Selasa, 19 Januari 2010

Menguji Efektivitas Satgas Pemberantasan Mafia Hukum


Oleh: Andryan, SH

Terkuaknya sel mewah, perlakuan diskriminatif serta maraknya berbagai pungutan liar di Rutan Pondok Bambu, tentu menyisahkan luka bagi negara yang menerapkan hukum sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara. Luka tersebut tidak lain karena masih buramnya penegakkan hukum kita, tidak hanya di dalam persidangan (litigasi), tapi juga di luar persidangan (non litigasi). Perlakuan beberapa oknum penegak hukum dapat disebut sebagai mafia peradilan, makelar kasus, ataupun perilaku yang kerap kali bersifat korupstif dengan menguntungkan pihak tertentu dan merugikan rakyat yang notabene mengharapkan perlindungan hukum dan keadilan. Untuk mengatasi bobroknya institusi hukum serta perilaku penegak hukum, maka Presiden pada akhir tahun 2009 membentuk Satuan Tugas (satgas) Pemberantasan Mafia Hukum.


Pembentukan satgas pemberantasan mafia hukum tersebut sebelumnya telah menimbulkan pro dan kontra atas lembaga dengan dasar hukum keppres tersebut. Sebab, apabila negeri ini bersungguh-sungguh dalam memberantas jaringan mafia hukum tidak lah harus membentuk lembaga baru dalam memberantas mafia hukum. Selama ini kita mengenal Komisi Yudisial (Lembaga Peradilan), Komisi Kejaksaan (Kejaksaan Agung), serta Komisi Kepolisian (Polri). Lembaga tersebut setidaknya dapat diberdayakan untuk memperbaiki mental aparat penegak hukum dan memberantas para pelaku mafia hukum.


Akan tetapi, mengawali tugasnya di awal tahun baru 2010, satgas dapat dikatakan telah sukses mengawali tugasnya dalam memberantas mafia hukum di tanah air dengan melakukan inspeksi mendadak (sidak) terhadap Rutan Pondok Bambu, Jakarta. Masyarakat pun dibuat tercengang dengan temuan satgas tersebut, dengan terungkapnya beberapa sel mewah dan perilaku pungli petugas lapas. Kini, meskipun belum berjalan begitu lama, masyarakat setidaknya dapat berharap banyak kepada satgas pemberantasan mafia hukum untuk memberantas tanpa pandang bulu mafia hukum dan makelar kasus di tanah air. Akan tetapi, mengingat cakupan wilayah kerja satgas di seluruh tanah air, apakah efektif pembentukan satgas dalam membongar dan memberantas mafia-mafia hukum yang telah menyebar di tanah air?


Ruang lingkup kerja satgas itu sendiri yakni tidak bisa melakukan penindakan seperti mencopot aparat penegak hukum yang terlibat mafia hukum. Satgas hanya akan bekerja dalam mengkaji, menelaah, dan melakukan penelitian sebelum diserahkan kepada lembaga terkait seperti kepolisian, kejaksaan, dan KPK, Bahkan, Satgas tersebut hanya dapat memberikan rekomendasi dan melaporkan hasil tugasnya setiap tiga bulan sekali kepada Presiden.


Satgas yang terbentuk pada 19 November 2009, hanya memiliki waktu selama dua tahun untuk melaksanakan pemberantasan praktik mafia hukum pada institusi penegak hukum. Di mana tugas Satgas memfokuskan pencegahan praktik mafia hukum pada dua institusi penegak hukum, yakni Polri dan Kejaksaan Agung dengan kerangka besar meliputi reformasi birokrasi melalui perubahan struktural untuk memudahkan perbaikan kultur kerja aparat penegak hukum.


Satgas Pemberantasan Mafia Hukum kewenangannya berada di bawah kendali Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4). Apabila kita melihat para anggotanya, satgas tidaklah dapat dianggap remeh. Sebagai Ketua Satgas adalah Kepala UKP4 Kuntoro Mangkusubroto, Sekretaris Satgas Denny Indrayana dan sebagai anggotanya adalah Wakil Jaksa Agung Darmono, Herman Effendi dari Kepolisian. Kemudian, mantan pelaksana tugas pimpinan KPK Mas Achmad Santosa mewakili kalangan profesional, serta Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Hussein.


