Selasa, 27 Juli 2010

Dilema Program Konversi Gas

Sungguh tragis apabila kita melihat pemberitaan di media cetak dan elektronik beberapa pekan belakangan ini. Mengapa tidak, berbagai korban terus bergelimpangan. Dari kehilangan rumah, cedera ringan dan berat, cacat total, hingga berujung terengutnya nyawa secara sia-sia. Hal ini tidak lain adalah korban ledakan gas elpiji yang semakin marak terjadi di tanah air. Ledakan gas elpiji yang diakibatkan oleh buruknya fasilitas-fasilitas pendukung kompor gas elpiji seperti selang, regulator, serta tabung gas mengakibatkan banyak korban yang berjatuhan dan hingga kini penggunaan gas elpiji pun belum dapat dikatakan aman dan bisa saja memakan korban selanjutnya dan kapan saja.

Berbagai pertanyaan pun kini menyelimuti negeri ini, siapakah yang harus disalahkan? Pemerintah-kah, Pertamina-kah, Perusahaan tender-kah, atau rakyat sendiri sebagai pengguna yang harus menanggung sendiri?. Yang jelas dengan semakin maraknya korban ledakan gas, masyarakat kita kini dihinggapi rasa takut dan trauma untuk memasak sebagai asupan kebutuhan pokok dalam menjalankan segala aktivitas kehidupan. Bahkan, berbagai korban ledakan gas yang menderita luka bakar harus menerima kenyataan secara pahit yang akan merusak masa depan terutama pada anak-anak korban ledakan gas tersebut.

Untuk kesekian kalinya kita dihamparkan pada ketidakcermatan program pemerintah, khususnya menyangkut masyarakat kecil. Mulai dari JPS, BLT, Asuransi Kesehatan Miskin, hingga konversi minyak tanah ke gas. Tentu saja semua bertujuan mulia. Konversi ini jelas untuk mengurangi subsidi minyak tanah yang nilainya cukup besar ketimbang elpiji. Program konversi minyak tanah ke elpiji yang dimulai Mei 2007 itu bisa sedikit menyehatkan APBN. Berdasarkan hasil kajian empiris Pertamina, bahwa satu liter minyak tanah setara dengan 0,4 kg elpiji. Dengan menghitung subsidi per liter setara minyak tanah, maka besarnya subsidi yang dikeluarkan pemerintah untuk minyak tanah sebesar Rp 3.869,82, sedangkan elpiji hanya Rp 1.534,54, sehingga ada penghematan subsidi per liter minyak tanah sebesar Rp 2.335.

Untuk menyukseskan pemakaian elpiji, pemerintah akan menyiapkan tabung elpiji ukuran kecil yang harganya terjangkau oleh masyarakat. Jadi, elpijinya bukan pakai tabung yang besar kalau untuk masyarakat kecil, maka disiapkan yang tiga kilogram. Ukuran tabung tiga kilogram (kg) ini ekuivalen sekira Rp 12.000,00. Dalam perhitungannya, penggunaan elpiji ini jauh lebih murah ketimbang minyak tanah. Satu kilogram elpiji setara dengan 3 liter minyak tanah. Apabila diversifikasi energi ini berhasil, negara bisa berhemat sekitar Rp 30 triliun per tahun. Misalnya, kalau bisa melakukan diversifikasi segera, dari anggaran subsidi minyak Rp 54 triliun pada tahun 2007, anggaran akan tinggal Rp 24 triliun.

Meskipun demikian, subsidi minyak tanah dikecualikan. Dengan kata lain, meski telah menerapkan harga pasar untuk bensin dan solar, pemerintah masih mensubsidi minyak tanah untuk keperluan masyarakat berpendapatan rendah dan industri kecil. Namun, subsidi minyak tanah dalam beberapa tahun terakhir masih terasa memberatkan karena besarnya volume yang harus disubsidi, seiring dengan berbagai krisis dan transisi yang terjadi dalam managemen energi nasional. Kondisi ini diperberat pula dengan bertahannya harga minyak dunia pada kisaran USD 50-60 per barel. Karena itu, langkah pemerintah untuk melakukan konversi penggunaan minyak tanah kepada bahan bakar gas dalam bentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG) bisa dianggap sebagai salah satu terobosan penting dalam mengatasi rancunya pengembangan dan pemanfaatan energi, sekaligus mengurangi tekanan terhadap RAPBN.

