Sabtu, 15 Mei 2010

Bersahabat dengan Buku

Buku, rasanya tidak ada satu orang pun yang tidak mengenal barang yang satu ini. Buku adalah jendela dunia, barangkali istilah ini juga tidak ada yang bisa menyangkalnya. Dengan buku, seseorang dapat membangun peradaban, mengembangkan teknologi muktahir, dan tentu saja dapat membangun sebuah negara diikuti dengan warganya yang mempunyai sumber daya manusia berkualitas. Oleh karenanya, dengan buku lah dunia yang telah kita nikmati hingga kini masih dapat menghidupi sinarnya dengan berbagai perkembangan pesat teknologi dan informasi.


Tidak dapat kita pungkiri bahwa seseorang untuk menjadi pintar dan cerdas tidak terlepas dari perannya buku. Siapa yang tidak mengenai Bill Gate, seorang pencetus teknologi modern dengan mendirikan perusahaan kelas dunia yang sangat disegani yakni Microsoft Corp. Bill Gate telah banyak berperan dalam memudahkan segala perkerjaan yang dilakukan manusia. Dengan kepintarannya di bidang matematika, ia lantas bersama teman kuliahnya Paul Allen, membuat program Microsoft. Hampir seluruh perkantoran di penjuru dunia mengunakan Microsoft sebagai perangkat lunak pendukung fasilitas kantornya.


Dengan perannya tersebut, maka ia pun lantas dinobatkan dalam beberapa tahun silam sebagai manusia terkaya di dunia. Apa yang membuat seorang Bill Gate menjadi besar dan dipuja dunia ? Tentu saja jawabannya adalah buku. Hal ini dikarenakan Bill Gate adalah pencinta buku sejati. Dengan bukulah ia dapat mendirikan perusahaan yang sangat prestesius dan menjadikan ia orang sebagai terkaya dunia dalam beberapa tahun. Bahkan, dengan kecintaannya terhadap buku hingga kini ia masih meluangkan waktu untuk membaca buku meskipun dalam keadaan yang tidak memungkinkan untuk dapat membaca buku.


Sungguh luar biasa dengan kehadiran buku. Ia dapat menghipnotis siapa pun dengan berbagai topik bacaan dan hasil hipnotisnya tersebut pun dapat membuahkan sebuah prestasi cemerlang. Buku dapat dikatakan sebagai magnet kehidupan, selagi buku masih dapat kita genggam, maka kehidupan pun dapat kita raih.


Penulis hingga kini masih teringat, saat penulis mengantarkan seorang teman yang hendak pengadu nasib di negeri jiran Malaysia sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Saat itu pemilik perusahaan perkebunan terbesar di Malaysia tempat teman penulis bakal bekerja, berceramah. Salah satu ucapan pembukaan yang bakal penulis ingat sepanjang hidup adalah ia melontarkan “bahwa saya sama saudara (TKI) adalah sama, akan tetapi yang membedakan saya dengan saudara adalah karena saya rajin membaca buku”. Sungguh pernyataan yang menyejukan dari seorang pemilik perusahaan perkebunan dengan memiliki tenaga kerja lebih kurang 20.000 orang.


Lain halnya dengan Yusuf Kalla saat masih menjabat sebagai Wakil Presiden R.I. Beliau dalam berbagai kesempatan mengunjungi salah satu sekolah dasar di Jakarta. Sebagaimana yang kita ketahui, Yusuf Kalla adalah anak bangsa yang cerdas, Saudagar kaya asal Makasar, dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pembangunan di negeri pertiwi. Saat itu beliau bersanda gurau dengan murid-murid SD.


Di tengah-tengah senda gurau tersebut, tiba-tiba ada seorang murid yang bertanya dengan beliau. Ia dengan wajah polosnya mengatakan “Bapak, saya ingin seperti bapak apa sih rahasianya”. Sontan saya Yusuf Kalla pun tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan polos dari seorang anak tersebut. Lalu, beliau dengan nada serius menjawab “satu yang membuat saya jadi sekarang ini adalah banyak membaca buku, itulah rahasianya”. Dapat dikatakan, bahwa banyak para pemimpin serta orang sukses lainnya dalam kehidupan tidaklah terlepas dari perannya selalu meluangkan waktu untuk membaca buku.


