Rabu, 30 Desember 2009

Sang Jenaka Itu Telah Berpulang




Oleh: Andryan, SH


Di penghujung tahun 2009 kita kembali kehilangan anak bangsa dan tokoh negarawan. Setelah sebelumnya bangsa kita kehilangan beberapa anak bangsa lainnya seperti Ali Alatas, WS Rendra, Ismail Sunny, dan kini KH.Abdurrahman Wahid atau yang dikenal secara luas dengan sapaan Gus Dur telah meninggalkan kita menuju kehidupan di alam baka. Gus Dur yang merupakan Presiden Republik Indonesia yang ke-4 wafat tepat berusia 69 tahun pada rabu petang, tanggal 30 desember 2009. Kita tidak dapat melihat kembali tokoh konservatif dan demokratis yang dikenal secara lugas apa adanya dengan humoris, jenaka, serta memiliki gagasan-gagasan yang brilian tersebut.


Tidak hanya itu saja, Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang pluralisme dan ingin menghidupkan sikap toleransi di dalam kebhinnekaan bangsa Indonesia. Baginya Indonesia harus dibangun dengan sikap kebersamaan tanpa diskriminasi antar kelompok primordial atau jender. Dia selalu menceritakan dengan bangga betapa kakeknya, KH.Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri NU, selalu berjuang dan mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap toleran, bukan hanya sesama muslim yang berbeda mazhab melainkan juga terhadap sesama warga bangsa Indonesia.


Selain itu, Gus Dur kerapkali di kenal publik sebagai tokoh kontroversial. Hal tersebut tidak lain karena dalam mengambil kebijakan sewaktu menjabat sebagai presiden menimbulkan berbagai kontroversi. Salah satu kebijakan yang dikenal hingga kini yakni saat Gus Dur mengeluarkan Dekrit perihal pembekuan parlemen. Sontak saja banyak kalangan yang terkejut mengenai keputusan Gus Dur tersebut. Lalu, atas kebijakannya tersebut, lantas Gus Dur di lengserkan melalui pranata impeachment.


Gus Dur merupakan salah satu tokoh bangsa yang di kenal bersih serta membela kepentingan rakyat kecil. Hal itu juga yang mendasari Gus Dur ketika menghapuskan Departemen Penerangan yang pada masa Orde Baru sebagai lembaga yang membungkam suara rakyat melalui media kontrolnya. Maka, hingga kini publik dapat merasakan betapa bebasnya rakyat kita dalam menyuarakan aspirasi dan pendapat yang di landasi secara konstitusional. Selain itu, Gus Dur yang merupakan tokoh majemuk semua lintas agama dan kepercayaan, maka Gus Dur pun memberikan ekspresi dan tempat terhadap kaum thionghoa dengan agama konghucu. Bahkan, oleh karenanya lah atraksi barongsai hinga kini dapat dipertunjukkan secara terbuka.


Tokoh Berpengaruh


Tidak dipungkiri bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat berpengaruh di republik ini khususnya dalam dinamika politik nasional. Maka tidak heran apabila seseorang ingin mencalonkan menjadi calon bupati/walikota, gubernur, hingga presiden dan wakil presiden maka ia akan menghadap Gus Dur untuk meminta restu ataupun saran. Gus Dur memang mempunyai modal politik yang sangat besar dan kuat secara nasional. Berjuta-juta orang di negeri ini, terutama warga NU, hanya akan mau menjatuhkan pilihannya berdasarkan titah Gus Dur. Pilihan politik ribuan kiai NU yang tidak pernah muncul di Koran-koran, tetapi menjadi simpul-simpul kekuatan NU sangat bergantung pada arahan Gus Dur. Mereka mengangap Gus Dur sebagai azimat, bahkan tak sedikit yang menganggapnya sebagai wali dan keramat. Apapun yang dikatakan oleh Gus Dur, itulah yang akan mereka lakukan. Maka, percaya atau tidak, tingginya angka Golongan Putih (Golput) pada setiap pemilihan umum dan pemilukada, tidak lain karena Gus Dur mendeklarasikan dirinya golput atau tidak menggunakan hak pilihan politiknya.


Pengaruh Gus Dur yang begitu besar di kalangan warga NU, bukan saja banyaknya disebabkan oleh kenyataan bahwa Gus Dur berdarah biru karena merupakan cucu dari pendiri NU, KH.Hasyim Asy’ari, bukan juga karena lantaran kecerdasan dan kemampuannya menyejajarkan drinya dengan tokoh-tokoh berbagai bidang di seluruh dunia, melainkan juga karena Gus Dur menghimpun modal politiknya itu selama puluhan tahun, bahkan juga dalam cengkraman diktator orde baru.


