Rabu, 30 Desember 2009

Sang Jenaka Itu Telah Berpulang




Oleh: Andryan, SH


Di penghujung tahun 2009 kita kembali kehilangan anak bangsa dan tokoh negarawan. Setelah sebelumnya bangsa kita kehilangan beberapa anak bangsa lainnya seperti Ali Alatas, WS Rendra, Ismail Sunny, dan kini KH.Abdurrahman Wahid atau yang dikenal secara luas dengan sapaan Gus Dur telah meninggalkan kita menuju kehidupan di alam baka. Gus Dur yang merupakan Presiden Republik Indonesia yang ke-4 wafat tepat berusia 69 tahun pada rabu petang, tanggal 30 desember 2009. Kita tidak dapat melihat kembali tokoh konservatif dan demokratis yang dikenal secara lugas apa adanya dengan humoris, jenaka, serta memiliki gagasan-gagasan yang brilian tersebut.


Tidak hanya itu saja, Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang pluralisme dan ingin menghidupkan sikap toleransi di dalam kebhinnekaan bangsa Indonesia. Baginya Indonesia harus dibangun dengan sikap kebersamaan tanpa diskriminasi antar kelompok primordial atau jender. Dia selalu menceritakan dengan bangga betapa kakeknya, KH.Hasyim Asy’ari yang merupakan pendiri NU, selalu berjuang dan mengajarkan kepada umatnya untuk bersikap toleran, bukan hanya sesama muslim yang berbeda mazhab melainkan juga terhadap sesama warga bangsa Indonesia.


Selain itu, Gus Dur kerapkali di kenal publik sebagai tokoh kontroversial. Hal tersebut tidak lain karena dalam mengambil kebijakan sewaktu menjabat sebagai presiden menimbulkan berbagai kontroversi. Salah satu kebijakan yang dikenal hingga kini yakni saat Gus Dur mengeluarkan Dekrit perihal pembekuan parlemen. Sontak saja banyak kalangan yang terkejut mengenai keputusan Gus Dur tersebut. Lalu, atas kebijakannya tersebut, lantas Gus Dur di lengserkan melalui pranata impeachment.


Gus Dur merupakan salah satu tokoh bangsa yang di kenal bersih serta membela kepentingan rakyat kecil. Hal itu juga yang mendasari Gus Dur ketika menghapuskan Departemen Penerangan yang pada masa Orde Baru sebagai lembaga yang membungkam suara rakyat melalui media kontrolnya. Maka, hingga kini publik dapat merasakan betapa bebasnya rakyat kita dalam menyuarakan aspirasi dan pendapat yang di landasi secara konstitusional. Selain itu, Gus Dur yang merupakan tokoh majemuk semua lintas agama dan kepercayaan, maka Gus Dur pun memberikan ekspresi dan tempat terhadap kaum thionghoa dengan agama konghucu. Bahkan, oleh karenanya lah atraksi barongsai hinga kini dapat dipertunjukkan secara terbuka.


Tokoh Berpengaruh


Tidak dipungkiri bahwa Gus Dur adalah orang yang sangat berpengaruh di republik ini khususnya dalam dinamika politik nasional. Maka tidak heran apabila seseorang ingin mencalonkan menjadi calon bupati/walikota, gubernur, hingga presiden dan wakil presiden maka ia akan menghadap Gus Dur untuk meminta restu ataupun saran. Gus Dur memang mempunyai modal politik yang sangat besar dan kuat secara nasional. Berjuta-juta orang di negeri ini, terutama warga NU, hanya akan mau menjatuhkan pilihannya berdasarkan titah Gus Dur. Pilihan politik ribuan kiai NU yang tidak pernah muncul di Koran-koran, tetapi menjadi simpul-simpul kekuatan NU sangat bergantung pada arahan Gus Dur. Mereka mengangap Gus Dur sebagai azimat, bahkan tak sedikit yang menganggapnya sebagai wali dan keramat. Apapun yang dikatakan oleh Gus Dur, itulah yang akan mereka lakukan. Maka, percaya atau tidak, tingginya angka Golongan Putih (Golput) pada setiap pemilihan umum dan pemilukada, tidak lain karena Gus Dur mendeklarasikan dirinya golput atau tidak menggunakan hak pilihan politiknya.


