murid fokus pada pelajaran, akan tetapi konsep ini tidak diterima penuh karena harus latihan dan drilling soal yang berbeda-beda dan memprediksikan apa yang tidak pasti. Sekarang, untuk apa masuk sekolah selama 3 tahun jika penentuannya hanya 3 hari.


Masalah UN sebagai alat ukur standar pendidikan nasional bukan kali ini saja muncul. Sejak dulu, kita mengenal Ujian Negara, lalu dihentikan. Kemudian kita mengenal Ebtanas, lalu dihentikan pula. Lantas ada Ujian Akhir Nasional (UAN), dan sekarang berganti nama menjadi UN (Ujian Nasional) meskipun metodologinya tetap sama dengan yang sebelumnya. Kebijakan pemerintah sejak ujian negara, ebtanas, UAN, dan UN itu menunjukkan betapa semua bentuk ujian itu selalu bermasalah dan tidak akan pernah bisa menjadi alat untuk standardisasi pendidikan nasional. Lalu apa tidak ada alat ukur lain?


Di tahun 1978, pemerintah Orde Baru dengan Menteri P&K, Daoed Joesoef pernah melakukan sebuah Test Diagnostik pendidikan secara nasional. Meskipun data yang penulis peroleh agak samar, tapi Tes Diagnostik itu merupakan upaya mengukur standar tingkat penyerapan kurikulum yang sedang berjalan. Dalam Tes Diagnostik, tidak seluruh sekolah diikutsertakan. Dengan teknik sampling, pemerintah melakukan tes untuk standardisasi pendidikan nasional itu, dan itu digunakan untuk merumuskan kebijakan pendidikan ke depan. Alat ukur Tes Diagnostik relevan untuk mengukur standar pendidikan nasional. Tes itu juga tidak menentukan kelulusan siswa hanya berdasarkan 2-3 biji mata pelajaran. Artinya, kalau tujuan UN semata untuk mengukur Standardisasi Pendidikan Nasional, maka Tes Diagnostik sudah sangat adequate. Dan itu bisa dilakukan dengan biaya yang lebih hemat.


Penulis dan tertunya banyak pihak berharap agar pelaksanaan UN benar-benar ditiadakan, hal ini tentu saja bukan berarti kita tidak ingin negara dan bangsa kita kalah saing dengan bangsa lain. Tapi, alangkah bijaknya jika pemerintah dapat menempuh metode pembelajaran yang lebih menyentuh nati nurani dengan selalu meningkatkan kualitas pengajaran baik kepada para siswa maupun kepada guru. Semoga, pemerintah dapat mengintropeksi diri dengan melaksanakan putusan kasasi MA yakni menghapus UN.


Sabtu, 14 November 2009

Peran BPK dalam Mengatasi Kerugian Negara


Oleh: Andryan, SH

Dalam praktek ketatanegaraan di berbagai negara dewasa ini, selalu ada lembaga yang khusus menangani masalah keuangan negara. Hal ini terkait berbagai aspek keuangan negara dan tanggung jawab pengelolaannya serta persoalan kewenangan kelembagaan keuangan negara. Di Indonesia, lembaga yang terkait dengan itu dikenal dalam konstitusi kita yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Bank Sentral (dalam hal ini Bank Indonesia). Berbeda dengan BPK, Bank Indonesia yang meskipun dalam konstitusi dikatakan sebagai Bank Sentral, tapi dalam prakteknya Bank ini dikenal sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai pengontrol atau sentral terhadap Bank lainnya.


Khusus mengenai BPK yang dalam UUD 1945 termaktub dalam Pasal 23E ayat (1), “Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang pengelolaan keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri”. BPK secara umum mempunyai posisi yang strategis dan kewenangan yang mutlak mengenai masalah keuangan negara. Bahkan, sejak awal kemerdekaan hingga terjadinya proses amandemen terhadap UUD 1945 tidak serta merta menggoyahkan kedudukan BPK dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. BPK sebagai lembaga tinggi negara yang dapat dikatakan sebagai lembaga Examinatif, kedudukannya sejajar dengan Lembaga tinggi lainnya seperti, Eksekutif (Presiden), Legislatif (MPR;DPR,DPD), Yudikatif (MA dan MK). Oleh sebabnya, meskipun tidak sepopuler lembaga politis lainnya, tapi peran BPK dalam masalah keuangan negara merupakan kunci sentral terhadap pengelolaan dan tanggungjawab lembaga-lembaga negara lainnya dalam masalah keuangan.


Berbicara masalah keuangan negara baik yang bersumber dalam APBN maupun APBD, tentu berkaitan erat dengan kelangsungan pelaksanakan kehidupan berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi masalah keuangan negara sangat berperan dalam mensejahterakan warga negara. Apabila pengelolaan negara dapat berjalan efektif serta efesien dan dikelola dengan baik, maka kesejahteraan rakyat dapat segera tercapai. Akan tetapi, bilamana pengelolaan negara hanya menguntungkan pihak-pihak tertentu dan terlebih tidak dikelola dengan professional, maka sudah barang tentulah kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara dapat terhambat, juga tanggung jawab negara terhadap warga negara dapat terbengkalai. Untuk itu, maka sangat urgen peran serta BPK dalam melaksanakan fungsinya yakni sebagai lembaga pemeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.


