Kamis, 24 Desember 2009

Konsepsi Keadilan dalam Hukum


Oleh: Andryan, SH


Dalam penerapan penegakkan hukum di Indonesia sering terjadi pemberlakuan diskriminatif, baik dalam menangani proses perkara hingga memberikan putusan akhir (vonis) yang tidak sesuai dengan nuansa keadilan. Negara kita yang menjunjung tinggi hukum, beberapa waktu belakang ini kembali harus memulai dari titik nol dalam supremasi penegakkan hukum. Mengapa demikian? Sebab, dalam praktek terjadi penegakkan hukum yang tidak mencerminkan keadilan. Lalu, bagaimana konsepsi keadilan dalam hukum tersebut? Masyarakat pada umumnya, menganggap hukum adalah suatu keadilan yang wajib ditegakkan.


Menurut Hans Kelsen dalam bukunya General Theory of Law and State, mengemukakan, bahwa perubahan makna konsep keadilan ini berjalan seiring dengan kecendrungan untuk menarik masalah keadilan dari bidang pertimbangan nilai subjektif yamg tidak terjamin, dan untuk menegakkannya atas dasar yang kokoh dari suatu tata sosial tertentu. “keadilan” menurut pengertian ini adalah legalitas; suatu peraturan umum adalah “adil” jika benar-benar diterapkan kepada semua kasus yang menurut isinya peraturan ini harus diterapkan. Suatu peraturan umum adalah “tidak adil” jika diterapkan kepada satu kasus dan tidak diterapkan kepada kasus lain yang sama. Dan ini “tidak adil” tanpa memperhatikan nilai dari peraturan umum itu sendiri, yang menerapkannya sedang dipertimbangkan. Keadilan dalam arti legalitas adalah suatu kualitas yang berhubungan bukan dengan isi tata hukum positif melainkan dengan menerapkannya. Keadilan dalam pengertian ini berarti sesuai dengan dan diharuskan oleh setiap tata hukum positif.


Pernyataan Hans Kelsen dapat dibenarkan bagi negara yang menganut sistem hukum Anglo Saxon yang mengutamakan the rule of law harus ditaati, bahkan yang tidak adil. Hal ini juga serasi dengan ajaran atau aliran filsafat empiris. Dalam aliran filsafat empiris, hukum baik yang dibuat secara tertulis maupun tidak tertulis adalah peraturan yang diciptakan oleh suatu bangsa selama sejarahnya, dan yang telah bermuara pada perundang-undangan dan praktek pengadilan tertentu. Hukum adalah undang-undang (lex/wet). Adil atau tidak adil, bukan merupakan unsur konstitutif pengertian hukum.(Theo Huijbers, Filsafat Hukum). Akan tetapi, the rule of law mencakup dua pengertian yakni pengertian formil dan meteril. The rule of law dalam pengertian materil bertujuan untuk melindungi warga masyarakat terhadap tindakan sewenang-wenangnya dan adanya jaminan terhadap warga negara untuk memperoleh keadilan sosial.


Dalam sistem hukum Eropa Kontinental, hukum justru ditanggapi sebagai terjalin dengan prinsip-prinsip keadilan. Dalam sistem ini bertujuan bahwa hukum adalah undang-undang yang adil. Pengertian hukum dimaksud, serasi dengan ajaran filsafat tradisional, pengertian hukum yang hakiki berkaitan dengan arti hukum sebagai keadilan. Hukum adalah ius atau rech. Apabila suatu hukum tidak yang konkret, yaitu undang-undang bertentangan dengan prinsip-perinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi, dan sebenarnya tidak dapat disebut sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya hukum yang adil. Dengan demikian adil adalah konstitutif segala pengertian tentang hukum.(Zainuddin Ali, Filsafat Hukum).


Mengapa sifat adil itu dianggap bagian konstitutif hukum? Alasannya ialah hukum dipandang sebagai tugas etis manusia di dunia ini. Artinya manusia berkewajiban membentuk suatu kehidupan bersama yang baik dengan mengaturnya secara adil.


Memaknai Konsepsi “keadilan”


Negara Indonesia yang menerapkan landasan sebagai negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945), mengakomodasi konsepsi sebagai negara hukum, yang antara lain menggunakan prinsip kepastian hukum (legalistas) dan rasa keadilan. Prinsip kepastian hukum sebenarnya lebih menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental (Civil Law System) dengan konsep negara hukum (rechstaat), sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan Anglo Saxon (Common Law System) dengan konsep negara hukum (the rule of law).


The rule of law yang menjadi konsep hukum dan keadilan dari negara-negara anglo saxon, merupakan suatu tatanan baru yang ada dihadapan Indonesia saat ini. Indonesia tidak mungkin mengubah sistem hukum menjadi common law system (Anglo Saxon). Lalu, apakah mungkin sebuah negara hukum Indonesia dengan Civil Law System (Eropa Kontinental) mewujudkan the rule of law dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Jawabnya mungkin. Karena pada hakikatnya konsep negara hukum Indonesia yang ideal juga mencakup rasa keadilan dari masyarakat dan melindungi hak asasi setiap warga negara Indonesia. Namun hingga kini the rule of law mungkin belum terwujud, dan itu bukan karena sistem hukum yang salah, akan tetapi karena unsur manusia yang menjadi pelaksana kenegaraan yang telah salah menjalankan negara ini. (Frans H.Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi)


Hukum positif kita sebagaimana dalam KUHPidana terlihat dalam Pasal 1 ayat (1), menggunakan prinsip kepastian hukum di bawah asas legalitas. Namun, sejak berlakunya UU No.14 Tahun 1970, selain menerapkan bunyi Undang-undang, hakim juga harus menggali nilai-nilai keadilan di dalam masyarakat. Itu berarti, selain kepastian hukum, dunia peradilan pun menekankan rasa keadilan. Akan tetapi, Pada hakikatnya juga bahwa keadilan dapat bersifat nisbi, sebagaimana perspektif kita menganggapnya. Dalam suatu proses perkara di pengadilan misalnya, pihak yang menganggap bahwa keadilan telah didapatnya adalah bagi pihak yang memenangkan perkara tersebut, sedangkan bagi yang tidak merasakan keadilan adalah bagi mereka yang mengalami pesakitan atau pihak yang kalah. Lalu, apa sebenarnya makna “keadilan” tersebut? Sedangkan makna keadilan itu sendiri masih menjadi perdebatan


Soejono K.S mendefinisikan Keadilan adalah keseimbangan batiniah dan lahiriah yang memberikan kemungkinan dan perlindungan atas kehadiran dan perkembangan kebenaran yang beriklim toleransi dan kebebasan. Sebagaimana dikemukakan Muchsin juga, bahwa keadilan merupakan salah satu tujuan dari hukum selain dari kepastian hukum itu sendiri dan juga kemanfaatan hukum (Muchsin, Nilai-Nilai Keadilan). Namun, keadilan itu terkait dengan pendistribusian yang merata antara hak dan kewajiban. Demikian sentral dan dominan kedudukan dan peranan dari nilai keadilan bagi hukum, sehingga Gustav Radbruch menyatakan ”rechct ist wille zur gerechtigkeit” (hukum adalah kehendak demi untuk keadilan).


