Selasa, 30 Maret 2010

Pemilukada Kota Medan: Menyongsong Kampanye Bermartabat

Meskipun putaran kampanye pemilihan calon kepala daerah (pemilukada) kota medan tahun 2010 sebagaimana yang telah ditetapkan oleh KPU kota medan belum dimulai. Akan tetapi, beberapa waktu yang lalu hingga kini beberapa pasangan calon telah memulai kampanye, baik melalui iklan dan reklame di beberapa sudut jalan kota medan maupun kampanye di berbagai media surat kabar dan elektronik lokal. Para kandidat pemimpin kota medan tersebut telah siap untuk memaparkan visi dan misinya. Tidak hanya itu, untuk menyukseskan ambisinya, tim sukses atau tim pemenangan yang merupakan tokoh dibelakang layar menuju kesuksesan para kandidat telah dibentuk dan dideklarasikan dan mereka pun telah siap tempur menuju pertarungan politik menjadi pemimpin kota medan pada lima tahun mendatang.


Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa pada saat akan menjelang pemilu, entah itu pemilu legislatif, pemilu presiden dan wakil presiden dan bahkan pemilu kepala daerah, para kandidat berebut untuk mendapatkan perhatian dan hati rakyat sebagai konstituen agar dapat memilihnya dengan menyuguhkan berbagai macam bentuk kampanye. Dalam pesta demokrasi tersebut, sangat disayangkan bahwa masih banyak terdapat para pendukung dan kandidat yang menggelar kampanye hitam (black Campaign). Kampanye dalam bentuk ini dapat diartikan sebagai kampanye kotor dan lebih menitikberatkan pada pembunuhan karakter seseorang calon. Kampanye seperti ini dapat juga memberikan dampak yang buruk dan tidak mendidik kepada rakyat, yang mana kita ketahui bahwa disamping memberikan visi dan misinya, kampanye juga dapat memberikan pendidikan politik kepada rakyat.


Lalu seiring dengan berjalannya waktu, KPU kota medan sebagai pihak penyelenggaraan pemilukada kota medan telah menetapkan sepuluh kandidat pasangan calon walikota medan yang lolos verifikasi dan siap untuk bertarung memperebutkan hati masyarakat kota medan. Kini, kita pun berharap agar kampanye terselubung serta memberikan kesan yang tidak baik kepada rakyat tidak terulang lagi pada pemilukada kota medan tahun ini yang segera dilaksanakan. Akan tetapi, belum lagi dimulainya kampanye untuk para kandidat, masyarakat kembali disunguhi oleh berbagai aksi yang buruk, baik yang dilakukan oleh para kandidat maupun para tim suksesnya. Di mulai dengan aksi kampanye terselubung atau curi start, saling menjelek-jelekkan serta menjatuhkan satu sama lain, dan bahkan ada yang membawa permasalahan suku, agama, dan berbeda corak lainnya.


Kampanye Bermartabat


Sebagai bangsa yang terbentang dalam wadah NKRI, seharusnya para kandidat calon walikota medan, tim sukses, serta para simpatisan dan pendukung menyadari bahwa pemilukada yang kita laksanakan pada setiap lima tahun sekali mempunyai makna yang sangat krusial untuk membangun kota medan sebagai kota yang demokratis sebagaimana yang telah menjadi ciri kota ini. Pemilukada tersebut diadakan tidak lain adalah untuk mencari pemimpin daerah yang berkualitas serta dapat menjadi suri tauladan bagi rakyatnya. Bagaimana jadinya apabila calon yang bakal menjadi pemimpin bangsa kelak tidak memiliki sikap yang patut dijadikan sebagai pemimpin dan teladan bagi rakyatnya.


Kita menyadari betul bahwa untuk menjadi pemimpin bangsa, tidak hanya berkualitas dari segi intelektual, akan tetapi juga harus cerdas dalam segi spritual, emosional, serta fisiktual. Hal inilah yang harus kita sikapi bersama sebagai masyarakat yang menjunjung etika dan moral. Apabila calon pemimpin dapat memenuhi segi-segi tersebut, maka dalam menyampaikan visi dan misinya tentu ia akan sangat jauh dalam tindakan yang tidak terpuji sebagaimana yang telah dipertontonkan kepada kita selama ini.


