Minggu, 30 Januari 2011

Politisi sebagai Koruptor?




Tidak dapat kita pungkiri bahwa sebagian besar para pelaku korupsi di tanah air kita tidak lain dan tidak bukan adalah para politisi dengan berlatar belakang warna partai politiknya. Hal ini dapat kita lihat dari maraknya kasus-kasus korupsi yang merasuki ranah legislatif maupun eksekutif. Dalam kekuasaan lagislatif baik di DPR gedung senayan maupun DPRD di berbagai kabupaten/kota dan provinsi secara nasional masih kental beraromakan korupsi yang dilakukan secara jamak oleh para anggota dewan tersebut. Lalu tidak itu saja, dalam kekuasaaan eksekutif yang berpuncak dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, lalu di ikuti oleh para pembantunya sebagai Menteri Negara, Gubernur, Bupati/Walikota, juga sarat dengan tindakan korupsi yang semakin merajalela.

Tentu saja tanpa mengurangi keterlibatan di beberapa lembaga peradilan serta lembaga penegak hukum itu sendiri seperti Kejaksaan dan Kepolisian, para politisi yang bernaung baik di lembaga legislatif maupun eksekutif tersebut menempati pos nomor satu sarat dengan perilaku korupsi. Dalam pemberitaan beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa mantan anggota dewan Komisi IX DPR 1999-2004 ditetapkan sebagai tersangka, sebanyak 25 tersangka tersebut pun dipanggil tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semuanya akan diperiksa dalam kaitan kasus dugaan suap pemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Hal inilh yang juga semakin menambah keyakinan masyarakat kita akan saratnya keterlibatan para politisi sebagai pelaku korupsi.

Hal yang sangat mengherankan bahwa sebagian besar para politisi yang terlibat dalam tindakan korupsi baik yang telah mendekam di jeruji besi karena telah divonis sebagai koruptor maupun yang masih dalam proses pemeriksaan dengan status tersangka serta berstatus terdakwa, para politisi tersebut merupakan elit politik dibawah partai politik yang sangat besar dan berkuasa serta juga partai politik yang menamakan dirinya sebagai partai oposisi. Bahkan, tanpa bermaksud merendahkan, partai politik dibawah panji-panji agama sering mengantarkan para politisinya tersebut dalam perilaku korupsi, apakah mereka yang mengatasnamakan agama juga tentunya memiliki etika dan moralitas yang baik pula?

Ada apa dengan para politisi di negeri ini? Bukankah mereka yang lebih bersuara keras nan lantang mengatakan akan “menyuarakan aspirasi rakyat”, mengapa mereka justru yang lebih di depan sebagai garda pengkhianatan terhadap rakyatnya sendiri. Sungguh ironis melihat sepak terjang para politisi di republik ini, terlebih lagi sebelum memangku suatu jabatan atau kekuasaan mereka tentu harus melewati suara rakyat sebagai konstituen. Berbagai janji-janji muluk mereka layangkan untuk menarik simpati rakyat dan juga ada beberapa permainan uang untuk mengelabui rakyat yang telah sedemikian susah. Hal hasil setelah menduduki pos jabatan tersebut justru uang rakyat sendiri yang mereka makan sebagai makanan kotor politisi tersebut.

Biang korupsi para politisi

Dalam tulisan Sigit Pamungkas yang juga dimuat di Harian Kompas 7 Agustus 2008, mengungkapkan bahwa sebenarnya korupsi para politisi bersumber dari tidak terpecahkannya salah satu misteri terbesar kehidupan kepartaian kita, yaitu kelangkaan finansial untuk survavilitas partai. Ada dua kesenjangan dalam keuangan partai (S-2 PLOD UGM, 2007). Pertama, sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai adalah tidak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga. Kedua, ada ketidakseimbangan antara kebutuhan investasi partai dan sumber pembiayaan yang secara normatif diletakkan pada iuran dan sumbangan.