Dari berbagai sumber diketahui bahwa pemerintah mengkonversi penggunaan sekitar 5,2 juta kilo liter minyak tanah kepada penggunaan 3,5 juta ton LPG hingga tahun 2010, yang dimulai dengan 1 juta kilo liter minyak tanah pada tahun 2007. Langkah ini bisa dipahami cukup strategis mengingat setelah penghapusan subsidi bensin dan solar, permintaan akan minyak tanah tidak memperlihatkan penurunan. Karena itu, salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi pemakaian minyak tanah.
Sayangnya, rencana konversi kepada LPG ini terasa mendadak dan tidak terencana secara komprehensif. Tak heran berbagai masalah dalam pelaksanaannya muncul seakan tiada henti menekan subsidi BBM yang selama ini ditanggung APBN. Selain itu juga pemakaian elpiji juga tidak menimbulkan polusi yang berlebihan.

Berdasarkan kajian ilmiah, pemakaian 1 liter minyak tanah equivalent 0,4 kg elpiji. Sehingga jika menggunakan elpiji, masyarakat akan menghemat Rp 1700 dibanding minyak tanah. Selanjutnya, berdasarkan uji coba disejumlah daerah konversi minyak tanah ke elpiji bisa mendatangkan penghematan Rp 25.000 per bulan per KK. Bagi pemerintah, program konversi memang membutuhkan dana investasi bagi pembangunan prasarana yang besar, yakni sekitar Rp 20 triliun. Namun, penghematan yang bisa dilakukan juga tidak kecil. Jika pemakaian minyak tanah bisa diganti seluruhnya dengan elpiji itu berarti subsidi sebesar Rp 30 triliun per tahun untuk minyak tanah tidak diperlukan.
Dilema Konversi Minyak Tanah ke Elpiji.

Konversi minyak tanah ke elpiji (liquefied petroleum gas) ternyata kedodoran dan banyak menimbulkan permasalahan di masyarakat. Daerah-daerah secara nasional yang semula menjadi target konversi mengeluh karena tiba-tiba minyak tanah menghilang. Jikapun ada, harganya mahal, sekitar Rp 8.000-an, karena tak ada lagi subsidi. Di berbagai wilayah di Jakarta, Banten, dan Jawa Barat, serta di pulau Sumatera banyak rakyat miskin dan pedagang kecil kelabakan karena depo minyak menghilang. Padahal minyak tanah masih sangat dibutuhkan rakyat miskin yang tak mampu membeli gas, meski tabung gas berisi 3 kilogram elpiji disertai kompor gas sudah diberikan gratis oleh pemerintah.

Kebijakan konversi minyak tanah ke elpiji itu memang bertujuan baik, yaitu mengurangi subsidi minyak tanah untuk keperluan rumah tangga yang nilainya sekitar Rp 30 triliun. Tapi sayang, dalam menentukan kebijakan tersebut, pemerintah telah melakukan beberapa kesalahan mendasar sehingga kebijakan konversi itu akhirnya menimbulkan problematika besar di masyarakat yang tak kunjung teratasi.
Sejak awal pemerintah memang tidak konsisten dalam menentukan kebijakan konversi minyak tanah. Terbukti, gagasan konversi minyak tanah ke batu bara yang saat itu sudah mulai dikampanyekan tiba-tiba dibatalkan begitu saja. Wakil Presiden Jusuf Kalla, pada tahun 2006, tiba-tiba menyatakan bahwa konversi ke batu bara diganti ke elpiji. Pergantian konversi secara tiba-tiba itu tidak hanya mengejutkan masyarakat yang sudah mulai bersiap-siap mengganti minyak tanah ke batu bara, tapi juga mengecewakan para perajin tungku batu bara dan para peneliti yang telah berhasil membuat tungku batu bara modern, yang bisa mengatur nyala api dan menghemat pemakaian batu bara.

Konversi permakaian minyak tanah ke elpiji bagi masyarakat kecil niscaya akan menimbulkan banyak masalah. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, dari aspek fisik. Minyak tanah bersifat cair sehingga transportasinya mudah, pengemasannya mudah, dan penjualan sistem eceran pun mudah. Masyarakat kecil, misalnya, bisa membeli minyak tanah hanya 0,5 liter (katakanlah Rp 1.500 dengan harga subsidi) dan mereka dapat membawanya sendiri dengan mudah. Minyak tanah 0,5 liter bisa juga dimasukkan ke plastik.