Kemudian dalam melaksanakan kampanye yang bermartabat, kita menyadari bahwa kampanye merupakan salah satu wadah untuk membangun pendidikan politik di tanah air. Bagaimana jadinya apabila kelak kampanye yang dilaksanakan tersebut terkesan kampanye kotor, maka rakyat pun akan disuguhi oleh pendidikan politik yang kotor pula sebagaimana yang kita rasakan selama ini. Pendidikan politik yang kotor akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan bangsa terutama kepada para calon penerus bangsa dan negara. Politik praktis, politik uang, serta pembunuhan karakter adalah beberapa jenis dari buah hasil pendidikan yang kotor pula dan akan berujung kepada tindakan abmoral, korupsi, kolusi, nepotisme, serta tindakan yang tidak terpuji lainnya yang dapat manghancurkan pondasi negara yang telah di bangun oleh para perintis kemerdekaan.


Perang “Jargon”


Seperti biasanya juga bahwa para kandidat yang maju untuk pemilukada kota medan selalu menggunakan slogan atau jargon untuk menarik para konstituen. Jargon pada intinya merupakan kosa kata atau slogan, yang mana dengan adanya jargon yang di buat para kandidat tersebut, akan sangat membantu konstituen untuk mengetahui secara gamblang apa yang menjadi visi dan misinya apabila terpilih kelak.


Perang jargon selalu identik dengan perang urat syaraf, yang mana dengan adanya jargon tersebut, otomatis dapat menaikkan pamor mereka sekaligus menjatuhkan para kandidat pesaingnya. Dengan adanya perang jargon tersebut, tidak lantas kampanye yang dibangun oleh para kandidat menggunakan politik kotor, selagi kaidah bahasa yang digunakan dalam jargon tersebut menggunakan bahasa yang santun dan bermartabat. Selama ini, kampanye politik yang dibangun adalah merendahkan visi dan misi kandidat lain dan lebih mengklaim visi dan misinya lah yang terbaik. Padahal sekecil apapun visi dan misinya apabila dapat di implementasikan kelak, maka itulah yang terbaik. Bukan sebaliknya mencanangkan visi dan misi yang besar dan menjanjikan, akan tetapi pada saat ia terpilih sangat sulit untuk dilaksanakan.


Pemilukada yang sukses mengharuskan semua pihak untuk melaksanakan kampanye secara santun dan bermoral. Cara-cara kampanye yang kotor, saling menyerang dan taktik-taktik kotor perlu dijauhi. Melakukan kampanye dengan saling menghormati, dan membebaskan rakyat untuk menentukan pilihannya secara cerdas. Pemilukada harus bermuara pada suatu hal, yakni lahirnya pemimpin daerah yang berkualitas melalui proses demokratis yang bermoral. Artinya, pemilukada tidak boleh hanya sekedar prosedur formal, yakni tidak boleh melahirkan pemimpin melalui cara-cara yang menghalalkan segala cara.


Pemimpin yang berkualitas tentunya harus diperoleh dengan cara yang juga berkualitas dan bermoral. Pemimpin yang meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara akan menghalalkan kekuasaan itu untuk tujuan-tujuan yang mengingkari cita-cita proklamasi. Sangat penting juga bahwa pemilukada kota medan dapat melahirkan pemimpin yang mampu menjamin masa depan rakyat dengan keadaan yang lebih baik. Semoga pemilukada kota medan tahun ini dapat menjadi tonggak pendidikan politik yang luhur dan bermartabat bagi seluruh rakyat Indonesia khususnya kota medan dan dapat membuat warga kota medan menjadi dewasa dalam berdemokrasi.

Rabu, 10 Maret 2010

Benarkah Mahasiswa Kaum Intelektual ?

Demonstrasi atau unjuk rasa, setidaknya itulah berita yang selalu di ekspos oleh media elektronik maupun media cetak di tanah air beberapa tahun belakangan ini. Sejak runtuhnya rezim orde baru yang dipimpin oleh Soeharto, rakyat kita seakan telah bergelimang multi kebebasan. Dari kebebasan berkelompok, kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi, hingga kebebasan-kebebasan yang berunjung dengan kebablasan moral dan etika. Apabila kita cermati, dari sekian banyak aksi demonstrasi, kaum mahasiswa lah yang hingga kini banyak mendominasi dan mengkomodir aksi unjuk rasa di republik ini.

Para mahasiswa tentu saja boleh berbangga, sebab kediktatoran rezin Soeharto selama 32 tahun memimpin, runtuh akibat aksi yang digelar oleh bersatunya kaum mahasiswa di seluruh Indonesia pada tahun 1998. Bahkan, beberapa mahasiswa dinobatkan sebagai pahlawan reformasi akibat terkena peluru panas yang nyasar oleh aparat yang hingga kini masih menyimpan misteri tewasnya mahasiswa dalam memperjuangkan reformasi.

