Minggu, 13 Juni 2010

Kemerosotan Moralitas, Salah Siapa?

Terungkapnya dugaan video adegan panas yang diperankan oleh para artis tanah air, kini semakin menampah panjang kebobrokan moralitas yang melanda masyarakat Indonesia. Sebagian besar rakyat kita dan juga tidak ketinggalan para politisi tentu semakin resah akibat terkuaknya video panas mirip artis tersebut. Hal ini tidak lain dengan beredarnya video tersebut, sebagian rakyat yang turut menjadi fans para artis di khwatirkan akan segera terjerumus mengikuti perilaku sang idola pujaannya.


Para artis yang telah dicap dengan penilaian imej buruk yang melekat kepadanya, kini seakan menambah daftar hitam perilaku yang tidak terpuji dan hanya akan menambah persoalan bangsa yang sedemikian bobrok. Dalam masyarakat awam, para artis seakan dapat dicap sebagai manusia yang luar biasa, maka banyak perilaku yang mereka lakukan pun akan ditiru oleh para penggemarnya. Padahal, mereka tetap hanyalah sebagai manusia biasa yang tidak lepas dari lumuran dosa, bukan layak dan pantas menjadikannya sebagai idola atau panutan dalam kehidupan.


Kemerosotan Moralitas


Dengan semakin pesatnya perkembangan dunia informasi dan teknologi, mau tidak mau juga ikut mempengaruhi perilaku masyarakat. Bagi para masyarakat yang mengerti penggunaan teknologi dan informasi sesuai pada tempatnya mungkin akan menambah kehidupannya semakin lebih baik. Akan tetapi, bagi sebagian masyarakat awam yang tidak tau bagaimana menempatkan perkembangan teknologi dan informasi yang semakin mutakhir, maka kemerosotan moralitas yang akan merasuki masyarakat tersebut.


Hingga kini, kemerosotan moralitas sedang melanda masyarakat kita. Kemerosotan moralitas yang dimaksud tidak hanya menyoal tindak pidana korupsi, makelar kasus, mafia peradilan, mafia pajak. Melainkan juga kemerosotan moralitas juga sedang melanda kalangan yang tidak terlibat mengenai politik dan hukum. Kemerosotan moralitas yang dimaksud tersebut yakni tawuran antar pelajar maupun mahasiswa dan juga masyarakat umum, pemerkosaan secara berantai, pelecehan dan penindasan terhadap kaum perempuan, dan juga tentu saja perilaku antar jenis manusia yang seakan tidak malu beradegan layaknya suami-istri dengan dalih sama-sama suka.


Perilaku menyimpang dengan beradegan seks diluar nikah tersebut tentu akan semakin memperburuk moralitas manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Bahkan, adegan mesum diluar nikah tersebut tidak hanya memperburuk moralitas antar keduanya, melainkan juga adegan panas tersebut akan semakin menambah panjang merosotnya moralitas manusia manakala adegan tersebut direkam dengan menggunakan teknologi kamera digital untuk menghasilkan sebuah video sebagai dokumentasi adegan tersebut.


Kini, sebagaimana yang kita ketahui, kamera digital bukanlah suatu barang kategori mewah lagi. Sebagian besar masyarakat tentu banyak yang telah memiliki kamera digital tersebut, baik bersamaan dengan ponsel maupun khusus kamera digital. Hal inilah yang akan semakin memudahkan antar kedua insan untuk merekam adegan yang mereka lakukan.


Tidak jarang kita melihat pemberitaan ditelevisi bahwa para pelajar yang seyogyanya menuntut ilmu setinggi-tingginya, justru terlibat dalam adegan mesum dengan pasangannya. Hal ini pun terungkap saat video hasil rekamannya diketahui oleh orang lain atau teman dekatnya dan kemudian mendistribusikannya ke khalayak ramai.

Salah Siapa?