Kondisi ini tak mungkin bisa dilakukan untuk pembelian elpiji. Ini karena elpiji dijual per tabung, yang isinya 3 kg, dengan harga Rp 14.500-15.000. Masyarakat jelas tidak mungkin bisa membeli elpiji hanya 0,5 kg, lalu membawanya dengan plastik atau kaleng susu bekas. Kedua, dari aspek kimiawi. Elpiji jauh lebih mudah terbakar (inflammable) dibanding minyak tanah. Melihat perbedaan sifat fisika dan kimia (minyak tanah dan elpiji) tersebut, kita memang layak mempertanyakan sejauh mana efektivitas dan keamanan kebijakan. Maka tidak heran berbagai kasus ledakan gas pun kini mulai bergerilya memakan nyawa rakyat sebagai korban yang tak berdosa.
Sekali lagi, dengan program yang ditetapkan pemerintah dengan melakukan konversi minyak tanah ke gas bukan mengatasi masalah, melainkan justru menimbulkan masalah yang tak kunjung usai. Rakyat kembali hanya meratapi nasib buruk di negeri kaya sumber daya alam, akan tetapi juga kaya melahirkan koruptor. Program konversi hanya menimbulkan kepentingan belaka bukan meringankan beban rakyat miskin. Kepentingan untuk menghemat yang justru dikorup dan rakyat kembali menderita sebagai korban ledakan gas yang bermuara terhadap kebijakan pemerintah yang menyimpang dari nilai kemanusiaan.

Minggu, 25 Juli 2010

Warnet, Mendidik atau Merusak?

Tidak dapat kita pungkiri bahwa di era globalisasi yang semakin pesat dengan teknologi dan informasi, maka segala sesuatu pun dapat kita peroleh dengan begitu cepat serta akurat. Salah satu perkembangan yang paling menonjol dengan pesatnya teknologi informasi tersebut yakni internet. Dengan berselancar di dunia maya dan mengetik beberapa kata kunci di situs pencarian, maka apa yang kita inginkan pun akan segera muncul dengan berbagai referensi dan berbagai topik, baik topik yang telah usang maupun topik yang terhangat sekalipun.


Dengan semakin dibutuhkannya akan dunia internet di masyarakat, maka internet pun menjadi ladang bisnis yang menjanjikan dan paling tren saat ini. Warung internet atau yang lebih familiar masyarakat menyebutnya sebagai warnet adalah tempat dimana disediakannya berbagai fasilitas bagi para pecinta dunia maya. Bisnis warnet kini seakan berkembang begitu pesat sebagaimana pesatnya teknologi informasi yang telah menjadi kebutuhan di masyarakat. Dengan semakin menjamurnya warnet-warnet baik disudut kota maupun dipelosok desa, mau tidak mau para pengelola warnet pun kini bersaing untuk merebut hati para pelangannya agar dapat menggunakan jasa internet


Sebagaimana yang kita ketahui bahwa warnet pun telah menjadi sebuah kebutuhan bukan lagi sebagai gaya hidup yang berkembang di masyarakat. Akan tetapi, ditengah pesatnya pertumbuhan warnet ditanah air, berbagai permasalahan dan kegoncangan masyarakat pun kini seakan menghantui bisnis kalangan anak muda ini. Masalah yang kerap timbul dengan semakin menjamurnya warnet-warnet yakni semakin merosotnya moralitas dan mental para anak muda sebagai pecinta internet di tanah air.


Hal ini tentu saja beralasan, sebab para pengguna internet yang di mayoritasi kalangan remaja dalam mengakses dunia maya bukanlah untuk menambah wawasan, membuka jendela cakrawala dunia, belajar teknologi, serta berbagai pengetahuan yang dapat menunjang studi anak muda di republik ini. Melainkan para anak muda di Indonesia kini lebih sibuk memainkan mouse dan keyboard komputernya dengan membuka berbagai situs porno, jejaring sosial, serta tidak ketinggalan game online yang semakin marak dan hanya dapat mengganggu mental anak muda Indonesia.