Oleh karena itu, seorang Hakim yang merupakan salah satu instrumen dalam pilar penegakkan hukum dan keadilan mempunyai peran yang sangat penting melalui putusan-putusannya. Sehingga para pencari keadilan selalu berharap, perkara yang diajukannya dapat diputus oleh Hakim yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi sehingga putusannya nanti tidak hanya bersifat legal justice (keadilan menurut hukum) tetapi juga mengandung nilai moral justice (keadilan moral) dan social justice (keadilan masyarakat).


Sesungguhnya secara filsafati konsepsi tersebut masing-masing adalah identik dengan cita/tujuan dari hukum yang tidak lain adalah keadilan yang komponennya terdiri dari kepastian hukum, kegunaan menurut tujuan dan keadilan dalam arti sempit. Untuk mencapai keadilan itu hakekat tugas dan fungsi dari Hakim adalah melakukan penemuan hukum berdasarkan keputusan hati nurani terhadap perkara/kasus yang diajukan kepadanya untuk diperiksa dan diadili. Sedangkan putusan hakim hendaknya bersifat rasional, dapat dipertanggungjawabkan (dapat dikontrol/dilacak/dianalisa lagi dan dipahami) perihal segi adilnya dan serasi pada sistem hukumnya, terutama akseptabel/dapat diterima oleh para pencari keadilan (justitiabelen) dan dapat benar-benar dipahami pula oleh masyarakat yang merupakan auditorium yang dirangkum oleh kultur hukumnya. (Suyono Koesoemo Sisworo). Semoga, kedepannya kita tidak mendengar lagi adanya kasus-kasus hukum yang menimpa nek Minah yang mencuri 3 buah kakao, Basar Suyanto yang mencuri sebuah semangka., serta mbak Prita yang mengeluhkan pelayanan kesehatannya berujung petaka ketidakadilan baginya, sedangkan banyak pejabat yang mencuri uang rakyat diperlakukan dihadapan hukum bak raja di siang bolong. Mmmm.....!!!

HUKUMAN TUTUPAN UNTUK SANG KORUPTOR…??


Oleh : Andryan, SH

Dalam asas hukum tersirat makna equality before the law yang dapat memberi arti bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan membedaan perlakuan.Tidak ada pengecualian terhadap para pelaku tindak pidana, mereka sama kedudukan di hadapan hukum. Begitulah suatu negara yang menganut hukum sebagai dasar dalam penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan bernegara.


Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang menganut hukum sebagai panglima tertinggi, hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Konstitusi tertulis Republik Indonesia menjelaskan bahwa dalam melaksanakan sesuatu hal haruslah sesuai dengan aturan-aturan dan kaidah atau norma yang berlaku di baik masyarakat nasional maupun masyarakat internasional.


Sudah sangat lama rakyat Indonesia mengalami penderitaan dan kesengsaraan akibat para pejabatnya terus menerus melakukan aktifitas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang semakin dan bertambah merajalela. Dalam hal melakukan aktifitas korupsi, tidak saja dilakukan oleh pejabat eksekutif dalam hal ini pemerintah dan juga pejabat legislatif yakni DPR pusat dan daerah.


Akan tetapi, juga dilakukan oleh pejabat yang notabene merupakan pejabat dari lembaga yudikatif yang melaksanakan tugas negara menegakkan hukum dan mengawasi para pejabat seperti eksekutif maupun legislatif agar tidak melakukan aktifitas korupsi, pada akhirnya terbawa angin keterpurukan yakni juga ikut secara bersama-sama melakukan perbuatan korupsi. Bahkan lembaga penegak hukum seperti Mahkamah Agung, Komsi Yudisial, Kejaksaan maupun Kepolisian telah mengalami kemerosotan akibat hilangnya kredibilitas pada lembaga tersebut dimata masyarakat Indonesia maupun Internasional.


Akibat kurang memuaskannya kinerja para lembaga penegak hukum tersebut, maka masyarakatpun lebih percaya dan bangga terhadap lembaga khusus untuk menjerat koruptor yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang semula merupakan lembaga negara bantu yang bertugas untuk meringankan kerja dan tugas kejaksaan. Hal ini telah membuat ketar ketir para korupotr yang ingin mencuri uang negara. Akan tetapi, KPK bukanlah lembaga yang menangani semua kasus korupsi, sebab KPK hanya bisa menangani suatu perkara korupsi yang diduga merugikan negara diatas 1 Miliar Rupiah.


Walaupun KPK telah berhasil menangkap serta menghotel prodeo-kan para koruptor kelas kakap, tetapi tidak membuat para koruptor yang belum tertangkap merasa ketakutan. Hal ini nampak terhadap semakin maraknya perilaku korupsi di lembaga-lembaga pemerintah dan negara itu. Bahkan, KPK telah melakukan suatu terobosan-terobosan dalam membuat efek jera para koruptor, salah satunya adanya pakaian khusus terhadap para tersangka koruptor.


Meskipun KPK telah mencoba membuat suatu terobosan agar dampak efek jera dapat efektif, namun hal itu hanyalah isapan jempol belaka dan hanya merupakan suatu impian yang imosibel. Mengapa? Sebab dalam kodifikasi hukum pidana (KUHP) telah mengatur sedemikian rupa agar para koruptor tidak jera.


Pidana Tutupan


Para pelaku yang telah menerima vonis dari majelis hakim dan mendekam di jeruji penjara dipastikan tidak menderita sebagaimana masyarakat memandangnya. Sebab, didalam hotel prodeo tersebut para pejabat negara yang sebagian besar terlilit kasus korusi telah mendapat perlakuan yang istimewa seperti raja. Perlakuan yang istimewa tersebut dirasakan oleh sang korupsor tidaklah suatu hal yang aneh. Di dalam Kodifikasi hukum pidana yakni KUHP Pasal 10 menjelaskan bahwa jenis hukum pidana berupa :


A. Pidana Pokok

1. Pidana mati

2. Pidana Penjara

3. Pidana Kurungan

4. Pidana Denda

5. Pidana Tutupan

B. Pidana Tambahan

1. Pencabutan hak-hak tetentu

2. Perampasan barang-barang tertentu

3. Pengumuman keputusan hakim


Dalam hal jenis hukuman tutupan inilah para koruptor mendapat perlakuan yang istimewa. Hukuman tutupan hanya dikhususkan terhadap para terpidana yang memiliki keluarga yang patut dihormati serta berkedudukan yang tinggi. Para koruptor yang mendekam dengan adanya jenis hukuman tutupan tersebut serasa seperti tinggal dirumah sendiri dengan dilengkapi fasilitas yang mumpuni dan memadai. Memang hingga sekarang masih sedikit buku-buku pidana yang membahas jenis hukuman pidana tutupan tersebut, sehingga masih banyak masyarakat yang belum mengetahuinya.