Mahasiswa memiliki sejarah yang sangat panjang dalam memperjuangkan dan membangun sebuah negara di negeri pertiwi ini. Hal ini pun tercatat dalam tinta emas pada seratus satu tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, sekelompok kaum muda mahasiswa yang cerdas dan peduli terhadap nasib bangsa mendirikan organisasi Boedi Oetomo. Perkumpulan yang dimotori oleh Dr. Soetomo, Dr. Wahidin Soedirohoesodo, Dr. Goenawan dan Soewardi Soerjoningrat ini, kelak menjadi inspirasi bangkitnya kesadaran tentang pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa untuk melawan penjajahan yang selama berabad-abad mencengkeram tanah air Indonesia.

Tanggal 20 Mei kemudian ditetapkan dan diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Karena pada tanggal itulah terjadi titik balik perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan, dari semula perlawanan lokal-bersenjata berganti menjadi perlawanan nasional-organisasional. Perjuangan melalui organisasi kebangsaan merupakan cara baru untuk melawan penjajah. Sebelumnya, perjuangan bersenjata yang dilakukan secara sporadis di berbagai wilayah tanah air, belum mampu mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Kurangnya entitas persatuan-kesatuan bangsa, dan belum terorganisasinya kelompok-kelompok perjuangan saat itu, membuat berbagai bentuk perlawanan mudah dipatahkan.

Bangkitnya kesadaran atas kesatuan kebangsaan dan nasionalisme yang dirintis oleh Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908, kemudian menjadi inspirasi bagi munculnya organisasi perjuangan lainnya, di antaranya Jong Ambon (1909); Jong Java dan Jong Celebes (1917); Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, disusul Muhammadiyah pada tahun 1912, Nahdlatul Ulama 1926, dan Partai Nasional Indonesia 1927.

Mahasiswa Kaum Intelektual?

Oleh sejarah tersebutlah maka hingga kini mahasiswa dicap oleh masyarakat sebagai kaum intelektual. Akan tetapi, melihat tingkah serta aksi yang kini dipertunjukkan oleh sekelompok mahasiswa dalam menyampaikan aspirasi baik itu melalui orasi, yel-yel, teatrikal, hingga berujung terhadap tindakan anarkis seperti bentrokan dengan aparat kepolisian serta pengrusakan fasilitas negara dan mengganggu ketertiban umum. Benarkah mahasiswa kita sekarang masih mengemban amanat oleh kelompok Boedi Oetomo sebagai kaum terpelajar atau intelektual?

Sangat riskan apabila kini kita memandang mahasiswa sebagai kelompok kaum intelektual. Hal ini mengingat aksi yang sering mereka lakukan dengan tidak menggunakan akal sehat dan logika berfikir, bukankah kaum intelektual selalu menggunakan akal dan logika ketimbang mengedepankan aksi kekerasan?. Tindakan anarkis yang acapkali dipertontonkan oleh beberapa kelompok mahasiswa baik melalui media elektronik maupun media cetak, sungguh memprihatinkan mengingat semakin tumbuh suburnya budaya kekerasan dalam dunia pendidikan di republik ini.

Mahasiswa, pada umumnya adalah cikal bakal pemimpin negeri ini. Bagaimana mungkin calon pemimpin selalu diselimuti oleh aksi kekerasan dan mengacuhkan paradigma berfikir dan etika moral sebagai kaum intelektual. Bagaimana jadinya apabila pemimpin dengan jiwa kekerasan tersebut kelak menjadi panutan oleh rakyatnya, tentu kehancuranlah yang akan terjadi di negeri ini.

Mahasiswa Vs Polisi

Setiap aksi yang di gelar oleh sekelompok mahasiswa untuk memperjuangkan aspirasinya, tentu haruslah terlebih dahulu mendapat izin dari pihak kepolisian agar mendapat mengawalan aparat keamanan tersebut. Hal ini pun ditujukan agar dalam setiap pergelaran aksinya, sekelompok mahasiswa tersebut tidak mengganggu ketertiban umum. Akan tetapi, ironisnya antara mahasiswa dengan pihak kepolisian bukanlah menjadi mitra dalam menjaga ketertiban melainkan perseteruanlah yang sering terjadi.