Pengaruh Gus Dur yang begitu besar di kalangan warga NU, bukan saja banyaknya disebabkan oleh kenyataan bahwa Gus Dur berdarah biru karena merupakan cucu dari pendiri NU, KH.Hasyim Asy’ari, bukan juga karena lantaran kecerdasan dan kemampuannya menyejajarkan drinya dengan tokoh-tokoh berbagai bidang di seluruh dunia, melainkan juga karena Gus Dur menghimpun modal politiknya itu selama puluhan tahun, bahkan juga dalam cengkraman diktator orde baru.


Gus Dur, sang jenaka


Gus Dur kerapkali bersikap jenaka dalam berhadapan dengan setiap orang dan juga berbagai media. Bahkan dalam berpolitik pun Gus Dur menunjukkan kelihaiannya dalam melakukan serangan politik sambil berkelit dengan mengundang senyum geli. Serangan atau sentilan politik Gus Dur kerap mengundang tawa geli karena selain sangat keras juga lucu. Mahfud MD dalam bukunya Hukum Tak Kunjung Tegak memberikan beberapa lelucon-lelucon yang sangat menarik. Beberapa diantaranya yakni ketika humor politik yang dilemparkan Gus Dur kepada Presiden Kuba Fidel Castro saat melakukan kunjungan kenegarawan ke Kuba.


Gus Dur ketika itu memancing tawa saat menyelingi pembicaraannya dengan Fidel Castro. Ia mengatakan bahwa semua presiden Indonesia punya penyakit gila. Presiden pertama, Bung Karno dikenal sebagai presiden gila wanita, presiden Kedua Soeharto dikenal sebagai presiden gila harta, presiden ketiga, BJ. Habibie juga dikatakannya dikenal sebagai presiden benar-benar gila alias gila beneran, sedangkan Gus Dur sendiri sebagai presiden keempat sering membuat orang gila karena yang memilihnya juga orang-orang gila. Sebelum tawa Fidel Castro reda, Gus Dur sontan bertanya , “yang mulia Presiden Fidel Castro termasuk orang yang mana?”. Fidel Castro menjawab sambil tetap ketawa, “saya termasuk yang ketiga dan keempat.


Banyolan yang dilontarkan Gus Dur tidak hanya sampai di situ saja. Ketika mengunjungi Habibie di Jerman. Oleh orang dekat Habibie. Gus Dur di minta mengulangi cerita lucunya tersebut dengan Fidel Castro. Merasa tak enak menyebut Habibie sebagai presiden Indonesia yang benar-benar gila atau gila beneran, maka Gus Dur memodifikasi ceritanya tersebut. Kepada Habibie, Gus Dur mengatakan bahwa ia bercerita dengan Presiden Kuba Fidel Castro bahwa Presiden Indonesia hebat-hebat. Presiden Soekarno seorang negarawan, presiden Soeharto seorang hartawan, presiden BJ. Habibie seorang ilmuwan, sedangan ia menyebut dirinya sendiri sebagai presiden wisatawan. Selain menghindari menyebut Habibie sebagai presiden benar-benar gila atau gila beneran. Jawaban yang dilontarkannnya juga terkesan bersahabat atas kritik yang mengatakan bahwa dirinya sebagai presiden yang banyak pergi ke luar negeri, seperti seorang yang berwisata.


Lalu ada lagi kisah jenaka yang dihanturkan Gus Dur yakni ketika berceramah di depan kerumunan massa, misalnya Gus Dur mengajak massa untuk membaca salawat bersama-sama dengan suara keras. Setelah itu, dia mengatakan, selain mencari pahala, ajakan membaca salawat tersebut adalah untuk mengetahui berapa banyak orang yang hadir. “Dengan lantunan salawat tadi, saya jadi tahu berapa banyak yang hadir di sini. Habis, saya tak dapat melihat. Jadi, untuk tahu besarnya yang hadir, ya dari suara salawat saja” Gus Dur menjelaskan.