Meningkatkan Kualitas Diri


Belajarlah dengan membaca buku. Itulah pesan para pendidik yang selalu penulis ingat sejak kali pertama menginjakkan kaki di bangku sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Meskipun kehadiran dunia maya saat ini dalam memberikan dunia informasi semakin hari semakin canggih, akan tetapi peran buku tidaklah dapat digantikan sampai kapan pun. Karena buku dapat memberikan data secara terperinci dilengkapi dengan sumber yang dapat dipertangungjawabkan. Hal ini tentu berbeda dengan dunia maya, sebagaimana yang kita ketahui bahwa mesin pencari data seperti google atau yahoo sangatlah popular dan sangat mudah penggunaanya, akan tetapi data yang kita dapatkan tidaklah selalu dapat dikatakan akurat dengan sumber yang tentu tidak dapat dipertangungjawabkan.


Buku dapat meningkatkan kualitas dalam diri kita. Karenanya, usahakan membaca buku dalam bidang kita paling sedikit 30 menit sampai 60 menit tiap hari. Membaca bagi otak adalah olah raga bagi tubuh. Selama satu jam setiap hari akan menjadi satu buku per minggu. Satu buku per minggu akan menjadi 50 buku pertahun. Lima puluh buku akan menjadi 500 buku dalam 10 tahun yang akan datang.


Karena rata-rata orang dewasa membaca buku dari satu buku pertahun, ketika kita mulai membaca satu jam per hari, atau satu buku per minggu, akan memberi kita keunggulan yang luar biasa di bidang kita. Kita akan menjadi salah satu orang paling cerdas, paling kompeten, dan dibayar paling mahal diprofesi kita hanya dengan membaca buku selama sejam setiap hari.


Tidaklah dapat kita pungkiri bahwa buku adalah jendela dunia. Dengan kehadiran buku maka kita pun dapat menemukan dan mengenal bangsa dan negara-negara di penjuru dunia. Bahkan oleh peran buku lah kita dapat mengenal para tokoh-tokoh dunia yang telah beribu tahun wafat. Sungguh suatu hal yang mustahil bila tidak ada buku karena kita tidak mungkin bisa mengenal seseorang tokoh dan mempelajari pemikirannya yang telah lebih dahulu wafat beribu tahun lamanya.


Bersahabat dengan Buku


Siapakah sahabat yang paling setia mendampingimu baik dalam keadaan suka maupun duka? Mungkin tidaklah terlalu banyak menemukan sahabat sejati sepanjang hidup kita. Karena kebanyakan teman yang kita kenal hanyalah teman yang hanya dapat bersenang ria bersama kita, akan tetapi dalam keadaan duka, sedikitlah yang mau mendampingi dan bersama kita untuk dapat merasakan duka. Lantas siapakah teman sahabat sejati kita? Tentu saja buku. Buku dapat menjadi sahabat kita yang paling setia, tidak kenal tempat, ruang dan waktu.


Buku dapat menjadi sahabat kita karena buku juga tidaklah mengenal apakah ia kaya atau miskin, tua atau muda, laki atau perempuan, ataupun juga tidaklah mengenal apakah ia seorang pejabat atau sebagai rakyat biasa. Hal inilah yang tidak didapatkan oleh sahabat-sahabat lain yang kita kenal, karena dalam menjadikan kita sahabat tentu banyak pertimbangannya.


Sebagai sahabat sejati, buku dapat menemani kita dimanapun, baik saat kita sedang menuju tempat kerja di angkutan umum, saat kita makan, saat kita hendak tidur, saat kita santai, ataupun maaf saat kita buang hajat. Sungguh mengasyikan hidup bersama buku. Dengan buku juga kita dapat menghidupkan semangat yang telah layu, membangun kepercayaan diri yang telah rontok, atau juga dapat membantu antar sesama untuk memberikan solusi dalam berbagai persoalan kehidupan.


