Sabtu, 23 Januari 2010

Sentilan Lagu Andai Aku Gayus

Andai ku Gayus Tambunan, yang bisa pergi ke Bali/ Semua keinginan pasti bisa terpenuhi// Lucunya di negeri ini/ hukuman bisa dibeli/ kita orang yang lemah pasrah akan keadaan//

Gayus Tambunan lagi-lagi membuat puluhan juta rakyat negeri ini harus menahan rasa geram akibat ulahnya yang selalu menimbulkan kontroversi. Tidak cukup hanya berpiknik ria di pulau dewata Bali, Gayus pun rupanya juga telah merambah ke beberapa kota-kota wisata dunia, sebut saja Singapura, Hongkong, Thailand, Macau. Hal tersebut semakin membuat rakyat di republik ini harus berbuat sesuatu untuk mengekspresikan kekecewaan, kejengkelan, dan keputusasaan terhadap bobroknya sistem hukum dan moralitas penegak hukum di negeri ini.

Setelah beberapa ilustrasi dan sketsa foto-foto Gayus yang seolah-olah dengan berbagai penyamarannya menggunakan wig dan kacamata dapat mengelabui rakyat, kini inspirasi pun datang dalam sebuah dentungan lagu menggelitik dan menyentil yang menceritakan sepak terjangnya. Lagu berjudul "Andai Aku Jadi Gayus Tambunan" ini diciptakan oleh mantan napi Bona Paputungan. Bona sendiri agaknya iri melihat kehidupan Gayus yang bisa bebas plesir ke Bali hingga ke luar negeri ini. Berbeda dengan dirinya pada saat ditahan di Lapas Gorontalo ini yang harus pasrah tidak bisa berbuat banyak.

Sepenggal lirik di atas tersebut setidaknya dapat menggambarkan akan bobroknya penegakan hukum di republik ini. Ibarat sebuah pisau yang mana di bawah lebih tajam sedangkan di atasnya tumpul, begitu juga dengan hukum di negeri ini yang tegas dalam menjerat terhadap kaum lemah dan tidak berdaya serta tidak dapat berbuat banyak terhadap golongan atas.

Apa yang terjadi di negeri sangat kaya akan sumber daya alam ini, mengapa hukum begitu mudah diperjual-belikan dan seakan menjadi barang dagangan yang hanya mampu dibeli oleh kalangan ekomoni berduit dan berdasi saja. Bahkan, aparat penegak hukum sendiri yang seyogyanya menegakan panji-panji hukum pun seakan tidak berdaya dan ikut larut dalam permainan sandiwaran penuh dengan kotoran tersebut.
Sentilan Lagu Gayus

Penegakan hukum yang tebang pilih seakan membuat rakyat di negeri ini menjadi geram. Berbagai cara pun dikemas untuk menggambarkan kenyataan pahit di negeri yang berlandaskan hukum. Salah satu aktor yang kini menjadi topik hangat di balik pemberitaan kasus Gayus yakni Bona Paputungan. Ketenaran dan kontroversi Gayus Tambunan dalam kasus mafia pajak juga kini melekat dalam Bona Paputungan dengan membawakan lagu single hits “Andai Aku Gayus Tambunan”.

Mungkin apabila tidak adanya kasus Gayus dengan plesiran ke Bali, masyarakat pun tidak ada yang mengenal akan sosok Bona Paputungan. Dengan menjadi populer via lagu Gayus, Bona mendapat berbagai macam undangan untuk menjadi tamu di berbagai acara. Bahkan, siapa sangka kelak Bona akan mendapat tawaran untuk masuk studio rekaman, hal tersebut juga tidak terlepas dengan bakat musik yang dipertontonkannya ke publik.

Terlepas dari populernya sang vokalis lagu Gayus tersebut, sebenarnya dalam lirik lagu tersebut terdapat sentilan-sentilan yang dapat membawa kesadaran para petinggi di negara ini akan kenyataan pahit penegakan hukum selama hingga kini. Dalam beberapa lirik lagu tersebut disebutkan hanya bagi kaum berduit dapat melakukan apapun yang dikehendakinya sedangkan bagi orang yang lemah hanya bisa pasrah menghadapi keadaan yang tidak mengenakan di dalam sel tahanan. Lalu, sentilan berikutnya menggambarkan bahwa di negeri ini sangat lucu karena hukuman dapat diperjual-belikan bak barang dagangan yang ada di pasar tradisional.