Hapus Pidana Tutupan


Para pejabat lembaga pemasyarakatan dibawah naungan Departemen Hukum dan Ham, menyatakan dalam perlakuan yang istimewa terhadap tahanan pejabat pemerintah negara ini dikarenakan agar terpidana tidak merasa terkejut bahkan stres apabila mendekam di jeruji penjara yang digunakan oleh terpidana masyarakat biasa. Dalam hal apabila kita mencermati terhadap hukum sebab-akibat, bahwa konsekuensi seseorang dalam melakukan suatu perbuatan akan mendapatkan timbalan atas apa yng telah ia lakukan. Sepertinya para pejabat di negeri ini seakan tidak rela apabila pejabat yang melakukan tindak pidana tersebut mengalami penderitaan di balik jeruji besi.


Apabila adanya perlakuan yang istimewa terhadap para tindak pidana tertentu di Indonesia, maka hal ini telah mencoreng wajah negara Republik Indonesia yang menjunjung dan berlandaskan hukum dalam kehidupan masyarakat bernegara. Dan yang paling mengkwatirkan apabila masih terdapatnya jenis pidana tutupan di dalam KUHP ysng mengistimewakan para terpidana tertentu yang notabene mantan pejabat negara, hukum akan mengalami kegagalan dalam hal efektifitas hukuman dan kemungkinan besar para perpidana yang telah mendekam tersebut tidak akan jera dan iapun akan melakukan perbuatan serupa apabila ia telah merdeka keluar dari penjara tersebut.


Dalam beberapa kode etik jabatan maupun peraturan yang berkaitan dengan jabatan para penegak hukum seperti jaksa, hakim,serta polisi menyatakn apabila penegak hukum tersebut melakukan pelangaran pidana maka harus mendapatkan hukuman lebih berat dibandingkan masyarakat biasa. Sebab, hal ini untuk menjunjung tinggi para penegakan hukum agar menjadi teladan yang baik untuk mesyarakat. Akan tetapi, bagaimana halnya dengan pejabat negara yang bukan penegak hukum melakukan perbuatan pidana?


Telah banyak pejabat seperti ini yang mendekam de penjara akan tetapi tidak dihukum lebih berat, bahkan boleh dikatan lebih ringgan hukuman pidana dalam melakukan delik serupa dengan masyarakat biasa. Kesalahan dalam menegakkan rasa kepatutan dan keadilan bukanlah terletak oleh para pelaksana negara, melainkan kesalahan oleh sistem peraturan-peraturan tersebut. Semoga kita dapat memperbaiki atau merevisi peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan haluan negara agar ketertiban, keadilan serta kesejahteraan masyarakat dapat terjamin. Semoga…!!!

Memberantas KKN


Oleh: Andryan, SH



Berbicara mengenai korupsi di Indonesia kini bukanlah merupakan hal yang tabu untuk dibicarakan dan diperdebatkan. Indonesia bahkan sangat identik dengan yang namanya korupsi, untuk itulah maka segala daya dan upaya dilakukan guna memberantas korupsi yang menghambat kemajuan suatu negara. Salah satunya adalah dengan di undangkannya UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan adalah dasar hukum itu, maka terbentuklah Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) dan juga Pengadilan Khusus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) untuk memerangi para koruptor di negeri ini.

Akan tetapi, dalam memberantas penghambat pertumbuhan dan kemakmuran rakyat tersebut, seolah kita hanya terpaku terhadap tindakan para koruptor semata dan tidak melihat hal-hal lain yang sama bahayanya dengan pelaku korupsi yang masuk dalam wadah virus KKN, yakni Korupsi, Kolusi, dan Neporisme. Sebagaimana amanah yang dituangkan dalam agenda reformasi, salah satunya bukan hanya memberantas korupsi yang selama ini kita gencar untuk memeranginya, melainkan agenda sesungguhnya yakni memberantas KKN

Memahami Arti KKN

Berbicara mengenai KKN, mungkin timbul di benak kita yakni pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto. Sebab, pemerintahan Soeharto lah yang sangat identik dengan aroma KKN, walaupun orde sebelumnya juga tercium aroma KKN. Seperti yang telah disinggung sebelumnya bahwa selama ini masyarakat kita hanya melihat segi korupsi sebagai penghambat kemajuan negara, tapi lupa dengan yang namanya kolusi serta nepotisme untuk diperangi secara bersama. Untuk itu, tidak ada salahnya kita kembali memahami arti apa yang dimaksud dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN), yang mana tanpa kita sadari telah menyelimuti masyarakat kita pada khususnya dan negara Indonesia pada umumnya.

Korupsi dalam bahasa latin: corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Menurut www.ti.or.id adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.

Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut: perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Selain itu terdapat juga beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya:memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara); menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).

Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.

Kolusi dalam kamus populer yakni sebagai hubungan rahasia, yang mana artinya merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di dalam bidang studi ekonomi, kolusi terjadi di dalam satu bidang industri disaat beberapa perusahaan saingan bekerja sama untuk kepentingan mereka bersama. Kolusi paling sering terjadi dalam satu bentuk pasar oligopoli, dimana keputusan beberapa perusahaan untuk bekerja sama, dapat secara signifikan mempengaruhi pasar secara keseluruhan. Kartel adalah kasus khusus dari kolusi berlebihan, yang juga dikenal sebagai kolusi tersembunyi.

Sedangakan Nepotisme dalam kamus populer yakni sikap tindak yang menomorsatukan atau mengutamakan famili atau teman-teman dekat sendirinya saja yang diberikan kedudukan atau jabatan. Nepotisme berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori. Sebagai contoh, kalau seorang manajer mengangkat atau menaikan jabatan seorang saudara, bukannya seseorang yang lebih berkualifikasi namun bukan saudara, manajer tersebut akan bersalah karena nepotisme. Pakar-pakar biologi telah mengisyaratkan bahwa tendensi terhadap nepotisme adalah berdasarkan naluri, sebagai salah satu bentuk dari pemilihan saudara.

