Jumat, 25 Desember 2009

Peranan Advokat Sebagai Penegak Hukum


Oleh: Andryan, SH

Perseteruan antara cicak dan buaya beberapa waktu lalu telah membuka mata kita akan bobroknya penegakan hukum selama ini. Maka, program ganyang mafia peradilan dalam 100 hari pemerintahan SBY pun dideklarasikan. Reformis terhadap lembaga penegak hukum yang disinggung melekat terhadap lembaga Kejaksaan dan Kepolisian yang semakin hari semakin disorot oleh publik akibat penanganan berbagai kasus hukum yang tidak sesuai hati hurani dan rasa keadilan masyarakat. Tapi, apabila program ganyang mafia peradilan tersebut hanya melibatkan kedua lembaga penegak hukum tersebut, rasanya agak kurang lengkap apabila tidak mengikutsertakan reformasi kepada lembaga penegak hukum lainnya seperti Pengadilan (Hakim, Panitera, pegawai pengadilan) serta Advokat (Kepengacaraan).


Advokat merupakan satu-satunya penegak hukum yang statusnya bukan penyelenggara negara, yang mana hak keuangannya tidak dibebankan kepada APBN. Tapi, peranan advokat dalam menegakkan hukum dapat disejajarkan dengan hakim maupun jaksa. Sebagaimana termaktub dalam UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, menyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum. Artinya, seluruh pelayanan, tindakan, dan bahkan tingkah laku advokat adalah dalam rangka atau sebagai penegak hukum. Sebagai penegak hukum tidak berarti advokat kebal hukum karena semua warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum. Namun, dengan pernyataan yang demikian menjadikan profesi advokat menjadi jelas dan tegas statusnya khususnya jika berhubungan dengan aparatur penegak hukum yang lain, seperti peyidik, penuntut umum, dan hakim. Dengan kata lain, secara formal telah diakui bahwa advokat adalah bagian dari sistem peradilan pidana.


Selama ini dalam sistem hukum kita terlihat semakin parah karena praktik-praktik curang dalam menangani proses hukum justru dilakukan secara sistematis oleh para aparat penegak hukum itu sendiri dan mereka dikenal dengan sebutan “mafia peradilan”. Sedangkan praktek-praktek koruptif yang sering mereka lakukan dapat dikategorikan sebagai “Judicial Corruption”, dan disimpulkan bahwa judicial corruption terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat/ pengacara dan hakim). Tidak dapat dipungkiri bahwa advokat pun secara langsung maupun tidak langsung turut menciptakan terjadinya mafia peradilan dan judicial corruption. Padahal dapat dipastikan bahwa posisi advokat dalam sistem hukum kita mempunyai peran yang vital dan krusial karena hanya advokat lah yang memiliki akses menuju keadilan dan penghubung antara masyarakat dengan negara melalui institusi hukumnya.


Namun yang terjadi adalah bahwa sekarang profesi advokat lebih dikenal sebagai “broker” atau calo perkara yang berdiri tepat di antara kliennya dan aparat penegak hukum (hakim, jaksa dan polisi) sebagai pembeli dan penjual keadilan. Peran advokat yang seharusnya memberikan jasa hukum dan mewakili kliennya perlahan diganti dengan peran “mendekati” aparat penegak hukum agar perkara yang ditanganinya dapat dimenangkan dengan cara apapun. Advokat yang seharusnya berperan secara konsisten menjembatani kepentingan masyarakat dalam sistem peradilan, justru turut terlibat dan menjadi bagian dari mafia peradilan dan Judicial Corruption.


Maka, tidak heran selama ini suap-menyuap atau sogok-menyogok menjadi panorama dan praktik umum. Para pelaku pelanggaran hukum atau kejahatan dapat menikmati vonis bebas atau keringanan hukuman yang menguntungkan dengan praktik dalam penyelesaian perkara seperti itu. Kendati korupsi dan sogok-menyogok adalah kejahatan atau tindak pidana, tapi ironisnya para hakim dan jaksa maupun advokat yang diduga kuat terlibat praktik penyogokan, lebih sering justru menikmati pembebasan dan proses hukum.


