Jumat, 05 Februari 2010

Upaya Pemakzulan Presiden


Oleh: Andryan, SH


Desas-desus pemakzulan Presiden SBY dan Wakil Presiden Boediono melalui pranata impeachment semakin santer. Hal ini semakin terlihat saat pansus century beberapa kali memojokkan pemerintah yang dikomandoi oleh Presiden dan Wakil Presiden. Bahkan, pansus menilai SBY selaku Presiden dan Boediono yang ketika itu selaku Gubernur BI turut bertanggungjawab dalam dana talangan (bailout) yang dikucurkan ke Bank Century senilai Rp. 6,7 Trilun, disamping juga rekanan lainnya yakni Sri Mulyani yang ketika itu menjabat sebagai ketua KSSK. Lantas, dengan skandal century tersebut di dukung juga oleh berbagai opini publik yang menyatakan program 100 hari pemerintah SBY dinilai gagal, tentunya merupakan momen yang tepat bagi lawan politik SBY untuk menggulingkannya dari jabatan sebagai presiden republik ini.


Beberapa waktu yang lalu, SBY bersama sejumlah wartawan cetak dan elektronik melakukan wawancara dan disiarkan oleh salah satu televisi swasta nasional. Pada kesempatan itu SBY menyatakan bahwa kucuran dana bailout merupakan keputusan yang sangat bijak di saat krisis yang melanda dunia saat itu. Lalu, SBY juga menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pejabat tidaklah dapat dikriminalisasikan. Hal ini tentu saja secara eksplisit menyatakan bahwa apabila keputusan bailout dana century salah, maka tidaklah dapat dipidana. Sontak saja banyak kalangan dan pengamat serta intelektual yang berang terhadap pernyataan SBY tersebut yang menyatakan apabila kebijakan tidak dapat dipidana. Padahal banyak kasus seperti kasus BLBI yang menyeret gubernur BI Burhanuddin Abdullah akibat kesalahannya membuat kebijakan BLBI, sementara ia sendiri pun tidak pernah menikmati kucuran dana tersebut.


Apakah SBY takut untuk dimakzulkan? Hal ini tentu saja terlihat dari pernyataan SBY di berbagai pertemuan dan jumpa pers yang sering menyatakan bahwa ia tidak terlibat dalam dana bailout century. Lalu, pada kesempatan berikutnya ia menyatakan kucuran dana bailout century merupakan keputusan yang tepat untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia disaat krisis global. Tidak hanya sampai di situ saja, beberapa waktu yang lalu juga SBY memanggil seluruh pimpinan lembaga negara dan mengadakan rapat komunikasi dengan membahas 13 isu fundamental soal pembangunan ekonomi, demokrasi dan keadilan. Apakah pertemuan dengan seluruh pimpinan lembaga negara tersebut untuk mencari dukungan pemerintah dan bermuatan politik agar dirinya tidak dimakzulkan dalam pranata impeachment? Hal tersebut tentu dapat dikatakan sebab Presiden turut juga menyertakan para ketua hakim agung dan hakim konstitusi. Padahal jika kita telisik lebih jauh, kehadiran sang penegak keadilan tersebut tentunya sangat mencoreng integritas dan independensi sang hakim tersebut. Mengingat lembaga peradilan harusnya menjaga wibawa dan tidak ada campur tangan dengan lembaga negara lainnya.


Ketentuan Impeachment


Wacana pemakzulan Presiden dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia bukanlah pada saat ini. Bahkan, sebelumnya Presiden Soekarno dan Abdurrahman Wahid pernah dimakzulkan oleh MPR. Pemakzulan merupakan salah satu wewenang MPR dalam “mencabut mandat dan memberhentikan presiden dalam masa jabatannya apabila presiden / mandataris sunguh melanggar haluan negara dan / atau UUD 1945”.


Berdasarkan Pasal 7 A UUD 1945, Presiden dan Wakil Presiden hanya dapat diberhentikan karena suatu pelanggaran hukum yaitu penghianatan terhadap bangsa dan negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Tidak mudah menetapkan ketentuan ini, terutama mengenai isi (subtansi) “penghianatan terhadap bangsa dan negara, tindak pidana berat, dan perbuatan tercela”. Dalam banyak hal, kategori penghianatan terhadap bangsa dan negara telah termasuk dalam perbuatan pidana seperti membocorkan rahasia negara, kerjasama dengan musuh. Penghianatan terhadap bangsa dan negara dapat juga dikualifikasikan sebagai perbuatan politik yang secara nyata sangat merugikan kepentingan bangsa dan negara, melanggar prinsip-prinsip dasar negara dan pemerintahan seperti melanggar terhadap UUD, prinsip politik bebas aktif.