Dalam masyarakat kita nepotisme tidak bisa diberantas secara mendalam, sebab tindak nepotisme di republik ini telah mendarah daging layaknya tradisi yang tidak bisa dihilangkan lagi. Sebagai contoh, apabilah seseorang ingin masuk menjadi anggota kepolisian atau TNI, bukan rahasia umum lagi dalam masyarakat kita bahwa disamping harus menembus biaya tertentu juga haruslah mempunyai ikatan/tali persaudaaan dengan para anggota yang telah resmi bergabung agar dapat diterima masuk menjadi anggota pada instansi tersebut. Meskipun pada hakikatnya ada juga yang masuk dengan hasil kerja keras dan kemampuannya sendiri tanpa bantuan orang lain.

Memberantas KKN

Sudah saatnya negara kita secara sungguh-sungguh memberantas para pelaku KKN tanpa pandang bulu. Meskipun bangsa dan negara kita telah menunjukan komitmennya dalam hal memberantas para koruptor, akan tetapi mengenai tindak kolusi dan nepotisme belumlah tersentuh untuk diberantas agar bangsa kita benar-benar bersih dari kejahatan musuh dalam selimut tersebut.

Para pelaku koruptor telah mencuri uang rakyat setiap tahunnya mencapai triliunan rupiah. Para pelaku kolusi juga telah membawa jalan kearah yang tidak jujur yang pada akhirnya melakukan korupsi, sedangkan para nepotisme membuat persaingan antara warga negara menjadi tidak bersih dan sehat, yang mana pada akhirnya orang-orang yang berkemampuan tidak tersalurkan bakat dan minatnya serta tidak mendapatkan penghargaan dan kedudukan yang layak, dan juga dengan jalan persaingan yang tidak sehat tersebut dapat membawa seseorang ke lembah korupsi.

Korupsi telah membawa kesengsaraan rakyat dan kehancuran negara dengan terhambatnya pembangunan nasional untuk mencapai kehidupan makmur dan sejahtera. Bayangkan saja, apabila para koruptor melarikan uang rakyat triliunan rupiah setiap tahunnya, berapa puluh juta jiwa warga negara kita yang bisa diselamatkan dari ancaman kemiskinan dan kesengsaraan. Tentu kita tidak ingin warga negara kita mengalami ancaman kelaparan, penyakitan, dan kebodohan hanya gara-gara para koruptor. Di sinilah tugas kita secara bersama agar memerangi para pelaku KKN di Indonesia.

Seperti yang telah dilakukukan KPK yang selama ini telah semakin menunjukkan hasil kinerja yang lebih baik dalam membongkar dan menangkap para koruptor. Lalu, bagaimana dengan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara yang selanjutnya disebut Komisi Pemeriksa adalah lembaga independen yang bertugas untuk memeriksa kekayaan Penyelenggara Negara dan mantan Penyelenggara Negara untuk mencegah praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Lembaga ini hanya sebagai pelengkap dari amanat UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang bebas KKN dan tidak memiliki prestasi seperti KPK.

Jadi, disamping adanya kesadaran diri untuk memberantas KKN disekitar lingkungan kita, haruslah juga didukung lembaga kuat seperti KPK. Saatnya kita mendesak para wakil rakyat yang duduk di senayan (baca:DPR) agar membuat kedudukan terhadap lembaga pemberantas KKN menjadi lebih kuat. Di sinilah komitmen wakil rakyat kita kembali di uji dalam hal memberantas KKN, apakah mendukung agenda reformasi yang telah berumur 10 tahun lebih atau tidak ada kemauan sama sekali untuk merealisasikan amanah reformasi tersebut.



Menanti Kriteria Kabinet Ideal


Oleh: Andryan, SH


Hasil rekapitulasi yang dilakukan oleh KPU telah selesai dengan menetapkan pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bersama Boediono sebagai capres-cawapres terpilih untuk masa kepemimpinan 2009-2014. SBY-Boediono meraih suara tertingi dengan 73.874.562 suara atau 60,80 persen mengungguli para pesanginya. Dengan adanya penetapan KPU tersebut, maka kita sebagai rakyat telah menemukan sosok pemimpin bangsa dan negara dalam sistem pemerintahan negara mendatang. Sebelumnya KPU juga telah menetapkan anggota dewan baik DPR, DPD, maupun DPRD untuk menjalankan fungsi lembaga legislatif.


Lantas, apalagi yang kita nantikan selanjutnya? Tentu saja wajah-wajah para anggota kabinet hasil racikan oleh capres terpilih. Saat ini bursa untuk pencalonan anggota kabinet telah santer diperbincangkan dan seperti yang telah dipublikasikan oleh media bahwa capres terpilih SBY menyatakan tidak mau tergesa-gesa dalam memilih para pembantunya. SBY pada masa awal pemerintahan 2004 diketahui bermasalah dalam hal memilih para anggota kabinet yang mana pada saat itu banyaknya tekanan politik menghampirinya.


Hingga saat ini apabila kita berbicara mengenai kabinet yang dihuni oleh dewan menteri-menteri negara tentunya kita sudah mengenal betul orang yang memangku jabatan sebagai pembantu presiden tersebut, sebab selama ini meskipun kepemimpinan pemerintahan negara telah silih berganti, namun anggota kabinetnya sebagian besar adalah wajah-wajah lama dalam memimpin sebuah departemen pemerintahan maupun yang non departemen. Lalu yang menjadi pertanyaan kita, apakah negeri ini kekurangan orang-orang yang mampu dan ahli dalam bidangnya? Hingga wajah lama bahkan yang telah dikenal publik tidak mampu lagi untuk membidangi suatu urusan tertentu juga masih saja terpampang dalam setiap era pemerintahan.


Sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw, “Bahwa apabila suatu urusan tidak diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancuran”. Pada saat dahulu hingga sekarang masalah kepemimpinan yang bukan menjadi keahliannya telah merambah di segala bidang kehidupan. Salah satu contohnya yakni, hinga kini permasalah transportasi kita yang sering mengalami kemandekan dengan seringnya terjadi kecelakaan disebabkan kebobrokan dalam sistem perhubungan di republik ini. Mengapa hal ini terjadi? salah satunya tentu karena kepemimpinan dalam bidang perhubungan tersebut tidak diserahi kepada yang ahlinya. Malahan dengan rasa yang tidak ada malunya, setelah mengalami kecelakaan sistem perhubungan tersebut, para pemimpinnya masih saja betah untuk menempati kedudukannya. Tidak seperti di negara maju yang pada umumnya apabila terjadinya kecelakaan transportasi yang disebabkan oleh kesalahan teknis, maka menteri perhubungannya langsung mengundurkan diri, sungguh sikap seorang ksatria yang tidak dimiliki oleh negeri kita.