Buku tentulah dapat memberikan kita kehidupan yang lebih baik, bermakna, serta bermanfaat antar sesama. Akan tetapi, perlulah digaris bawahi bahwa tidaklah semua buku dapat memberikan kemanfaatan yang besar kepada kita. Sebab, seseorang dalam sepuluh tahun mendatang hidupnya akan berbeda, salah satunya adalah buku yang ia baca. Buku memang dapat memberikan kita semangat hidup, lebih cerdas, dan mensyukuri hidup. Tapi hal ini tidaklah untuk buku-buku yang kurang bermakna dan bermanfaat, salah satunya adalah komik atau buku-buku sejenis yang hanya dapat memberikan kesenangan sesaat tanpa memberi manfaat lebih dalam kualitas hidup kita.


Sebagaimana halnya kata pepatah yakni sahabat dapat membawa kita ke puncak kesuksesan atau juga dapat menjerumuskan kita ke lembah kegagalan. Oleh karenanya, buku jugalah demikian. Buku yang kita baca apakah dapat memberikan manfaat dengan meningkatkan kualitas diri kita atau tidak. Maka, carilah dan bacalah buku-buku yang dapat mengubah hidup kita menjadi lebih baik, serta dapat membawa peran kita di masyarakat.


Rabu, 12 Mei 2010

Aparat Penegak Hukum Haruslah Bermoralitas

Menanggapi tulisan dari saudara Hendra Leo beberapa waktu lalu yang berjudul : Pendidikan Hukum “sudah” Berbasis Moralitas, yang sekaligus juga merupakan tulisan pertentangan beliau terhadap tulisan saya sebelumnya yang berjudul “Pendidikan Hukum Berbasis Moralitas” pada harian yang sama. Membaca tulisan dari saudara Hendra Leo sungguh membuat saya pribadi berdeguk kagum. Hal ini mengingat saudara Hendra Leo masih menginjakkan kaki di bangku perkuliahan. Berdeguk kagum tersebut tentu beralasan, sebab sebagai seorang mahasiswa hukum yang masih harus banyak bergelut dengan buku dan perdebatan haruslah selalu menjunjung tinggi hukum beserta aparat penegak hukumnya.


Paradigma berfikir saudara Hendra Leo yang mengatakan aparat penegak hukum sebagai pilar-pilar dalam menegakkan hukum dapatlah kita benarkan. Akan tetapi, perlu diketahui juga bahwa subtansi dalam penegakkan hukum tersebut tidaklah dapat kita rasakan sebagaimana yang seharusnya. Hal ini tentu saja dikarenakan pembentukkan aparat penegak hukum yang telah keluar jalur dari rasa perikemanusiaan. Aparat penegak hukum kini hanya berorientasi terhadap jalannya hukum secara subtansi tanpa juga harus diikutsertakan dalam berhati nurani dan berakhlak mulia.


Belum Bermoralitas

Sebagai penegak hukum yang menjaga panji-panji hukum dalam masyarakat, sudah barang tentu advokat, hakim, jaksa, serta polisi dan aparat penegak hukum lainnya haruslah memiliki kompetensi dalam mendalami pengetahuan hukum. Hal ini mengingat perkembangan masyarakat yang kian maju dan komplek. Maka, penegak hukum pun harus lebih jeli lagi dalam menegakan keadilan dan juga menjaga ketertiban dan keamanan dalam kehidupan bernegara.


Dalam tulisan ini perlu juga saya kembali sampaikan kepada masyarakat umumnya dan saudara Hendra Leo khususnya, bahwa disamping harus mendalami kompetensi profesionalitasnya, aparat penegak hukum juga haruslah diimbangi dalam pendidikan berbasis moralitas. Hal ini mengingat aparat penegak hukum kita belum banyak memiliki segi moralitas dalam menegakan hukum di bumi pertiwi. Moralitas yang penulis maksudkan disini tentu saja memiliki kejujuran, berakhlak mulia, berhati nurani, kepekaan sosial, rasa mengasihi dan menyayangi terhadap sesama makhluk.