Separah itukah sentilan dalam lirik lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” karya Bona Paputungan tersebut?. Itulah yang menjadi gambaran pekerjaan rumah penegak hukum kita yang belum terselesaikan hingga kini. Karenanya lirik yang dibuat oleh Bona menceritakan akan kenyataan pahit yang diterimanya sewaktu menjalani proses tahanan. Hal tersebut jugalah yang membuatnya terpanggil untuk menciptakan syair lagu yang membuka fakta akan suramnya dunia hukum kita.

Dalam kasus Gayus Tambunan yang saat itu menjadi tahanan tetapi dapat keluar dan pergi berpiknik ke daerah wisata baik di dalam negeri maupun luar negeri adalah salah satu fakta-fakta dari sekian banyak kasus-kasus yang cukup menghebohkan dan membuat geram rakyat akan bobroknya penanganan hukum di Indonesia.

Masih dalam ingatan kita bagaimana begitu banyak kasus-kasus hukum yang sangat menghebohkan. Hal tersebut bukan karena kasus tersebut menjerat para koruptor kelas kakap di negeri ini, melainkan di luar akal sehat kita membuktikan hukum dapat dijadikan sebagai etalase yang dapat dibeli oleh siapapun selagi masih mempunyai cukup banyak uang dan berkedudukan sebagai penguasa.

Di awal tahun ini kita dikejutkan oleh liputan berbagai media cetak dan elektronik nasional karena ditemukan adanya perjokian untuk para narapidana fiktif. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi apabila masih saja adanya permainan kotor dalam lingkaran mafia-mafia hukum. Tentu saja sangat mustahil apabila para aparatur hukum tidak mengetahui adanya narapidana fiktif di dalam tahanan karena prosedur hukum dimulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lalu lembaga pemasyarakkatan saling berkoordinasi antar satu sama lainnya. Inilah yang menambah keyakinan kita bahwa lingkaran setan bernama mafia hukum di negeri ini masih tumbuh dan bahkan dapat berkembang biak hingga ke anak cucu kita kelak.

Tentu permainan mafia hukum sesungguhnya tidak hanya sebatas perjokian napi saja yang secara mengejutkan di ekspos media pada awal tahun ini. Beberapa waktu yang lalu juga dalam sel tahanan di geledah dengan secara menghebohkan bahwa dalam hotel prodeo tersebut terdapat beberapa fasilitas mewah yang melibatkan terpidana kasus suap pengusaha Artalyta Suryani. Di sel yang seyogyanya sunyi sengap dan dinginnya alas lantai di dalam kamar tahanan, kini dapat di sulap menjadi kamar bernuansa hotel mewah bahkan juga dapat dikatakan seperti apartemen di kawasan elit kota metropolitan. Karena di dalamnya terdapat beberapa fasilitas mewah seperti kasur spring bed yang sangat empuk, pendingin dan pemanas ruangan, televisi beserta seperangkat dvd dengan bernuansa studio teater, kulkas yang berisi makanan siap saji dan beragam buah-buahan nan segar, ada juga kamar mandi dengan tersedianya air dingin dan panas, serta ada tempat khusus layanan salon kecantikan.

Sungguh hal tersebut membuat miris rakyat yang melalu merindukan adanya penegakan hukum tanpa pandang bulu baik terhadap rakyat biasa maupun rakyat berduit. Bagaimana mungkin sel tahanan yang dimaksudkan untuk membuat narapidana menjadi jera dan tidak melakukan perbuatan pidana karena dapat menjadi objek pesakitan justru membuat narapidana yang mendekam di dalam jeruji besi nan mewah menjadi nyaman berlama-lama dan sangat menikmati masa hukumannya tersebut.

Ancaman Terhadap Kritikus


Layaknya di negeri yang belum siap akan demokrasi, dengan membuat lagu beserta video klipnya Bona mendapat berbagai ancaman dan teror dari berbagai orang yang tak dikenal. Tentu saja orang yang berniat mengancam tersebut merasa kesal dan tersindir akibat lirik lagu Bona yang sangat menyentil para penegak hukum di negeri ini.

Ancaman dan teror terhadap Bona sesungguhnya bukanlah yang pertama di republik ini. Dalam catatan sejarah banyak para musisi, penyair dan seniman karena dengan aksinya dan karyanya baik melalui lagu, puisi, sandiwara teater, serta berbagai banyolan membuat mereka mendekam di jeruji besi karena menyindir pemerintah dan para pejabat kita. Koes Plus bersaudara, Iwan Fals, Doel Sumbang, WS Rendra, dan Taufik Ismail adalah segelintir orang-orang yang sangat peduli terhadap bangsa dan negara ini terutama sistem dan penegakan hukum yang masih carut-marut.