Kriteria Kabinet Ideal


Dalam menetapkan calon angggota kabinet pemerintahan capres terpilih, perlu untuk merumuskan beberapa kriteria yang dianggap tepat dalam menjalankan tugas dan fungsi pemerintahan mendatang. Sebab apabila calon kabinet tersebut tidak mampu dalam menjalankan fungsi pemerintahan kelak, maka akan banyak menimbulkan kerugian negara salah satunya terkurasnya APBN. Kriteria pertama, Kapabilitas (kemampuan), kriteria ini dalam arti yakni mempunyai kemampuan dan ahli dalam suatu urusan tertentu. Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwa segala urusan haruslah diserahkan kepada yang ahlinya. Apabila kriteria ini ada pada calon menteri tersebut niscaya pemerintahan kelak akan mampu menghadapi berbagai macam tantangan kedepan yang semakin komleksitas dan benar-banar menjalankan tugas serta fungsinya dengan baik.


Kriteria kedua, Fokus dalam satu urusan. Sudah bukan rahasia umum lagi bahwa negeri ini dihuni oleh para pejabat yang sangat rakus akan kedudukan, maka rangkap jabatan pun sering terjadi. Apabila calon menteri tersebut memiliki banyak jabatan yang dipegangnya, sudah barang tentu secara perlahan-lahan akan meruntuhkan beberapa bidang yang dipegangnya di samping juga akan melemahnya dalam menjalankan tugas dan fungsi di pemerintahan. Oleh karena itu, para calon kabinet mendatang haruslah fokus pada satu urusan saja. Meskipun dalam sosok seseorang tersebut memiliki kemampuan, akan tetapi sebagaimana yang telah menjadi habitat manusia, bahwa tidak dapat berhasil seseorang dengan menjalankan banyaknya urusan secara bersamaan dan apabila fokus pada satu urusan maka keberhasilan dalam menjalankan tugas dan fungsi suatu bidang tersebut niscaya akan terwujud.


Kriteria Ketiga, Kalangan Netral, meskipun capres terpilih sukses dalam mencapai kedudukannya, tapi salah satu kesuksesan tersebut karena adanya dukungan partai koalisi. Ketika partai koalisi tersebut mulai merajut dukungan bersama, maka sudah barang tentu isu bagi-bagi kursi di kabinet mulai hangat. Para anggota kabinet mendatang boleh saja berasal dari kalangan parpol, akan tetapi kemampuan dalam membidangi suatu urusan tertentu jangan sampai di abaikan begitu saja. Sebab, seperti yang telah terjadi pada masa pemerintah sebelumnya, ketika terjadinya perombakan kabinet atau yang bekennya disebut Reshuffle menghampiri anggota kabinet kalangan parpol, maka perselisihan antar parpol dengan pemerintahan pun terjadi yang pada akhirnya meretakkan kekuatan pemerintahan. Oleh sebab itu, kriteria calon menteri dari kalangan netral haruslah di prioritaskan, disamping juga dalam membuat suatu kebijakan tidak adanya unsur muatan politis dan lebih terfokus terhadap permasalahan bangsa dan negara.


Kriteria keempat, Track Record. Kriteria ini perlu dirumuskan dalam mencari sosok anggota kabinet yang tidak diragukan lagi sebagai seorang negarawan dan anak bangsa. Track record dalam arti ini juga bahwa disamping mempunyai kemampuan yang didukung pengalaman menghadapi permasalahan bangsa yang memadai juga haruslah terbebas dari masalah hukum, politik praktis, serta hal-hal yang berbau SARA di masa lampau.


Menteri dan Kementerian Negara


Menteri dan kementeriaan negara dibedakan. Menteri adalah jabatan politik, sedangkan kementerian negara diisi oleh pegawai negeri sipil dengan jabatan yang diisi melalui pengangkatan dan pemberhentian secara administratif. Untuk menampung kebutuhan atau kepentingan partai politik yang menduduki jabatan menteri. Dewan menteri yang tergabung dalam kabinet meskipun kewenangan baik pengangkatan dan pemberhentiannya menjadi hak prerogatif presiden, akan tetapi sebenarnya para anggota kabinet juga merupakan pilihan rakyat secara tidak langsung, yang mana mandat kewenangannya diserahkan kepada presiden sebagai pilihan rakyat secara langsung.


Dalam penjelasan UUD 1945 yang sekarang hanya berlaku sebagai dokumen historis, tercantum uraian bahwa jabatan menteri itu merupakan jabatan yang sangat penting. Menteri adalah pejabat tinggi yang secara nyata bertindak sebagai pemimpin pemerintahan sehari-hari dalam bidangnya masing-masing. Karena itu, tidak semua orang dapat bekerja sebagai menteri jika tidak melengkapi diri dengan sifat-sifat kepemimpinan dan kemampuan-kemampuan yang dibutuhkan untuk itu.


Jabatan menteri dalam sistem pemerintahan presidensil juga harus dipahami berbeda dari jabatan menteri dalam sistem pemerintahan parlementer yang murni bersifat politik. Dalam sistem presidensil, yang murni bersifat politik adalah presiden dan wakil presiden, sedangkan jabatan menterinya di samping bersifat politik juga harus bersifat teknis. Apalagi, menteri yang akan diserahi tugas mempimpin suatu departemen pemerintahan republik dengan penduduk yang sangat besar dan kompleksitas persoalan pembangunan yang demikian rumit seperti Indonesia, tentulah diperlukan klualifikasi politik dan teknis yang benar-banr memenuhi syarat kapabilitas (kualifikasi teknis) dan syarat akseptabilitas (kualifikasi politik) yang tinggi. Semoga capres terpilih dapat menemukan sosok anggota kabinet yang mumpuni dan dapat melaksanakan fungsi dan tugas negara dengan baik sebagaimana yang telah dimandatkan oleh rakyat secara tidak langsung.


PRESIDEN DAN WARGA NEGARA


Oleh: Andryan, SH


Presiden dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia mempunyai fungsi pokok, yakni sebagai kepala negara dan sebagai kepala pemerintahan. Dalam berfungsi sebagai kepala negara, Presiden mempunyai kekuasaan tidak tak terbatas. Sedangkan dalam hal berfungsi sebagai kepala pemerintahan, kekuasaan Presiden terbatas menurut peraturan perundang-undangan.


Tidak seperti halnya kekuasaan sebagai kepala pemerintahan (Eksekutif) yang hanya berwenang penuh terhadap lembaga eksekutif saja. Akan tetapi dalam hal melaksanakan kekuasaan sebagai kepala negara, Presiden dapat saja memasuki ranah kekuasaan di luar lembaga eksekutif, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (Legislatif), Mahkamah Agung (Yudikatif), serta Badan Pemeriksa Keuangan (Eksaminatif). Presiden atas nama negara dapat saja melakukan sesuatu di lingkungan lembaga negara tersebut.


