Selasa, 01 Februari 2011

Dismoralitas Vonis Gayus dan Ariel




Terdakwa kasus video asusila Nazril Irham atau Ariel Peterpen akhirnya divonis oleh majelis hakim PN.Bandung selama 3 tahun 6 bulan penjara, serta denda 250 juta. Tentu saja putusan yang diterima oleh vokalis kondang anak muda tersebut jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntutnya 5 tahun penjara dengan tuduhan turut membantu penyebaran video pornonya yang diduga dilakukan bersama Luna Maya dan Cut Tari. Kekasih Luna Maya itu didakwa dengan pasal 29 UU no. 4 tahun 2008 tentang pornografi jo pasal 56 KUHP.

Sebenarnya majelis memberikan kesempatan untuk terdakwa menangkal, bukan hanya penyangkalan, tapi pembuktian bahwa keterangan ahli tidak benar. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa hal yang memberatkan terdakwa yakni sebagai publik figur terdakwa harusnya menyadari tindakannya ditiru oleh penggemarnya. Sedangakn hal yang meringankan, terdakwa belum pernah tersangkut kasus hukum dan masih muda.

Menyikapi vonis dari majelis halim pengadilan pertama tersebut, tentunya masyarakat dapat memberi penilaian yang beraneka ragam. Banyak para penggemar Ariel yang tetap setia mendukung, tetapi pun juga sebaliknya bagitu besar massa yang tetap menyekal dan mengecam tindakan asusila yang dilakukan oleh Ariel karena dapat merusak moralitas sebagian besar generasi muda di negeri ini.

Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa negeri ini menggelar persidangan yang juga menyedot perhatian masyarakat selain kasus asusila Ariel Peterpen yakni kasus mafia pajak, Gayus Halomoan Partahanan Tambunan. Beberapa pekan lalu majelis hakim PN. Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara kepada terdakwa kasus suap dan penggelapan pajak tersebut. Mantan pegawai Ditjen Pajak golongan III A tersebut dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaaan subsider dan primer. Selain itu, majelis juga mengatakan bahwa Gayus memberikan keterangan yang tidak benar di persidangan. Gayus sebelumnya dituntut selama 20 tahun dengan denda sebesar Rp 500 juta dan subsider enam bulan. Selain menuntut pidana badan, jaksa juga meminta hakim untuk menjatuhkan pidana denda kepada Gayus Tambunan sebanyak Rp500 juta subsidair 6 bulan.

Gayus dan Ariel

Setidaknya kasus yang paling menyedot publik kita beberapa waktu ini yakni kasus mafia pajak Gayus Tambunan serta kasus asusila Ariel Peterpen. Kasus keduanya tidak hanya pendapat sorotan khusus dari berbagai media cetak dan elektronik secara nasional, juga mendapat berbagai macam argumentasi baik itu para pejabat negeri ini mulai dari Presiden hingga warga biasa di seputaran warung-warung kopi.

Sangat wajar antara keduanya dikatakan sebagai kasus besar meskipun vonis yang dilayangkan oleh majelis hakim di dua tempat jurisdiksi berbeda tersebut tidak dapat memuaskan publik. Sebab, kedua kasus tersebut juga merupakan problematika bangsa yang belum terselesaikan hingga kini. Kasus Gayus yang sebagai mafia pajak tidak hanya merugikan bangsa hingga berpuluh triliun rupiah karena adanya permainan antara Gayus sebagai pegawai pajak Depkeu dengan perusahaan 151 penunggak pajak, tetapi juga dapat menghancurkan generasi masa depan bangsa kita yang banyak putus pendidikan diakibatkan tidak mampu membiayai karena negara mengalami kerugian akibat ulah para koruptor seperti Gayus.

Kasus Gayus setidaknya bukanlah kasus biasa karena disamping merugikan negara juga kasus Gayus disinyalir melibatkan sejumlah tokoh-tokoh penting di negeri ini termasuk beberapa petinggi instasi penegak hukum itu sendiri. Maka, tidak heran apabila Gayus yang telah mendapat sorotan tajam oleh media nasional dapat berpiknik ria ke Bali hingga ke beberapa objek wisata mancanegara. Sungguh sebuah kenyataan pahit bagi negara yang berlandaskan hukum.