Itulah sekelumit banyolan yang dilakoni oleh seorang Gus Dur sebagai tokoh yang jenaka dan melucu karena sebelum ia memberika kritik yang sangat pedas terhadap lawan politiknya, maka sebelumnya juga ia menertawakan dirinya sehingga orang yang yang ia sindir dan kritik tidak tersinggung. Berkali-kali Gus Dur dirawat di rumah sakit. Namun, berkali-kali pula berbagai media massa memberitakan bahwa dari tempat perawatannya Gus Dur masih terus melontarkan humor-humor politik yang menggelikan dan menyegarkan. Mungkin saja humor bagi Gus Dur adalah vitamin yang menyehatkan.


Kini, meskipun bangsa ini masih mengharapkan dan merindukan kehadirannya, akan tetapi Allah Swt telah berkehendak lain, Gus Dur pun di jemput oleh Yang Maha Kuasa sebagai tempat kembalinya seluruh umat manusia. Kecemerlangan berupa gagasan-gagasan brilian beliau, sikap jenaka yang menggelikan serta menyegarkan, dan sebagai tokoh yang berpengaruh tidak dapat kita lihat dan dengar lagi. Semoga Gus Dur dapat tidur tenang bersama beberapa tokoh bangsa lainnya yang telah lebih dahulu menghadap sang khalik serta kita yang cepat atau lambat akan segera menyusul dan juga semoga segala amal ibadah beliau dapat diterima di sisi-Nya. Selamat jalan Gus Dur, sumbangsih dan pengorbanan yang telah engkau tanam dan berikan di bumi pertiwi ini tidak akan kami lupakan sebagai penerus bangsa.

Tahun Baru Sebagai Introspeksi Diri


Oleh: Andryan, SH


Tahun baru telah menanti kita. Kini, kita akan memasuki tahun 2010 meninggalkan tahun 2009. Sebagaimana halnya tahun-tahun sebelumnya, tahun baru kali ini tentu juga dihiasi oleh berbagai suka cita menyambut pergantian masa tahunan tersebut. Akan tetapi, cukupkah kita menyambut pergantian tahun dengan suka cita seperti hura-hura dijalanan, menghidupkan kembang api secara besar-besaran, bergadang semalam suntuk, hingga aktivitas senonoh yang seharusnya tak patut kita lakukan dalam menyambut tahun baru. Tapi, setidaknya berbagai aktivitas dalam menyambut tahun baru tersebut seakan telah menjadi budaya, baik untuk kalangan dunia barat maupun kalangan dunia kita sendiri yakni dunia timur. Mengapa hal tersebut perlu terjadi?


Apabila kita telusuri, maka tahun baru merupakan momen yang paling tepat dalam mengintrospeksi diri kita untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana halnya tahun baru islam (Hijriyah) yang telah berlalu beberapa pekan sebelumnya. Pada tahun baru islam tersebut kita disuguhi oleh sebuah makna “Hijrah”. Makna hijrah tidak hanya berarti bahwa suatu perpindahan atau perjalanan ke suatu daerah yang sebagaimana telah dilakoni oleh Rosululloh Muhammad Saw beserta para sahabat beliau, tapi makna sesungguhnya adalah suatu transformasi diri ke arah yang lebih baik. Maka tidak heran bagi umat islam diperintahkan agar melakukan hijrah bila keadaan sebelumnya tidak membuahkan perubahan yang berarti.


Bagi tahun masehi, pergantian tahun juga memiliki makna yang sama sebagaimana halnya dengan tahun baru hijriyah yakni mencapai keadaan yang lebih baik. Pada tahun-tahun sebelumnya, sebagian dari kita pasti ada yang menyadari bahwa pada tahun tersebut menjadi tahun yang kelabu, tahun yang suram, dan tahun yang tidak membuahkan perkembangan bagi individu kita. Maka, pantaskah kita menyambut tahun baru dengan tindakan yang hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan materi saja. Padahal, kita tidak tahu untuk tahun selanjutnya apakah menjadi tahun yang dapat merubah kehidupan kita ke arah yang lebih baik atau malahan menjadi tahun yang semakin buruk untuk kita lalui dalam perjalanan hidup. Jika kita tidak mengevaluasi kehidupan kita yang telah berlalu, niscayalah kita tidak akan dapat mencapai kehidupan yang lebih baik tersebut. Sebab, berbagai kesalahan yang seharusnya tidak kita lakukan pada tahun yang lalu akan berpotensi terulang kembali jikalau kita tidak menyadari, mengevaluasi, serta mengintrospeksi diri pada kesalahan yang kita lakukan tersebut.


