Sabtu, 26 Juli 2008

Tidak Perlu Adanya UN

Baru saja Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdiknas) mengadakan Ujian Nasional (UN) di sekolah menengah umum (SMU) dan madrasalah aliyah। Dari data yang yang ditemukan badan pengawas ujian nasional (UN) sangat mengejutkan, betapa tidak dari semua sekolah-sekolah peserta UN masih di dapatkan kecurangan baik yang dilakukan oleh siswa maupun dari pihak sekolah seperti guru dan kepala sekolah।

Di lihat dari sudut hukum wajar apabila pelaku kecurangan ditindak pidana, sebab prilaku yang mereka lakukan telah melanggar peraturan perundang-undangan dan juga telah membocorkan rahasia negara yang harus dijaga kerahasiaannya। Akan tetapi apabila kita melihat dari sudut lainnya, sangat di sayangkan apabila mereka dijadikan batu sandungan ketidaklancaran UN. Di lihat dari segi psikologi tidak adanya maksud mereka untuk melanggar aturan negara tersebut, tapi dalam pikiran dan jiwa mereka diselimuti bayangan-bayangan ketakutan, kegelisahan dan kecemasan apabila kegagalan menghinggapi mereka.

Sangat wajar mereka di hinggapi ketakutan dan kegagalan, batapa tidak selama kurang lebih 3 tahun lamanya mereka menempuh pendidikan di bangku sekolahan harus berakhir dengan adanya 3 hari Ujian Nasional (UN)। Jelas hal ini tidak ingin dirasakan oleh kebayakan orang, mereka tidak ingin membuang tenaga, pikiran, waktu serta uang mereka selama tiga tahun lamanya harus berakhir begitu saja.

Benar, untuk memperoleh kelulusan serta keberhasilan harus di sertai keseriusan untuk belajar dan adanya persiapan yang matang menjelang Ujian Nasional (UN). Tapi bagaimana jadinya apabila seseorang yang telah mempersiapkan dirinya kurang lebih selama tiga tahun untuk tekun dan serius belajar tiba-tiba menjelang Ujian Nasional di selenggarakan ia di hinggap keadaan yang tidak memungkinkan mereka untuk dapat tampil maksimal seperti mengalami sakit, kecelakaan, serta defresi menjelang terlaksananya Ujian Nasional (UN) dengan keadaan yang tidak dapat tampil maksimal tersebut seseorang harus gagal selama tiga hari dan merelakan perjuangannya selama lebih kurang tiga tahun lamanya. Sedangkan di tempat lain seseorang yang hanya bermain dan tidak serius untuk belajar dengan kata lain seseorang yang selama kurang lebih tiga tahun selalu mendapat nilai merah di raportnya, tiba-tiba saja lulus.
Tidak adil apabila kita melihat kasus diatas dan pemerintah yang di wakili oleh Depdiknas harus mengkaji ulang dan memikirkan cara-cara yang lebih pantas untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia। Cara dengan menerapkan system Ujian Nasional (UN) sangat tidak pas untuk meningkatkan kualitas SDM lulusan sekolahan. Disamping juga tidak meratanya sarana dan pra sarana di sekolah-sekolah yang ada di wilayah Indonesia.

Menurut penulis sudah saatnya sekolah-sekolah khususnya sekolah tingkat menengah atas (SMU/Sederajat) meniru serta menerapkan sistem SKS (Sistem Kredit Semester) seperti halnya yang telah diterapkan di Perguruan Tinggi atau bangku kuliahan। Dengan menerapkan system ini sangat adil rasanya melihat perjuangan antara siswa yang tekun/rajin dengan siswa yang malas. Disamping juga akan melahirkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas dan bisa diandalkan untuk negeri ini.

Sistem Kredit Semseter atau biasa disingkat dengan SKS, merupakan system dimana kitamenempuh pendidikan dengan jalan mengambil mata kuliah sesuai dengan jumlah kredit yang kita miliki. Misalnya, dalam mata pelajaran matematika sksnya 3, mata pelajaran Fisika sksnya 2, mata pelajaran biologi 4, dan sebagainya. Apabila jumlah kredit kita mencukupi maka kita dapat mengambil mata pelajaran sesuai dengan bobot yang kita miliki. Disamping akan membuat kita semakin mandiri, system ini juga mengajarkan bagaimana kita mengatur strategi untuk cepat mencapai kelulusan.