Sabtu, 26 Desember 2009

Menyikapi Problematika Kota Medan: Reklame, Drainase, dan Kemacetan


Oleh: Andryan, SH


Menjelang Pemilukada kota Medan yang akan berlangsung lebih kurang enam bulan lagi, para bakal calon (Balon) Walikota Medan untuk kepemimpinan 2010-2015 dituntut untuk tidak hanya memajukan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Tapi dari pada itu bakal calon yang akan maju menjadi orang nomor satu di kota terbesar ketiga tersebut dapat mampu menjawab segala problematika kota Medan yang selama ini terbengkalai oleh ketidakbecusan pemimpin terdahulu. Sekiranya yang masih menjadi problematika di kota Medan hingga kini yakni menyangkut masalah Reklame (periklanan), Drainase (sistem pengendalian air), dan Kemacetan Transportasi Darat.


Sejak kasus hukum yang menimpa walikota terpilih Abdilah tahun 2007, kota Medan seakan menjadi daerah tanpa tuan dan kepemimpinan. Terlebih lagi Pj.walikota Affifudin yang tidak memberikan peranan berarti dalam pembangunan kota dan hanya makan gaji buta dengan proyek miliaran rupiah. Kemudian memasuki kepemimpinan Pj.walikota Ruhudman Harahap, kota ini seakan mulai menunjukkan identitas diri sebagai kota barometer Sumatera Utara. Program kerja Ruhudman cukup menyita perhatian publik dengan menata pedagang liar dan membersihkan drainase yang sebelumnya semberawut, maskipun banyak yang harus dikorbankan.


Program kerja Ruhudman telah mancapai titik terang dengan menata kota menjadi lebih bersih dan asri. Akan tetapi, program kerja ini belum sempurna apabila sektor yang lainnya tidak tersentuh seperti menata reklame dengan memberikan sanksi yang tegas apabila tidak memperhatikan estetika kota dan juga mengambil langkah yang jelas dalam mengatasi kemacetan lalu lintas darat yang semakin hari semakin sumpek. Apabila Pj.walikota Ruhudman dan terlebih lagi para kandidat walikota Medan kelak mampu menjawab problematika seperti Reklame, Drainase, dan Kemacetan maka cita-cita kota Medan sebagai kota Metropolitan akan dapat menjadi kenyataan.


Menata Reklame


Masalah reklame di kota Medan telah mencapai puncaknya dengan tidak memperhatikan estetika keindahan kota dan keselamatan berkendaraan lalulintas. Bahkan tidak hanya itu, reklame yang telah menjamur di berbagai sudut kota juga banyak memakan korban. Ada apa dengan pemimpin kota Medan? Mengapa mereka mengorbankan penduduk kota demi untuk mengejar Pendapan Asli Daerah (PAD) berupa perizinan reklame.


Lantas, apakah dengan menjamurnya reklame otomatis akan mendongkrak PAD kota Medan? Apabila kita perhatikan banyak reklame yang tidak mendapatkan izin dan yang berizin pun telah habis masa izinnya. Sebenarnya lebih disayangkan lagi semakin menjamurnya papan-papan reklame ini tidak berbanding lurus dengan PAD yang masuk. Dalam APBD Kota Medan Tahun 2008, Dinas Pertamanan hanya ditargetkan memperoleh PAD dari sektor ini Rp13 miliar.


Meskipun katanya over target, paling maksimal mencapai Rp 20 miliar, itupun kalau tercapai. Bandingkan dengan Surabaya dari sektor ini pada tahun 2006 mereka sudah meraih PAD Rp 40 miliar. Bahkan, Tahun 2007 meningkat menjadi Rp 44 miliar dan tahun lalu menjadi Rp 47 miliar. Padahal Kota Pahlawan ini jumlah papan reklamenya secara kuantitas tidak sebanyak di kota Medan. Untuk itu, pada masa kepemimpinan walikota Medan mendatang diharapkan dapat menata reklame yang hanya menguntungkan pengusaha advertising saja.


Perbaikan Drainase


Kebijakan Pj.walikota Ruhudman Harahap dengan membersihkan drainase dan menertibkan para pedagang liar dengan membuka lapak mereka di atas trotoar dan di atas drainase dapat kita berikan aplaus, meskipun sebenarnya program kerja ini merupakan suatu kewajiban. Sistem pengendalian air (drainase) di Kota Medan sangatlah buruk, sehingga daerah ini harus menjadi langganan banjir setiap hujan tiba. Buruknya pengelolaan drainase disebabkan kinerja yang lemah dari pejabat-pejabat di instansi terkait, meskipun dana yang dialokasikan dari APBD sudah lebih dari cukup.