Melihat kemerosatan moralitas yang melanda di bumi pertiwi, lantas kita pun bertanya-tanya apa yang salah dengan masyarakat kita? Mengapa persoalan moralitas sangat sulit ditegakkan di negeri ini. Siapakah yang harus bertanggungjawab dan dipersalahkan dengan terjangkitnya virus kemerosotan moralitas yang melanda masyarakat Indonesia?


Berbagai aspek dapat mempengaruhi peran dalam meningkatkan moralitas seseorang. Aspek pendidikan, lingkungan sekitar, keluarga, serta pemerintah turut andil dalam berperan menyelesaikan persoalan kemerosotan moralitas. Pertama, Aspek Pendidikan. Pendidikan yang baik tentu dalam upaya meningkatkan moralitas anak didiknya, haruslah mencantumkan kurikulim yang berbasis moralitas seperti budi pekerti, agama, akhlak, serta kurikulum yang dapat menunjang kepribadian dan karakter anak didik menjadi manusia yang baik, beriman serta bertaqwa. Saat ini kita lihat banyak pendidikan yang hanya mengejar materi sebesar-besarnya dan mengabaikan kualitas dan kepribadian lulusannya. Di era yang semakin maju, bisnis pendidikan pun sangat menjanjikan, akan tetapi di tengah bisnis yang menggiurkan tersebut, janganlah kita lantas mengabaikan dengan tidak memberikan pedoman serta pendidikan ekstra kurikuler yang akan meningkatkan keterampilan, kemandirian, dan tentu saja menjaga nilai-nilai moralitas.


Kedua, Aspek lingkungan sekitar. A.Lacassagne (1843-1924) yang juga merupakan seorang Mahaguru di Prancis dalam ilmu kedokteran kehakiman berpendapat bahwa suatu kemerosotan moralitas yang berakhir dengan perbuatan kejahatan dapat dipengaruhi oleh lingkungan sekitar tempat ia berada atau tinggal. Dalam pendapat beliau, mudah dimengeri bahwa perumahan yang buruk, terdapatnya angka kemiskinan yang tinggi, pendidikan yang buruk, serta terdapatnya anak-anak terlantar dan gelandangan akan dapat mempengaruhi kemerosotan nilai-nilai moralitas yang tentu saja dapat berujung dengan tindak kejahatan.


Ketiga, Aspek pemerintah. Suatu negara dapat dinilai baik warganya manakala peran pemerintahnya dalam turut serta mengatasi persoalan moralitas. Pemerintah tentu mempunyai otoritas yang sangat besar dalam membina warganya agar tidak terjerumus dalam kemerosotan moralitas. Hal ini dapat dimengerti bahwa paran pemerintah tersebut dapat dilakukan dengan memberantas tuna susila secara merata dan berkesinambungan, melakukan sensor film secara intensif dan cermat, serta menarik buku-buku yang dapat merusak segi moralitas di masyarakat.


Pemerintah selalui Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saat ini tidaklah bekerja secara serius. Hingga kini pun kita dapat menyaksikan penayangan-penayangan baik sinetron, film bioskop, maupun acara-acara komedi serta talk show yang hanya mengejar rating dan materi tanpa di imbangi dengan pendidikan kepribadian dan moralitas anak bangsa yang menyaksikan tayangan tersebut. Apakah pemerintah menutup mata dan tidak memperdulikan kemerosotan moralitas yang semakin memuncak di republik ini?


Keempat, Aspek keluarga. Dalam menegakkan nilai-nilai moralitas, peran keluarga lah yang dapat menjadi semacam filter atau saringan dari virus-virus yang akan merontokkan kualitas manusia sebagai makhluk mulia baik di hadapan Tuhan maupun ditengah-tengah masyarakat. Keluarga dapat menjadi benteng teakhir yang kokoh dalam menghadapi virus-virus tersebut. Peran keluarga tentu beralasan, yakni dapat memberikan perhatian oleh setiap anggota keluarga, menyelesaikan segala persoalan yang tengah dihadapi oleh salah seorang anggota keluarga, dan tentu juga saling menasehati, mengingatkan atau memberikan bimbingan yang baik agar tidak terjerumus dalam kemerosotan moralitas.