Mengenai perbuatan tercela, misalnya menjadi pemabuk, berfoya-foya secara berlebihan, berbohong yang menyesatkan publik, melakukan perbuatan yang bertentangan deng kesusilaan, secara terang-terangan merendahkan martabat suatu kaum, mencela suatu agama dengan maksud merendahkan dan menghina. Perbuatan berat lainnya mencakup perbuatan yang menyebabkan seorang Presiden dan / atau Wakil Presiden harus menjalani pidana badan (sementara, seumur hidup, atau mati) karena suatu pidana kejahatan.


Dengan demikian, hal-hal yang menyangkut kebijakan pemerintah, kebijakan politik, atau kebijakan di bidang-bidang lain tidak termasuk dasar pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Selain itu, wewenang MPR memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus melalui tata cara yang lebih kompleks dibandingkan dengan tata cara yang diatur ketika MPRS (MPR) memberhentikan Presiden Soekarno dan Presiden Abdurrahman Wahid. (Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan)


Upaya Pemakzulan Presiden


Terlepas dari ketentuan pemakzulan Presiden, kini para politisi dan oposisi telah melancarkan kekuatannya untuk mengakomodir rakyat selaku pemegang kedaulatan agar dapat memakzulkan Presiden SBY. Lalu, dapatkah SBY dimakzulkan, mengingat legitimasi yang sangat tinggi dari rakyat? Untuk menggulingkan kursi presiden tidaklah semudah dalam berbagai wacana. Apalagi mengingat SBY yang memperoleh suara mutlak sebesar lebih kurang 60 % suara. Belum lagi Partai Demokrat yang dipimpinnya juga memperoleh suara sebesar 20, 85 % dan berhak menyandang sebagai partai pemenang pemilu. Tidak hanya itu, dukungan partai koalisi yang lolos parliamentary threshold di atas 2,5 % ditambah dengan partai demokrat, maka dukungan suara mencapai 56,09 % dari keseluruhan kursi DPR berjumlah 560 kursi. Dengan adanya dukungan parlemen tersebut, sangat sulit untuk mewujudkan pencapaian akan pemakzulan Presiden SBY.


Sebagaimana yang kita ketahui dalam UUD 1945 Pasal 7 B, bahwa apabila Presiden mau dilengserkan dari kedudukannya atau pemakzulan. Maka usul pemberhentiannya dapat diajukan oleh DPR kepada MPR hanya terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan pendapat DPR bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela atau pendapat presiden tidak memenuhi syarat sebagai Presiden. Pengajuan permintaan DPR kepada MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR.


Sebelumnya, MK wajib memeriksa, mengadili dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 hari setelah permintaan DPR itu diterima oleh MK. Maka, MPR wajib menyelengarakan sidang untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lama 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut. Keputusan MPR atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna MPR yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.


Melihat ketentuan tersebut, sangat sukar untuk memakzulkan SBY dari tambuk kepemimpinannya. Terlebih lagi, SBY yang berlatar militer tentunya mendapat dukungan yang penuh dari angkatan bersenjata / TNI. Dukungan dari pertahanan tersebut secara tidak langsung sangatlah penting, bahkan Soekarno dan Abdurrahman Wahid terkena pemakzulan akibat mereka tidak mempunyai dukungan dari angkatan bersenjata/pertahanan. Maka, meskipun Presiden SBY kedudukannya di tambuk kekuasaan sangat kuat bukan berarti ia lantas melalaikan kewajibannya melayani dan mensejahterakan rakyat.