Kedua gap itu menjadi struktur pemaksa terjadinya korupsi yang dilakukan politisi. Politisi dihadapkan kewajiban mengatasi kelangkaan finansial partai agar diri dan partainya tetap bertahan. Jalan pintas yang ditempuh adalah kapitalisasi instrumen yang dimiliki politisi dalam mengendalikan perilaku eksekutif. Instrumen yang dimiliki politisi seperti fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi ditransaksikan dengan eksekutif maupun pemodal untuk mendapat rente.
Akibatnya, korupsi adalah jalan yang harus ditempuh politisi guna mengatasi kelangkaan finansial partai. Survavilitas partai dalam membiayai aktivitasnya amat bergantung pada sejauh mana politisi mampu mengapitalisasikan instrumen miliknya. Dengan demikian, korupsi tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektivitas partai. Boleh jadi, ketika korupsi tidak dilakukan, partai politik tersebut pun akan menjadi mati.

Lebih lanjut lagi diungkapkan oleh staff Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM tersebut, bahwa selama misteri kepartaian tidak terpecahkan, keberlanjutan korupsi oleh politisi akan terus berlangsung. Pintu korupsi tetap terbuka, berjalan sistematis, dan senantiasa terjadi repetisi korupsi karena menyangkut survavilitas partai. Cepat atau lambat, upaya pemberantasan korupsi yang kini gencar dilakukan akan mendapat perlawanan dari politisi secara sistematis.
Politisi dan partai akan terus bersiasat dan mempercanggih metode berkorupsi agar terhindar dari jerat hukum. Partai akan senantiasa menjadi pembela dan pelindung politisi korup. Pendekatan hukum akan kembali menemukan jalan buntu saat tidak disertai upaya memecahkan misteri kepartaian. Di sini produktivitas kinerja partai menjadi kata kunci. Partai harus mampu mentransformasi aspirasi dan kepentingan publik menjadi agenda kebijakan. Dengan demikian, partai tidak perlu mendekat kepada rakyat dengan uang, tetapi dengan kebijakan.

Bernuansa Politis

Melihat kenyataan semakin maraknya kasus korupsi yang menjerat para politisi, rakyat pun semakin apatis terhadap pemberantasan korupsi yang tak kunjung usai. Hal ini disebabkan oleh kenyataan pahit karena sebagian besar penentu kebijakan di negeri ini juga dilakukan oleh para politisi itu sendiri. Politisi yang juga sebagai anggota dewan pastilah membuat suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan nada yang bersifat politis, lalu kemudian peraturan tersebut segeran dilakukan oleh pemerintah yang juga banyak dibanjiri oleh para politisi dalam menduduki jabatan sebagai Menteri Negara pasti juga akan membuat kebijakan dengan nuansa politis pula.

Bagaimana jadinya republik ini apabila suatu peraturan dan kebijakan dibuat serta dijalankan dengan maksud politis bukan sebaliknya memberi kebijakan yang pro terhadap rakyat dan pembangunan di negeri ini. Bahkan, apabila kita telisik lebih jauh dengan terlibatnya para politisi dalam kasus suap pemilihan Gubernur BI tersebut, boleh jadi juga beberapa petinggi di beberapa lembaga negara kita akan bernuansa politis karena proses pemilihan mereka untuk menjadi tambuk kekuasaan di beberapa lembaga negara juga melalui seleksi di gedung senayan yang selalu dimotori oleh parta politik tersebut. Sebut saja proses pemilihan Kapolri, Panglima TNI, Ketua KY, Ketua KPK, serta sebagian Hakim Agung dan Hakim Konstitusi mereka tentu menduduki jabatan setelah melalui proses penyaringan oleh anggota-anggota dewan yang juga sebagai politisi. Hal inilah yang semakin melapangkan jalan para politisi untuk melakukan tindakan korupsi dengan berbagai cara karena proses pemilihan sarat kental dengan nuansa politis.

Politisi Tumbuh Subur

Hingga kini pemberantasan koruphttp://www.blogger.com/img/blank.gifsi hanyalah tetap dan sampai kapanpun akan menjadi wacana tanpa ada tindakan yang nyata meskipun pendekar silih berganti dalam tambuk kepemimpinan apabila politisi semakin tumbuh subur di negeri ini. Politisi memang telah meracuni republik ini dengan berbagai tindakan korupsi.

Sejak era reformasi dihembuskan, banyak partai politik yang bermunculan dengan beraneka warna dan mencapai tujuan yang sama yakni menduduki kursi kekuasaan. Dengan semakin banyak dan maraknya partai politik pasca orde baru tersebut, juga secara otomatis banyak melahirkan para politisi dengan berbagai macam cara untuk mengejar kekuasaannya dan kemudian melakukan tindakan korupsi.