Gus Dur, sang jenaka


Gus Dur kerapkali bersikap jenaka dalam berhadapan dengan setiap orang dan juga berbagai media. Bahkan dalam berpolitik pun Gus Dur menunjukkan kelihaiannya dalam melakukan serangan politik sambil berkelit dengan mengundang senyum geli. Serangan atau sentilan politik Gus Dur kerap mengundang tawa geli karena selain sangat keras juga lucu. Mahfud MD dalam bukunya Hukum Tak Kunjung Tegak memberikan beberapa lelucon-lelucon yang sangat menarik. Beberapa diantaranya yakni ketika humor politik yang dilemparkan Gus Dur kepada Presiden Kuba Fidel Castro saat melakukan kunjungan kenegarawan ke Kuba.


Gus Dur ketika itu memancing tawa saat menyelingi pembicaraannya dengan Fidel Castro. Ia mengatakan bahwa semua presiden Indonesia punya penyakit gila. Presiden pertama, Bung Karno dikenal sebagai presiden gila wanita, presiden Kedua Soeharto dikenal sebagai presiden gila harta, presiden ketiga, BJ. Habibie juga dikatakannya dikenal sebagai presiden benar-benar gila alias gila beneran, sedangkan Gus Dur sendiri sebagai presiden keempat sering membuat orang gila karena yang memilihnya juga orang-orang gila. Sebelum tawa Fidel Castro reda, Gus Dur sontan bertanya , “yang mulia Presiden Fidel Castro termasuk orang yang mana?”. Fidel Castro menjawab sambil tetap ketawa, “saya termasuk yang ketiga dan keempat.


Banyolan yang dilontarkan Gus Dur tidak hanya sampai di situ saja. Ketika mengunjungi Habibie di Jerman. Oleh orang dekat Habibie. Gus Dur di minta mengulangi cerita lucunya tersebut dengan Fidel Castro. Merasa tak enak menyebut Habibie sebagai presiden Indonesia yang benar-benar gila atau gila beneran, maka Gus Dur memodifikasi ceritanya tersebut. Kepada Habibie, Gus Dur mengatakan bahwa ia bercerita dengan Presiden Kuba Fidel Castro bahwa Presiden Indonesia hebat-hebat. Presiden Soekarno seorang negarawan, presiden Soeharto seorang hartawan, presiden BJ. Habibie seorang ilmuwan, sedangan ia menyebut dirinya sendiri sebagai presiden wisatawan. Selain menghindari menyebut Habibie sebagai presiden benar-benar gila atau gila beneran. Jawaban yang dilontarkannnya juga terkesan bersahabat atas kritik yang mengatakan bahwa dirinya sebagai presiden yang banyak pergi ke luar negeri, seperti seorang yang berwisata.


Lalu ada lagi kisah jenaka yang dihanturkan Gus Dur yakni ketika berceramah di depan kerumunan massa, misalnya Gus Dur mengajak massa untuk membaca salawat bersama-sama dengan suara keras. Setelah itu, dia mengatakan, selain mencari pahala, ajakan membaca salawat tersebut adalah untuk mengetahui berapa banyak orang yang hadir. “Dengan lantunan salawat tadi, saya jadi tahu berapa banyak yang hadir di sini. Habis, saya tak dapat melihat. Jadi, untuk tahu besarnya yang hadir, ya dari suara salawat saja” Gus Dur menjelaskan.


Itulah sekelumit banyolan yang dilakoni oleh seorang Gus Dur sebagai tokoh yang jenaka dan melucu karena sebelum ia memberika kritik yang sangat pedas terhadap lawan politiknya, maka sebelumnya juga ia menertawakan dirinya sehingga orang yang yang ia sindir dan kritik tidak tersinggung. Berkali-kali Gus Dur dirawat di rumah sakit. Namun, berkali-kali pula berbagai media massa memberitakan bahwa dari tempat perawatannya Gus Dur masih terus melontarkan humor-humor politik yang menggelikan dan menyegarkan. Mungkin saja humor bagi Gus Dur adalah vitamin yang menyehatkan.


Kini, meskipun bangsa ini masih mengharapkan dan merindukan kehadirannya, akan tetapi Allah Swt telah berkehendak lain, Gus Dur pun di jemput oleh Yang Maha Kuasa sebagai tempat kembalinya seluruh umat manusia. Kecemerlangan berupa gagasan-gagasan brilian beliau, sikap jenaka yang menggelikan serta menyegarkan, dan sebagai tokoh yang berpengaruh tidak dapat kita lihat dan dengar lagi. Semoga Gus Dur dapat tidur tenang bersama beberapa tokoh bangsa lainnya yang telah lebih dahulu menghadap sang khalik serta kita yang cepat atau lambat akan segera menyusul dan juga semoga segala amal ibadah beliau dapat diterima di sisi-Nya. Selamat jalan Gus Dur, sumbangsih dan pengorbanan yang telah engkau tanam dan berikan di bumi pertiwi ini tidak akan kami lupakan sebagai penerus bangsa.