Sebelum diangkat menjadi seorang pemimpin negara, Presiden harus memenuhi syarat pokok yang salah satunya adalah warga negara asli Republik Indonesia. Lantas apakah setelah menjadi seorang kepala negara dan kepala pemerintahan, status warga negara di benak Presiden menjadi hilang? Jawabannya adalah tidak. Selain mempunyai kedua fungsi tersebut, Presiden juga dapat bertindak sebagai warga negara Republik Indonesia biasa yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Hal inilah yang menjadikan seorang Presiden Republik Indonesia sebagai lembaga Super Power dalam NKRI walaupun kedudukannya sama dengan DPR/MPR, MA, serta BPK sebagai lembaga tinggi negara di bawah UUD 1945 menurut ketatanegaraan Republik Indonesia

.

Sangat sulit apabila kita memandang diri seorang Presiden dalam melaksanakan tugas dan fungsi kenegaraannya, apakah bertindak sebagai kepala negara, sebagai kepala pemerintahan, atau sebagai warga negara biasa, itu semua tergantung kepada situasi dan keadaan pada saat-saat tertentu. Dalam peristiwa seperti ini yang paling nyata terjadi pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono. Masih ingat peristiwa perseteruan yang terjadi pada lembaga tinggi negara antara DPR dan MA pada tahun 2005. Perseruan tersebut tidak saja dapat menghilangkan efektivitas sebagai lembaga tinggi negara juga hal itu sangat berbahaya dan dapat menghilangkan kelangsungan NKRI untuk mencapai tujuan negara.


Lantas dengan cara bagaimana kedua lembaga negara tersebut dapat di damaikan? Menurut peraturan perundang-undangan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang berwenang dalam menyelesaikan perselisihan antar lembaga negara adalah Mahkamah Konstitusi. Lantas mengapa Presiden yang ketika itu bertindak menjadi mediator dan apakah berwenang. Walaupun Presiden secara teknis tidak mempunyai wewenang dalam menyelesaikan perselisihan antar lembaga negara, akan tetapi dalam hal ini menyangkut kepentingan negara dan menjaga stabilitas dalam bingkai NKRI. Maka Presiden dalam hal ini sebagai kepala negara dapat bertindak sebagai mediator untuk mendamaikan perselisihan antar lembaga negara yang ketika itu terjadi antara DPR vs MA.


Atas Nama Warga Negara


Kemudian masih ingat perseteruan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan Amin Rais pada tahun 2006 silam. Perseruan itu bermula dari pernyataan Amin Rais yang menyebutkan SBY menerima dana kampanye tahun 2004 dari Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Beberapa hari kemudian Presiden secara resmi mengadakan konferensi pers beserta sejumlah kabinet Indonesia Bersatu untuk membuat pernyataan bahwa Amin Rais telah memfitnahnya. Akan tetapi dalam hal mengadakan konferensi pers tersebut, SBY mengatasnamakan Presiden atau warga negara biasa dengan menggelar konferensi pers untuk menyatakan fitnah tersebut. Apabila ia mengatasnamakan Presiden, sangat tidak tepat apabila ia menggelar suatu kenferensi pers resmi dan terlalu terbawa emosi hanya untuk menyangkal pernyataan Amin Rais tersebut. Kemudian apabila ia mengatasnamakan warga negara, mengapa ia membawa sejumlah kabinet yang salah satunya adalah Hatta Rajasa yang notabene adalah satu payung dengan Amin Rais dibawah panji-panji Partai Amanat Nasional. Hal inilah yang menjadi perdebatan antara sejumlah elit politisi yang beranggapan bahwa SBY terlalu pengecut dan tidak tepat menggunakan jabatannya dalam berbagai situasi dan keadaan.


Dalam mengatasnakan warga negara tidak sampai disitu saja, dalam kasus perseteruannya dengan Zainal Ma’arif yang sangat marah dengan SBY sebab ia setuju untuk menandatangani surat Recall nya sebagai wakil dan anggota DPR. Singkat cerita SBY ketika itu difitnah oleh Zainal Ma’arif yang mengatakan SBY telah menikah sebelum masuk AKABRI. Kemudia SBY beserta Ibu Ani mendatangi Polda Metro Jaya untuk membuat pengaduan atas pencemaran nama baik yang dilakukan oleh Zainal Ma’arif. Dalam hal ini tindakan yang dilakukan oleh SBY sangat arif dan bijaksana. Beliau tidak menggunakan jabatannya untuk menindak pelaku pencemaran nama baiknya, dan ia lebih menggunakan prosedur hukum yang berlaku dengan membuat pengaduan atas nama warga negara Republik Indonesia. Alhasil perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan tersebut hanyalah menjadi perbincangan sementara saja yang akhirnya termakan oleh waktu dan tidak ada lagi perkembangannya, tapi itulah apabila para pejabat yang melakukan perbuatan melawan hukum selalu saja diuntungkan dan ketidakjelasannya dimakan oleh waktu.


Atas Nama Partai Politik


Masih segar diingatan kita pada tanggal 11 Februari 2009 yang lalu, Presiden SBY ketika itu kembali mengadakan konferensi pers resmi untuk menjawab akar permasalahannya. Kali ini ia mengadakan jumpa pers tersebut dengan mengatasnamakan partai politiknya yakni Demokrat, yang pada saat itu sangat panas dengan menyudutkan Partai Golkar. Kejadian berawal ketika salah satu pimpinan kader Demokrat terceplos mengatakan bahwa Partai Golkar hanya akan memperoleh 2,5 % suara di pemilu tahun ini. Pernyataan itu mengundang perhatian ketua umun Golkar yang juga sebagai patner pemerintahan SBY yang mengecam pernyataan kubu Demokrat tersebut. Untuk tidak memperuncing keadaan dan menjawab permasalahan, SBY mengadakan konferensi pers yang kali ini ia berdiri dengan menyebut sebagai Dewan Pembina Demokrat bukan sebagai Presiden R.I.


Sangat diuntungkan seorang Presiden dan juga seorang pemimpin partai politik, yang mana ia bisa saja menggunakan kesempatan ini untuk mencari perhatian masyarakat dan menambah popularitasnya mengingat pemilu telah diambang pintu. Saat ini belum adanya ketentuan yang secara eksplisit mengatur keadaan Presiden dalam memangku jabatannya antara seorang kepala negara, kepala pemerintahan dan juga sebagai seorang warga negara dalam menghadapi permasalahan untuk kepentingan negara, kelompok atau pribadinya.


