Kamis, 07 Januari 2010

Mengukur Efektivitas Wakil Menteri


Oleh: Andryan, SH

Presiden sebagai kepala negara dan penyelenggara pemerintahan negara kini semakin meringankan bebannya dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini terlihat jelas dengan diangkatnya pembantu presiden secara tidak langsung yakni wakil menteri. Sesuai dengan apa yang telah diumumkan presiden pada saat mengawali pengumuman anggota kabinet beberapa waktu lalu. Presiden berdalih bahwa penetapan beberapa wakil menteri dipandang sangat diperlukan untuk mendampingi menteri-menteri tertentu yang memiliki beban tugas lebih. Penetapan wakil menteri tersebut berdasarkan dua syarat utama. Pertama, mengacu Undang-Undang No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan Perpres No. 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, artinya dasar hukum tersebut lah menjadi dasar yang memungkinkan presiden bisa mengangkat wakil menteri. Kedua, karena kebutuhan yang membutuhkan penanganan khusus.


Kini, presiden SBY memlilih kembali lima wakil menteri dan satu sekretaris kabinet untuk melengkapi susunan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Pos departemen yang di isi oleh wakil menteri yakni, Departemen Keuangan, Perencanaan Pembangunan Nasional/ Bappenas, Departemen pendidikan nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanahan.


Sebagaimana yang kita ketahui juga bahwa sebelumnya pada novermber 2009, presiden sudah mengangkat lima wakil menteri untuk pos departemen tertentu yaitu Departemen Pertanian, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Perdagangan, dan Departemen Perindustrian. Dengan demikian, maka sepuluh wakil menteri dan satu sekretaris kabinet telah diangkat oleh presiden. Tentu saja kita terkejut melihat banyaknya wakil menteri yang diangkat dan hal ini pun tidak selaras dengan apa yang telah di umumkan oleh presiden SBY beberapa waktu lalu yang akan hanya mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu jika dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan khusus. Kementerian tertentu tersebut tidak lain adalah enam departemen yang saat ini sedang dipersiapkan wakil menteri oleh presiden masing-masing Deptan, Perindustrian, Depkeu, Depkes dan Depdiknas.


Lantas, di luar perkiraan publik presiden justru mengangkat wakil menteri lebih dari yang telah diumumkannya. Rakyat tentu saja ribut dan menyoalkan pengangkatan wakil menteri tersebut, sebab hal pembebanan keuangan wakil menteri tersebut pastinya juga menggunakan uang rakyat. Rakyat yang seyogyanya memerlukan kesejahteraan hidupnya justru ditelantarkan dengan adanya bagi-bagi jabatan tersebut dan pemborosan keuangan negara.


Mengukur Efektivitas


Ketentuan dalam UU No. 39 Tahun 2008, menyatakan wakil menteri sebenarnya adalah pejabat karier yang professional yang sudah harus pada jabatan struktural eselon 1A dan bukan kalangan dari partai politik. Oleh sebabnya, maka wakil menteri yang terpilih merupakan orang yang telah diakui baik kapabilitasnya maupun integritasnya. Memang pada dasarnya pengangkatan wakil menteri sedikit banyak dapat membantu para menteri dalam menjalankan tugasnya memimpin departemen. Akan tetapi, pengangkatan wakil menteri tersebut banyak menimbulkan tidak adanya efektivitas dalam memangku jabatan pemerintahan.


Pertama, bagi para menteri yang diplot sebagai seorang professional, tentu dalam menjalankan tugasnya sebagai pembantu presiden dan pemimpin departemen/kementerian negara, menteri tersebut tidak lah terlalu membutuhkan wakil menteri. Menteri memang mempunyai beban yang sangat berat dalam membantu presiden menyelenggarakan pemerintahan negara. Oleh sebab begitu kompleksnya dan rumitnya tugas menteri, maka pada saat rekrutmen calon menteri diseleksi tidak hanya berdasarkan track recordnya dalam memimpin pos tertentu, tapi juga diperiksa kondisi fisiknya dan psikologisnya. Dari pemeriksaan secara intensif itulah diketahui apakah para menteri pantas atau tidak dalam mengemban dan menjalani jabatannya.