Penulis berani mengatakan aparat penegak hukum kita belum memiliki moralitas dalam menjalankan hukum tersebut. Sebab, kebobrokan aparat penegak hukum bukan saja dalam perkara korupsi dan makelar kasus yang semakin hari semakin tumbuh subur. Akan tetapi, kebobrokan yang lebih keji dari pada korupsi dan mekelar kasus tersebut, yakni tidak adanya hati nurani dan rasa mengasihi serta menyayangi sebagai makhluk ciptaan Tuhan dan hal itu dapat saja merontokkan nilai-nilai perikemanusiaan.


Sebagaimana yang kita ketahui beberapa waktu lalu, seorang nenek minah harus mendekam dijeruji besi dikarenakan ketidaksengajaannya ia mencuri tiga buah coklat seharga Rp.3000,- padahal buah yang ia ambil tersebut telah terlebih dahulu jatuh ke tanah. Beberapa waktu yang lalu juga, sepasang suami-istri tuna netra harus merasakan pesakitan dalam pemeriksaan dengan status sebagai tersangka, dikarenakan ia tidak tau yang dititipkan oleh seseorang yang tidak dikenalnya adalah tas berisi ganja. Dalam pemeriksaan suami-istri tuna netra tersebut, ia harus merasakan siksaan dan intimidasi petugas agar mau mengakuinya. Belum lagi kasus beberapa anak dibawah umur harus juga merasakan dinginnya sel tahanan karena hanya bermain kartu remi.


Kasus-kasus yang sejogyanya tidak perlu terjadi tersebut adalah segelintir dari kasus yang hanya dapat mencoreng aparat penegak hukum itu sendiri. Aparat penegak hukum hanya membaca hukum melalui teks secara subtansi saja tanpa adanya hati nurani dalam menegakan hukum itu sendiri. Sungguh hal ini dapat merusak nilai-nilai perikemanusiaan yang semakin mengkhawatirkan.


Beberapa waktu lalu juga berbagai media baik cetak dan elektronik heboh dengan pernyataan kontroversial seorang advokat senior, Hotman Paris Hutapea. Dalam pernyataan Hotman Paris yang dimuat dalam suatu wawancara di media cetak luar negeri tersebut, sungguh membuat bulu kuduk kita merinding. Hal ini tentu saja pernyataan beliau yang mengatakan bahwa tidak ada satu orang pun advokat yang jujur. Advokat merupakan profesi yang mulia (officium nobile), tentu apabila seorang advokat dalam menjalankan profesinya baik dalam berhadapan dengan klien maupun di pengadilan tidak jujur, maka selain dapat mencoreng profesi mulia yang disandang advokat, juga dapat meruntuhkan hukum karena advokat juga sebagai penegak hukum.


Pendidikan Berbasis Moralitas


Kondisi penegakan hukum yang buruk tersebut sangat terkait erat dengan kualitas aparat penegak hukum sebagai salah satu elemen dalam sistem hukum, bahkan menjadi salah satu faktor terpenting dalam penegakan hukum. Kualitas aparat penegak hukum secara umum dinilai berbagai kalangan masih sangat buruk karena kurang professional, tidak jujur, mudah disuap, korup, tidak memiliki hati nurani, dan sebagainya yang bersifat negative. Jika ditelusuri pembentukkan watak, kemampuan, dan kepribadian penegak hukum itu, akan sampai pada titik tertentu, yakni pendidikan hukum dimana aparat penegak hukum itu menimba ilmu pengetahuan hukum.

Walaupun kondisi buruk penegakan hukum itu tidak dapat disalahkan semuanya kepada pendidikan hukum, tetapi sedikit banyaknya kualita penegak hukum yang demikian juga dibentuk oleh pendidikan hukum di fakultas hukum. Untuk itu penting untuk melakukan pengkajian mengenai sejauh mana sistem pendidikan hukum di fakultas hukum memengaruhi kepribadian, watak, dan kemampuan seseorang penegak hukum.