Disamping sebagai jabatan mulia (officium nobile) yang melekat dipundak profesi advokat, juga tidak lupa kita memandang advokat selama ini sebagai profesi yang membuat penegakan hukum di republik ini menjadi semakin buram. Oleh karenanya, tidak heran bila di Indonesia mulai ada julukan “maju tak gentar membela yang bayar”, sedangkan advokat di Amerika Serikat juga mempunya julukan yang secara subtansial serupa. Misalnya sebutan super lawyer yaitu firma-firma hukum yang kuat di Washington, dicurigai dapat mengendalikan negara dan mewakili kliennya yang besar, yang jahat. Ke bawah lagi, ada shyster yaitu advokat yang tidak etis dan licik; ambulance chaser yaitu Advokat yang menggaet klien dengan cara membujuk korban kecelakaan agar menuntut ganti rugi, jadi advokat yang mendorong orang untuk berperkara dan ticket fixer adalah advocat yang menyuap atau menggunakan pengaruh untuk memanipulasi hasil agar terhindar dari hukuman. (Lawrence W.Friedman, Pengantar Hukum Amerika, Sinar Harapan, 2000).


Peranan Advokat


Lalu, bagaimana sebenarnya peranan advokat dalam penegakan hukum? Mengingat selama ini advokat pun secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam praktek mafia peradilan dan judicial corruption. Disinilah peran advokat sangat diharapkan oleh masyarakat luas untuk dapat membantu pemerintah dan masyarakat menciptakan penegakan hukum. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan ikut menentukan kebijakan dalam sistem peradilan mengingat bahwa advokat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan sehingga pandangannya mengenai sistem peradilan itu sendiri harus diperhatikan.


Seperti halnya Kepolisian, kehakiman dan kejaksaan, advokat pada hakekatnya juga mempunyai tugas yang sama yaitu hendak meluruskan hukum, mempertahankannya serta menegakkan hukum dan keadilan. Peranan advokat dalam menegakan hukum tidak dapat dianggap sebelah mata, advokat dapat membantu hakim dalam menemukan kebenaran materil. Advokat juga dapat mengungkap hal-hal yang mungkin belum terungkap dalam mencari fakta persidangan dan memberikan bahan agar hakim didalam memberi putusannya dapat sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.


Advokat juga dapat berperan sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan pengawal hak asasi manusia. Oleh karena itu, tidak heran kalau Shakespeare berkata “Let’s kill all the lawyer” dalam drama cade’s rebellion dimana maksudnya adalah upaya untuk mengubah pemerintahan demokratis ke pemerintahan otokrasi, maka harus menumpas para lawyers dahulu karena mereka dikenal sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia yang akan selalu menentang pemerintahan diktatorial.


Selain itu, advokat juga berperan serta dalam memperjuangkan HAM kliennya dan menjaga kesetaraan antara individu (klien) serta negara. Apapun putusan pengadilan yang sudah final (in kracht van gewijsde), advokat harus menganjurkan kliennya untuk tunduk dan menghormati pengadilan. Memang, advokat harus senantiasa menjaga rahasia klien ataupun mantan kliennya. Namun, kerahasiaan itu gugur ketika ada kewajiban utama terhadap pengadilan, misalnya, melaksanakan putusan pengadilan. Hubungan klien-advokat pun harus berdasarkan kejujuran, keterbukaan, dan transparansi. Kalau klien sudah tidak jujur dan terbuka, niscaya itu merendahkan martabat dan integritas advokat. (Frans H. Winata, Suara Rakyat Hukum Tertingi).


Namun, yang tak kalah pentingnya adalah bahwa peran advokat dalam penegakan hukum tidak akan berjalan baik dan bakal terjerumus dalam lingkaran mafia peradilan apabila tidak dilakukan pengawasan yang ketat dan terus-menerus terhadap perilaku dan etika para advokat. Tugas pengawasan ini merupakan tanggung jawab organisasi advokat karena eksistensi organisasi advokat erat kaitannya dengan sejauh mana fungsi-fungsi advokat dijalankan sesuai dengan profesi tersebut.


Peranan sebagai seorang advokat yang professional haruslah mempunyai komitmen untuk membela kebenaran dan keadilan tanpa rasa takut, yang memiliki pendirian yang teguh berpihak kepada keadilan dan kebenaran serta yang tidak selalu hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Karena itu sudah merupakan kewajiban dan keharusan bagi setiap advokat untuk mendukung dan turut berperan dalam penegakan hukum saat ini.