Kini, kita berharap sentilan dalam lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” dapat membuat pejabat dan aparatur penegak hukum kita dapat mawas diri dan segera berbenah untuk menegakan panji-panji hukum. Terlebih lagi tidak adanya tebang pilih dalam penegakan hukum, karena hal tersebut untuk meyakini rakyat bahwa negara ini berkomitmen dalam memberantas mafia hukum yang semakin merajalela. Semoga..!!

Selasa, 19 Januari 2010

Menguji Efektivitas Satgas Pemberantasan Mafia Hukum


Oleh: Andryan, SH

Terkuaknya sel mewah, perlakuan diskriminatif serta maraknya berbagai pungutan liar di Rutan Pondok Bambu, tentu menyisahkan luka bagi negara yang menerapkan hukum sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Luka tersebut tidak lain karena masih buramnya penegakkan hukum kita, tidak hanya di dalam persidangan (litigasi), tapi juga di luar persidangan (non litigasi). Perlakuan beberapa oknum penegak hukum dapat disebut sebagai mafia peradilan, makelar kasus, ataupun perilaku yang kerap kali bersifat korupstif dengan menguntungkan pihak tertentu dan merugikan rakyat yang notabene mengharapkan perlindungan hukum dan keadilan. Untuk mengatasi bobroknya institusi hukum serta perilaku penegak hukum, maka Presiden pada akhir tahun 2009 membentuk Satuan Tugas (satgas) Pemberantasan Mafia Hukum.


Pembentukan satgas pemberantasan mafia hukum tersebut sebelumnya telah menimbulkan pro dan kontra atas lembaga dengan dasar hukum keppres tersebut. Sebab, apabila negeri ini bersungguh-sungguh dalam memberantas jaringan mafia hukum tidak lah harus membentuk lembaga baru dalam memberantas mafia hukum. Selama ini kita mengenal Komisi Yudisial (Lembaga Peradilan), Komisi Kejaksaan (Kejaksaan Agung), serta Komisi Kepolisian (Polri). Lembaga tersebut setidaknya dapat diberdayakan untuk memperbaiki mental aparat penegak hukum dan memberantas para pelaku mafia hukum.


Akan tetapi, mengawali tugasnya di awal tahun baru 2010, satgas dapat dikatakan telah sukses mengawali tugasnya dalam memberantas mafia hukum di tanah air dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak) terhadap Rutan Pondok Bambu, Jakarta. Masyarakat pun dibuat tercengang dengan temuan satgas tersebut, dengan terungkapnya beberapa sel mewah dan perilaku pungli petugas lapas. Kini, meskipun belum berjalan begitu lama, masyarakat setidaknya dapat berharap banyak kepada satgas pemberantasan mafia hukum untuk memberantas tanpa pandang bulu mafia hukum dan makelar kasus di tanah air. Akan tetapi, mengingat cakupan wilayah kerja satgas di seluruh tanah air, apakah efektif pembentukan satgas dalam membongar dan memberantas mafia-mafia hukum yang telah menyebar di tanah air?


Ruang lingkup kerja satgas itu sendiri yakni tidak bisa melakukan penindakan seperti mencopot aparat penegak hukum yang terlibat mafia hukum. Satgas hanya akan bekerja dalam mengkaji, menelaah, dan melakukan penelitian sebelum diserahkan kepada lembaga terkait seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK, Bahkan, Satgas tersebut hanya dapat memberikan rekomendasi dan melaporkan hasil tugasnya setiap tiga bulan sekali kepada Presiden.


Satgas yang terbentuk pada 19 November 2009, hanya memiliki waktu selama dua tahun untuk melaksanakan pemberantasan praktik mafia hukum pada institusi penegak hukum. Di mana tugas Satgas memfokuskan pencegahan praktik mafia hukum pada dua institusi penegak hukum, yakni Polri dan Kejaksaan Agung dengan kerangka besar meliputi reformasi birokrasi melalui perubahan struktural untuk memudahkan perbaikan kultur kerja aparat penegak hukum.