Keluarga yang baik juga dapat membatasi anak-anaknya dalam menyaksikan penayangan yang tidak layak ditonton, memberikan buku-buku ekstra yang bersifat pencerahan diri, motivasi, atau spiritual. Maka, keluargalah yang mempunyai peran sangat besar dalam menjaga anggota keluarganya dari kemerosotan moral. Semoga berbagai polemik yang tengah dihadapi bangsa kita seperti korupsi, makelar kasus, mafia peradilan, mafia pajak, serta yang terhangat adegan panas para artis dan masyarakat umum tentunya dapat menyadarkan kita akan pentingnya menjaga nilai-nilai moralitas lebih dari materi yang berlimpah dan jabatan yang tinggi sekalipun.


Rabu, 09 Juni 2010

Wakil Rakyat Tidak Merakyat

“…wakil rakyat seharusnya merakyat, jangan tidur waktu sidang soal rakyat..”


Itulah sepenggal syair yang dibawakan oleh pemusik legendaris dan sangat kharismatik Indonesia, Iwan Fals. Tentu lagu tersebut tercipta bukan hanya enak didengar para penikmat musik dan penggemar beliau, melainkan dari pada juga lagu tersebut memiliki makna yang seakan turun-temurun menghiasi panggung sandiwara politik kita.


Anggota DPR RI, tentu adalah perwujudan daripada rakyat. Anggota DPR tersebut merupakan amanat serta mandataris rakyat. Mereka ditempatkan disebuah gedung parlemen dengan embel-embel jabatan terhormat untuk dapat serta merta membela dan membawa aspirasi rakyat. DPR pun dibentuk untuk menjaga keseimbangan antara antara pemerintah (eksekutif) dengan rakyat (DPR). Pemerintah sebagai pelaksana kehidupan berbangsa dan bernegara tentu harusnya mendapat pengawasan dari rakyat agar kebijakan yang ditetapkan tidak menjurus kepada sikap kediktatoran. Maka, untuk mewakili rakyat dengan jumlah yang sangat besar tersebut, dibentuklah DPR sebagai wakil rakyat.


DPR sebagai perwujudan rakyat mempunyai tugas pokok yakni Pengawasan, Legislasi, dan Anggaran. Begitu vitalnya tugas dan fungsi DPR, maka negara pun memberikan fasilitas-fasilitas yang masuk kategori mewah. Dari gaji pokok beserta tunjangannya, perumahan dinas beserta isi perabotannya, mobil dinas beserta bahan bakarnya, stelan jas nan mahal, biaya perjalanan dinas, biaya sidang, serta fasilitas-fasilitas menggiurkan yang seakan membuat jutaan rakyat negeri ini berlomba untuk menjadi wakil rakyat dan menduduki kursi empuk tersebut.


Dengan begitu banyak fasilitas golongan atas yang diberikan negara, maka setiap anggota DPR seyogyanya hanyalah berfikir mengenai rakyat dengan membuat sebuah peraturan (legislasi) dan anggaran untuk segera dilaksanakan pemerintah (eksekutif), serta juga memberikan pengawasan (monitoring) agar pelaksanaan peraturan dan anggaran yang telah ditetapkan tersebut tidak menyimpang dari koridornya. DPR tentu juga tidak perlu memikirkan kehidupan setelah habis masa jabatannya, karena setiap anggota DPR juga akan diberikan dana pensiunan yang sangat besar.


Tidak Merakyat


Syair lagu yang dibawakan oleh bang Iwan Fals dengan judul “surat buat wakil rakyat” sangatlah tepat menggambarkan bagaimana sebenarnya prilaku anggota DPR kita dalam berperan dengan dalih “memperjuangkan hak rakyat”. Bahkan, perilaku anggota dewan tersebut bukanlah untuk satu periode jabatan, melainkan hampir turun-temurun setiap periode jabatan.