Penulis dalam memberikan opini tersebut tentulah berdasarkan pengamatan yang sebagian besar para pengusaha warnet lebih banyak menyediakan berbagai fiktur untuk menarik para pelangannya tanpa memberikan efek yang positif bagi perkembangan mental dan wawasan para penggunanya. Salah satunya yakni menyediakan fasilitas game online yang buka hingga 24 jam nonstop setiap harinya, bahkan dapat juga kita katakan buka selamanya selagi masih ada kehidupan.


Sungguh tragis apabila pengusaha internet hanya lebih mengutamakan keuntungan finasial belaka tanpa melihat dampak negatif yang apabila hal tersebut dilakukan dapat merusak para penerus bangsa dan negara. Bahkan, hal lebih mengkhawatirkan melihat perkembangan internet yakni para pelajar yang masih mengenyam pendidikan dengan seragam merah putih dan putih biru lebih banyak menghabiskan waktunya dengan berselancar di dunia maya dan kemudian membuka situs porno, mengakses situs jejaring, dan duduk berjam-jam di depan komputer untuk bermain game online.


Para pelajar yang seyogyanya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan belajar, berdiskusi, serta bersahabat dengan buku, kini hanyalah menjadi barang yang langka. Para pelajar yang masuk kategori remaja tersebut, sehabis pulang sekolah dengan masih menggunakan seragam lengkapnya, lebih banyak perkunjung ke warnet-warnet hingga berjam-jam. Meskipun telah duduk berlama-lama hingga berjam-jam di depan komputer, seakan tidak cukup dengan permainan game online-nya dan membuka situs jejaring sosial, sebagian besar remaja pun sehabis magrib langsung kembali menyerbu para warnet-warnet terdekat yang menyedikan fiktur game online dan kembali duduk berjam-jam lamanya. Bahkan, lebih menyedihkan dan mengnyesakkan hati yakni penulis saat itu pernah mendapati seorang anak yang berusia lebih kurang 10 tahun dengan asyik bermain game online hingga pukul 11 malam. Sungguh dimanakan kontrol pemerintah dan peran orang tua mereka saat itu?


Kontrol Pemerintah


Perkembangan dunia teknologi dan informasi tentu banyak menimbulkan kemanfaatan positif bagi para pengguna yang lebih jeli memanfaatkan arus globalisasi tersebut. Akan tetapi, bagi sebagian besar masyarakat khususnya anak muda dan pelajar yang menyalahgunakannya, maka cepat atau lambat dapat mempengaruhi perkembangan mentalitas dan moralitas yang kian merosot dan terpuruk.


Melihat kemerosotan mentalitas dan moralitas anak muda republik ini, lantas siapakah yang akan dirugikan?. Tentu saja efek yang akan berakibat fatal dengan merosotnya mentalitas dan moralitas anak bangsa tersebut yakni negara. Sebab, cepat atau lambat tambuk kepemimpinan negara akan segera dialihkan kepada para anak muda kita sebagai cikal bakal penerus bangsa dan negara ini. Dengan demikian, sudahkah pemerintah saat ini benar-benar berupaya memperhatikan perkembangan mentalitas dan meningkatkan moralitas anak bangsa serta memberdayakan pendidikan karakter yang hanya menjadi wacana belaka tanpa benar-benar diterapkan di lembaga pendidikan tersebut?.


Pemerintah melalui Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) mewajibkan setiap warnet menggunakan software untuk memblokir situs porno agar pengguna internet tidak mengakses konten pornografi (Harian Analisa, 14/07/10). Hal ini diberlakukan karena dari tahun ke tahun Indonesia terus mengalami peningkatan sebagai pengakses situs porno di Internet. Berdasarkan “Internet Pornography Statistic”, Indonesia menempati peringkat kelima dunia pada tahun 2007 dan terus meningkat menjadi peringkat ketiga pada tahun 2009 sebagai pengakses situs porno.


Melihat kebijakan yang ditetapkan pemerintah tersebut, setidaknya dapat melindungi para pengguna intenet agar tidak mengalami penurunan mentalitas dan kemerosotan moralitas. Kebijakan mewajibkan para warnet agar menggunakan software untuk memblokir situs porno perlu kita apresiasi dengan sangat baik, akan tetapi perlu juga kita melihat kaca spion atas kebijakan tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui beberapa tahun belakangan ini, pemerintah sebelumnya juga telah memberlakukan dan mewajibkan para warnet untuk pemblokiran konten situs porno. Akan tetapi, kebijakan yang ditetapkan pemerintah tersebut hanyalah sebagai isapan jempol belaka. Karena hingga kini konten pornografi masih dapat memangsa siapa saja para pengguna internet.