Satgas Pemberantasan Mafia Hukum kewenangannya berada di bawah kendali Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Apabila kita melihat para anggotanya, satgas tidaklah dapat dianggap remeh. Sebagai Ketua Satgas adalah Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto, Sekretaris Satgas Denny Indrayana dan sebagai anggotanya adalah Wakil Jaksa Agung Darmono, Herman Effendi dari Kepolisian. Kemudian, mantan pelaksana tugas pimpinan KPK Mas Achmad Santosa mewakili kalangan profesional, serta Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Hussein.


Beberapa nama anggota satgas tersebut tidaklah asing di telinga kita, mereka tentunya tidak diragukan lagi kapasitas dan integritasnya dalam memberantas mafia hukum di republik ini. Akan tatapi, disamping mengemban jabatan sebagai anggota satgas, mereka tentu masih terikat dengan korp-nya. Lalu, satgas pun tidak memiliki sekretariat sebagimana lembaga lainnya. Mereka hanya melakuan meeting-meeting dengan para anggotanya untuk melakukan kerjanya. Hal inilah yang mengundang keraguan akan efektivitas satgas dalam memberantas mafia hukum. Disamping mengemban rangkap jabatan para anggotanya, juga tidak memiliki agenda kerja yang jelas. Apakah satgas hanya bekerja dengan melakukan sidak dan menerima pelaporan dari masyarakat saja?


Mafia hukum, makelar kasus, atau mafia peradilan bukanlah hal baru di negeri ini. Maraknya praktik korupsi peradilan dan mafia hukum di Indonesia juga diperkuat oleh laporan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2001. Penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia (Jakarta, Medan, Makassar, Samarinda, Jogjakarta, dan Surabaya) itu menunjukkan betapa jaringan mafia hukum meluas dengan melibatkan hampir seluruh pelaku di lingkungan peradilan. Mulai hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera, sampai karyawan dan tukang parkir di pengadilan.


Celakanya, tindakan mafia peradilan tersebut dianggap sebagai hal yang lumrah. Banyak pengacara yang tidak malu-malu lagi menawarkan sejumlah uang kepada hakim dan jaksa. Bahkan, dalam bentuk yang berbeda, ada pengacara yang ''menggaji'' hakim bulanan. Sementara pada saat bersamaan, hakim, jaksa, polisi, serta panitera tidak merasa risih pula untuk meminta uang dari pengacara atau para pencari keadilan. Ibaratnya, jika dulu dilakukan secara diam-diam, kini tindakan mafia hukum tersebut dilakukan secara terbuka dan terang-terangan (dulu di bawah meja, sekarang di atas meja). Pengadilan bukan lagi tempat mendapatkan keadilan, melainkan bursa keadilan. Siapa yang bisa memberi banyak akan mendapatkan keadilan yang diinginkan.


Inisiatif pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum jelas patut di apresiasi, meski banyak kalangan yang juga pesimistis terhadap hasilnya nanti. Berdasarkan pengalaman yang lalu, upaya membongkar dan membersihkan praktik mafia hukum melalui mekanisme internal di masing-masing sering mengalami kebuntuan. Dalam beberapa kasus korupsi, suap di lingkungan peradilan yang melibatkan mafia hukum khususnya dari polisi, jaksa, dan hakim umumnya sangat sedikit yang akhirnya berujung pada proses pengadilan.


Ada beberapa persoalan yang mengakibatkan kebuntuan tersebut. Misalnya, hambatan secara struktural, semangat membela kops, metode pengawasan/pemeriksaan yang lemah, aparat pengawasan yang juga korup, serta tidak adanya kemauan dari pimpinan institusi penegak hukum ini. Padahal, untuk membersihkan mafia hukum, setidaknya ada beberapa hal yang dibutuhkan. Pertama, pimpinan penegak hukum harus memiliki kemauan kuat dan bertekad serius dalam membersihkan korupsi di lembaga masing-masing. Sepanjang pemimpinnya tidak tegas dan bahkan membiarkan praktik mafia hukum berkembang, jangan berharap ''penyakit'' itu bisa dituntaskan.


Kedua, perlunya penguatan pengawasan internal dan eksternal masing-masing institusi penegak hukum. Pengawas ekternal seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial seharusnya bisa dimaksimalkan dalam memberantas mafia hukum. Masyarakat juga diberi ruang untuk mengawasi kinerja penegak hukum serta mafia hukum dengan segala profesinya. Selain itu, perlu adanya lembaga independen yang diberi kewenangan dalam mengusut dan membersihkan perilaku menyimpang, khususnya korupsi, di institusi penegak hukum.


