Rabu, 10 Maret 2010

Benarkah Mahasiswa Kaum Intelektual ?

Demonstrasi atau unjuk rasa, setidaknya itulah berita yang selalu di ekspos oleh media elektronik maupun media cetak di tanah air beberapa tahun belakangan ini. Sejak runtuhnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, rakyat kita seakan telah bergelimang multi kebebasan. Dari kebebasan berkelompok, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, hingga kebebasan-kebebasan yang berunjung dengan kebablasan moral dan etika. Apabila kita cermati, dari sekian banyak aksi demonstrasi, kaum mahasiswa lah yang hingga kini banyak mendominasi dan mengkomodir aksi unjuk rasa di republik ini.

Para mahasiswa tentu saja boleh berbangga, sebab kediktatoran rezin Soeharto selama 32 tahun memimpin, runtuh akibat aksi yang digelar oleh bersatunya kaum mahasiswa di seluruh Indonesia pada tahun 1998. Bahkan, beberapa mahasiswa dinobatkan sebagai pahlawan reformasi akibat terkena peluru panas yang nyasar oleh aparat yang hingga kini masih menyimpan misteri tewasnya mahasiswa dalam memperjuangkan reformasi.

Mahasiswa memiliki sejarah yang sangat panjang dalam memperjuangkan dan membangun sebuah negara di negeri pertiwi ini. Hal ini pun tercatat dalam tinta emas pada seratus satu tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, sekelompok kaum muda mahasiswa yang cerdas dan peduli terhadap nasib bangsa mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Perkumpulan yang dimotori oleh Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, Dr. Goenawan dan Soewardi Soerjoningrat ini, kelak menjadi inspirasi bangkitnya kesadaran tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa untuk melawan penjajahan yang selama berabad-abad mencengkeram tanah air Indonesia.

Tanggal 20 Mei kemudian ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Karena pada tanggal itulah terjadi titik balik perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan, dari semula perlawanan lokal-bersenjata berganti menjadi perlawanan nasional-organisasional. Perjuangan melalui organisasi kebangsaan merupakan cara baru untuk melawan penjajah. Sebelumnya, perjuangan bersenjata yang dilakukan secara sporadis di berbagai wilayah tanah air, belum mampu mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Kurangnya entitas persatuan-kesatuan bangsa, dan belum terorganisasinya kelompok-kelompok perjuangan saat itu, membuat berbagai bentuk perlawanan mudah dipatahkan.

Bangkitnya kesadaran atas kesatuan kebangsaan dan nasionalisme yang dirintis oleh Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, kemudian menjadi inspirasi bagi munculnya organisasi perjuangan lainnya, di antaranya Jong Ambon (1909); Jong Java dan Jong Celebes (1917); Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, disusul Muhammadiyah pada tahun 1912, Nahdlatul Ulama 1926, dan Partai Nasional Indonesia 1927.

Mahasiswa Kaum Intelektual?

Oleh sejarah tersebutlah maka hingga kini mahasiswa dicap oleh masyarakat sebagai kaum intelektual. Akan tetapi, melihat tingkah serta aksi yang kini dipertunjukkan oleh sekelompok mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi baik itu melalui orasi, yel-yel, teatrikal, hingga berujung terhadap tindakan anarkis seperti bentrokan dengan aparat kepolisian serta pengrusakan fasilitas negara dan mengganggu ketertiban umum. Benarkah mahasiswa kita sekarang masih mengemban amanat oleh kelompok Boedi Oetomo sebagai kaum terpelajar atau intelektual?

Sangat riskan apabila kini kita memandang mahasiswa sebagai kelompok kaum intelektual. Hal ini mengingat aksi yang sering mereka lakukan dengan tidak menggunakan akal sehat dan logika berfikir, bukankah kaum intelektual selalu menggunakan akal dan logika ketimbang mengedepankan aksi kekerasan?. Tindakan anarkis yang acapkali dipertontonkan oleh beberapa kelompok mahasiswa baik melalui media elektronik maupun media cetak, sungguh memprihatinkan mengingat semakin tumbuh suburnya budaya kekerasan dalam dunia pendidikan di republik ini.

Mahasiswa, pada umumnya adalah cikal bakal pemimpin negeri ini. Bagaimana mungkin calon pemimpin selalu diselimuti oleh aksi kekerasan dan mengacuhkan paradigma berfikir dan etika moral sebagai kaum intelektual. Bagaimana jadinya apabila pemimpin dengan jiwa kekerasan tersebut kelak menjadi panutan oleh rakyatnya, tentu kehancuranlah yang akan terjadi di negeri ini.