Minggu, 23 Januari 2011

Sentilan Lagu Andai Aku Gayus




Andai ku Gayus Tambunan, yang bisa pergi ke Bali/ Semua keinginan pasti bisa terpenuhi// Lucunya di negeri ini/ hukuman bisa dibeli/ kita orang yang lemah pasrah akan keadaan//

Gayus Tambunan lagi-lagi membuat puluhan juta rakyat negeri ini harus menahan rasa geram akibat ulahnya yang selalu menimbulkan kontroversi. Tidak cukup hanya berpiknik ria di pulau dewata Bali, Gayus pun rupanya juga telah merambah ke beberapa kota-kota wisata dunia, sebut saja Singapura, Hongkong, Thailand, Macau. Hal tersebut semakin membuat rakyat di republik ini harus berbuat sesuatu untuk mengekspresikan kekecewaan, kejengkelan, dan keputusasaan terhadap bobroknya sistem hukum dan moralitas penegak hukum di negeri ini.

Setelah beberapa ilustrasi dan sketsa foto-foto Gayus yang seolah-olah dengan berbagai penyamarannya menggunakan wig dan kacamata dapat mengelabui rakyat, kini inspirasi pun datang dalam sebuah dentungan lagu menggelitik dan menyentil yang menceritakan sepak terjangnya. Lagu berjudul "Andai Aku Jadi Gayus Tambunan" ini diciptakan oleh mantan napi Bona Paputungan. Bona sendiri agaknya iri melihat kehidupan Gayus yang bisa bebas plesir ke Bali hingga ke luar negeri ini. Berbeda dengan dirinya pada saat ditahan di Lapas Gorontalo ini yang harus pasrah tidak bisa berbuat banyak.

Sepenggal lirik di atas tersebut setidaknya dapat menggambarkan akan bobroknya penegakan hukum di republik ini. Ibarat sebuah pisau yang mana di bawah lebih tajam sedangkan di atasnya tumpul, begitu juga dengan hukum di negeri ini yang tegas dalam menjerat terhadap kaum lemah dan tidak berdaya serta tidak dapat berbuat banyak terhadap golongan atas.

Apa yang terjadi di negeri sangat kaya akan sumber daya alam ini, mengapa hukum begitu mudah diperjual-belikan dan seakan menjadi barang dagangan yang hanya mampu dibeli oleh kalangan ekomoni berduit dan berdasi saja. Bahkan, aparat penegak hukum sendiri yang seyogyanya menegakan panji-panji hukum pun seakan tidak berdaya dan ikut larut dalam permainan sandiwaran penuh dengan kotoran tersebut.

Sentilan Lagu Gayus

Penegakan hukum yang tebang pilih seakan membuat rakyat di negeri ini menjadi geram. Berbagai cara pun dikemas untuk menggambarkan kenyataan pahit di negeri yang berlandaskan hukum. Salah satu aktor yang kini menjadi topik hangat di balik pemberitaan kasus Gayus yakni Bona Paputungan. Ketenaran dan kontroversi Gayus Tambunan dalam kasus mafia pajak juga kini melekat dalam Bona Paputungan dengan membawakan lagu single hits “Andai Aku Gayus Tambunan”.

Mungkin apabila tidak adanya kasus Gayus dengan plesiran ke Bali, masyarakat pun tidak ada yang mengenal akan sosok Bona Paputungan. Dengan menjadi populer via lagu Gayus, Bona mendapat berbagai macam undangan untuk menjadi tamu di berbagai acara. Bahkan, siapa sangka kelak Bona akan mendapat tawaran untuk masuk studio rekaman, hal tersebut juga tidak terlepas dengan bakat musik yang dipertontonkannya ke publik.

Terlepas dari populernya sang vokalis lagu Gayus tersebut, sebenarnya dalam lirik lagu tersebut terdapat sentilan-sentilan yang dapat membawa kesadaran para petinggi di negara ini akan kenyataan pahit penegakan hukum selama hingga kini. Dalam beberapa lirik lagu tersebut disebutkan hanya bagi kaum berduit dapat melakukan apapun yang dikehendakinya sedangkan bagi orang yang lemah hanya bisa pasrah menghadapi keadaan yang tidak mengenakan di dalam sel tahanan. Lalu, sentilan berikutnya menggambarkan bahwa di negeri ini sangat lucu karena hukuman dapat diperjual-belikan bak barang dagangan yang ada di pasar tradisional.

