Kamis, 15 Oktober 2009

Menanti Sikap Politik PDI-P : Koalisi atau Oposisi?

Oleh: Andryan, SH

Desas-desus mengenai arah politik yang akan ditempuh partai nan sarat dengan kata lantang yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) masih menimbulkan pertanyaan besar baik oleh para kader/simpatisan maupun para seterunya. Apakah partai berlambang moncong putih itu akan meneruskan sikap lantangnya terhadap kebijakan oleh pemerintah atau malah mendukung penuh arah kebijakan pemerintah tersebut, inilah nuansa politik yang kian hari kian panas guna mencapai tambuk kekuasaan belaka.


Sebelumnya banyak kalangan yang menilai bahwa sejak kekalahan PDI-P baik pada pemilu legislatif maupun pemilu presiden silam, akan dapat memecah belah partai titisan Megawati Soekarnoputri tersebut. Kemudian para pimpinan internal partai juga banyak yang menilai telah jenuh untuk terus ber-oposisi dan mereka ingin ada kadernya duduk di kursi kabinet pemerintah kelak. Malahan isu-isu yang bekembang hangat belakang ini juga telah memberitakan sekjen PDI-P Pramono Anung akan di rekrut oleh Presiden terpilih Soesilo Bambang Yudhoyono untuk mengisi pos kabinetnya kelak.


Sangat disayangkan apabila kelak haluan politik PDI-P menjalin koalisi dengan pemerintah, sebab sebelumnya banyak partai politik telah menjalin koalisi dengan pemerintah. Bahkan, partai berlambang pohon beringin Golkar telah menyatakan dengan tegas akan mendukung penuh pelaksanaan kebijakan pemerintah mendatang. Lantas, jika semua partai politik termasuk juga PDI-P ber-koalisi dengan pemerintah, siapakah yang akan mengontrol setiap kebijakan pemerintah? Memang dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia peran sebagai pengontrol atau mengawas setiap langkah kebijakan pemerintah/eksekutif ada di tangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tapi, apakah ke depannya fungsi DPR sebagai controlling dapat berjalan efektif? Hal ini mengingat kurang lebih 80% kursi di anggota dewan lebih berpijak terhadap pemerintah yang notabene telah menjalin koalisi besar.


Sudah bukan rahasia lagi bahwa PDI-P dikenal sangat lantang dan anti pemerintah yang merupakan seteru abadinya di bawah panji Partai Demokrat pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Awal perseteruan antara PDI-P dengan Partai Demokrat kian memanas sejak SBY keluar dari kabinet Megawati sebagai Menko Polhukam yang kemudian akhirnya SBY mencalonkan diri sebagai calon presiden pada tahun 2004 silam. Sejak saat itu antara hubungan Megawati dengan SBY berbalik seratus delapan puluh derajat hingga keduanya jarang terlibat pembicaraan bahkan ketika keduanya berjabat tangan pun pada pemilu presiden 2009 masih menunjukkan sikap dingin antara keduanya. Celakanya, meskipun dalam suatu forum terlihat dingin, tapi di belakang forum antara keduanya saling menjatuhkan dan membunuh karakter satu sama lainnya. Hal inilah yang semakin memperuncing hubungan politik antar elit tersebut.


Perseteruan antara SBY tidak hanya pada ketua umum PDI-P, Megawati saja. Melainkan juga sikap dewan pertimbangan partai yang merupakan suami Megawati, Taufik Kiemas juga tidaklah dikatakan bersahabat. Pada saat SBY keluar dari kabinet Megawati tersebut, Taufik Kiemas secara mengejutkan mengkritik SBY dengan menyebutkan bahwa “SBY adalah Jenderal yang kekanak-kanakan”. Untung saja SBY ketika itu tidak menunjukkan respon terhadap kritikan Taufik Kiemas, yang mana sikap diam SBY tersebut membawanya popular dengan merebut hati jutaan rakyat Indonesia dan SBY pun memenangkan pemilu presiden 2004 dan berhak mengukir sejarah dengan mencatatkan tinda emas sebagai pemimpin pilihan rakyat pertama secara langsung. Kemenangan SBY pada pemilu 2004 tentu saja membuat lawan politik SBY menjadi semakin memanas, terutama Megawati yang pada sebelumnya “sakit hati” akibat ulah SBY.


Pada awal kepemimpinan SBY sejak terpilihnya ia sebagai presiden secara langsung oleh rakyat tahun 2004, sangat diwarnai oleh banjirnya kritikan pedas oleh seterunya. Meskipun Megawati yang terlebih dahulu dikenal bersikap dingin terhadap SBY tetapi ia tidaklah segencar Amien Rais dalam memberikan kritik terhadap arah kebijakan pemerintahan SBY. Amien Rais yang juga lawan politik SBY ketika berhadapan pada Pilpres 2004, sangat bertentangan arus dengan kebijakan SBY. Padahal pada putaran kedua Pilpres tersebut, partai besutan Amin Rais yakni Partai Amanat Nasional (PAN) telah menjalin koalisi dengan partai Demokrat besutan SBY. Pada formasi kabinet SBY pun banyak kader PAN mengisi pos sebagai anggota dewan Menteri, tapi sikap Amien Rais yang kontra dengan pemerintah cukup diacungi jempol. Hal ini tentu saja agar pemerintah dalam membuat kebijakannya selalu berpijak terhadap keadilan dan kesejahteraan rakyat.