Dalam hal ini, sebaiknya kita meniru kisah sukses pemberantasan mafia hukum di beberapa negara seperti China yang tidak pandang bulu dalam menindak para mafia hukum. Bahkan, hukuman mati kepada mafia hukum telah diterapkan untuk menumbuhkan kepercayaan warga negaranya dalam memberantas jaringan mafia hukum di negara berpenduduk terbesar di dunia tersebut. Satgas yang dibentuk Presiden seharusnya didorong untuk melakukan operasi-operasi intelijen guna menangkap mafia peradilan untuk selanjutnya diproses oleh KPK. Jika kerja satgas sekedar memberi saran dan rekomendasi, lembaga tersebut tidak akan efektif dan hanya akan kembali menghiasi sebagai etalase tanpa membuahkan hasil di republik ini.

Kamis, 07 Januari 2010

Mengukur Efektivitas Wakil Menteri


Oleh: Andryan, SH

Presiden sebagai kepala negara dan penyelenggara pemerintahan negara kini semakin meringankan bebannya dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini terlihat jelas dengan diangkatnya pembantu presiden secara tidak langsung yakni wakil menteri. Sesuai dengan apa yang telah diumumkan presiden pada saat mengawali pengumuman anggota kabinet beberapa waktu lalu. Presiden berdalih bahwa penetapan beberapa wakil menteri dipandang sangat diperlukan untuk mendampingi menteri-menteri tertentu yang memiliki beban tugas lebih. Penetapan wakil menteri tersebut berdasarkan dua syarat utama. Pertama, mengacu Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Perpres No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, artinya dasar hukum tersebut lah menjadi dasar yang memungkinkan presiden bisa mengangkat wakil menteri. Kedua, karena kebutuhan yang membutuhkan penanganan khusus.


Kini, presiden SBY memlilih kembali lima wakil menteri dan satu sekretaris kabinet untuk melengkapi susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Pos departemen yang di isi oleh wakil menteri yakni, Departemen Keuangan, Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas, Departemen pendidikan nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanahan.


Sebagaimana yang kita ketahui juga bahwa sebelumnya pada novermber 2009, presiden sudah mengangkat lima wakil menteri untuk pos departemen tertentu yaitu Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Perdagangan, dan Departemen Perindustrian. Dengan demikian, maka sepuluh wakil menteri dan satu sekretaris kabinet telah diangkat oleh presiden. Tentu saja kita terkejut melihat banyaknya wakil menteri yang diangkat dan hal ini pun tidak selaras dengan apa yang telah di umumkan oleh presiden SBY beberapa waktu lalu yang akan hanya mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu jika dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus. Kementerian tertentu tersebut tidak lain adalah enam departemen yang saat ini sedang dipersiapkan wakil menteri oleh presiden masing-masing Deptan, Perindustrian, Depkeu, Depkes dan Depdiknas.


Lantas, di luar perkiraan publik presiden justru mengangkat wakil menteri lebih dari yang telah diumumkannya. Rakyat tentu saja ribut dan menyoalkan pengangkatan wakil menteri tersebut, sebab hal pembebanan keuangan wakil menteri tersebut pastinya juga menggunakan uang rakyat. Rakyat yang seyogyanya memerlukan kesejahteraan hidupnya justru ditelantarkan dengan adanya bagi-bagi jabatan tersebut dan pemborosan keuangan negara.


Mengukur Efektivitas


Ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 2008, menyatakan wakil menteri sebenarnya adalah pejabat karier yang professional yang sudah harus pada jabatan struktural eselon 1A dan bukan kalangan dari partai politik. Oleh sebabnya, maka wakil menteri yang terpilih merupakan orang yang telah diakui baik kapabilitasnya maupun integritasnya. Memang pada dasarnya pengangkatan wakil menteri sedikit banyak dapat membantu para menteri dalam menjalankan tugasnya memimpin departemen. Akan tetapi, pengangkatan wakil menteri tersebut banyak menimbulkan tidak adanya efektivitas dalam memangku jabatan pemerintahan.


Pertama, bagi para menteri yang diplot sebagai seorang professional, tentu dalam menjalankan tugasnya sebagai pembantu presiden dan pemimpin departemen/kementerian negara, menteri tersebut tidak lah terlalu membutuhkan wakil menteri. Menteri memang mempunyai beban yang sangat berat dalam membantu presiden menyelenggarakan pemerintahan negara. Oleh sebab begitu kompleksnya dan rumitnya tugas menteri, maka pada saat rekrutmen calon menteri diseleksi tidak hanya berdasarkan track recordnya dalam memimpin pos tertentu, tapi juga diperiksa kondisi fisiknya dan psikologisnya. Dari pemeriksaan secara intensif itulah diketahui apakah para menteri pantas atau tidak dalam mengemban dan menjalani jabatannya.