Urgensi Pembinaan Supporter Sepakbola Nasional


Oleh: Andryan


Bonek lagi.. bonek lagi…., itulah yang terucap di hati masyarakat kita tatkala melihat tingkah suporter fanatik sepakbola Surabaya (Persebaya). Untuk yang kesekian kalinya bonek membuat keonaran, tidak hanya kepada sesama pendukung klub sepakbola nasional melainkan juga terhadap beberapa warga di pulau jawa. Setidaknya begitu bonek beraksi beberapa hari belakangan ini saat Persebaya melawat ke kandang Persib Bandung. Meski sudah mendapatkan perlakuan istimewa, para supporter persebaya yang dikenal dengan sebutan bondo nekat alias bonek tetap berbuat ulah. Mereka tidak saja berbuat keributan, tetapi juga mengakibatkan hampir 90 persen kaca kereta api luar biasa yang mereka tumpangi rusak. Saat melintasi wilayah DI Yogyakarta, kereta api luar biasa sempat disambut suporter PSS Slemania. Mereka memberi para bonek minuman kemasan, rambutan, dan semangka. Padahal bonek telah mendapatkan perlakuan istimewa, lantas mengapa bonek masih saja berulah?


Beberapa peristiwa kekacauan yang disebabkan "Bonek mania" tersebut tentunya bukanlah yang pertama kalinya. Bonek acapkali bertingkah, antara lain adalah kerusuhan pada pertandingan Copa Dji Sam Soe antara Persebaya Surabaya melawan Arema Malang pada 4 September 2006 di Stadion 10 November, Tambaksari, Surabaya. Selain menghancurkan kaca-kaca di dalam stadion, para pendukung Persebaya ini juga membakar sejumlah mobil yang berada di luar stadion antara lain mobil stasiun televisi milik ANTV, mobil milik Telkom, sebuah mobil milik TNI Angkatan Laut, sebuah ambulans dan sebuah mobil umum. Sementara puluhan mobil lainnya rusak berat. Atas kejadian ini Komisi Disiplin PSSI menjatuhkan hukuman (sebelum banding) dilarang bertanding di Jawa Timur selama setahun kepada Persebaya, kemudian larangan memasuki stadion manapun di seluruh Indonesia kepada para bonek selama tiga tahun.


Sebelumnya juga sekitar agustus 2006, bonek juga dijatuhi sanksi lima kali tidak boleh mendampingi timnya saat pertandingan away menyusul ulah mereka yang memasuki lapangan pertandingan sewaktu Persebaya menghadapi Persis Solo di final divisi satu. Ironisnya, tahun 2005, Persebaya justru rela dihukum terdegradasi ke divisi satu gara-gara mundur di babak 8 besar. Pihak klub beralasan untuk melindungi bonek agar tidak disakiti.


Lalu, pada tanggal 23 Januari 2010, sekitar 4000 bonek yang berangkat dari Surabaya ke Bandung via Solo melakukan tindakan anarki berupa pelemparan batu dan penganiayaan terhadap sejumlah orang. Selain itu tim yang akrab dengan tindakan hooliganisme ini juga melakukan tindakan kriminal penjarahan, pemukulan terhadap wartawan Antara, anggota Brimob, perusakan stasiun Purwosari Solo dan stasiun lainnya, perusakan rumah warga, serta tindakan-tindakan tidak terpuji lainnya. Bahkan, akibat ulahnya tersebut satu bonek dilaporkan meninggal karena terjatuh dari atap kereta api Pasundan yang ditumpanginya, beberapa bonek mengalami keadaan kritis, dan puluhan orang dari pihak bonek dan penduduk di pinggiran rel kereta api mengalami luka-luka. Tentunya banyak pihak yang merasa dirugikan akibat ulah bonek tersebu. Kerugian besar juga dialami oleh pihak Kereta Api Indonesia karena bonek melakukan perusakan terhadap kereta api, stasiun, dan menolak membayar penuh, serta menaiki kereta api melebihi kapasitas.


Selain itu, kepergian bonek kali ini juga melanggar hukuman yang diterapkan oleh Komisi Disiplin PSSI yang memberikan sanksi larangan supporter Persebaya mendampingi pertandingan selama 2 tahun. Apabila sanksi dari PSSI saja tidak digubris, bagaimana cara penertiban terhadap supporter klub sepakbola nasional kita? Begitu kronis kah ulah bonek dan juga beberapa supporter klub hingga sering membuat keributan dan terlebih lagi justru bukan membuat warna sepakbola nasional menjadi lebih indah.


Pembinaan Suporter


Sepakbola nasional kita hingga kini masih saja menghirup udara kotor disamping ketidakbecusan pengurus PSSI dan tentunya ulah beberapa supporter klub sepakbola kita turut bertanggungjawab menurunnya kualitas sepakbola di republik ini. Alih-alih kita mendapatkan prestasi di kancah Internasional, untuk urusan intern saja kita masih kelabakan memperbaiki sistem yang telah menyimpang tersebut Lalu, apa yang sebenarnya kita lakukan untuk membenahi dan mereformasi sepakbola kita agar dapat diperhitungkan dan berprestasi di kancah Internasional?