Mahasiswa merupakan bagian dari masyarakat. Sedangkan pihak kepolisian sebagaimana yang kita ketahui merupakan mitra, pengayom, serta pelindung masyarakat. Sudah barang tentu juga, meskipun kelompok mahasiswa melakukan tindakan anarkis, pihak kepolisian jangan sampai terbakar emosi dalam mengawal setiap aksi mahasiswa tersebut. Justru itulah tugas seorang aparat keamanan dalam mengawal ketertiban umum, bukan sebaliknya melakukan aksi balas kekerasan.

Apabila mahasiswa yang telah lebih dahulu terbakar luapan emosinya, ditambah lagi oleh pihak kepolisian dengan emosinya dalam menghalau para mahasiswa. Maka, berbagai tindakan anarkis dari mahasiswa dan kepolisian tidak dapat terhindarkan lagi. Siapakah yang dirugikan?. Jawabannya tentu saja semua pihak dan terutama masyarakatlah yang merasa dirugikan akibat ulah yang tidak mengunakan pola berpikir yang sehat dan hanya mementingkan aksi egoisme dan kekuatan otot.

Masyarakat kita tentu telah muak dengan apa yang telah dipertunjukkan oleh sekelompok mahasiswa di Indonesia dengan berbagai atribut bahkan dengan membawa nama agama. Para mahasiswa dengan suara lantangnya berteriak “ingin membela kepentingan masyarakat”. Akan tetapi, apabila kita renungi bahwa apa yang para sekelompok mahasiswa lakukan tersebut hanyalah merupakan kepentingan kelompok tertentu dan bukan dengan tujuan mulia membela kepentingan masyarakat. Bahkan untuk dapat menggerakkan aksi kelompok mahasiswa tersebut, cukup dengan iming-iming uang dan kedudukan, maka segera bergeraklah para sekelompok mahasiswa untuk melakukan aksinya. Melihat aksi yang bisa dibeli tersebut, dapatkah kita kembali mencap mahasiswa sebagai kaum intelektual di masyakat kita kini?

Rasanya terlalu berlebihan apabila cap kaum intelektual melekat dipundak sekelompok mahasiswa yang menggelar berbagai aksi demonstrasi secara brutal dan anarkis. Sebab, aksi mahasiswa telah banyak merusak fasilitas umum, membakar alat perlengkapan negara, dan yang lebih keji membakar serta mencemohkan lambang negara berupa poster, foto, atau atribut Presiden dan Wakil Presiden. Apakah kaum intelektual tidak tau atau tidak mengetahui yang mana bersifat demokrasi sesuai konstitusional dan mana yang bersifat demokrasi dengan merusak tatanan, keamanan, dan integritas negara?

Padahal dalam hukum pidana kita telah termaktub bahwa dapat dikatakan kejahatan dan diancam dengan pidana, apabila melanggar martabat Presiden dan Wakil Presiden. Tidak hanya itu saja, sekelompok mahasiswa di republik ini haruslah menyadari bahwa aksi-aksi anarkis yang mereka pertontonkan tersebut, tentunya dapat merusak dan tersendatnya pembangunan perekonomian kita. Bagaimana jadinya, apabila disetiap waktu selalu terjadi kericuhan antara mahasiswa dengan pihak kepolisian. Melihat kondisi ini tentu saja para investor-investor luar negeri yang hendak menanamkan modalnya guna mencapai pertumbuhan dan membuka lapangan pekerjaan kepada masyarakat kita harus berfikir dua kali untuk mengucurkan dananya tersebut.

Para kaum intelektual haruslah memikirkan segala tindakan dengan akibat yang bakal ditimbulkan. Bukan sebaliknya, melakukan segala tindakan dengan tidak memikirkan dampak yang akan terjadi dan lebih mementingkan egoisme dan luapan emosi semata. Apabila para mahasiswa mengedepankan pola fikir dan memikirkan akibat yang bakal terjadi dalam berbagai tindakan, maka pantaslah mahasiswa tersebut mendapat cap sebagai kaum intelektual.

Mahasiswa haruslah menjadi bagian dari masyarakat dan menjadi mitra kepolisian untuk menciptakan iklim ketertiban dan keamanan di negeri ini agar manjadi semakin kondusif. Selaiknya apa yang telah diperjuangkan oleh kaum mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Boedi Oetomo satu abad silam dapat menjadi cerminan kepada sekelompok mahasiswa kita kini agar dapat menjadi kaum intelektual yang selalu diandalkan oleh masyarakat dan menjadi cikal bakal pemimpin negeri ini.