Pemerintah tentu mempunyai otoritas yang tinggi sebagai kontrol (pengawasan) terhadap para pengguna internet khususnya para warnet yang telah tumbuh dan berkembang sangat pesat. Setidaknya kontrol atau pengawasan yang dilakukan pemerintah tidak hanya di fokuskan terhadap konten porno, melainkan juga terhadap game online dan situs jejaring sosial. Kedua konten terakhir tersebut tentu juga dapat mengancam mentalitas dan merosotnya moralitas. Pengguna situs jejaring sosial untuk kategori remaja atau bahkan dibawah umur tidaklah dapat dibenarkan. Sebab, penggunaannya dapat saja disalahgunakan apabila ada sebagian orang yang tidak bertanggung jawab justru dapat mengeksploitasi sang anak-anak remaja dan dibawah umur tersebut.


Untuk para penggila game online, pemerintah juga selayaknya mewajibkan para warnet agar membatasi jam pengguna game online yang masih kategori pelajar dan dibawah umur. Sedangkan pada malam harinya, para pengguna game online yang disemarakkan para remaja dibawah umur tersebut haruslah dilarang. Hal ini untuk memberikan waktu belajar kepada anak-anak yang masih menembuh pendidikan.


Pemerintah dalam memberikan pengawasan yang ekstra ketat tersebut harusnya bersikap tegas. Apabila para pengusaha warnet yang tidak mengindahkan kewajibanya haruslah memberikan sanksi tegas dan bila perlu penarikan izin usaha warnet. Para pengusaha warnet janganlah hanya meraup keuntungan belaka. Akan tetapi, haruslah senantiasa mendidik, bukan sebaliknya menjadi pengrusak generasi masa depan anak negeri ini.


Selasa, 20 Juli 2010

Polemik Pengawalan Presiden

Pemerintah repubik Indonesia dalam hal ini Presiden lagi-lagi mendapat kecaman langsung dari rakyatnya, kali ini kecaman tersebut bukanlah dalam bentuk kebijakan-kebijakan yang seakan tidak pernah berpihak terhadap rakyat seperti konversi minyak tanah ke gas yang hanya menimbulkan banyak masalah, kenaikan harga BBM dan kebutuhan pokok, serta hal yang terbaru tentu saja kenaikan harga Tatif Dasar Lisrik (TDL). Kali ini kecaman rakyat kepada dalam hal ini Presiden justru mengarah terhadap prilaku kegiatan yang dilakukan Presiden.


Kegiatan yang sering menjadi polemik secara langsung di masyarakat tentu saja sehubungan dengan kegiatannya yang cukup sering pulang-pergi dari kediamnya Puri Cikeas Indah ke Istana Negara. Kegiatan yang dilakukan Presiden tentu juga dalam hal menjalankan tugas negara selaku sebagai kepala pemerintahan dan negara, akan tetapi apabila kegiatan tersebut dilakukan setiap hari, tentu akan banyak menimbulkan keresahan di masyarakat.


Salah satu keresahan yang dialami masyarakat sekitar jalur yang dilalui Presiden, yakni menambah kemacetan dan membuat sebagian rakyat merasa trauma apabila Presiden melintas diiringi oleh para pengawal yang setiap hari jumlahnya mencapai 50 orang tersebut. Setidaknya apa yang dirasakan oleh masyarakat sekitar tidaknya hanya isapan jempol belaka. Buktinya, sangking tidak kuasa menahan trauma akibat iringan kegiatan Presiden tersebut, salah seorang warga Cibubur lalu menulis surat pembaca yang diterbitkan di surat kabar nasional pada tanggal 16 Juli 2010, yang intinya mengenai pengalaman buruknya diancam oleh para petugas patroli pengawal iring-iringan Presiden ketika hendak keluar dari pintu tol Cibubur.


Warga yang trauma dan menulis di surat kabar tersebut lalu mengimbau agar Presiden SBY tidak terlalu sering pulang ke rumahnya di Cikeas karena hampir setiap hari ia berpapasan langsung dengan iringan-iringan pengawalan rangkaian mobil Presiden. Apa yang telah dialami oleh warga Cibubur tersebut tentu juga banyak dirasakan oleh para warga sekitar di daerah lalu-lalang Presiden. Bahkan, imbauan yang dilesakannya itu langsung mendapat sambutan oleh warga Cibubur lainnya sebagai pengguna jejaring sosial di dunia maya.