Separah itukah sentilan dalam lirik lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” karya Bona Paputungan tersebut?. Itulah yang menjadi gambaran pekerjaan rumah penegak hukum kita yang belum terselesaikan hingga kini. Karenanya lirik yang dibuat oleh Bona menceritakan akan kenyataan pahit yang diterimanya sewaktu menjalani proses tahanan. Hal tersebut jugalah yang membuatnya terpanggil untuk menciptakan syair lagu yang membuka fakta akan suramnya dunia hukum kita.

Dalam kasus Gayus Tambunan yang saat itu menjadi tahanan tetapi dapat keluar dan pergi berpiknik ke daerah wisata baik di dalam negeri maupun luar negeri adalah salah satu fakta-fakta dari sekian banyak kasus-kasus yang cukup menghebohkan dan membuat geram rakyat akan bobroknya penanganan hukum di Indonesia.

Masih dalam ingatan kita bagaimana begitu banyak kasus-kasus hukum yang sangat menghebohkan. Hal tersebut bukan karena kasus tersebut menjerat para koruptor kelas kakap di negeri ini, melainkan di luar akal sehat kita membuktikan hukum dapat dijadikan sebagai etalase yang dapat dibeli oleh siapapun selagi masih mempunyai cukup banyak uang dan berkedudukan sebagai penguasa.

Di awal tahun ini kita dikejutkan oleh liputan berbagai media cetak dan elektronik nasional karena ditemukan adanya perjokian untuk para narapidana fiktif. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi apabila masih saja adanya permainan kotor dalam lingkaran mafia-mafia hukum. Tentu saja sangat mustahil apabila para aparatur hukum tidak mengetahui adanya narapidana fiktif di dalam tahanan karena prosedur hukum dimulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lalu lembaga pemasyarakkatan saling berkoordinasi antar satu sama lainnya. Inilah yang menambah keyakinan kita bahwa lingkaran setan bernama mafia hukum di negeri ini masih tumbuh dan bahkan dapat berkembang biak hingga ke anak cucu kita kelak.

Tentu permainan mafia hukum sesungguhnya tidak hanya sebatas perjokian napi saja yang secara mengejutkan di ekspos media pada awal tahun ini. Beberapa waktu yang lalu juga dalam sel tahanan di geledah dengan secara menghebohkan bahwa dalam hotel prodeo tersebut terdapat beberapa fasilitas mewah yang melibatkan terpidana kasus suap pengusaha Artalyta Suryani. Di sel yang seyogyanya sunyi sengap dan dinginnya alas lantai di dalam kamar tahanan, kini dapat di sulap menjadi kamar bernuansa hotel mewah bahkan juga dapat dikatakan seperti apartemen di kawasan elit kota metropolitan. Karena di dalamnya terdapat beberapa fasilitas mewah seperti kasur spring bed yang sangat empuk, pendingin dan pemanas ruangan, televisi beserta seperangkat dvd dengan bernuansa studio teater, kulkas yang berisi makanan siap saji dan beragam buah-buahan nan segar, ada juga kamar mandi dengan tersedianya air dingin dan panas, serta ada tempat khusus layanan salon kecantikan.

Sungguh hal tersebut membuat miris rakyat yang melalu merindukan adanya penegakan hukum tanpa pandang bulu baik terhadap rakyat biasa maupun rakyat berduit. Bagaimana mungkin sel tahanan yang dimaksudkan untuk membuat narapidana menjadi jera dan tidak melakukan perbuatan pidana karena dapat menjadi objek pesakitan justru membuat narapidana yang mendekam di dalam jeruji besi nan mewah menjadi nyaman berlama-lama dan sangat menikmati masa hukumannya tersebut.

Ancaman Terhadap Kritikus

Layaknya di negeri yang belum siap akan demokrasi, dengan membuat lagu beserta video klipnya Bona mendapat berbagai ancaman dan teror dari berbagai orang yang tak dikenal. Tentu saja orang yang berniat mengancam tersebut merasa kesal dan tersindir akibat lirik lagu Bona yang sangat menyentil para penegak hukum di negeri ini.