Tahun Baru Sebagai Introspeksi Diri


Oleh: Andryan, SH


Tahun baru telah menanti kita. Kini, kita akan memasuki tahun 2010 meninggalkan tahun 2009. Sebagaimana halnya tahun-tahun sebelumnya, tahun baru kali ini tentu juga dihiasi oleh berbagai suka cita menyambut pergantian masa tahunan tersebut. Akan tetapi, cukupkah kita menyambut pergantian tahun dengan suka cita seperti hura-hura dijalanan, menghidupkan kembang api secara besar-besaran, bergadang semalam suntuk, hingga aktivitas senonoh yang seharusnya tak patut kita lakukan dalam menyambut tahun baru. Tapi, setidaknya berbagai aktivitas dalam menyambut tahun baru tersebut seakan telah menjadi budaya, baik untuk kalangan dunia barat maupun kalangan dunia kita sendiri yakni dunia timur. Mengapa hal tersebut perlu terjadi?


Apabila kita telusuri, maka tahun baru merupakan momen yang paling tepat dalam mengintrospeksi diri kita untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana halnya tahun baru islam (Hijriyah) yang telah berlalu beberapa pekan sebelumnya. Pada tahun baru islam tersebut kita disuguhi oleh sebuah makna “Hijrah”. Makna hijrah tidak hanya berarti bahwa suatu perpindahan atau perjalanan ke suatu daerah yang sebagaimana telah dilakoni oleh Rosululloh Muhammad Saw beserta para sahabat beliau, tapi makna sesungguhnya adalah suatu transformasi diri ke arah yang lebih baik. Maka tidak heran bagi umat islam diperintahkan agar melakukan hijrah bila keadaan sebelumnya tidak membuahkan perubahan yang berarti.


Bagi tahun masehi, pergantian tahun juga memiliki makna yang sama sebagaimana halnya dengan tahun baru hijriyah yakni mencapai keadaan yang lebih baik. Pada tahun-tahun sebelumnya, sebagian dari kita pasti ada yang menyadari bahwa pada tahun tersebut menjadi tahun yang kelabu, tahun yang suram, dan tahun yang tidak membuahkan perkembangan bagi individu kita. Maka, pantaskah kita menyambut tahun baru dengan tindakan yang hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan materi saja. Padahal, kita tidak tahu untuk tahun selanjutnya apakah menjadi tahun yang dapat merubah kehidupan kita ke arah yang lebih baik atau malahan menjadi tahun yang semakin buruk untuk kita lalui dalam perjalanan hidup. Jika kita tidak mengevaluasi kehidupan kita yang telah berlalu, niscayalah kita tidak akan dapat mencapai kehidupan yang lebih baik tersebut. Sebab, berbagai kesalahan yang seharusnya tidak kita lakukan pada tahun yang lalu akan berpotensi terulang kembali jikalau kita tidak menyadari, mengevaluasi, serta mengintrospeksi diri pada kesalahan yang kita lakukan tersebut.


Lalu, apabila kita merayakan malam pergantian tahun dengan tindakan hura-hura tanpa merefleksikan perjalanan hidup kita dengan sang Khalik, maka sama saja kita tidak merasa bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada kita berupa kesehatan, kesempatan, dan keimanan. Pergantian tahun merupakan sebuah renungan, apakah dengan semakin bertambahnya umur dan berkurangnya masa hidup kita, dapat kita pergunakan sebaik mungkin, tidak hanya untuk pribadi kita, keluarga, lingkungan sekitar, tapi juga untuk bangsa dan negara kita.


Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa malam pergantian tahun identik dengan pesta kembang api. Pergelaran tersebut tentunya memakan biaya yang sangat besar dan hanya kenikmatan sesaat saja. Pantaskah kita menghamburkan biaya-biaya yang tidak mempunyai faedah yang berarti tersebut diatas derita beberapa masyarakat kita yang hanya untuk membeli nasi sebungkus saja sangat sulit baginya? Tidak hanya itu saja, bagi bangsa kita tahun baru merupakan sebuah peringatan kemanusiaan. Sebab, sebagaimana yang telah kita ketahui tahun 2004 menjelang beberapa hari pergantian tahun, bangsa kita sedang menghadapi ujian yang maha berat dari sang pencipta. Gempa yang maha dahsyat diiringi oleh tsunami menelan ratusan ribu rakyat Indonesia di Aceh. Setidaknya inilah peringatan dari sang pencipta kepada makhluknya agar senantiasa mengambil hikmah setiap kejadian. Lalu, pantaskah kita merayakan secara besar-besaran pada tahun baru dan mengesampingkan renungan dari kejadian hikmah dimasa lampau?