Ironi Pengawalan Presiden


Hingga kini polemik terhadap iring-iringan pengalawan Presiden mendapat tanggapan negatif sebagian rakyat kita. Ada menanggapinya secara biasa tanpa memberikan komentar, namun juga ada yang memandang sinis terhadap para pengawalan Presiden tersebut. Pandangan sinis terhadap para tim pengawalan Presiden tersebut, tentu bukanlah tanpa alasan. Di samping bertindak agoran dengan embel-embel sebagai pengawal Presiden, juga tindakan yang sering tidak terpuji lainnya yakni bersikap tidak ramah dan santun, serta mengintimidasi rakyat yang berpapasan dengan pengawal Presiden tersebut. Bahkan, banyak juga rakyat yang juga mempunyai hak sebagai pengguna jalan menjadi trauma untuk melintas di jalanan yang diringi oleh pengawalan Presiden tersebut.


Menanggapi para warganya yang sering menjadi trauma serta banyak juga menimbulkan kemacetan di seputaran lalu lintas yang diiringi oleh para rombongan pengawalan Presiden, tentunya Presiden perlu mengkaji ulang tentang Prosedur tetap (Protap) pengawalan Presiden. Presiden juga haruslah berupaya agar rangkaian iring-iringan pengawalannya tidak terlalu panjang. Saat ini, rangkaian iring-iringan mobil Presiden sekitar 10 mobil terdiri atas sedan Mercedes Benz Presiden beserta cadangannya, jip pengawalan Polisi Militer dan Pasukan Pengamanan Presiden, serta mobil pengangkut staf khusus Presiden dan perangkat Presiden lainnya.


Selain itu, perlu diupayakan juga oleh Presiden agar waktu pengosongan jalan untuk iring-iringan pengamanan VVIP diperpendek tidak harus mengikuti jeda sterilisasi 30 menit seperti yang diharuskan dalam petunjuk standard operasional. Hal lain yang tentunya lebih efektif apabila Presiden SBY benar-benar menanggapi keluhan rakyatnya, yakni dengan menetap dan tinggal di Istana Negara sebagaimana yang telah terlebih dahulu dilakukan oleh mantan Presiden Soekarno dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus dur).


Dengan menetapnya Presiden di Istana Negara tentu juga akan serta merta mengurangi kemacetan di seputaran lalu-lintas yang sering dilalui Presiden saat ini. Lalu, hal yang terpenting adalah dengan tidak seringnya Presiden pulang-pergi di kediamnya ke Istana Negara, juga akan dapat mengembalikan trauma para warga Cibubur yang sering mendapat perlakuan tidak menyenangkan oleh para rombongan pengawalan Presiden.


Tidak dapat kita rasakan apabila Presiden tidak menanggapi keluhan dari rakyatnya tersebut, mengingat masa jabatan Presiden SBY secara konstitusional masih menyisakan waktu lebih kurang empat tahun lagi, sedangkan sehari saja Presiden melakukan kegiatan pulang-perginya bersama rombongan pengawalan Presiden, banyak mendapat dampak negatif yakni menambah kemacetan serta membuat sebagian besar rakyat menjadi trauma akibat ulah para rombongan pengawalan Presiden yang semakin tidak bersahabat dengan rakyat.

Senin, 12 Juli 2010

Indonesia Ke Piala Dunia, Mungkinkah ?

“ Kapan ya PSSI kita ke Piala Dunia? “


Itulah kalimat sepatah yang dilontarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) disaat tengah menyaksikan laga pembukaan Piala Dunia antara tuan rumah Afrika Selatan versus Meksiko beberapa waktu lalu. Setidaknya pernyataan secara tiba-tiba dilontarkan oleh SBY tersebut adalah mutlak dari hati nurani seorang anak bangsa yang selalu bermimpi negaranya dapat berlaga di ajang olahraga paling prestesius yang juga melebihi ajang olahraga olimpiade.