Akan tetapi sebaiknya seorang presiden yang setelah disumpah dan diangkat untuk menduduki jabatannya, haruslah melepaskan embel-embel politiknya dan harus fokus terhadap masa jabatannya saja. Sebab apabila seorang Presiden telah diangkat untuk menjalankan jabatanya selama periode tertentu, maka seorang Presiden telah menjadi milik seluruh warga negara tanpa ada terkecuali. Jadi sangat tidak tepat apabila Presiden yang pada saat tertentu mengadakan acara untuk kepentingan partai politiknya dan hal tersebutpun berubah statusnya tidak sebagi seorang Pemimpin negara melainkan sebagai pemimpin suatu partai politik tertentu. Hal ini untuk menghindari berbagai macam kecaman dari lawan politiknya yang pada akhirnya jangankan untuk mensejahterakan rakyat, dengan perseteruan antar elit politik tersebut membuat rakyat menjadi bingung dan terkesan untuk mementingkan segelintir pribadi serta kelompoknya saja. Semoga pemimpin yang akan datang benar-benar menggunakan jabatannya untuk kepentingan dan menuju kesejahteraan rakyat. Semoga..!!

MENDUKUNG FATWA HARAM MEROKOK


Oleh : Andryan, S.H


Hingga saat ini kontroversi mengenai fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Wajar saja apabila banyak yang kontra ketimbang yang pro dengan haramnya merokok, sebab kebanyakan masyarakat Indonesia memang sangat gemar dengan merokok. Tidak saja masyarakat awam kebanyakan yang merokok, para ustatz, ulama, serta pejabat negara di Indonesia masih berstatus sebagai perokok aktif. Melihat fatwa yang dikeluarkan oleh MUI mengenai fatwa haram merokok dalam hal-hal tertentu yakni, merokok ditempat umum, merokok oleh anak-anak, serta oleh Ibu hamil. Sangat rancu apabila kita melihat hal-hal yang diharamkan merokok tersebut, sebab apabila hal itu terjadi maka fatwa tentang haram merokok banyak yang disalahartikan.


Pertama, untuk merokok ditempat umum, dengan berarti bahwa seseorang dapat merokok di sembarang tempat dan diberbagai tempat kecuali di tempat umum. Kedua, merokok oleh anak-anak, hal ini menjadi kebingungan masyarakat sebab ukuran anak-anak dapat dilihat dalam beberapa hal, misalnya belum berusia diatas 16 tahun (KUH Pidana) atau 21 tahun (KUH Perdata) dan juga apabila anak-anak yang berusia di bawah 16 tahun akan tetapi ia telah menikah maka status ia dapat dikatakan sebagai orang dewasa. Ketiga, mengenai merokok haram oleh ibu hamil, sangat disayangkan apabila hal ini ada pengecualiaannya. Berarti dapat dikatakan merokok oleh perempuan yang tidak hamil dapat dibenarkan. Padahal perempuan yang tidak hamil pun sangat berbahaya apabila ia merokok mengingat hal tersebut dapat membahayakan proses kandungan dan kesuburannya.


Rokok merupakan sahabat kental ditengah-tengah masyarakat Indonesia bahkan sulit untuk dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari. Mengapa tidak, bagi orang yang merokok dari ia bangun pagi sebelum menyentuh apapun ia terlebih dahulu harus menghisap rokok, kemudian ketika ia harus buang air besar menghisap rokok juga tidak ketinggalan, lalu dalam perjalanan kerja atau aktivitas ia juga ditemani oleh sebatang rokok hingga sampai tujuan. waktu ia tidak merokok adalah pada saat ia melaksanakan kerja atau aktivitasnya itupun jikalau tempat kerjanya menggunakan AC yang melarang merokok di dalam ruangan tersebut. Akan tetapi pada saat istirahat tiba kurang pas apabila tidak menghisap rokok begitu juga setelah selesai makan kurang enak apabila tidak merokok. Tidak hanya itu, dalam pergaulan sehari-hari dengan teman sejawat kurang klop apabila tidak adanya asap rokok yang dihembuskan. Begitulah seteruslah dalam kehidupan sehari-hari para perokok sangat sulit untuk dilepaskan.


Pada mulanya para perokok memulai kegiatan merokoknya hanya dilalui oleh “coba-coba” dan pada umumnya dimulai ketika beranjak usia anak-anak atau remaja. Pada tingkatan merokok dikalangan anak-anak atau remaja adalah sesuatu hal yang sangat menentukan dalam kehidupan pergaulannya sehari-hari, sebab apabila ia telah merokok maka ia mendapat pengakuan jatidirinya sebagai anak jantan serta juga dapat diterima oleh kawan-kawannya dalam pergaulan sesama remaja dan tentunya tidak dicap sebagai anak banci (bencong) apabila tidak merokok, sungguh pemahaman yang sangat keliru dan harus segera diluruskan agar tidak menular ke generasi berikutnya.


Dasar Rokok Haram


Apabila kita telaah lebih jauh terhadap efek dari merokok, maka akan ditemukan mudharatnya yang lebih besar ketimbang manfaat yang ditimbulkan. Ada salah satu dalil yang mendasarkan terhadap efek dari merokok yakni, Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” [Al Baqarah:195]. Pernyataan ini dapat dipahami dan diuraikan lebih jauh lagi yakni;


Pertama, “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, kalimat tersebut dapat juga dipahami secara umum “pergunakanah harta kalian di jalan yang benar”. Merokok adalah suatu kegiatan menghirup sebatang tembakau yang dibungkus oleh selembar kertas khusus kemudian dibakar ujungnya dan dihisap untuk membuahkan asap. Apabila kita cermati, maka tindakan seseorang merokok adalah suatu tindakan yang sangat sia-sia, mengapa? Sebab menghisap sebatang rokok yang dapat membuahkan asap kemudian asap tersebut dikeluarkan lagi melalui mulut dan hidung dan begitulah seterusnya dilakukan secara berulang-ulang. Tidak itu saja, perbuatan yang paling sia-sia adalah ketika kita membeli sebatang atau sebungkus rokok dengan uang kita kemudian kita hisap secara perlahan-lahan, maka tindakan ini sama saja kita membakar secara tidak langsung dan perlahan-lahan uang kita tersebut. Uang yang kita dapatkan melalui hasil keringat jerih payah kita buang dan bakar sia-sia hanya untuk kenikmatan semata. Dan hal yang paling utama adalah uang juga merupakan karunia dan pemberian Tuhan Yang Maha Esa haruslah kita pergunakan untuk jalan yang benar dan tidak sia-sia.