Ancaman dan teror terhadap Bona sesungguhnya bukanlah yang pertama di republik ini. Dalam catatan sejarah banyak para musisi, penyair dan seniman karena dengan aksinya dan karyanya baik melalui lagu, puisi, sandiwara teater, serta berbagai banyolan membuat mereka mendekam di jeruji besi karena menyindir pemerintah dan para pejabat kita. Koes Plus bersaudara, Iwan Fals, Doel Sumbang, WS Rendra, dan Taufik Ismail adalah segelintir orang-orang yang sangat peduli terhadap bangsa dan negara ini terutama sistem dan penegakan hukum yang masih carut-marut.

Kini, kita berharap sentilan dalam lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” dapat membuat pejabat dan aparatur penegak hukum kita dapat mawas diri dan segera berbenah untuk menegakan panji-panji hukum. Terlebih lagi tidak adanya tebang pilih dalam penegakan hukum, karena hal tersebut untuk meyakini rakyat bahwa negara ini berkomitmen dalam memberantas mafia hukum yang semakin merajalela. Semoga..!!

Selasa, 04 Januari 2011

Nasionalisme dalam Sepakbola

Turnamen piala bergengsi Asia Tenggara AFF 2010 telah berakhir dengan menempatkan negeri jiran Malaysia sebagai negara yang patut untuk kita berikan apresiasi karena keberhasilan sepakbolanya dalam mengakinkan juara Piala Sea Games 2009 dan juga Piala AFF 2010. Untuk tim nasional Indonesia sendiri, kegagalan dalam menjuarai turnamen Piala AFF 2010 menambah daftar panjang negara kita sebagai negara spesialis Runner-up. Timnas Indonesia sendiri hanya berhasil memenangkan turnamen tingkat Asia Tenggara dalam kelas Sea Games sebanyak 2 kali dan untuk turnamen AFF hanya menduduki posisi Runner-up sebanyak 4 kali.

Terlepas dari gagalnya tim garuda dalam menjuarai Piala AFF 2010, ada hal yang patut kita banggakan bahkan melebihi keberhasilan andaikan dalam menjuarai turnamen sepakbola Asia Tenggara tersebut. Hal yang pantas untuk kita banggakan dan rasanya sulit untuk kita dapatkan hingga kini yakni Nasionalisme.

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa rasa nasionalisme kini suatu barang yang langkah di republik ini. Berbagai ketidakadilan sosial di tengah-tengah masyarakat, koruptor yang tak kunjung diberantas bahkan tak tersentuh hukum, serta bobroknya aparatur penegak hukum dalam menjunjung tinggi hukum adalah beberapa alasan yang lazim bagi sebagian bangsa ini untuk tidak lagi mengenal rasa nasionalisme terhadap negaranya.

Bahkan, sebagai bangsa yang konsumtif, Indonesia lebih berbangga menggunakan berbagai produk-produk buatan luar negeri dengan alasan yang beranega ragam. Hal inilah yang menambah keyakinan akan berkurangnya rasa nasionalisme anak bangsa terhadap negaranya. Padahal berbagai produk dalam negeri tersebut tidaklah dapat dipandang sebelah mata dan dapat bersaing dengan produk luar negeri.

Konsep Nasionalisme

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris “nation”) dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. Para nasionalis menganggap negara adalah berdasarkan beberapa “kebenaran politik” (political legitimacy).

Sebenarnya nasionalisme lebih merupakan sebuah fenomena budaya daripada fenomena politik karena dia berakar pada etnisitas dan budaya pramodern. Kalaupun nasionalisme bertransformasi menjadi sebuah gerakan politik, hal tersebut bersifat superfisial karena gerakan-gerakan politik nasionalis pada akhirnya dilandasi oleh motivasi budaya, khususnya ketika terjadi krisis identitas kebudayaan. Pada sudut pandang ini, gerakan politik nasionalisme adalah sarana mendapatkan kembali harga diri etnik sebagai modal dasar dalam membangun sebuah negara berdasarkan kesamaan budaya (John Hutchinson, 1987).

Nasionalisme dapat juga diartikan sebagai semangat memiliki atau sifat dari keinginan untuk berusaha mempertahankan identitas kelompok dengan melembagakan dalam bentuk sebuah Negara. Nasionalisme dapat diperkuat oleh ikatan persamaan ras, bahasa, sejarah dan agama, oleh karenanya nasionalisme selalu terpaut dengan wilayah tertentu.