Mahasiswa Vs Polisi

Setiap aksi yang di gelar oleh sekelompok mahasiswa untuk memperjuangkan aspirasinya, tentu haruslah terlebih dahulu mendapat izin dari pihak kepolisian agar mendapat mengawalan aparat keamanan tersebut. Hal ini pun ditujukan agar dalam setiap pergelaran aksinya, sekelompok mahasiswa tersebut tidak mengganggu ketertiban umum. Akan tetapi, ironisnya antara mahasiswa dengan pihak kepolisian bukanlah menjadi mitra dalam menjaga ketertiban melainkan perseteruanlah yang sering terjadi.

Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat. Sedangkan pihak kepolisian sebagaimana yang kita ketahui merupakan mitra, pengayom, serta pelindung masyarakat. Sudah barang tentu juga, meskipun kelompok mahasiswa melakukan tindakan anarkis, pihak kepolisian jangan sampai terbakar emosi dalam mengawal setiap aksi mahasiswa tersebut. Justru itulah tugas seorang aparat keamanan dalam mengawal ketertiban umum, bukan sebaliknya melakukan aksi balas kekerasan.

Apabila mahasiswa yang telah lebih dahulu terbakar luapan emosinya, ditambah lagi oleh pihak kepolisian dengan emosinya dalam menghalau para mahasiswa. Maka, berbagai tindakan anarkis dari mahasiswa dan kepolisian tidak dapat terhindarkan lagi. Siapakah yang dirugikan?. Jawabannya tentu saja semua pihak dan terutama masyarakatlah yang merasa dirugikan akibat ulah yang tidak mengunakan pola berpikir yang sehat dan hanya mementingkan aksi egoisme dan kekuatan otot.

Masyarakat kita tentu telah muak dengan apa yang telah dipertunjukkan oleh sekelompok mahasiswa di Indonesia dengan berbagai atribut bahkan dengan membawa nama agama. Para mahasiswa dengan suara lantangnya berteriak “ingin membela kepentingan masyarakat”. Akan tetapi, apabila kita renungi bahwa apa yang para sekelompok mahasiswa lakukan tersebut hanyalah merupakan kepentingan kelompok tertentu dan bukan dengan tujuan mulia membela kepentingan masyarakat. Bahkan untuk dapat menggerakkan aksi kelompok mahasiswa tersebut, cukup dengan iming-iming uang dan kedudukan, maka segera bergeraklah para sekelompok mahasiswa untuk melakukan aksinya. Melihat aksi yang bisa dibeli tersebut, dapatkah kita kembali mencap mahasiswa sebagai kaum intelektual di masyakat kita kini?

Rasanya terlalu berlebihan apabila cap kaum intelektual melekat dipundak sekelompok mahasiswa yang menggelar berbagai aksi demonstrasi secara brutal dan anarkis. Sebab, aksi mahasiswa telah banyak merusak fasilitas umum, membakar alat perlengkapan negara, dan yang lebih keji membakar serta mencemohkan lambang negara berupa poster, foto, atau atribut Presiden dan Wakil Presiden. Apakah kaum intelektual tidak tau atau tidak mengetahui yang mana bersifat demokrasi sesuai konstitusional dan mana yang bersifat demokrasi dengan merusak tatanan, keamanan, dan integritas negara?

Padahal dalam hukum pidana kita telah termaktub bahwa dapat dikatakan kejahatan dan diancam dengan pidana, apabila melanggar martabat Presiden dan Wakil Presiden. Tidak hanya itu saja, sekelompok mahasiswa di republik ini haruslah menyadari bahwa aksi-aksi anarkis yang mereka pertontonkan tersebut, tentunya dapat merusak dan tersendatnya pembangunan perekonomian kita. Bagaimana jadinya, apabila disetiap waktu selalu terjadi kericuhan antara mahasiswa dengan pihak kepolisian. Melihat kondisi ini tentu saja para investor-investor luar negeri yang hendak menanamkan modalnya guna mencapai pertumbuhan dan membuka lapangan pekerjaan kepada masyarakat kita harus berfikir dua kali untuk mengucurkan dananya tersebut.

Para kaum intelektual haruslah memikirkan segala tindakan dengan akibat yang bakal ditimbulkan. Bukan sebaliknya, melakukan segala tindakan dengan tidak memikirkan dampak yang akan terjadi dan lebih mementingkan egoisme dan luapan emosi semata. Apabila para mahasiswa mengedepankan pola fikir dan memikirkan akibat yang bakal terjadi dalam berbagai tindakan, maka pantaslah mahasiswa tersebut mendapat cap sebagai kaum intelektual.

Mahasiswa haruslah menjadi bagian dari masyarakat dan menjadi mitra kepolisian untuk menciptakan iklim ketertiban dan keamanan di negeri ini agar manjadi semakin kondusif. Selaiknya apa yang telah diperjuangkan oleh kaum mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Boedi Oetomo satu abad silam dapat menjadi cerminan kepada sekelompok mahasiswa kita kini agar dapat menjadi kaum intelektual yang selalu diandalkan oleh masyarakat dan menjadi cikal bakal pemimpin negeri ini.