Beberapa nama anggota satgas tersebut tidaklah asing di telinga kita, mereka tentunya tidak diragukan lagi kapasitas dan integritasnya dalam memberantas mafia hukum di republik ini. Akan tatapi, disamping mengemban jabatan sebagai anggota satgas, mereka tentu masih terikat dengan korp-nya. Lalu, satgas pun tidak memiliki sekretariat sebagimana lembaga lainnya. Mereka hanya melakuan meeting-meeting dengan para anggotanya untuk melakukan kerjanya. Hal inilah yang mengundang keraguan akan efektivitas satgas dalam memberantas mafia hukum. Disamping mengemban rangkap jabatan para anggotanya, juga tidak memiliki agenda kerja yang jelas. Apakah satgas hanya bekerja dengan melakukan sidak dan menerima pelaporan dari masyarakat saja?


Mafia hukum, makelar kasus, atau mafia peradilan bukanlah hal baru di negeri ini. Maraknya praktik korupsi peradilan dan mafia hukum di Indonesia juga diperkuat oleh laporan penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2001. Penelitian yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia (Jakarta, Medan, Makassar, Samarinda, Jogjakarta, dan Surabaya) itu menunjukkan betapa jaringan mafia hukum meluas dengan melibatkan hampir seluruh pelaku di lingkungan peradilan. Mulai hakim, pengacara, jaksa, polisi, panitera, sampai karyawan dan tukang parkir di pengadilan.


Celakanya, tindakan mafia peradilan tersebut dianggap sebagai hal yang lumrah. Banyak pengacara yang tidak malu-malu lagi menawarkan sejumlah uang kepada hakim dan jaksa. Bahkan, dalam bentuk yang berbeda, ada pengacara yang ''menggaji'' hakim bulanan. Sementara pada saat bersamaan, hakim, jaksa, polisi, serta panitera tidak merasa risih pula untuk meminta uang dari pengacara atau para pencari keadilan. Ibaratnya, jika dulu dilakukan secara diam-diam, kini tindakan mafia hukum tersebut dilakukan secara terbuka dan terang-terangan (dulu di bawah meja, sekarang di atas meja). Pengadilan bukan lagi tempat mendapatkan keadilan, melainkan bursa keadilan. Siapa yang bisa memberi banyak akan mendapatkan keadilan yang diinginkan.


Inisiatif pembentukan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum jelas patut di apresiasi, meski banyak kalangan yang juga pesimistis terhadap hasilnya nanti. Berdasarkan pengalaman yang lalu, upaya membongkar dan membersihkan praktik mafia hukum melalui mekanisme internal di masing-masing sering mengalami kebuntuan. Dalam beberapa kasus korupsi, suap di lingkungan peradilan yang melibatkan mafia hukum khususnya dari polisi, jaksa, dan hakim umumnya sangat sedikit yang akhirnya berujung pada proses pengadilan.


Ada beberapa persoalan yang mengakibatkan kebuntuan tersebut. Misalnya, hambatan secara struktural, semangat membela kops, metode pengawasan/pemeriksaan yang lemah, aparat pengawasan yang juga korup, serta tidak adanya kemauan dari pimpinan institusi penegak hukum ini. Padahal, untuk membersihkan mafia hukum, setidaknya ada beberapa hal yang dibutuhkan. Pertama, pimpinan penegak hukum harus memiliki kemauan kuat dan bertekad serius dalam membersihkan korupsi di lembaga masing-masing. Sepanjang pemimpinnya tidak tegas dan bahkan membiarkan praktik mafia hukum berkembang, jangan berharap ''penyakit'' itu bisa dituntaskan.


Kedua, perlunya penguatan pengawasan internal dan eksternal masing-masing institusi penegak hukum. Pengawas ekternal seperti Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, dan Komisi Yudisial seharusnya bisa dimaksimalkan dalam memberantas mafia hukum. Masyarakat juga diberi ruang untuk mengawasi kinerja penegak hukum serta mafia hukum dengan segala profesinya. Selain itu, perlu adanya lembaga independen yang diberi kewenangan dalam mengusut dan membersihkan perilaku menyimpang, khususnya korupsi, di institusi penegak hukum.


Dalam hal ini, sebaiknya kita meniru kisah sukses pemberantasan mafia hukum di beberapa negara seperti China yang tidak pandang bulu dalam menindak para mafia hukum. Bahkan, hukuman mati kepada mafia hukum telah diterapkan untuk menumbuhkan kepercayaan warga negaranya dalam memberantas jaringan mafia hukum di negara berpenduduk terbesar di dunia tersebut. Satgas yang dibentuk Presiden seharusnya didorong untuk melakukan operasi-operasi intelijen guna menangkap mafia peradilan untuk selanjutnya diproses oleh KPK. Jika kerja satgas sekedar memberi saran dan rekomendasi, lembaga tersebut tidak akan efektif dan hanya akan kembali menghiasi sebagai etalase tanpa membuahkan hasil di republik ini.