Kamis, 18 November 2010

Hilangnya Kredibilitas Penegak Hukum

Aparat penegak hukum kita lagi-lagi mendapat sorotan yang maha tajam dari berbagai media cetak dan elektronik nasional serta masyarakat di tanah air. Hal ini tidak lain dengan kembalinya melakukan blunder yang dilakukan oleh aparat penegak hukum itu sendiri khususnya pihak kepolisian terkait dengan berkeliarnya terdakwa korupsi mafia pajak Gayus Halomoan P. Tambunan. Sangat sulit dipercaya dengan foto yang memperlihatkan Gayus bertamasya di Bali, padahal ia masih bertatus tahanan oleh Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok.

Kuat dugaan dari berbagai pihak bahwa keluarnya Gayus dari sel tahanan karena memberikan segepok uang kepada pihak kepolisian di Rutan Mako Brimob. Sungguh sebuah tindakan yang memprihatinkan dan semakin mencoreng penegakan hukum di republik ini. Apa yang melatarbelakangi aparat penegak hukum di negara kita mau saja di kelabui dengan segepok uang dan memperjual-belikan supremasi penegakan hukum?

Sebelumnya masih ingat dalam ingatan kita bagaimana hukum di negeri ini seakan dikangkangi oleh para kawanan perampok uang rakyak bernama koruptor dengan berbagai intrik dan rekayasa serta melakukan bermacam kriminalisasi. Penegak hukum seperti Hakim, Jaksa, serta Kepolisian dan juga tidak ketinggalan para advokat ikut dalam permainan penuh sandiwara busuk tersebut. Berbagai kasus besar maupun kecil menjadi lahan yang sangat empuk oleh aparat penegak hukum di negeri ini untuk terus memanen kekayaan dari hasil permainan kotor.

Hilangnya kredibilitas


Kini, dengan keluar masuknya dari tahanan terdakwa kasus mafia pajak Gayus di Bali membuat masyarakat kita merasa pesimis dan kembali membuat hilangnya kredibilitas atau kepercayaan rakyat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Hukum begitu tercemar dan mudah diperjual-belikan oleh aksi aparat penegak hukum itu sendiri yang notabene adalah pengawal dan pendekar hukum dalam menjunjung tinggi supremasi hukum. Lantas, melihat situasi penegakan hukum yang bobrok, dimanakah kita mencari lagi aparat penegak hukum yang benar-benar bersih dan patriotik dalam penegakan hukum di bumi pertiwi?

Dalam beberapa waktu belakangan ini kita melihat aparat penegak hukum sangat mudah menjual sumpah jabatan yang mereka emban. Beberapa aparat penegak hukum yang dimaksud diantaranya yakni Jaksa koordinator kasus BLBI, Urip terlibat kasus suap oleh pengusaha Artalita Suryani, Komjen Susno Djuaji terlibat dalam kasus pencairan dana Bailout Bank Century, beberapa petinggi Polri juga terlibat skandal dalam rekening gendut yang mencurigakan dan diduga sebagai pembeking para koruptor, Jaksa Cyrus Sinaga yang menangani perkara Gayus pun terlibat dengan semakin mencurigakan harta yang dimilikinya. Serta angin yang mulai berhenbus kencang di permukaan media nasional yakni dugaan terjadinya mafia peradilan di lembaga yang selama ini dikenal bersih dan transparansi, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Dugaan terjadinya praktek suap antar hakim MK terkait perkara yang ditanganinya sungguh mengejutkan kita, skandal ini pun mulai tercium oleh tulisan intelektual Refky Harun di rubrik opini Harian Kompas. Tulisan pemerhati hukum konstitusi tersebut tentulah beralasan karena ia melihat sendiri terjadinya transaksi dan barang bukti hasil mafia hukum di MK. Sungguh membuat bangsa ini kembali mengalami degradasi moralitas penegak hukum. Bahkan, di lembaga pemasyarakatan yang merupakan tempat pesakitan narapidana, ada juga kita menemukan berbagai permainan busuk yang tidak lain adalah sandiwara dalam mafia hukum. Kita berkeyakinan bahwa di dalam sel tahanan tersebut masih banyak terdapat permainan kotor seperti transaksi narkoba, ruang tahan mewah seperti yang dimiliki oleh narapidana suap Artalita Suryani, hingga keluar-masuknya para tahanan untuk keperluan yang tidak dapat menjadi alasan pembenar.