Seakan tidak mempunyai rasa malu dengan keadaan rakyatnya, anggota dewan selalu beperilaku bak super star yang selalu harus dilayani bukan sebagaimana mestinya yakni melayani rakyat sebagai perwujudan atas dirinya. Anggota dewan kita memang tidaklah merakyat sebagaimana yang disyairkan oleh bang Iwan Fals. Anggota DPR tidak mempunyai kepekaan terhadap rakyat yang sebagian besar rakyatnya untuk membeli sebungkus nasi saja sangatlah sulit. Bahkan, dibawah kursi empuk saat sidang soal rakyat, anggota dewan kita malah tidur dengan sangat nyenyak dan selalu menyanyikan lagu setuju terhadap hasil apapun yang diketuk palukan oleh sang ketua sidang, padahal yang disetujui pun mereka tidak tau.


Sebahagian anggota DPR pun dihiasi oleh para artis yang kualitas dan integritasnya dalam membangun negara serta memperjuangkan ratusan juta rakyat masih dipertanyakan. Para artis sebagaimana yang kita ketahui adalah figus yang hanya hidup gemerlap tanpa peduli dengan kondisi rakyat. Hingga kini banyak artis yang duduk di parlemen masih juga tetap bekerja di bidang entertainment seperti menjadi pembawa acara ataupun menjadi juri pada sebuah acara hiburan di televisi. Lantas, dapatkah kita menerima tindakan para wakil rakyat tersebut? Wakil rakyat sebelum menduduki jabatannya, ia pastilah telah bersumpah dan bertekad untuk memperjuangkan rakyat disetiap waktu dan kesempatannya, bukan sebaliknya menjalani profesi ke-artisan dengan tetap ingin menjaga popularitas dan mendapatkan penghasilan berlimpah seperti yang selalu diperankan oleh para artis yang duduk di gedung rakyat. Hal itu tentu menambah imej, bahwa wakil rakyat memang tidaklah merakyat sebagaimana yang dinyanyikan oleh bang Iwan Fals.


Pengkhianatan Terhadap Rakyat


Untuk yang kesekian kalinya anggota DPR mengkhianati rakyatnya, melukai rakyatnya, dan seakan bersenang diatas penderitaan rakyatnya. Mengapa tidak, lagi-lagi anggota DPR merampok uang rakyat untuk mengenyangkan perut mereka. Meski sudah lama dikritik gemar menghamburkan uang rakyat, anggota DPR tidak juga berubah. Di tengah jeritan atas penderitaan rakyat, anggota DPR masih membuat rencana merealisasikan dana aspirasi Rp15 miliar per daerah pemilihan (Dapil).


Usulan itu tentu saja dapat memboroskan anggaran negara sebesar Rp8,4 triliun. Menurut Todung Mulya Lubis, ada banyak alasan mengapa keinginan DPR mendapat dana aspirasi sebesar Rp 15 miliar wajib ditolak. Salah satunya adalah soal fungsi DPR sebagai badan legislasi. Sebagai badan pembuat UU, banyak RUU yang justru mandek di tengah jalan. Fungsi legislasi ini saja sudah gagal dilaksanakan dengan sempurna oleh DPR. Selain itu, dana yang jika ditotal untuk 560 anggota DPR mencapai Rp 8,4 triliun itu juga dianggap melanggar sejumlah aturan. Mulai dari UU No 17 Tahun 2003, UU No 1 Tahun 2004, UU No 32 Tahun 2004, UU NO 15 Tahun 2004, UU No 33 Tahun 2004, hingga UU No 27 Tahun 2009. "Keenam UU itu menegaskan bahwa lembaga legislatif adalah pengguna anggaran dan bukan pengelola keuangan negara. (DetikNews.com)