Kedua, tidak adanya mekanisme kerja yang jelas terhadap wakil menteri. Para wakil menteri tersebut diangkat oleh presiden dengan mengacu Pasal 10 UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”. Dengan ketentuan tersebut sangat jelas bahwa inisiatif pengangkatan menteri datang dari presiden bukan dari para menterinya. Hal ini tentu mengundang tanda tanya kepada kita, bagaimanakah mekanisme kerja para wakil menterinya?


Wakil menteri tentu berbeda dengan pejabat-pejabat di lingkungan departemen yang dipimpin oleh para menteri. Wakil menteri dapat dikatakan sebagai orang nomor dua setelah menteri dan secara otomatis dapat bertindak diatas seorang sekretaris jenderal. Lantas, melihat keadaan demikian apakah wakil menteri dapat sewaktu-waktu bertindak sebagai menteri manakala para menterinya berhalangan? Lalu, apakah wakil menteri dapat membuat kebijakan untuk pos departemen? Padahal apabila kita mengacu secara konstitusional, maka wakil menteri tidaklah termasuk dalam anggota kabinet. Kemudian sebagai wakil menteri, apakah agenda kerja datang dari para menteri atau dari presiden sebagai pihak inisiatif yang mengangkatnya. Jika agenda kerja datang dari presiden, maka antara menteri dan wakil menteri tidak memiliki sinkronisasi dalam menjalankan pos departemen.


Ketiga, wakil menteri sebenarnya di luar konteks organisasi kementerian. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 9 UU No.39 Tahun 2008, pada bagian susunan organisasi kementerian negara terdiri yakni, a. pemimpin, yaitu Menteri; b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal; c. pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal; d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal; e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat; dan f. pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, sangat jelas bahwa wakil menteri tidak termasuk dalam organisasi kementerian negara dan yang lebih pantas dalam membantu menteri adalah sekretaris jenderal yang secara eksplisit sebagai wakil/pembantu pimpinan (menteri).


Keempat, sebenarnya semua menteri di departemennya masing-masing telah memiliki direktorat jenderal dan deputi yang secara teknis operasional berfungsi sebagai wakil menteri dengan memiliki agenda kerja yang jelas. Sehingga tanpa wakil menteri pun sudah memadai. Namun, kalau presiden merasa kinerja departemen bersangkutan belum optimal dengan perangkat yang ada berarti ada kebutuhan terhadap wakil menteri. Sehingga jabatan itu harus diadakan. Akan tetapi, kebijakan untuk mengangkat seorang pejabat secara otomatis menimbulkan biaya yang sangat besar.


Padahal beberapa waktu lalu untuk biaya transportasi para menteri saja telah menelan biaya puluhan miliar rupiah. Bagaimana jadinya bila pejabat di lingkungan kementerian ditambah, pastinya juga pejabat tersebut memerlukan biaya taktis, tunjangan, serta operasional untuk menunjang tugasnya. Hal inilah yang semakin membuat keuangan negara terkuras dengan pembiayaan yang tidak efektivitas dan tidak tepat sasaran, dibandingkan dengan mengoptimalkan para pejabat di lingkungan departemen/kementerian seperti sekretaris jenderal, direktorat jenderal; ataupun inspektorat jenderal daripada mengangkat para pejabat baru.


Pemerintahan gemuk


Dengan diangkatnya beberapa wakil menteri pada pos kementerian tertentu dan seorang sekretaris kabinet, tentu saja membuat lembaga pemerintahan tersebut semakin gemuk. Selain para wakil menteri yang ada pada lembaga kepresidenan tersebut, ada juga beberapa staff-staff khusus kepresidenan, dan dewan pertimbangan presiden. Jikalau pengangkatan para personil pemerintahan tersebut ditunjang dengan integritas, kapabilitas, serta memiliki agenda kerja yang jelas, tentu kita dapat mendukung kebijakan para pemimpin yang mengangkat tersebut. Akan tetapi, bila dikemudian hari para personil tersebut jauh dari apa yang diharapkan dan tidak diberdayakan secara optimal, tentu keuangan negara semakin terkuras.