Rabu, 12 Mei 2010

Aparat Penegak Hukum Haruslah Bermoralitas

Menanggapi tulisan dari saudara Hendra Leo beberapa waktu lalu yang berjudul : Pendidikan Hukum “sudah” Berbasis Moralitas, yang sekaligus juga merupakan tulisan pertentangan beliau terhadap tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Pendidikan Hukum Berbasis Moralitas” pada harian yang sama. Membaca tulisan dari saudara Hendra Leo sungguh membuat saya pribadi berdeguk kagum. Hal ini mengingat saudara Hendra Leo masih menginjakkan kaki di bangku perkuliahan. Berdeguk kagum tersebut tentu beralasan, sebab sebagai seorang mahasiswa hukum yang masih harus banyak bergelut dengan buku dan perdebatan haruslah selalu menjunjung tinggi hukum beserta aparat penegak hukumnya.


Paradigma berfikir saudara Hendra Leo yang mengatakan aparat penegak hukum sebagai pilar-pilar dalam menegakkan hukum dapatlah kita benarkan. Akan tetapi, perlu diketahui juga bahwa subtansi dalam penegakkan hukum tersebut tidaklah dapat kita rasakan sebagaimana yang seharusnya. Hal ini tentu saja dikarenakan pembentukkan aparat penegak hukum yang telah keluar jalur dari rasa perikemanusiaan. Aparat penegak hukum kini hanya berorientasi terhadap jalannya hukum secara subtansi tanpa juga harus diikutsertakan dalam berhati nurani dan berakhlak mulia.


Belum Bermoralitas

Sebagai penegak hukum yang menjaga panji-panji hukum dalam masyarakat, sudah barang tentu advokat, hakim, jaksa, serta polisi dan aparat penegak hukum lainnya haruslah memiliki kompetensi dalam mendalami pengetahuan hukum. Hal ini mengingat perkembangan masyarakat yang kian maju dan komplek. Maka, penegak hukum pun harus lebih jeli lagi dalam menegakan keadilan dan juga menjaga ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bernegara.


Dalam tulisan ini perlu juga saya kembali sampaikan kepada masyarakat umumnya dan saudara Hendra Leo khususnya, bahwa disamping harus mendalami kompetensi profesionalitasnya, aparat penegak hukum juga haruslah diimbangi dalam pendidikan berbasis moralitas. Hal ini mengingat aparat penegak hukum kita belum banyak memiliki segi moralitas dalam menegakan hukum di bumi pertiwi. Moralitas yang penulis maksudkan disini tentu saja memiliki kejujuran, berakhlak mulia, berhati nurani, kepekaan sosial, rasa mengasihi dan menyayangi terhadap sesama makhluk.


Penulis berani mengatakan aparat penegak hukum kita belum memiliki moralitas dalam menjalankan hukum tersebut. Sebab, kebobrokan aparat penegak hukum bukan saja dalam perkara korupsi dan makelar kasus yang semakin hari semakin tumbuh subur. Akan tetapi, kebobrokan yang lebih keji dari pada korupsi dan mekelar kasus tersebut, yakni tidak adanya hati nurani dan rasa mengasihi serta menyayangi sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan hal itu dapat saja merontokkan nilai-nilai perikemanusiaan.


Sebagaimana yang kita ketahui beberapa waktu lalu, seorang nenek minah harus mendekam dijeruji besi dikarenakan ketidaksengajaannya ia mencuri tiga buah coklat seharga Rp.3000,- padahal buah yang ia ambil tersebut telah terlebih dahulu jatuh ke tanah. Beberapa waktu yang lalu juga, sepasang suami-istri tuna netra harus merasakan pesakitan dalam pemeriksaan dengan status sebagai tersangka, dikarenakan ia tidak tau yang dititipkan oleh seseorang yang tidak dikenalnya adalah tas berisi ganja. Dalam pemeriksaan suami-istri tuna netra tersebut, ia harus merasakan siksaan dan intimidasi petugas agar mau mengakuinya. Belum lagi kasus beberapa anak dibawah umur harus juga merasakan dinginnya sel tahanan karena hanya bermain kartu remi.


Kasus-kasus yang sejogyanya tidak perlu terjadi tersebut adalah segelintir dari kasus yang hanya dapat mencoreng aparat penegak hukum itu sendiri. Aparat penegak hukum hanya membaca hukum melalui teks secara subtansi saja tanpa adanya hati nurani dalam menegakan hukum itu sendiri. Sungguh hal ini dapat merusak nilai-nilai perikemanusiaan yang semakin mengkhawatirkan.