Belum genap setahun, anggota DPR sudah menghabiskan Rp 10,06 triliun uang APBN. Uang sebesar itu dengan catatan dana aspirasi jadi dikeluarkan. Kurun waktu yang digunakan sejak September 2009-Juni 2010. Untuk pelantikan DPR, negara sudah mengeluarkan uang Rp 28,5 miliar. Renovasi rumah jabatan anggota dewan di DPR menghabiskan Rp 300 miliar. Belum lagi jatah tinggal sementara anggota Dewan hingga rumahnya selesai yang mencapai Rp 84 miliar. Ada juga pengadaan komputer 687 unit sebesar Rp 11,03 miliar. Bantuan untuk parpol sebesar Rp 8,6 miliar. Gaji dan tunjangan DPR, belum termasuk gaji ke-13 serta fasilitas penunjang lainnya, mencapai Rp 31,024 miliar. DPR sendiri juga sudah merencanakan renovasi gedung mereka yang katanya miring sebesar Rp 1,2 triliun. Dan yang paling baru, dana aspirasi yang jika ditotal mencapai Rp 8,4 triliun.


Dalam APBN-P 2010, anggaran fasilitas bagi anggota DPR meningkat tajam. Tidak hanya dana sebagaimana yang disebutkan diatas, melainkan juga anggota DPR juga mendapat berbagai fasilitas mulai dari biaya kesehatan, akomodasi, fasilitas kredit kendaraan, asuransi kecelakaan, dan biaya pelesiran ke luar negeri. Biaya kunjungan anggota dewan ke luar negeri untuk pembahasan 13 RUU, dalam APBN-P 2010 dianggarkan Rp44,63 miliar. Jumlah itu naik lebih 100% jika dibandingkan dengan alokasi pos yang sama dalam APBN 2010 sebesar Rp21,4 miliar.


Peneliti Indonesia Budget Center (IBC) Roy Salam memerinci biaya kesehatan anggota DPR dialokasikan sebesar Rp36,9 miliar. Itu berarti setiap anggota dewan mendapat fasilitas tersebut senilai Rp66 juta per tahun. Anggaran akomodasi sebesar Rp93,4 miliar. Dengan demikian setiap anggota dewan mendapat Rp.l67 juta per tahun. Selain mendapat fasilitas-fasilitas tersebut, anggota dewan mendapat honor dari rapat-rapat komisi dan kunjungan kerja baik di dalam maupun luar negeri. Pertambahan anggaran terbesar terjadi di Komisi VII dari Rp7,9 miliar menjadi Rp31,8 miliar. Fasilitas kredit kendaraan pribadi anggota DPR dalam APBN-P 2010 dianggarkan sebesar Rp86,3 miliar. Jumlah itu naik dari alokasi dalam APBN 2010 sebesar Rp33,5 miliar.


Melihat besarnya dana alokasi yang diperuntukkan untuk kepentingan anggota DPR tersebut, kini pantaskah kita menilai bahwa anggota DPR adalah wakil rakyat dan berperan untuk memperjuangkan rakyat?. Padahal, apabila kita melihat kenyataan, anggaran pendidikan, kesehatan, sosial, serta anggaran kesejahteraan rakyat lainnya masihlah tergolong kecil untuk dialokasikan kepada rakyat yang benar-benar membutuhkannya.

Minggu, 06 Juni 2010

Menggugat Pajak Reklame Kota Medan

Salah satu problematika kota Medan yang tidak kunjung usai dalam menuju kota Metropolitan yakni semakin menjamurnya papan reklame. Papan reklame yang terdiri dari billboard, spanduk, baliho, maupun jenis papan iklan raksasa yang memasarkan sebuah produk kini semakin tidak terurus dengan semberawutnya kota Medan bak kota besar yang tidak memiliki pemerintahan. Tidak hanya itu, papan reklame yang telah membuat kota ini semakin sumpek, juga telah menganggu estetika kota serta dapat membahayakan keselamatan bagi penduduk kota Medan.