Kedua, tidak adanya mekanisme kerja yang jelas terhadap wakil menteri. Para wakil menteri tersebut diangkat oleh presiden dengan mengacu Pasal 10 UU No.39 Tahun 2008 tentang Kementrian Negara “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu”. Dengan ketentuan tersebut sangat jelas bahwa inisiatif pengangkatan menteri datang dari presiden bukan dari para menterinya. Hal ini tentu mengundang tanda tanya kepada kita, bagaimanakah mekanisme kerja para wakil menterinya?


Wakil menteri tentu berbeda dengan pejabat-pejabat di lingkungan departemen yang dipimpin oleh para menteri. Wakil menteri dapat dikatakan sebagai orang nomor dua setelah menteri dan secara otomatis dapat bertindak diatas seorang sekretaris jenderal. Lantas, melihat keadaan demikian apakah wakil menteri dapat sewaktu-waktu bertindak sebagai menteri manakala para menterinya berhalangan? Lalu, apakah wakil menteri dapat membuat kebijakan untuk pos departemen? Padahal apabila kita mengacu secara konstitusional, maka wakil menteri tidaklah termasuk dalam anggota kabinet. Kemudian sebagai wakil menteri, apakah agenda kerja datang dari para menteri atau dari presiden sebagai pihak inisiatif yang mengangkatnya. Jika agenda kerja datang dari presiden, maka antara menteri dan wakil menteri tidak memiliki sinkronisasi dalam menjalankan pos departemen.


Ketiga, wakil menteri sebenarnya di luar konteks organisasi kementerian. Sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 9 UU No.39 Tahun 2008, pada bagian susunan organisasi kementerian negara terdiri yakni, a. pemimpin, yaitu Menteri; b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal; c. pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat jenderal; d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal; e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat; dan f. pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jadi, sangat jelas bahwa wakil menteri tidak termasuk dalam organisasi kementerian negara dan yang lebih pantas dalam membantu menteri adalah sekretaris jenderal yang secara eksplisit sebagai wakil/pembantu pimpinan (menteri).


Keempat, sebenarnya semua menteri di departemennya masing-masing telah memiliki direktorat jenderal dan deputi yang secara teknis operasional berfungsi sebagai wakil menteri dengan memiliki agenda kerja yang jelas. Sehingga tanpa wakil menteri pun sudah memadai. Namun, kalau presiden merasa kinerja departemen bersangkutan belum optimal dengan perangkat yang ada berarti ada kebutuhan terhadap wakil menteri. Sehingga jabatan itu harus diadakan. Akan tetapi, kebijakan untuk mengangkat seorang pejabat secara otomatis menimbulkan biaya yang sangat besar.


Padahal beberapa waktu lalu untuk biaya transportasi para menteri saja telah menelan biaya puluhan miliar rupiah. Bagaimana jadinya bila pejabat di lingkungan kementerian ditambah, pastinya juga pejabat tersebut memerlukan biaya taktis, tunjangan, serta operasional untuk menunjang tugasnya. Hal inilah yang semakin membuat keuangan negara terkuras dengan pembiayaan yang tidak efektivitas dan tidak tepat sasaran, dibandingkan dengan mengoptimalkan para pejabat di lingkungan departemen/kementerian seperti sekretaris jenderal, direktorat jenderal; ataupun inspektorat jenderal daripada mengangkat para pejabat baru.


Pemerintahan gemuk


Dengan diangkatnya beberapa wakil menteri pada pos kementerian tertentu dan seorang sekretaris kabinet, tentu saja membuat lembaga pemerintahan tersebut semakin gemuk. Selain para wakil menteri yang ada pada lembaga kepresidenan tersebut, ada juga beberapa staff-staff khusus kepresidenan, dan dewan pertimbangan presiden. Jikalau pengangkatan para personil pemerintahan tersebut ditunjang dengan integritas, kapabilitas, serta memiliki agenda kerja yang jelas, tentu kita dapat mendukung kebijakan para pemimpin yang mengangkat tersebut. Akan tetapi, bila dikemudian hari para personil tersebut jauh dari apa yang diharapkan dan tidak diberdayakan secara optimal, tentu keuangan negara semakin terkuras.