Lalu, apabila kita merayakan malam pergantian tahun dengan tindakan hura-hura tanpa merefleksikan perjalanan hidup kita dengan sang Khalik, maka sama saja kita tidak merasa bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada kita berupa kesehatan, kesempatan, dan keimanan. Pergantian tahun merupakan sebuah renungan, apakah dengan semakin bertambahnya umur dan berkurangnya masa hidup kita, dapat kita pergunakan sebaik mungkin, tidak hanya untuk pribadi kita, keluarga, lingkungan sekitar, tapi juga untuk bangsa dan negara kita.


Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa malam pergantian tahun identik dengan pesta kembang api. Pergelaran tersebut tentunya memakan biaya yang sangat besar dan hanya kenikmatan sesaat saja. Pantaskah kita menghamburkan biaya-biaya yang tidak mempunyai faedah yang berarti tersebut diatas derita beberapa masyarakat kita yang hanya untuk membeli nasi sebungkus saja sangat sulit baginya? Tidak hanya itu saja, bagi bangsa kita tahun baru merupakan sebuah peringatan kemanusiaan. Sebab, sebagaimana yang telah kita ketahui tahun 2004 menjelang beberapa hari pergantian tahun, bangsa kita sedang menghadapi ujian yang maha berat dari sang pencipta. Gempa yang maha dahsyat diiringi oleh tsunami menelan ratusan ribu rakyat Indonesia di Aceh. Setidaknya inilah peringatan dari sang pencipta kepada makhluknya agar senantiasa mengambil hikmah setiap kejadian. Lalu, pantaskah kita merayakan secara besar-besaran pada tahun baru dan mengesampingkan renungan dari kejadian hikmah dimasa lampau?


Problematika Bangsa


Tidak hanya itu saja, problematika bangsa yang menyelimuti republik ini seakan tidak ada habisnya. Tahun 2009 merupakan tahun yang kelabu khususnya bagi penegakan hukum di tanah air. Pada tahun tersebut tidak jarang aparat penegak hukum yang sejogyanya menegakkan panji-panji hukum justru membuat hukum menjadi buram. Setidaknya yang menjadi sorotan publik pada tahun 2009 yakni skandal mafia peradilan pada kasus BLBL yang melibatkan petinggi Kejaksaan Agung serta jaksa koordinator kasus BLBI. Mereka secara mengejutkan melakukan jualbeli perkara dengan pengusaha kasus BLBI. Lalu, ada kasus kriminalisasi pimpinan KPK Bibit Samad Ryanto dan Chandra M.Hamzah yang seakan integritasnya dalam membongkar jaringan korupsi di republik ini digoyahkan oleh oknum yang juga merupakan aparat penegak hukum. Kemudian adanya berbagai kasus ketidakadilan hukum seperti kasus Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan kepada rumah sakit yang merawat kesehatannya, justru menimbulkan malapetaka ketidakadilan bagi pasien tersebut yang juga mempunyai haknya. Lalu, ada kasus nek Minah yang mencuri 3 buah Kakao seharga Rp.3000,- diproses secara hukum dengan tidak manusiawi.


Kemudian, disamping melibatkan rakyat secara ketidakadilan melalui proses hukum yang terbelit-belit, aparat penegak hukum dan khususnya pemimpin negeri ini seolah tidak mempunyai rasa kepekaan sosial. Sebab, lagi-lagi kucuran dana yang berasal dari uang rakyat harus mengalir kepada para petinggi dan orang yang berkepentingan untuk memperkaya dirinya. Kasus skandal Bank Century dengan dana bailout sebesar Rp. 6,7 Triliun, merupakan salah satu kasus yang meresahkan hati rakyat Indonesia setelah sebelumnya ada skandal BLBI. Dimanakah hati nurani pemimpin negeri ini? Disinilah kita harus kembali merenungkan dan mengintrospeksi diri kita kedepannya agar lebih bijak dan jangan salah langkah dalam memilih pemimpin untuk mempejuangkan kehidupan rakyatnya.