Penyebab lain adalah kemauan dari instansi terkait tata kota dan lingkungan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat.Buruknya drainase menjadi pemicu banjir di Kota Medan. Dewan Sumber Daya Air pada 2005, pernah merekomendasikan, pengelolaan air menjadi persoalan penting di Provinsi Sumut. Hal ini karena Sumut memiliki curah hujan yang tergolong tinggi, yaitu 1.500-4.500 milimeter per tahun. (berita-terkini.infogue.com).


Pemeliharaan drainase pada umumnya tidak dilakukan secara maksimal, pengorekan rata-rata dilakukan di sisi cover slave (penutup parit) kemudian kembali dikorek di cover slave selanjutnya yang jaraknya berkisar 10 meter. Akibatnya, Lumpur dan kotoran yang berada di dalam parit tak bisa terangkat keseluruhan. Terutama pada parit yang airnya tak mengalir dan lumpurnya bertumpuk. Jika pengerjaan hanya dilakukan di sisi cover slave saja, maka air tidak akan bisa berjalan dan tentu saja titik banjir di Medan tidak akan mampu dientaskan.


Hingga kini masih banyak pedagang dan beberapa pondok liar seperti kedai tuak yang masih berdagang di atas drainase, bahkan ada yang membangun secara permanen. Perbaikan dan pemeliharaan drainase sangatlah penting, selain dapat memperlancar saluran air yang menghambat terjadinya banjir, juga dengan adanya drainase yang baik maka infrastruktur jalan akan terawat dengan baik, tidak seperti sekarang yang mana banyak jalan-jalan di kota Medan berlubang dan tidak layak untuk di lalui oleh kendaraan.


Solusi Kemacetan


Kemacetan lalulintas di jalan pada umumnya terjadi karena ruas jalan tersebut sudah mulai tidak mampu menerima luapan arus kendaraan yang datang secara lancar. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh hambatan yang tinggi, sehingga mengakibatkan penyempitan ruas jalan seperti: parkir di badan jalan, berjualan di trotoar dan badan jalan, pangkalan beca dan angkot, kegiatan sosial yang menggunakan badan jalan (pesta atau kemalangan) dan penyeberang jalan Kemacetan lalulintas dan kecelakaan lalulintas yang cukup berbahaya juga sering terjadi akibat perilaku angkutan umum kota (angkot) yang sering nyelonong dan tiba-tiba berhenti di badan jalan untuk menaikkan/menurunkan penumpang dengan alasan “kejar setoran”. Jadi dengan demikian, kemacetan lalulintas perkotaan terjadi bukan saja karena rasio perkembangan prasarana jalan dengan pertambahan sarana (kendaraan) yang tidak seimbang serta juga tingkat disiplin pengendara yang sangat rendah.


Pertambahan sarana untuk angkutan umum terjadi kenaikan 11 persen per tahun. Sedangkan penambahan sepeda motor 11,96 dari tahun lalu. Akibatnya, kota Medan diliputi kemacetan lalu lintas yang semakin parah. Dishub mencatat jumlah angkutan umum tahun 2007 sudah mencapai 1.425.943 unit. Rinciannya, mobil penumpang sebanyak 189.157 unit, gerobak 120.328 unit, bus 12.751 unit. Sementara itu, sepeda motor mencapai 1.103.707 unit ditambah becak bermotor 26.500 unit.


Sebenarnya pembangunan sarana jembatan layang (fly over) yang sudah ada seperti di Amplas, Pulo Brayan dan akan rencananya dibangun di Jalan Jamin Ginting, Pondok Kelapa dan Kampung Lalang, hanya menyelesaikan kemacetan di spot tertentu saja atau fly over hanya menyelesaikan kemacetan di tempat itu, tidak terintegrasi di lokasi lain.


Ada beberapa solusi untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kota Medan. Pertama, melakukan pengaturan manajemen waktu dan penggunaan jalan, misalnya jam sekolah. Pemko Medan bisa mengatur jam masuk sekolah yang lebih cepat, sehingga tidak terjadi penumpukan kendaraan seperti yang dilakukan di Jakarta. Kedua, penggunaan jalur 3 in 1 pada kendaraan roda empat untuk daerah tertentu. Ketiga, Pemko Medan harus membenahi terminal dan fasilitas yang berkaitan dengan angkutan umum, antara lain, kondisi fisik kendaraan, tempat berhenti maupun menunggu angkot. Keempat, Pemko harus memikirkan persoalan lalu lintas dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Misalnya, dalam pemberian izin mendirikan bangunan seperti membuka lokasi perumahaan dan pertokoan, Pemko jangan hanya mengeluarkan SIMB tetapi harus memikirkan dampak lalu lintasnya dalam sebuah tata ruang. Kondisi saat ini, Pemko hanya mengeluarkan SIMB tetapi tidak memikirkan dampak lalu lintas.