Salah satu jawaban yang dapat diberikan dalam persoalan tersebut yakni bahwa sistem pendidikan hukum di fakultas hukum masih kurang berbasis moralitas yang bertumpu pada agama dan etika. Sebagian isi dari sistem pendidikan hukum yang ada masih sarat dengan aspek secular dan liberal. Kondidi ini dapat dipahami mengingat sistem pendidikan hukum di Indonesia banyak menyerap dan mengadopsi sitem pendidikan hukum barat, terutama Belanda, yang memang sekuler dan liberal sebagai konsekuensi logis dari penjajahan Beda di Indonesia. Karakteristik hukum yang demikian sesunguhnya sama sekali tidak sesuai dengn kondisi masyarakat Indonesia yang religius, dimana agama menjadi acuan penting dalam menjalani kehidupan, terutama menentukan sikap terhadap lingkungannya.

Oleh karena itu, penting untuk dipertimbangkan bagaimana membangun pendidikan hukum yang berbasis moralitas di tanah air. Tujuanya agar proses pendidikan hukum yang berlangsung sejalan dengan nilai-nilai moralitas, serta lulusannya selain menguasai pengetahuan hukum secatra teoritis dan profesi, juga memahami kedudukan dan perannya sebagai makhluk yang bermoralitas dengan taat menunaikan ajaran agamanya dan menjauhi larangan-laranganNya.


Pendidikan hukum yang berbasis moralitas mempunyai dasar hukum yang sangat kuat, baik di tingkat konstitusi maupun undang-undang, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menganut ide Ketuhanan Yang Maha Esa, baik dalam Pembukaan maupun pasal-pasal. Salah satu pokok pikiran dalam Pembukaan UUD 1945 yang memuatcita-cita luhur dan filosofis adalah “bahwa negara Indonesia adalah negara yang berKetuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab”.


Dalam hal pendidikan, UUD 1945 juga telah menentukan bahwa pendidikan sangat erat dengan moralitas. Hal ini dapat dikaji dari rumusan Pasal 31 ayat (3) yang menyatakan bahwa “Pemerintah mengusahakan da menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang”.


Hal ini berarti, negara hendaknya membuka ruang bagi ekspansi yang berbasis moralitas, agama, dan nilai-nilai spiritual ke dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk juga pendidikan. Pemisahan nilai-nilai profetik-spritual dari urusan duniawi justru memperburuk krisis, penderitaan, ketidakadilan, dan konflik.

Selasa, 04 Mei 2010

Menggugat Visi dan Misi Para Calon Pemimpin

Sejak tergusurnya tambuk kekuasaan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, lalu dibuka lembaran baru dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia dengan nama era reformasi. Dalam era saling keterbukaan tersebut, tidak hanya dinikmati seluruh rakyat untuk dapat serta mengkontrol jalannya pemerintahan negara, tapi juga bagi para calon-calon pemimpin bangsa untuk berlomba-lomba menjadi pemimpin pilihan rakyat.


Sekarang dapat kita sebut sebagai era perebutan kursi pemimpin bangsa. Siapa saja dapat menjadi pemimpin, entah itu dengan latar belakang ras, agama, suku, maupun berbagai latar belakang pendidikan sekalipun. Hal ini disebabkan oleh perubahan perundang-undangan kita yang menghendaki para pemimpin negara dan daerah untuk dapat dipilih secara langsung oleh rakyat. Pemilihan secara langsung oleh rakyat sungguh menjadi angin segar bagi para calon yang “gila” kedudukan. Padahal banyak di negeri ini para pemimpin yang “gila” kedudukan tersebut tidak diikuti oleh kapasitasnya sebagai pemimpin yang benar-benar dibutuhkan rakyat.