Ada apa dengan pemerintahan kota Medan? Meskipun tambuk kepemimpinan kota ini silih berganti, akan tetapi problematika papan reklame dalam menata estetika kota dan memperhatikan keselamatan penduduk kota seakan tidak terealisasi. Mengapa pemimpin kota ini mengorbankan penduduk kota demi untuk mengejar Pendapan Asli Daerah (PAD) berupa pajak dan retribusi reklame?


Lantas, apakah dengan menjamurnya reklame tersebut otomatis juga akan mendongkrak PAD kota Medan? Apabila kita perhatikan banyak reklame yang tidak mendapatkan izin dan yang berizin pun telah habis masa izinnya. Sebenarnya lebih disayangkan lagi semakin menjamurnya papan-papan reklame tersebut tidak berbanding lurus dengan PAD yang masuk. Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Medan Tahun 2008, Dinas Pertamanan hanya ditargetkan memperoleh PAD dari sektor ini Rp13 miliar.


Meskipun katanya over target, paling maksimal mencapai Rp 20 miliar, itupun kalau tercapai. Bandingkan dengan Surabaya dari sektor ini pada tahun 2006 mereka sudah meraih PAD Rp 40 miliar. Bahkan, Tahun 2007 meningkat menjadi Rp 44 miliar dan tahun lalu menjadi Rp 47 miliar. Padahal Kota Pahlawan ini jumlah papan reklamenya secara kuantitas tidaklah sebanyak di kota Medan dan lebih tertata dengan memperhatikan estetika kota dan juga keselamatan penduduknya.


Menggugat Pajak Reklame


Dengan begitu menjamurnya papan reklame dan seakan lebih mengutamakan dalam mengejar PAD kota Medan, kita tentu bertanya-tanya apakah antara pejabat Pemko dalam hal ini yang berwenang dalam menata dan memungut pajak papan reklame Dinas Pertamanan Kota Medan dengan pengusaha advertising ada “permainan”?


Setidaknya dugaan adanya “permainan” antara pejabat Pemko Medan dengan pengusaha advertising tersebut mendekati kenyataan dengan melihat hasil temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), sekitar 121 perusahaan reklame diduga tidak membayar pajak dan retribusi kepada Pemerintah Kota Medan melalui Dinas Pertamanan Kota Medan, sejak tahun 2006-2009 yang telah menimbulkan kerugian negara Rp.18 miliar lebih. (Harian Analisa, 02/06/10). Bahkan tidak hanya itu, dalam pemberitaan harian tersebut juga menyatakan bahwa ratusan reklame dalam berbagai ukuran yang memenuhi Kota Medan, diduga tidak memberikan kontribusi ke Pendapatan Asli Daerah (PAD). Hal ini kuat dugaan kita adanya penyimpangan ke kantong pejabat terkait dengan jumlah yang sangat besar tersebut.


Meskipun penyelewengan pajak reklame kota Medan masih dalam penelitian Tim Penyelidikan Pidana Khusus (Pidsus) Kejatisu, tentu kita selalu penduduk kota ini memandang sinis antara pejabat Pemko Medan dan juga para pengusaha advertising. Sebab, selain telah menindas rakyat dengan semberawutnya kota dan tidak memikirkan keselamatan jiwa para pengendara lalu lintas serta warga sekitar, tindakan pejabat Pemko Medan juga telah mencederai rasa kepercayaan dan mengkhianati masyarakat kota Medan dengan melakukan “permainan” kotor dengan para pengusaha advertising tersebut.


Sebagai penduduk kota Medan, kita tentunya telah muak dengan apa yang telah dilakukan pemerintah kota ini dalam menata kota Medan menjadi kota Metropolitan. Berbagai problematika seperti masalah drainase yang tidak kunjung usai dan semakin memperluas kebanjiran, masalah kemacetan yang kian parah, dan juga tentu saja masalah penataan reklame yang seakan tidak memikirkan jiwa keselamatan penduduk dengan membiarkan papan reklame ukuran raksasa terpampang di tengah badan jalan.