Piala dunia memang telah berlalu, akan tetapi sampai kapan kita harus menjadi penonton di layar kaca yang justru hanya menonton tim negara lain tanpa ikut serta di ajang empat tahunan tersebut. Sebagian besar masyarakat Indonesia adalah pecinta sepakbola, jadi adalah hal yang wajar apabila kita selalu merindukan sepakbola nasional dapat berprestasi di kancah Internasional. Apakah yang salah dengan sepakbola nasional di negeri ini? Apakah kekurangan dana, kekurangan motivasi dari warganya, atau juga kekurangan fasilitas pendukung untuk dapat berprestasi?


Setidaknya itulah kalimat yang selalu ada dibenak kita dalam menjawab segala persoalan mengenai perkembangan sepakbola nasional. Akan tetapi, apabila hal tersebut yang menjadi berbagai macam alasan sepakbola nasional kita tidak dapat berprestasi banyak di kancah Internasional, sungguh sebuah kekeliruan yang sangat besar. Sebab, sudah barang tentu segala hal yang dapat menunjang prestasi sepakbola nasional kita dapat dipenuhi, bahkan dengan mengorbankan hak-hak masyarakat kita yang benar-benar membutuhkan se-suap nasi sekalipun melalui sodoran dana APBD ke klub-klub sepakbola ditanah air.


Lantas, apa gerangan yang tetap membuat sepakbola nsional kita tidak segarang lambang di dada kiri kostum tim kita yakni garuda?. Padahal, apabila kita membuka mata selebar-lebarnya banyak peserta Piala Dunia yang masuk kategori sebagai negara baru merdeka, negara miskin dan sebagai negara kecil yang jumlah penduduknya pun lebih kecil dibandingkan jumlah penduduk untuk tingkat provinsi di Indonesia. Sungguh, inilah yang membuat miris hati kita sebagai warga negara yang besar dan seharusnya dapat berbuat banyak untuk mengangkat prestasi sepakbola nasional.


Reformasi Sepakbola Nasional


Untuk dapat melihat sepakbola nasional kita dapat berlaga di ajang Piala Dunia dan tentunya dapat berprestasi di kancah Internasional, sesunguhnya bukanlah suatu hal yang mustahil. Selayaknya negara yang ingin merdeka, maka sepakbola nasional kita pun harusnya mengalami reformasi total dan secara besar-besaran. Langkah pertama, Reformasi Pengurus PSSI. Tidak dapat dipungkiri bahwa suatu wadah dapat dikatakan sukses, manakala pengurus internal di dalamnya dapat mengelola dengan sangat baik dan benar. PSSI sebagai wadah tunggal yang mengelola sepakbola nasional adalah adalah pihak pertama yang paling harus bertanggunjawab dengan menurunnya kualitas sepakbola nasional kita.


Sebagimana yang kita ketahui, banyaknya dana yang dialokasikan negara untuk mengelola PSSI tidaklah dapat dibalas dengan sebuah prestasi yang memuaskan. Hal ini dapat kita mengerti, sebab banyak pengurus PSSI yang telah merasuki virus dengan watak korupsi. Bahkan, ketua umum PSSI dengan tidak ada rasa malu masih tetap saja memimpin PSSI meskipun ia telah divonis terlibat skandal korupsi dan mendekam dipenjara. Tapi, meskipun telah berada dijeruji besi, ketum PSSI tidak mau meletakkan jabatannya padahal berbagai pihak baik dalam dan luar negeri mendesak agar dapat meletakkan jabatannya.


Apa yang membuat Ketum PSSI tidak mau meletakkan jabatannya? Tentu saja dana yang berlimpah di dalam tubuh PSSI adalah jawabannya. Sebagian besar pengurus PSSI telah dikatakan sebagai orang yang telah gagal dalam mengelola sepakbola nasional. Maka, sudah barang pasti agar sepakbola kita dapat berkembang di masa depan haruslah mengganti semua elemen pengurus PSSI dengan pengurus yang bersih, agar dana yang berlimpah di dalam tubuh PSSI dapat dialokasikan secara benar dan tentu saja pengurus PSSI benar-benar seorang yang berkualitas untuk dapat mengangkat prestasi sepakbola nasional kita.