Istilah nasionalisme digunakan dalam rentang arti yang kita gunakan sekarang. Diantara penggunaan – penggunaan itu, yang paling penting adalah :
1) Suatu proses pembentukan, atau pertumbuhan bangsa-bangsa.
2) Suatu sentimen atau kesadaran memiliki bangsa bersangkutan.
3) Suatu bahasa dan simbolisme bangsa.
4) Suatu gerakan sosial dan politik demi bangsa bersangkutan.
5) Suatu doktrin dan/atau ideologi bangsa, baik yang umum maupun yang khusus.

Pada prinsipnya nasionalisme yang merupakan pandangan atau paham kecintaan manusia Indonesia terhadap bangsa dan tanah airnya yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila. Prinsip nasionalisme bangsa Indonesia selalu dilandasi nilai-nilai Pancasila yang diarahkan agar bangsa Indonesia senantiasa: menempatkan persatuan – kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi atau kepentingan golongan;menunjukkan sikap rela berkorban demi kepentingan bangsa dan negara;bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia serta tidak merasa rendah diri;mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban antara sesama manusia dan sesama bangsa;menumbuhkan sikap saling mencintai sesama manusia;mengembangkan sikap tenggang rasatidak semena-mena terhadap orang lain;gemar melakukan kegiatan kemanusiaan;senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan;berani membela kebenaran dan keadilan;merasa bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari seluruh umat manusia; dan menganggap pentingnya sikap saling menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.

Nasionalisme dalam Sepakbola


Nasionalisme suatu bangsa dapat tumbuh dari beberapa aspek kehidupan berbangsa dan bernegara agar dapat mencintai dan rela berkorban demi tanah airnya. Salah satunya yakni dalam olahraga sepakbola. Sepakbola sebagai olahraga terpopuler di dunia tidak hanya dapat meniadakan perbedaan ras, agama, politik, serta status sosial, melainkan dengan sepakbola suatu bangsa dapat menumbuhkan rasa nasionalisme terhadap negaranya.

Negara Indonesia yang sebagian besar jumlah penduduknya menyukai sepakbola tentu membuat bangsa ini tidak dapat tercerai berai berkat kehadiran sepakbola. Sepakbola selalu meruntuhkan sekatan antara tua dan muda, kaya dan miskin, antar agama, antar warna politik, dan kelompok budaya tertentu. Boleh jadi bahwa sepakbola selalu melahirkan warna satu yakni rasa nasionalisme.

Di dalam sebuah lapangan hijau, para pemain berjibaku dan mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Hal tersebut dilakukan sang pemain bukan hanya lantaran memperoleh bayaran dan janjian bonus pertandingan yang sangat menggiurkan, melainkan juga dengan semangat rasa nasionalisme seorang pemain dapat tampil sangat prima. Maka, tidah heran apabila dengan semangat nasionalismelah prestasi yang salah satunya dari cabang olahraga sepakbola tersebut dapat terbang tinggi dengan mengangkat derajat bangsa dan negaranya.

Sepakbola selalu melahirkan semangat akan rasa nasionalisme. Dengan sepakbola rakyat kini dapat bersatu padu dengan memegang semboyan yang menjadi ciri khas dan identitas negara Indonesia yakni Bhineka Tunggal Ika. Segala urusan kepentingan yang selalu melahirkan pertikaian antar anak bangsa seakan sirna dengan kehadiran sepakbola. Semua anak bangsa dengan berbagai latar belakang status sosial berbaur menjadi satu dan tumbuh kesadaran yang sangat besar akan kecintaan bangsa dan negara. Saat sebuah lagu kebangsaan berkumandang dinyanyikan sebelum dimulainya pertandingan, semua anak bangsa baik di dalam stadiun maupun di layar kaca tercetus untuk ikut menyanyikan lagu yang akan menambah rasa nasionalisme dan jiwa patriotisme.

Kini, saatnya sepakbola bukan hanya diartikan sebagai salah satu cabang olahraga dengan tujuan mencetak gol, meraih kemenangan dengan mengangkat piala dan memuaskan penonton belaka. Akan tetapi, sepakbola juga memiliki esensial filosofi kenegaraan yang membuat suatu negara dan bangsa menjadi sangat kuat dengan bersatunya seluruh rakyat dan memegang satu harapan yakni mengangkat martabat dan harga diri negara di mata dunia Internasional dengan meraih banyak prestasi yang membanggakan melalui olahraga sepakbola.