Peran BPK


Secara konstitusional BPK diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 E dan diperkuat dengan dikeluarkannya UU no.15 Tahun 2006 tentang BPK. Pada Pasal 6 menyatakan bahwa BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Dalam ketentuan itu, maka peran BPK sangat membantu dalam menanggulangi kerugian negara akibat pengelolaan keuangan oleh lembaga-lembaga negara kurang baik. Lingkup pemeriksaan yang menjadi tugas BPK meliputi; pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara, dan pemeriksaan atas tanggung jawab mengenai keuangan negara. Pemeriksaan tersebut mencakup seluruh unsur keuangan negara sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 2 UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Oleh karena kewenangan pemeriksaaan keuangan negara oleh BPK sangat luas dan tidak hanya mencakup keuangan dalam APBN saja, maka wajar apabila kedudukan BPK secara lembaga konstitusional bersifat independen.


Pemeriksaan keuangan negara oleh BPK juga dikaitkan oleh objek pemeriksaan pertanggungjawaban hasil pemeriksaan yang lebih luas dan melebar. BPK juga diharuskan penyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR, DPD dan DPRD sesuai dengan kewenangan masing-masing. Bahkan, dalam hal hasil pemeriksaan itu mengindikasikan perlunya penyelidikan dan penyidikan diproses secara hukum oleh lembaga penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, KPK). Lembaga penegak hukum inilah yang dimaksud oleh Pasal 23E UUD 1945 dengan istilah “badan sesuai dengan undang-undang dalam rumusan ayat (3) “hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang”.


Tantangan BPK


Terlepas dari peran BPK, kini lembaga Examinatif ini dihadapi oleh masalah keuangan negara yang cukup pelik. Hal ini menyangkut pengelolaan APBN, bahkan dalam penyerahan ikhtiar hasil pemeriksaan semester (IHPS) I tahun anggaran 2009 kepada DPR dinyatakan “kerugian negara yang dipantau pada semester I tahun 2009 senilai Rp.4,5 triliun, 46, 9 juta dolar AS dan sejumlah Valuta Asing lainnya dengan tingkat penyelesaian hamper 40 persen senilai Rp.1,14 triliun dan 40,7 juta dolar AS” (Harian Analisa, 16 September 2009). Cukup mengejutkan kita dalam pengelolaan keuangan negara yang dalam pernyataan itu disampaikan oleh mantan ketua BPK Anwar Nasution.


Tidak hanya itu dalam kesempatannya, bahwa BPK hingga semester I 2009 saja pihaknya telah menyampaikan 223 kasus berindikasi pidana senilai Rp.30,5 triliun dan 470 juta dolar AS kepada pihak berwenang yang dalam hal ini kepada pihak penegak hukum yakni KPK, Kejaksaan, serta kepolisian, dan hasilnya hanya 132 kasus saja yang telah masuk dalam proses peradilan. Dengan rincian, untuk tahap penyelidikan 20 kasus, penyidikan 15 kasus, penuntutan 8 kasus, putusan 37 kasus, yang dihentikan 10 kasus, dan dilimpahkan kepada kejaksaan tinggi atau BPK sebanyak 42 kasus. Sementara itu, pada IHPS I 2009, BPK memeriksa 491 lembaga, baik pada pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan BUMN dan perusahaan daerah. Total asset dalam pemeriksaan oleh BPK tersebut mencapai Rp.1.700 triliun dan ekuitas sebesar Rp.761 triliun.


Itulah hasil dari kinerja BPK dalam kurun waktu semester I tahun 2009 saja. Bisa dibayangkan bagaimana untuk tahun-tahun sebelumnya, sudah barang tentu temuan terhadap kerugian negara bisa mencapai dari pada yang kita bayangkan sebelumnya. Menyikapi hasil kinerja BPK tersebut, kita berharap bahwa BPK tidak hanya membuat laporan mengenai hasil kerugian negara, tetapi dari pada itu BPK harus secara optimal meningkatkan kinerjanya agar kerugian negara dari hasil pengelolaan keuangan negara terhadap lembaga-lembaga negara dapat diminimalisir bahkan jika mampu dapat menekan kerugian kerugian yang menghambat kemajuan dan kesejahteraan rakyat tersebut.


Penyelesaian Kerugian Negara


Untuk menghindari terjadinya kerugian keuangan negara/daerah akibat tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang, dalam UU No.1 Tahun 2004 tentang Pembendaharaan Negara diatur ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara/daerah. Oleh karena itu, dalam ketentuan UU tersebut menegaskan bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diganti oleh pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian kerugian tersebut negara/daerah dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi.


Kemudian untuk menjamin pelaksanaan pembayaran ganti kerugian, BPK berwenang memantau ; a. penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh pemerintah terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain; b. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah ditetapkan oleh BPK; dan c. pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.


Kini, dalam masa kepemimpinan anggota BPK yang baru diharapkan dapat menunjukkan kinerja dan integritas sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Terlebih lagi dalam menghadapi masalah audit terhadap kasus kontroversial Bank Century, BPK tidak mendapat tekanan yang bermuatan politis oleh berbagai pihak agar publik dapat melihat bagaimana pengelolaan keuangan negara dapat berjalan secara efektif dan dapat mengatasi kerugian negara akibat tindakan korupsi. Semoga.!!