Langkah kedua, Pembinaan Suporter Sepakbola Nasional. Tidak akan dapat berkembang suatu sepakbola di negara tertentu apabila para suporter sepakbolanya selalu bertindak anarkis. Dapat kita saksikan sendiri bagaimana kondisi suporter sepakbola nasional kita di ajang Liga Indonesia. Tawuran antar suporter kesebelasan, pengrusakan fasilitas umum dan stadion, pemukulan terhadap wasit sebagai pengadil lapangan, serta tentu saja mengganggu ketertiban dan ketentraman di masyarakat.


Suporter sepakbola tentu mempunyai pengaruh tersendiri dalam percaturan liga sepakbola. Sebab, suporter sepakbola selalu mendapat perhatian dari dunia Internasional. Apabila suporter sepakbola dapat bertindak fair, maka hal tersebut akan menaikan rating kualitas sepakbola yang bersangkutan. Maka, sudah barang tentu untuk mrnyongsong sepakbola atraktif dan fairplay, suporter sepakbola haruslah mendapat pembinaan dari para pengurus klub masing-masing di liga nasional.


Pembinaan suporter dapat dilakukan dengan memberikan pelatihan serta pengarahan secara komprehensif bagaimana bertindak dam memberi dukungan dengan bertindak secara lebih bermartabat dan berwibawa. Tidak hanya itu, beberapa suporter yang masuk kategori anak-anak atau remaja dengan usia dibawah 21 tahun, haruslah mendapat pengawasan ekstra ketat dan lebih baik memberi batasan untuk masuk ke stadion. Hal ini dimaksudkan selain kondisi psikologis yang masih labil dan beban mental yang lemah pula akan dikhawatirkan dapat memicu terlibat tawuran dan pengrusakan fasilitas olahraga dan umum yang tentunya juga akan menguras alokasi dana untuk membangun fasilitas yang mendukung.


Langkah ketiga, Pembatasan pemain Asing. Tidak berlebihan apabila pengurus PSSI dapat memberikan batasan terhadap pemain asing yang berlaga di liga Indonesia. Hal ini dimaksudkan disamping dapat memberikan kesempatan berlaga untuk para pemain lokal, juga dapat memberikan penghematan dana untuk klub-klub di liga Indonesia. Sebagaimana yang kita ketahui juga, bahwa besarnya dana yang dikeluarkan oleh klub-klub di liga Indonesia dapat dipicu dengan banjirnya pemain asing yang berlaga di liga Indonesia dengan bayaran yang masuk kategori tinggi.


Langkah keempat, Pembinaan Bibit Unggul. Untuk dapat menghasilkan pemain-pemain yang berkulitas baik dengan skill menawan maupun juga dalam mental saat bertanding, maka hal ini perlu dilakukan dengan melakukan pembinaan terhadap bibit-bibit unggul sejak usia dini. Pemerintah dalam hal ini haruslah turun tangan dengan membangun lebih banyak lagi sebuah pendidikan khusus sepakbola usia dini. Apabila kita perhatikan di beberapa negara eropa, banyak terdapat sekolah khusus sepakbola usia dini, seperti akademi Ajax Amsterdam di Belanda, Akademi Barcelona di Spanyol, Akademi Inter Milan di Italia, serta Akademi Liverpool di Inggris Raya.


Akademi khusus sepakbola yang dapat membina anak usia dini, tidak hanya dalam mengelola si kulit bundar, akan tetapi dalam akademi tersebut juga terdapat kurikulum yang mengajarkan anak didik terhadap ilmu eksata dan juga ilmu sosial. Maka, disamping lulusan akademinya dapat mempunyai skill sepakbola, juga dapat membina hubungan baik antar sesama rekan sepakbola dan masyarakat, serta yang terpenting dapat mengerti taktik yang di instruksikan oleh sang pelatih dengan mempelajari juga ilmu eksata.


Kini, berlaga diputaran final Piala Dunia bukanlah suatu mimpi belaka bagi sepakbola nasional kita apabila pemerintah dan juga pengurus otoritas sepakbola nasional di tanah air mempunyai suatu tekad untuk menjadikan sepakbola nasional kita dapat berprestasi di kancah Internasional. Terlebih lagi, dengan jumlah penduduk yang sedemikian banyak dan di dukung oleh sejarah negara besar yang sangat hebat, serta kekayaan alam yang berlimpah, maka kita tidak akan heran dan ragu apabila dikemudian hari kelak pemain berkelas melebihi Lionel Messi, Cristian Ronaldo, dan Ricardo Kaka dapat lahir di tanah Republik Indonesia. Semoga..!!!