Kehidupan sebagian masyarakat Indonesia seakan semakin terimpit oleh melonjak tingginya harga kebutuhan pokok, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok, sedangkan disisi lain terdapat sebagian kelompok masyarakat yang tergolong mampu secara ekonomi menggunakan harta kekayaannya untuk berfoya-foya. Tingginya angka kemiskinan ini dapat menimbulkan gejolak sosial, serta maraknya budaya kekerasan yang bertentangan dengan etika dan sopan santun sebagai bangsa yang beradab. Sebagaimana yang diungkapkan oleh mantan Sekjen PBB, Kofi Annan “bagaimanapun juga masyarakat tidak akan merasa nyaman kalau disekitarnya masih banyak fakir miskin”. Berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini semakin terasa lengkap karena penegakan hukum yang belum sungguh-sungguh memihak kepada hukum, kebenaran, dan keadilan. Padahal, penegakan hukum merupakan faktor penting dalam menentukan arah dan menyelenggarakan pembangunan. Aparat penegak hukum seringkali menggadaikan integritas profesinya untuk memperoleh keuntungan financial belaka dengan melakukan judicial corruption. (Frans H.Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi).


Mekipun pemerintahan SBY jilid II telah mendeklarasikan program ganyang mafia pada 100 hari. Tapi, program ini tidak akan berjalan tanpa adanya langah yang kongkrit dari semua elemen, baik para pemimpin negeri ini, aparatur penegak hukum, serta masyarakat selaku pemantau jalannya penegakan hukum. Masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum secara efektif. Sebab, baik secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat ikut terlibat dalam mafia peradilan tersebut, seperti melakukan sogok menyogok dalam jual beli perkara di pengadilan serta memberikan berbagai uang pelicin untuk memudahkan jalannya.


Untuk itu, kedepannya kita bersama elemen bangsa dan negara dapat melakukan perbaikan dan mengatasi problematika bangsa agar hukum dapat tegak dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Kini, saatnya kita sambut pergantian tahun baru dengan sikap introspeksi diri untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Semoga...!!!

Sabtu, 26 Desember 2009

Menyikapi Problematika Kota Medan: Reklame, Drainase, dan Kemacetan


Oleh: Andryan, SH


Menjelang Pemilukada kota Medan yang akan berlangsung lebih kurang enam bulan lagi, para bakal calon (Balon) Walikota Medan untuk kepemimpinan 2010-2015 dituntut untuk tidak hanya memajukan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Tapi dari pada itu bakal calon yang akan maju menjadi orang nomor satu di kota terbesar ketiga tersebut dapat mampu menjawab segala problematika kota Medan yang selama ini terbengkalai oleh ketidakbecusan pemimpin terdahulu. Sekiranya yang masih menjadi problematika di kota Medan hingga kini yakni menyangkut masalah Reklame (periklanan), Drainase (sistem pengendalian air), dan Kemacetan Transportasi Darat.


Sejak kasus hukum yang menimpa walikota terpilih Abdilah tahun 2007, kota Medan seakan menjadi daerah tanpa tuan dan kepemimpinan. Terlebih lagi Pj.walikota Affifudin yang tidak memberikan peranan berarti dalam pembangunan kota dan hanya makan gaji buta dengan proyek miliaran rupiah. Kemudian memasuki kepemimpinan Pj.walikota Ruhudman Harahap, kota ini seakan mulai menunjukkan identitas diri sebagai kota barometer Sumatera Utara. Program kerja Ruhudman cukup menyita perhatian publik dengan menata pedagang liar dan membersihkan drainase yang sebelumnya semberawut, maskipun banyak yang harus dikorbankan.


Program kerja Ruhudman telah mancapai titik terang dengan menata kota menjadi lebih bersih dan asri. Akan tetapi, program kerja ini belum sempurna apabila sektor yang lainnya tidak tersentuh seperti menata reklame dengan memberikan sanksi yang tegas apabila tidak memperhatikan estetika kota dan juga mengambil langkah yang jelas dalam mengatasi kemacetan lalu lintas darat yang semakin hari semakin sumpek. Apabila Pj.walikota Ruhudman dan terlebih lagi para kandidat walikota Medan kelak mampu menjawab problematika seperti Reklame, Drainase, dan Kemacetan maka cita-cita kota Medan sebagai kota Metropolitan akan dapat menjadi kenyataan.