Meskipun pemberian sanksi yang tegas dapat juga memperkecil ulah kericuhan antar supporter. Akan tetapi, pemberian sanksi yang tegas terhadap suporter klub sepakbola yang berbuat kericuhan tersebut tidaklah dapat dikatakan berhasil. Buktinya, bonek yang telah dihukum pun masih saja dapat eksis dan kembali memperlihatkan tingkah biadabnya. Terjadinya kericuhan antar supporter fanatik klub tentunya kita dapat berasumsi ada yang memberi komando agar berbuat onar tersebut. Pemimpin suporter, pengurus klub, serta pejabat daerah turut andil dalam membina suporter tersebut. Bahkan, tindakan anarki supporter tidak lain terjadi juga karena adanya pembinaan yang salah.


Ada beberapa langkah untuk membina para supporter klub sepakbola agar senantiasa tidak berbuat kericuhan dan keonaran. Pertama, supporter sepakbola tentunya dihiasi oleh beberapa kalangan dan latar belakang, antara lain dari segi usia. Usia seseorang juga dapat mempengaruhi tingkat perkembangan mental dan emosionalnya. Usia yang dibawah 25 tahun tentunya memiliki perkembangan mental dan emosional yang tidak stabil. Disinilah PSSI dan juga pengurus klub harus memilah pendataan supporter yang boleh mengikuti pertandingan sepakbola di stadion. Apalagi, bila kita melihat perkembangan dari tahun ke tahun, kebanyakan supporter klub nasional kita merupakan usia yang di bawah 25 tahun yang masih menunjukkan perilaku pengakuan diri.


Pambatasan usia para supporter untuk menonton langsung klub kesayangannya bukanlah untuk menghalangi dan mengekang mereka. Malainkan untuk mengantisipasi agar segala tindakan kebrutalan supporter yang kategori masih “remaja” tersebut tidak terulang kembali. Maka, kita pun kembali di ingatkan oleh pepatah yang mengatakan “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Kedua, pihak pengurus klub dan pemimpin suporter haruslah memberikan pelatihan bagaimana memberikan dukungan secara sportif. Pemberian latihan tersebut tentunya diadakan secara berkala dan berkesinambungan dengan membagi beberapa kelompok mengingat begitu besarnya para pendukung klub-klub sepakbola nasional kita. Apabila pihak pengurus klub ikut berpartisipasi membina para supporternya secara benar, niscaya lah dalam situasi bagaimana pun supporter akan mampu memendam hasrat dan nalurinya untuk tidak membuat kericuhan. Tentunya pihak klub tidak akan rugi dalam mengadakan pelatihan bagi supporternya yang juga turut andil dalam kesuksesan sebuah klub sepakbola.


Ketiga, pembagian tribun supporter. Supporter sepakbola dibagi menjadi dua, ada yang merupakan supporter umum dan supporter garis keras. Di beberapa negara di Amerika Latin dan Eropa pada umumnya membagi tribun penonton tersebut. Untuk supporter umum, tribun penontonnya di tata secara biasa dengan pengawalan yang tidak begitu ketat. Akan tetapi, pada supporter garis keras, tribun penonton harus diberi pagar pembatas dengan supporter umum. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari bentrokan antar sesama pendukung klub. Dan terlebih lagi, supporter garis keras haruslah diberi pengawalan ekstra ketat. Selama ini para supporter klub dapat saja memasuki lapangan dan mengganggu jalannya pertandingan. Jika setiap stadion klub sepakbola nasional kita memiliki tingkat antisipasi dan pencegahan untuk supporter, maka kerusuhan pun tidak akan terjadi setiap pentandingannya.


Semoga, dikemudian hari tidak akan terjadi kericuhan yang hanya berdampak buruk terhadap prestasi sepakbola kita di kancah Internasional. PSSI dan pengurus klub haruslah menjalin kerjasama yang baik untuk sama-sama membina para supporter klub sepakbola kita yang semakin hari semakin beringas agar dapat juga memberi kontribusi terhadap pencapaian prestasi sepakbola nasional.