Kasus mafia pajak Gayus tentu sangat membuat bangsa ini harus menahan rasa geram. Mengapa tidak, pajak yang notabene merupakan uang rakyat harus dikorupsi dengan cara yang menyakitkan hati rakyat. Banyaknya angka putus sekolah serta semakin meningkatnya jumlah kemiskinan adalah potret betapa negeri ini masih terus diselimuti para perampok uang rakyat yang membuat rakyat harus kembali menahan diri untuk hidup lebih sejahtera.

Hal senada tentu juga terdapat dalam kasus asusila Ariel. Kasus yang semakin menambah panjang daftar negatif para artis tidak hanya berdampak buruk terhadap generasi muda bangsa ini, melainkan dalam kasus ini menggambarkan bahwa republik dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia sarat dengan dismoralitas dan hilangnya karakter bangsa yang telah dibangun oleh para pendiri negara (founding fathers).

Negeri kita memang telah kehilangan karakter bangsa karena bangsa ini selalu menganggap bahwa perbuatan asusila adalah perbuatan yang sangat wajar di tengah arus globalisasi. Maka, tidak heran bahwa semakin banyaknya anak muda yang masih mengenyam pendidikan sekolah pertama telah kehilangan keperawanannya akibat pergaulan bebas.

Dismoralitas Bangsa

Sebenarnya hancurnya moralitas bangsa kita terutama terhadap generasi muda tidak terlepas dari kurangnya pengawasan dan perhatian pemerintah sebagai institusi yang berwenang menjalankan negara ini. Misalnya saja kontrol terhadap sinetron dan perfilman yang bernuansa vulgar meskipun dibalut dengan mistis dan komedian. Hal inilah semakin meluapnya kebobrokan moralitas di negeri ini.

Vonis yang dijatuhkan terhadap kasus mafia pajak Gayus dan kasus asusila Ariel membuktikan bahwa negara kita telah mengalami dismoralitas bangsa karena tentunya melihat hasil putusan tersebut tidaklah sesuai dengan rasa keadilan, kemanusiaan, dan menjunjung tinggi norma agama serta norma yang berlaku di masyarakat. Bahkan, boleh jadi dengan adanya putusan yang tidak memberatkan antara Gayus dan Ariel tersebut dapat membuat masyarakat mengikuti perbuatan keji yang dilakukan keduanya yakni merampok uang rakyat dan melakukan perbuatan asusila.

Melihat kejahatan yang dapat berpengaruh terhadap orang banyak tersebut, tentunya majelis hakim PN.Jakarta Selatan dan PN.Bandung sebagai orang yang berwenang memutuskan suatu perkara tingkat pertama, harus memperberat masa hukuman baik terhadap kasus Gayus maupun kasus Ariel. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa di negeri yang selalu menjadikan narapidana berduit menjadi nyaman tersebut, dapat membuat terpidana keduanya tersebut menjadi lebih ringan daripada putusan sebelumnya karena keduanya mempunyai pilihan untuk melakukan banding ke tingkat pengadilan tinggi.

Tidak hanya itu saja. Melalui berbagai bentuk remisi serta pengurangan-pengurangan masa hukuman lainnya, menjadikan masa hukuman yang mereka terima sebelumnya menjadi lebih ringan. Lalu, melewati 2/3 masa hukuman, mereka juga dapat lebih dahulu menghirup udara segar sebelum masa hukuman berakhir karena dapat mengajukan kebebasan bersyarat. Maka, tidak heran apabila kita dapat sebut bahwa vonis yang dijatuhkan terhadap kasus Gayus dan Ariel tersebut tidak lain sebagai bentuk dismoralitas bangsa yang semakin menjadikan republik ini kehilangan karakter bangsa karena semakin tumbuh suburnya para koruptor beriringan dengan tindakan asusila yang tidak mendapat hukuman setimpal.