Ironisnya, meskipun Pemko Medan telah tertutup telinga dalam mendengarkan jeritan rakyat terhadap papan reklame yang seakan siap kapan saja memakan korban demi untuk mengejar PAD kota Medan, malah pajak reklame pun yang seharusnya masuk dalam PAD juga disikat melalui “permainan” dengan pengusaha advertising. Bukankah pajak reklame yang seharusnya masuk dalam PAD tersebut juga merupakan uang rakyat?


Kerugian negara dan tentunya juga kerugian rakyat terhadap penyelewengan pajak reklame tersebut bukanlah nominal yang kecil. Apabila hasil kerugian tersebut diperuntukkan untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, pemberian bantuan kredit terhadap UKM, serta berbagai program kesejahteraan rakyat, maka sangatlah besar dampak yang ditimbulkan secara langsung untuk pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan di negeri ini. Rakyat kini tidaklah diam mengetahui haknya “dirampok” orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Maka, rakyat dapat menggugat hak mereka tersebut dengan terus mendesak aparat penegak hukum untuk lebih mendalami dan mengusut kasus yang telah menghambat kesejahteraan rakyat tersebut.


Rakyat dalam menggugat penyelewengan pajak reklame tidaklah hanya memantau serta mendesak aparat penegak hukum untuk menyeret para perampok hak rakyat tersebut. Akan tetapi, lebih jauh juga apabila pihak terkait tidak dapat bertindak, maka rakyat tentunya akan menggugat bersama-sama pihak kepemudaan dan lembaga masyarakat lainnya untuk melakuan pembongkaran secara paksa papan-papan reklame yang menunggak pajak serta papan reklame yang tidak sesuai dengan estetika kota Medan dan keselamatan jiwa penduduk kota Medan. Selain itu, pejabat di Dinas Pertamanan kota Medan yang seyogyanya bertanggungjawab secara langsung haruslah melakukan blacklist terhadap perusahaan advertising yang menunggak dan juga memberikan sanksi secara tegas serta lebih tepatnya dapat juga memberikan efek jera kepada para pengusaha advertising untuk tidak menyengsarakan rakyat dengan menunggak pajak reklame.


Peranan Walikota Terpilih


Sebentar lagi kota Medan akan segera memiliki walikota untuk yang kedua kalinya sebagai walikota pilihan penduduk kota Medan melalui jalur demokrasi. Dengan adanya pemerintahan baru tersebut, tentu siapa pun walikota yang akan terpilih mendatang, kita berharap adanya peranan yang nyata terhadap perubahan kota ini terutama penanganan papan reklame.


Hingga kini papan reklame sangatlah tidak bersahabat dengan penduduk kota Medan. Papan reklame yang berdiri di tengah-tengah badan jalan dapatlah mengganggu penglihatan para pengendara lalulintas. Bahkan tidak sedikit juga papan reklame berdiri dengan ukuran raksasa tepat diatas trotoar yang seyogyanya merupakan hak para pejalan kaki. Papan reklame yang telah tumbuh subur di kota Medan sangatlah lebih besar dampak kerugiannya dibandingkan dengan keuntungannya. Kita banyak melihat korban-korban yang telah tewas dan cedera akibat papan reklame, baik karena tumbang tertiup angin kencang saat tujun hujan, maupun karena mengganggu penglihatan pengendara lalulintas.


Apakah dengan banyaknya korban akibat tidak tertatanya papan reklame dan juga puluhan miliar rupiah tunggakan pajak papan reklame tidak cukup bukti menyadarkan para pemimpin kota ini khususnya bagi pemerintahan baru mendatang untuk lebih serius menangani masalah papan reklame? Maka, dengan adanya walikota terpilih mendatang, kita pun dapat berharap banyak agar papan reklame dapat diatur sesuai dengan estetika kota, keselamatan pengendara lalulintas, dan juga dapat meraup pemasukkan berupa pajak dan retribusi papan reklame ke dalam PAD agar keindahan kota Medan serta kesejahteraan penduduknya dapat terealisasi dalam menuju kota Medan sebagai kota Metropolitan. Semoga..!!!