Beberapa waktu lalu juga berbagai media baik cetak dan elektronik heboh dengan pernyataan kontroversial seorang advokat senior, Hotman Paris Hutapea. Dalam pernyataan Hotman Paris yang dimuat dalam suatu wawancara di media cetak luar negeri tersebut, sungguh membuat bulu kuduk kita merinding. Hal ini tentu saja pernyataan beliau yang mengatakan bahwa tidak ada satu orang pun advokat yang jujur. Advokat merupakan profesi yang mulia (officium nobile), tentu apabila seorang advokat dalam menjalankan profesinya baik dalam berhadapan dengan klien maupun di pengadilan tidak jujur, maka selain dapat mencoreng profesi mulia yang disandang advokat, juga dapat meruntuhkan hukum karena advokat juga sebagai penegak hukum.


Pendidikan Berbasis Moralitas


Kondisi penegakan hukum yang buruk tersebut sangat terkait erat dengan kualitas aparat penegak hukum sebagai salah satu elemen dalam sistem hukum, bahkan menjadi salah satu faktor terpenting dalam penegakan hukum. Kualitas aparat penegak hukum secara umum dinilai berbagai kalangan masih sangat buruk karena kurang professional, tidak jujur, mudah disuap, korup, tidak memiliki hati nurani, dan sebagainya yang bersifat negative. Jika ditelusuri pembentukkan watak, kemampuan, dan kepribadian penegak hukum itu, akan sampai pada titik tertentu, yakni pendidikan hukum dimana aparat penegak hukum itu menimba ilmu pengetahuan hukum.

Walaupun kondisi buruk penegakan hukum itu tidak dapat disalahkan semuanya kepada pendidikan hukum, tetapi sedikit banyaknya kualita penegak hukum yang demikian juga dibentuk oleh pendidikan hukum di fakultas hukum. Untuk itu penting untuk melakukan pengkajian mengenai sejauh mana sistem pendidikan hukum di fakultas hukum memengaruhi kepribadian, watak, dan kemampuan seseorang penegak hukum.


Salah satu jawaban yang dapat diberikan dalam persoalan tersebut yakni bahwa sistem pendidikan hukum di fakultas hukum masih kurang berbasis moralitas yang bertumpu pada agama dan etika. Sebagian isi dari sistem pendidikan hukum yang ada masih sarat dengan aspek secular dan liberal. Kondidi ini dapat dipahami mengingat sistem pendidikan hukum di Indonesia banyak menyerap dan mengadopsi sitem pendidikan hukum barat, terutama Belanda, yang memang sekuler dan liberal sebagai konsekuensi logis dari penjajahan Beda di Indonesia. Karakteristik hukum yang demikian sesunguhnya sama sekali tidak sesuai dengn kondisi masyarakat Indonesia yang religius, dimana agama menjadi acuan penting dalam menjalani kehidupan, terutama menentukan sikap terhadap lingkungannya.

Oleh karena itu, penting untuk dipertimbangkan bagaimana membangun pendidikan hukum yang berbasis moralitas di tanah air. Tujuanya agar proses pendidikan hukum yang berlangsung sejalan dengan nilai-nilai moralitas, serta lulusannya selain menguasai pengetahuan hukum secatra teoritis dan profesi, juga memahami kedudukan dan perannya sebagai makhluk yang bermoralitas dengan taat menunaikan ajaran agamanya dan menjauhi larangan-laranganNya.


Pendidikan hukum yang berbasis moralitas mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, baik di tingkat konstitusi maupun undang-undang, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa, baik dalam Pembukaan maupun pasal-pasal. Salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yang memuatcita-cita luhur dan filosofis adalah “bahwa negara Indonesia adalah negara yang berKetuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.


Dalam hal pendidikan, UUD 1945 juga telah menentukan bahwa pendidikan sangat erat dengan moralitas. Hal ini dapat dikaji dari rumusan Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan da menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.


Hal ini berarti, negara hendaknya membuka ruang bagi ekspansi yang berbasis moralitas, agama, dan nilai-nilai spiritual ke dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk juga pendidikan. Pemisahan nilai-nilai profetik-spritual dari urusan duniawi justru memperburuk krisis, penderitaan, ketidakadilan, dan konflik.