Minggu, 07 Maret 2010

(Pidato SBY tentang Putusan Pansus Century) Kebijakan yang tidak Bijak

Oleh: Andryan, SH


Pidato yang disampaikan Presiden SBY sehari setelah hasil sidang paripurna terkait hasil putusan pansus skandal century sungguh menyesakkan dada rakyat Indonesia. Mengapa tidak, dengan berdiri di atas podium istana negara, seolah SBY ingin menggunakan kekuasaannya untuk memutarbalikkan fakta-fakta yang telah di usut secara mendalam pada saat panitia khusus bank century memeriksa para saksi yang terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam pengambil putusan bailout bank century.

Setidaknya pidato SBY tersebut tidaklah dibilang tepat dan hanya menimbulkan perseteruan antara eksekutif dengan legislatif saja, meskipun apa yang telah disampaikanya guna bertujuan untuk mempertahankan pemerintahan lima tahun mendatang. Akan tetapi, jikalau pemerintahan SBY menilai bahwa kebijakan talangan dana bank century dikatakan tepat, mengapa sebelum jauh hari dibentuknya panitia angket skandal century SBY enggan mengatakan bahwa ia mendukung atas kebijakan yang di ambil secara bersama oleh ketua KSSK Sri Mulyani dan Gubernur BI saat itu Boediono tersebut? Sikap inilah yang dapat kita katakan bahwa SBY hanya mengelabui rakyat untuk mendukung kebijakannya atau lebih mendukung opsi A pada sidang paripurna putusan akhir pansus tersebut.
Kebijakan tidak Bijak
Dalam pidato SBY tersebut, terungkap bahwa ia sebenarnya mendukung kebijakan bailout bank century. Menurut pandangan SBY, penyuntikan dana talangan bank century tersebut tidak lain adalah guna menyelamatkan perekonomian negara dari ancaman krisis global pada tahun 2008 silam. Tidak hanya itu, secara mengejutkan beliau juga mengatakan uang negara untuk pendanaan bank century tidak dapat menimbulkan kerugian keuangan negara. Benarkah demikian?

Pada pergelaran pansus kasus bank century beberapa waktu di gedung dewan, banyak para ahli ekonomi yang bertindak sebagai saksi maupun keterangan ahli mengatakan bahwa bank century adalah bank kecil yang mana keberadaannya dalam perekonomian negara tidaklah dapat menimbulkan efek yang sangat berarti dan tidak berdampak sistemik. Hal ini tentu saja berbeda pandangan dengan Boediono yang mana terlibat secara langsung dalam kebijakan bailout bank century. Boediono mengatakan bank century diibaratkan sebagai rumah perampok yang terbakar pada sebuah kampung yang rentan akan bahaya api sehingga harus diselamatkan agar tidak menjalar ke rumah lainnya. (Harian Analisa, 06/03/10).

Melihat sikap Boediono yang mengatakan bahwa rumah perampok yang terbakar tersebut harus diselamatkan agar tidak menjalar ke rumah lainnya dapat dikatakan sebagai sikap yang tidak menggunakan logika. Sebab, kebijakan mengelontorkan uang rakyat ke rumah perampok tersebut kurang bijak. Sebagaimana yang kita ketahui, hingga kini potret buramnya kemiskinan, kebodohan, kurangnya mendapatkan kesehatan yang layak, serta jauh daripada kesejahteraan sangat dirasakan oleh sebagian rakyat republik ini.

Bagaimana mungkin, uang yang dari rakyat tersebut mengalir begitu saja ke rumah perampok. Setidaknya, apakah pejabat kita saat itu tidak dapat menggunakan cara yang lebih bijak dalam menyelamatkan rumah perampok agar tidak menjalar ke rumah rakyat lainnya? Memberikan uang rakyat secara jor-joran, yang mana rakyat kita masih sangat membutuhkan dana sebesar itu bukanlah merupakan kebijakan yang dapat dikatakan bijak dan lebih tepat sebagai sikap yang tidak berpihak terhadap kepentingan rakyat.

Tidak Dapat ke Jalur Hukum?

Pada kesempatan berpidato itu juga, SBY tidak lupa mengingatkan kepada publik dan terlebih kepada lawan politiknya, bahwa kebijakan penyelamatan bank century dengan menyuntikan dana Rp. 6,7 Triliun tidak dapat dibawa ke jalur hukum untuk diproses secara mendalam. Padahal banyak kasus tentang kebijakan pejabat dapat di pidana sesuai koridor hukumnya. Burhanuddin Abullah yang ketika itu menjabat sebagai Gubernur BI terseret kasus hukum dan dijebloskan ke sel tahanan, mengapa? Sebab, Gubernur BI saat itu membuat kebijakan yang menyalah dengan kasus BLBI. Padahal Burhanuddin Abdullah sama sekali tidak menikmati uang hasil penyuntikkan dana tersebut.