Entah apa yng ada dibenak para calon “gila” kedudukan tersebut, apakah uang yang telah terlintas dipikirannya dengan bergelimang anggaran tetek bengek agar dapat dikorup sebanyak-banyaknya atau hanya untuk mempermainkan rakyat saja agar tetap dan selalu menderita. Hal ini penulis katakan, sebab para calon pemimpin bangsa yang hendak maju menjadi pemimpin negeri dan daerah masih jauh dikatakan sebagai pemimpin yang mumpuni dan layak di sandang sebagai pemimpin.


Pembodohan Publik


Para calon pemimpin yang hendak menjadi pemimpin, tentu dalam upayanya maju dan hendak menarik simpati rakyat, ia mengusung suatu visi dan misi yang sungguh-sungguh membuat rakyat terlena. Mengapa tidak, sungguh tidak asing lagi apabila kita mendengar visi dan misi para calon pemimpin kita yang mengusung “angan-angan” mereka dengan memberikan pendidikan gratis hingga tingkat menengah atas, bahkan ada yang hingga perguruan tinggi, pemberian kesehatan gratis, pemberian kesejahteran berupa subsidi secara langsung tunai, penurunan harga kebutuhan pokok, atau “angan-angan” dengan memberikan pelayanan birokrasi yang tidak terbelilit-belit dan gratis pula, serta pelayanan jamkesmas lainnya. Lalu masihkan kita sebagai rakyat yang dalam hal ini sebagai konstetuen dalam pemberian suara kepada para calon pemimpin tersebut percaya begitu saja dan lantas terlena hinga menjatuhkan pilihan tersebut?


Rakyat tentu telah muak dengan apa yang selalu dijanjikan oleh para pemimpin negeri ini. Pemilihan para pemimpin bangsa secara langsung dapat kita katakan sebagai pembodohan publik. Hal ini tentu beralasan, sebab dari pemilihan pemimpin tertinggi yakni presiden dan wakil presiden. Rakyat saat itu dijanjikan untuk diberikan kehidupan yang sejahtera. Lalu, setelah terpilih dan menduduki kursi yang sangat empuk tersebut, ia lantas lupa dengan apa yang telah dijanjikannya tersebut.


Setelah pemilihan secara langsung presiden dan wakil presiden, lalu ada lagi pemilihan untuk menduduki kursi di Pemerintahan Daerah Tingkat I yang mana kita sebut sebagai pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Sebagaimana yang telah kita prediksi sebelumnya, bahwa visi dan misi para calon pemimpin daerah tersebut tidaklah jauh dengan yang yang menjadi visi dan misi presiden dan wakil presiden yakni menjadikan kesejahteraan kepada rakyatnya. Setelah para gubernur dan wakil gubernur terrsebut menduduki kursi yang empuk itu juga, ia pun lantas lupa dengan apa yang telah mereka janjikan kepada rakyat untuk memberikan kesejateraan kepada rakyatnya.


Setelah pemilihan presiden dan wakil presiden, lalu pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Ada lagi pemilihan calon pemimpin daerah lainnya, yang mana kita sebut sebagai pemimpin daerah tinggkat II yakni walikota dan wakil waliokota dan/atau bupati dan wakil bupati. Tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi para pemilihan pemimpin sebelumnya yakni menjadikan rakyat sejahtera. Pemimpin daerah tingat II ini pun menjanjikan pula agar rakyat mendapatkan kesejateraanya tersebut.


Apa yang telah dipertontonkan para pemimpin negeri ini, baik presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil bupati. Memberikan pelayanan terbaik dan berkualitas serta meningkatkan kesejateraan kepada rakyat sungguh masih menjadi “angan-angan” belaka. Para pemimpin tersebut bahkan telah membuat rakyat semakin bingung dan bodoh. Hal ini karena rakyat telah dipermainkan oleh “ janji-janji” yang tidak pasti.