Kedua, “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan”, kalimat tersebut dapat juga bermakna “janganlah kalian membunuh diri kalian secara perlahan-lahan”, kalimat ini menegaskan bahwa merokok merupakan salah satu sumber penyakit yang mematikan. Bahkan, para pakar kesehatan di seluruh dunia telah sepakat tentang buruknya kesehatan yang ditimbulkan bagi para perokok aktif. Tidak hanya mengancam kesehatan yang berujung kematian saja untuk para perokok aktif, juga dapat membahayakan bagi orang lain yang tidak merokok akan tetapi menghirup asap rokok (perokok pasif). Hal ini bahkan akan lebih membahayakan ketimbang perokok aktif sebab menghirup udara asap rokok dari hidung ketimbang menghisap langsung dari merokok akan terkena dampak secara langsung kepara-paru yang berujung sesaknya alat pernafasan seseorang. Kemudian juga tindakan perokok aktif yang mengganggu orang lain yang akhirnya menghirup asap rokoknya, ini sama saja apabila kita selesai memakan permen karet dan kita berikan kepada orang lain yang notabene sama-sama berasal dari mulut, sungguh hal yang sangat tidak bermoral.


Data mengenai merokok


Perhatikan data mengenai rokok ini sebagai berikut, berdasarkan hasil penelitian Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) perokok aktif di Indonesia sekitar 141,4 juta orang. Dari 70 juta anak di Indonesia, 37 persen atau 25,9 juta anak diantaranya merokok. Sekitar 43 juta anak usia hingga 18 tahun terancam penyakit mematikan, angka kematian akibat rokok di Indonesia mencapai 427.923 jiwa/tahun. Tahun 2006 konsumsi rokok di Indonesia 230 milyar batang atau sekitar Rp 184 trilyun/tahun. Untuk kepala keluarga dengan penghasilan Rp 1 juta/bulan dan pengeluaran rokok Rp 240 ribu/bulan, maka pengeluaran rokok mencapai 24% padahal banyak anak kekurangan gizi dan putus sekolah. Belum biaya pengobatan yang besarnya sekitar 2,5 kali dari biaya rokok yang dikeluarkan. Artinya jika pengeluaran untuk rokok besarnya Rp 184 Trilyun/tahun, biaya untuk pengobatan karena merokok sekitar Rp 460 Trilyun/tahun. Suatu pemborosan yang disebut Allah sebagai saudara setan (Al Israa’:26-27)


Data BPS juga menyebutkan, selama 2001 hingga 2004, kenaikan jumlah perokok anak terus meningkat dari 0,4 menjadi 2,8 persen. Anak-anak merokok disebabkan banyak faktor, seperti terpengaruh ajakan teman-temannya. Juga dampak dari pengaruh media yang gencar melakukan promosi rokok. Di beberapa kota seperti Jakarta, Medan, Padang, Surabaya, Palembang dan Bandung, terjadi kenaikan usia mulai merokok pada anak-anak. Bahkan penelitian LPKM Universitas Andalas, lebih 50% responden mengaku merokok sejak usia 7 tahun. Selain berbahaya pada kesehatan, merokok pada anak-anak bisa menjadi pintu masuk menuju penggunaan narkoba. Orang yang merokok sejak anak-anak menjadi 8 kali lebih memungkinkan menggunakan morfin, 22 kali kokain serta 44 kali mariyuana.


Sensus Sosial Ekonomi Nasional 2004, prevelensi perokok anak 13-15 tahun mencapai 26,8 dari total populasi Indonesia. Tren usia merokok makin dini, 5-9 tahun mencapai 1,8 %. 2846 tayangan televisi disponsori rokok di 13 stasiun TV. 1350 kegiatan diselenggarakan disponsori rokok. Konsumsi rokok tahun 2006 mencapai 230 milyar batang padahal tahun 1970 baru 33 milyar, akibatnya 43 juta anak terancam penyakit mematikan. Gambaran Kondisi Anak Yang Merokok di Indonesia pada tahun 2004 : Pelajar pertama kali merokok pada usia dibawah 10 tahun. Jumlah perokok pemula 5-9 tahun meningkat 400%, yakni dari 0,89% pada tahun 2001 menjadi 1,8 % pada tahun 2004. Perokok 10-14 tahun naik 21 % yakni dari 9,5 % menjadi 11,5 %. Perokok 15-19 tahun menjadi 63,9% dari kelompok usia 15-19 tahun tersebut


Berdasarkan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) penduduk Indonesia usia dewasa yang mempunyai kebiasaan merokok sebanyak 31,6%. Dengan besarnya jumlah dan tingginya presentase penduduk yang mempunyai kebiasaan merokok, Indonesia merupakan konsumen rokok tertinggi kelima di dunia dengan jumlah rokok yang dikonsumsi (dibakar) pada tahun 2002 sebanyak 182 milyar batang rokok setiap tahunnya setelah Republik Rakyat China (1.697.291milyar), Amerika Serikat (463,504 milyar), Rusia (375.000 milyar) dan Jepang (299.085 milyar).


Dalam laporan yang dikeluarkan WHO berjudul “Tobacco and Poverty : A Vicious Cycle atau Tembakau dan Kemiskinan : Sebuah Lingkaran Setan” dalam rangka peringatan Hari Tanpa Tembakau Sedunia tanggal 31 Mei 2004, membuktikan bahwa perokok yang paling banyak adalah kelompok masyarakat miskin. Bahkan di negara-negara maju sekalipun, jumlah perokok terbanyak berasal dari kelompok masyarakat bawah. Mereka pula yang memiliki beban ekonomi dan kesehatan yang terberat akibat kecanduan rokok. Dari sekitar 1,3 milyar perokok di seluruh dunia, 84% diantaranya di negara-negara berkembang.


Di bungkus rokok disebut bahwa merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, gangguan kesehatan janin, dan impotensi. Asap rokok mengandung ribuan bahan kimia beracun dan bahan-bahan yang dapat menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan bahan berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya mengakibatkan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar adalah bayi, anak-anak dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh karena ayah atau suami mereka merokok di rumah. Padahal perokok pasif mempunyai risiko lebih tinggi untuk menderita kanker paru-paru dan penyakit jantung ishkemia. Sedangkan pada janin, bayi dan anak-anak mempunyai risiko yang lebih besar untuk menderita kejadian berat badan lahir rendah, bronchitis dan pneumonia, infeksi rongga telinga dan asthma. Dari data di atas merokok merusak kesehatan (diri sendiri dan orang lain) dan pemborosan sehingga anak jadi kurang gizi dan putus sekolah oleh sangatnya sangat tepat dengan MUI mengeluarkan Fatwa Haram Merokok. Apalagii ulama di Saudi, Malaysia, dan Iran sudah mengharamkannya. Akan tetapi dalam hal ini fatwa haram merokok tidak hanya di khususkan oleh merokok di tempat umum, anak-anak, dan ibu hamil, melainkan juga menyangkut semua elemen manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Esa sebab jelas-jelas merokok lebih berdampak mudharat dan tidak ada sama sekali manfaatnya.