Tapi, sejak kritikan Amin Rais terhadap SBY yang mengatakan ia menerima kucuran dana kampanye dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) sungguh di luar dugaan. SBY sangat marah mendapatkan kritikan yang mana ia menyebutnya sebagai perbuatan “fitnah”. Untuk itu SBY pun mengadakan konferensi pers secara langsung untuk menjawab fitnah yang dilayangkan kepadanya. Lalu, SBY mengadakan pertemuan tertutup dengan Amien Rais yang menurut info saat itu pertemuan itu bermaksud untuk menjalin silatuhrahmi antar kedua elit politik tersebut. Pertemuan antara SBY dengan Amien Rais tidaklah berlangsung lama hanya kurang lebih 10 menit. Tapi, sejak pertemuan itu sikap Amien Rais berubah seratus delapan puluh derajat. Amien Rais tidak pernah lagi mengeluarkan kritikan terhadap kebijakan pemerintahan SBY hingga saat ini. Tentu saja kita bertanya-tanya ada apa dengan pertemuan singkat tersebut?.


Pada saat pemilu 2009, Amien Rais tidak mencalonkan diri sebagai Presiden tapi ia malahan mendukung SBY untuk maju sebagai calon Presiden incumbent. Untuk itu ia merekomendasikan agar PAN dapat menjalin koalisi dengan partai Demokrat. Padahal ketua umum PAN Soetrisno Bahir ingin mencalonkan diri sebagai calon presiden ketika itu. Hal ini tentu saja membuat hubungan Amen Rais dengan Soetrisno Bahir agak renggang dengan berbeda haluan.


Lawan jadi Kawan?


Seperti halnya nuansa politik yang selalu memainkan peran memanas untuk mencapai tambuk kekuasaan. Politik yang di perankan oleh para elit pun selalu tidak dapat di prediksi. Politik selalu mempunyai kata serapah yakni “kawan bisa jadi lawan dan lawan pun bisa menjadi kawan”. Kata tersebut selalu dapat menjadi kenyataan dalam berpolitik. Amein Rais yang dahulunya merupakan lawan politik SBY hingga kini berubah haluan menjadi kawan SBY dengan memberikan dukungan kepadanya. Lalu setelah Amien Rais, kini nampaknya lawan politik SBY yang diproyeksikan akan dapat menjadi kawan yakni penasihat PDI-P Taufiq Kiemas yang juga merupakan suami dari mantan Presiden ke- 5 R.I. Megawati Soekarnoputri.


Taufik Kiemas yang dahulu pernah mengejek SBY dengan mengatakan “SBY adalah Jenderal kekanak-kanakan”, kini seakan telah meninggalkan ucapannya dan segera menjadi mitra SBY. Bahkan, Taufiq Kiemas pun telah mendatangi kediaman SBY di Ciekeas guna memberikan undangan pada pelantikan Presiden terpilih 2009. Pada kesempatan itu juga Taufiq Kiemas meyakinkan SBY bahwa Megawati akan dijadwalkan untuk menghadiri acara pelantikkan tersebut. Jikalau Megawati datang pada pelantikkan SBY kelak tentu saja ini sangat menarik, sebab telah satu periode SBY menjabat sebagai Presiden R.I. baik pada acara kenegaraan maupun acara resmi lainnya, Megawati tidak menampakkan dirinya hadir pada acara resmi kenegaraan meskipun ia telah diundang. Apakah jikalau dengan hadirnya Megawati pada pelantikan SBY kelak akan menjawab pertanyaan publik bahwa kubu PDI-P telah menjadin koalisi dengan pemerintah?.


Kita sebagai bangsa yang telah menerapkan Negara kesatuan sebagai sistem Negara tentu sangat senang apabila elit politik yang sebelumnya menjadi lawan kini dapat menjadi kawan dalam membangun dan menjalankan pemerintahan negara. Akan tetapi, apabila tidak adanya partai oposisi di tambah lagi anngota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang berlabuh mendukung pemerintahan, apakah sesuai dengan sistem presidensial yang kita anut. Yang mana pada sistem tersebut, pengawasan terhadap jalannya pemerintahan dilakukan oleh DPR maupun partai oposisi. Semoga sikap PDI-P yang berhaluan keras terhadap pemerintah dapat dipertahankan guna efektifnya tugas dan fungsi pemerintah kelak.