Problematika Bangsa


Tidak hanya itu saja, problematika bangsa yang menyelimuti republik ini seakan tidak ada habisnya. Tahun 2009 merupakan tahun yang kelabu khususnya bagi penegakan hukum di tanah air. Pada tahun tersebut tidak jarang aparat penegak hukum yang sejogyanya menegakkan panji-panji hukum justru membuat hukum menjadi buram. Setidaknya yang menjadi sorotan publik pada tahun 2009 yakni skandal mafia peradilan pada kasus BLBL yang melibatkan petinggi Kejaksaan Agung serta jaksa koordinator kasus BLBI. Mereka secara mengejutkan melakukan jualbeli perkara dengan pengusaha kasus BLBI. Lalu, ada kasus kriminalisasi pimpinan KPK Bibit Samad Ryanto dan Chandra M.Hamzah yang seakan integritasnya dalam membongkar jaringan korupsi di republik ini digoyahkan oleh oknum yang juga merupakan aparat penegak hukum. Kemudian adanya berbagai kasus ketidakadilan hukum seperti kasus Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan kepada rumah sakit yang merawat kesehatannya, justru menimbulkan malapetaka ketidakadilan bagi pasien tersebut yang juga mempunyai haknya. Lalu, ada kasus nek Minah yang mencuri 3 buah Kakao seharga Rp.3000,- diproses secara hukum dengan tidak manusiawi.


Kemudian, disamping melibatkan rakyat secara ketidakadilan melalui proses hukum yang terbelit-belit, aparat penegak hukum dan khususnya pemimpin negeri ini seolah tidak mempunyai rasa kepekaan sosial. Sebab, lagi-lagi kucuran dana yang berasal dari uang rakyat harus mengalir kepada para petinggi dan orang yang berkepentingan untuk memperkaya dirinya. Kasus skandal Bank Century dengan dana bailout sebesar Rp. 6,7 Triliun, merupakan salah satu kasus yang meresahkan hati rakyat Indonesia setelah sebelumnya ada skandal BLBI. Dimanakah hati nurani pemimpin negeri ini? Disinilah kita harus kembali merenungkan dan mengintrospeksi diri kita kedepannya agar lebih bijak dan jangan salah langkah dalam memilih pemimpin untuk mempejuangkan kehidupan rakyatnya.


Kehidupan sebagian masyarakat Indonesia seakan semakin terimpit oleh melonjak tingginya harga kebutuhan pokok, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok, sedangkan disisi lain terdapat sebagian kelompok masyarakat yang tergolong mampu secara ekonomi menggunakan harta kekayaannya untuk berfoya-foya. Tingginya angka kemiskinan ini dapat menimbulkan gejolak sosial, serta maraknya budaya kekerasan yang bertentangan dengan etika dan sopan santun sebagai bangsa yang beradab. Sebagaimana yang diungkapkan oleh mantan Sekjen PBB, Kofi Annan “bagaimanapun juga masyarakat tidak akan merasa nyaman kalau disekitarnya masih banyak fakir miskin”. Berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini semakin terasa lengkap karena penegakan hukum yang belum sungguh-sungguh memihak kepada hukum, kebenaran, dan keadilan. Padahal, penegakan hukum merupakan faktor penting dalam menentukan arah dan menyelenggarakan pembangunan. Aparat penegak hukum seringkali menggadaikan integritas profesinya untuk memperoleh keuntungan financial belaka dengan melakukan judicial corruption. (Frans H.Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi).


Mekipun pemerintahan SBY jilid II telah mendeklarasikan program ganyang mafia pada 100 hari. Tapi, program ini tidak akan berjalan tanpa adanya langah yang kongkrit dari semua elemen, baik para pemimpin negeri ini, aparatur penegak hukum, serta masyarakat selaku pemantau jalannya penegakan hukum. Masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum secara efektif. Sebab, baik secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat ikut terlibat dalam mafia peradilan tersebut, seperti melakukan sogok menyogok dalam jual beli perkara di pengadilan serta memberikan berbagai uang pelicin untuk memudahkan jalannya.


Untuk itu, kedepannya kita bersama elemen bangsa dan negara dapat melakukan perbaikan dan mengatasi problematika bangsa agar hukum dapat tegak dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Kini, saatnya kita sambut pergantian tahun baru dengan sikap introspeksi diri untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Semoga...!!!