Sesungguhnya tugas siapakah untuk memberikan kesejahteraan kepada rakyat, apakah presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, atau walikota/wakil walikota, dan bupati/wakil bupati?. Bahkan, apabila visi dan misi tersebut tidak terlaksana, lantas pemimpin-pemimpin negeri ini pun saling menyalahkan satu sama lainnya sehingga rakyat seringkali terabaikan.


Dapatkah kita percaya adanya pendidikan gratis yang diikuti dengan kualitas pendidikan pula, padahal potret disekitar kita masih terdapat begitu banyak anak-anak terlantar yang masih tergolong belia?. Lalu, dapatkah kita percaya dengan adanya pelayanan kesehatan gratis nan berkualitas, padahal masih banyak hingga kini rakyat miskin yang hendak berobat ditolak mentah-mentah pihak rumah sakit lantaran tidak dapat membayar uang perobatan. Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, banyak penduduk negeri ini harus merelakan nyawa anggota keluarganya lantaran tidak mampu berobat ke rumah sakit. Apakah pemimpin negeri ini mengetahui atau bahkan tidak ingin tau dengan keadaan rakyatnya?. Sungguh pemimpin yang masih jauh dengan hati nurani dan mempunyai kepekaan sosial.


Melihat rakyatnya menderita yang tak kunjung usai, pemimpin-pemimpin kita dengan gaya dan setelan jas mahal dan ditumpangi oleh mobil mewah yang anggaranya merupakan hasil dari uang rakyat, hanya pintar angan-angan dan janji-janji yang tidak diikuti oleh hasil kerja nyatanya. Sungguh mengiris hati melihat hidup glamor para pemimpin negeri ini disaat itu juga beberapa rakyat kita harus menahan berhari-hari untuk tidak makan dan tidak dapat tidur nyenyak. Lalu, ada juga sebagian rakyat kita harus menahan sakit bahkan ada yang harus mengorbankan nyawanya dikarenakan ketidakmampuan ia membayar uang berobat ke rumah sakit.


Menggugat Visi Para Pemimpin


Pedulikah sebenarnya para pemimpin kita terhadap rakyatnya? Melihat para calon pemimpin negeri ini dalam memberikan visi da misinya sungguh membuat kita terlena, akan tetapi setelah mereka terpilih, visi dan misi tersebut hanya tinggal kenangan saja. Para pemimpin tersebut hanya sibuk mengurus bagaimana caranya agar biaya saat kampanye dan biaya-biaya untuk menjadi pemimpin tersebut dapat segera kembali secepatnya, meskipun dengan berbagai cara mereka tempuh.


Rakyat tentunya haruslah menggugat para pemimpin yang tidak menepati visi dan misinya saat kampanye tersebut. Sebab, rakyat telah banyak dibohongi dan dibodohi dengan visi dan misi para pemimpin yang tentunya tidak bertangungjawab tersebut.

Sejak pelaksanaan pemilihan langsung pemimpin bangsa, rakyat tentu telah pintar dan lebih banyak mengetahui seluk-beluk para calon yang akan menduduki dirinya sebagai pemimpin. Oleh karenanya, rakyat haruslah lebih pintar juga dalam memilih para calon pemimpin bangsa dimasa depan. Rakyat dalam menggugat visi dan misi para calon pemimpin bangsa tersebut, tentunya dengan lebih banyak belajar mengetahui visi dan misi yang lebih realistis untuk dapat di implementasikan secara nyata.


Apabila visi dan misi yang dikampanyekan oleh para calon pemimpin tersebut dapat membuat terlena rakyat, akan tetapi apabila dikemudian hari visi dan misi tersebut sulit dilaksanakan, tentu hanya akan kembali membodohi rakyat. Sebaliknya, sekecil dan sederhana pun visi dan misi yang sangat menyentuh rakyat, tapi dapat di implementasikan. Maka, pemimpin tersebut benar-benar dibutuhkan rakyat. Semoga dalam pelaksanaan pemilihan pemimpin daerah yang akan digelar dibeberapa daerah dapat melahirkan pemimpin yang amanah, mumpuni, dan dapat dibutuhkan rakyat. Semoga.!!