Pembenahan Mental


Berbicara penegakan supremasi hukum tentu juga erat kaitannya dengan aparat penegak hukum itu sendiri. Dengan aparatur penegak hukum tersebut-lah hukum dapat di kendarai sesuai koridor atau sebaliknya. Hukum secara normatif telah sesuai dengan asas kemanfaatan dan berkeadilan. Akan tetapi, aparat penegak hukum yang merupakan aktor dalam menjalankan hukum normatif tersebut seakan tidak dapat menjalankan tujuan luhurnya yakni menegakkan kebenaran yang bernuansa keadilan di masyarakat.

Kita menyadari bahwa dalam pembentukkan aparat penegak hukum tersebut
tidaklah segampang membalikkan telapak tangan. Ada beberapa proses yang secara sistematis harus dimiliki dalam pembentukkan menjadi aparat penegak hukum yang kredibel, kompeten, dan bermoralitas. Langkah pertama dalam pembentukkan figur penegak hukum tersebut haruslah dimulai dengan proses rekrutmen yang bersih, transparansi, dan bebas dari unsur KKN. Bukanlah cerita yang menggemparkan apabila selama ini dalam proses rekrutmen aparat penegak hukum seperti Hakim, Polisi, Jaksa, serta lembaga lainnya sangat kental dengan nuansa kecurangan. Bahkan, praktek sogok-menyogok seakan sudah menjadi budaya yang sulit dihapuskan dalam proses rekrutmen tersebut. Hal inilah yang menjadi fondasi utama bagaimana aparat penegak hukum yang ingin menjalankan karir dalam penegakan hukum itu sudah bermental korup. Maka, sudah pasti dalam menjalankan tugasnya, ia hanya bermental materi dan selalu berupaya bagaimana mengembalikan uangnya yang telah terkuras saat praktek sogok-menyogok dalam proses rekrutmen dengan berbagai macam cara kotor demi segepok uang/materi.

Lalu, apabila proses rekrutmen telah bersih dari unsur kecurangan dan budaya korup, para calon penegak hukum haruslah dibekali oleh pendidikan. Dalam proses pendidikan inilah sesungguhnya penegak hukum tersebut dapat membentuk karakter yang tangguh dan berjiwa pendekar hukum yang tidak gampang di suap serta bermental tegas dan berani. Dalam pendidikan yang membentuk karakter penegak hukum seharusnya telah dimulai sejak menginjak di bangku perguruan tinggi. Sebab, apabila pelajar hukum di perguruan tinggi yang ingin menerjunkan jalan hidupnya untuk menjadi aparatur penegak hukum, maka instansi-instansi penegak hukum tersebut tidaklah bersusah payah dalam membentuk kembali karakter sebagai pendekar hukum.

Pendidikan hukum di berbagai perguruan tinggi di tanah air sesungguhnya tidaklah sesuai dengan realita dalam perkembangan masyarakat kita. Sebagai pendidikan yang lebih menekankan terhadap keahlian dan pembentukan karakter, maka sudah sepantasnya pendidikan hukum di perguruan tinggi lebih berbasis moralitas tanpa mengurangi kurikulum untuk membentuk keahlian hukumnya. Pendidikan berbasis moralitas dimaksudkan selain dapat membentuk karakter menjadi pendekar hukum yang tegas, juga dapat bermental luhur dan tidak mudah tergoyah oleh materi.

Pendidikan hukum selama ini pun cendrung mengutamakan pendidikan yang menekankan pada penguasaan dan kompetensi professional. Tujuan tersebut sesungguhnya bukanlah hal yang buruk, sebab sesuai permintaan konsumen agar dapat bersaing di pasar pekerjaan hukum. Akan tetapi, jika selama ini pendidikan hukum lebih memusatkan perhatian terhadap pendidikan untuk mengejar kompetensi professional, maka hal tersebut tentu dapat mengabaikan dimensi pendidikan hukum untuk menghasilkan manusia berbudi pekerti luhur seperti perilaku baik, seperti kejujuran, keterbukaan, kemampuan untuk turut merasakan dan mengasihi.

Aparat penegak hukum bekerja bukanlah dengan materi melainkan dengan keluhurannya dalam menjalankan profesi sebagai penegak supremasi hukum. Apabila aparat penegak hukum dalam melakukan aksi suap dan korupsi berdalih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sungguh hal tersebut tidaklah dapat menjadi alasan. Sebab, menjadi penegak hukum bukanlah membuat seseorang menjadi kaya raya, melainkan bertekad untuk berupaya membuat kebenaran, keadilan, keamanan, ketertiban, dan pengayom masyarakat. Apabila penegak hukum hanya berkeinginan untuk menjadi kaya dan bergelumur materi, bukankah lebih pantasnya ia melepaskan embel penegak hukum dan terjun ke dunia bisnis dengan menjadi pengusaha yang tujuannya yakni mencari keuntungan dengan materi?