Tidak hanya itu, besan SBY sendiri yakni Aulia Pohan juga terlibat skandal BLBI dengan secara tidak langsung membuat kebijakan BLBI, yang mana pada saat itu ia menjabat sebagai Deputi Gubernur BI. Melihat beberapa contoh pejabat kita yang terseret kasus hukum akibat membuat kebijakan tersebut, tentu dapat menjadi acuan bahwa skandal bank century yang mirip dengan skandal BLBI tersebut dapat diproses secara hukum.

Proses hukum bank century seyogyanya juga dapat dibawa ke ranah hukum pidana. Sebab, apabila proses hukum tersebut dibawa ke pranata impeachment, maka banyak proses yang harus dilalui dan publik harus menggigit jari menatap perdebatan politik yang sangat panjang dan penuh dengan intrik dan muatan politis belaka. Berbeda halnya apabila kasus ini dibawa ke ranah hukum pidana, pihak manapun tidak dapat mengintervensi proses yang menjadi kewenangan yudikatif.

Menanti Sikap Ksatria Pejabat

Terseretnya ketua KSSK Sri Mulyani dan mantan Gubernur BI Boediono dalam keterlibatan kebijakan bailout century cukup menyita perhatian publik beberapa bulan belakangan ini. Bahkan, pansus hak angket bank century telah secara terang-terangan dan dengan lantang menyebutkan kedua pejabat tersebut turut bertanggungjawab atas pengucuran dana yang tidak wajar tersebut. Melihat adanya tekanan politik yang semakiin deras, wajar apabila Presiden SBY melalui pidatonya membela keberadaan Sri Mulyani dan Boediono agar tetap menjalankan tugasnya dalam pemerintahan sebagai Menteri Keuangan dan Wakil Presiden.

Bahkan, wakil presiden Boediono juga melalui siaran pers mengatakan ia akan tetap menjalankan amanat yang diberikan rakyat kepadanya dengan tidak mau lari dari tanggungjawabnya. Tapi, apakah sikap pertanggungjawaban harus dengan menjalankan jabatannya?. Apabila kasus skandal bank century yang telah disepakati oleh pansus telah masuk ranah hukum pidana, maka secara otomatis Sri Mulyani maupun Boedino telah berstatus sebagai tersangka, yang mana sebelumnya akan ditetapkan sebagai saksi. Alangkah lebih ksatrianya kedua pejabat ini jika lebih memilih secara inisiatif melepaskan jabatannya sementara waktu hingga proses hukum yang menimpa mereka telah selesai dijalani.
Hingga kini sangat sulit untuk melihat pejabat di republik ini agar dengan sukarela melepaskan jabatannya dikarenakan terlibat kasus hukum. Negeri kita memang begitu banyak menyimpan para pejabat yang hanya berani berlindung dibalik jabatannya. Jikalau Sri Mulyani dan Boediono dengan berinisiatif mengundurkan diri, pastinya publik yang akan menilai bahwa kedua pejabat dengan latar belakang ekonomi tersebut memiliki sikap ksatria dan tidak mementingkan kepentingan pribadi.

Berbeda halnya apabila dikemudian hari kedua pejabat ekonomi tersebut diturunkan secara paksa, maka rakyat akan memandang rendah pejabat tersebut. Dengan kata lain, turun tahtahnya secara paksa kedua pejabat tersebut akan mencoreng jasa-jasanya yang begitu besar terhadap pembangunan negeri ini.

Semoga di kemudian hari pejabat kita dapat memimpin rakyatnya dengan membuat kebijakan yang bijak dan lebih mementingkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan. Terlebih lagi, proses hukum kasus bank century tidak dipolitisi dan tidak di intervensi oleh pihak-pihak tertentu. Hukum harus tetap menegakkan panji keadilannya. Jika Boediono maupun Sri Mulyani ditetapkan bersalah dalam membuat kebijakan bank century, maka presiden SBY harus lebih bijak menanggapinya dan menerima putusan tersebut. Akan tetapi, jika kedua pejabat tersebut melalui proses-proses pembuktian di pengadilan tidak terbukti bersalah, maka para politisi jangan membuat arus perpolitikan di negeri ini menjadi semakin kacau. Semoga..!!