Menata Reklame


Masalah reklame di kota Medan telah mencapai puncaknya dengan tidak memperhatikan estetika keindahan kota dan keselamatan berkendaraan lalulintas. Bahkan tidak hanya itu, reklame yang telah menjamur di berbagai sudut kota juga banyak memakan korban. Ada apa dengan pemimpin kota Medan? Mengapa mereka mengorbankan penduduk kota demi untuk mengejar Pendapan Asli Daerah (PAD) berupa perizinan reklame.


Lantas, apakah dengan menjamurnya reklame otomatis akan mendongkrak PAD kota Medan? Apabila kita perhatikan banyak reklame yang tidak mendapatkan izin dan yang berizin pun telah habis masa izinnya. Sebenarnya lebih disayangkan lagi semakin menjamurnya papan-papan reklame ini tidak berbanding lurus dengan PAD yang masuk. Dalam APBD Kota Medan Tahun 2008, Dinas Pertamanan hanya ditargetkan memperoleh PAD dari sektor ini Rp13 miliar.


Meskipun katanya over target, paling maksimal mencapai Rp 20 miliar, itupun kalau tercapai. Bandingkan dengan Surabaya dari sektor ini pada tahun 2006 mereka sudah meraih PAD Rp 40 miliar. Bahkan, Tahun 2007 meningkat menjadi Rp 44 miliar dan tahun lalu menjadi Rp 47 miliar. Padahal Kota Pahlawan ini jumlah papan reklamenya secara kuantitas tidak sebanyak di kota Medan. Untuk itu, pada masa kepemimpinan walikota Medan mendatang diharapkan dapat menata reklame yang hanya menguntungkan pengusaha advertising saja.


Perbaikan Drainase


Kebijakan Pj.walikota Ruhudman Harahap dengan membersihkan drainase dan menertibkan para pedagang liar dengan membuka lapak mereka di atas trotoar dan di atas drainase dapat kita berikan aplaus, meskipun sebenarnya program kerja ini merupakan suatu kewajiban. Sistem pengendalian air (drainase) di Kota Medan sangatlah buruk, sehingga daerah ini harus menjadi langganan banjir setiap hujan tiba. Buruknya pengelolaan drainase disebabkan kinerja yang lemah dari pejabat-pejabat di instansi terkait, meskipun dana yang dialokasikan dari APBD sudah lebih dari cukup.


Penyebab lain adalah kemauan dari instansi terkait tata kota dan lingkungan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat.Buruknya drainase menjadi pemicu banjir di Kota Medan. Dewan Sumber Daya Air pada 2005, pernah merekomendasikan, pengelolaan air menjadi persoalan penting di Provinsi Sumut. Hal ini karena Sumut memiliki curah hujan yang tergolong tinggi, yaitu 1.500-4.500 milimeter per tahun. (berita-terkini.infogue.com).


Pemeliharaan drainase pada umumnya tidak dilakukan secara maksimal, pengorekan rata-rata dilakukan di sisi cover slave (penutup parit) kemudian kembali dikorek di cover slave selanjutnya yang jaraknya berkisar 10 meter. Akibatnya, Lumpur dan kotoran yang berada di dalam parit tak bisa terangkat keseluruhan. Terutama pada parit yang airnya tak mengalir dan lumpurnya bertumpuk. Jika pengerjaan hanya dilakukan di sisi cover slave saja, maka air tidak akan bisa berjalan dan tentu saja titik banjir di Medan tidak akan mampu dientaskan.


Hingga kini masih banyak pedagang dan beberapa pondok liar seperti kedai tuak yang masih berdagang di atas drainase, bahkan ada yang membangun secara permanen. Perbaikan dan pemeliharaan drainase sangatlah penting, selain dapat memperlancar saluran air yang menghambat terjadinya banjir, juga dengan adanya drainase yang baik maka infrastruktur jalan akan terawat dengan baik, tidak seperti sekarang yang mana banyak jalan-jalan di kota Medan berlubang dan tidak layak untuk di lalui oleh kendaraan.


Solusi Kemacetan


Kemacetan lalulintas di jalan pada umumnya terjadi karena ruas jalan tersebut sudah mulai tidak mampu menerima luapan arus kendaraan yang datang secara lancar. Hal ini dapat terjadi karena pengaruh hambatan yang tinggi, sehingga mengakibatkan penyempitan ruas jalan seperti: parkir di badan jalan, berjualan di trotoar dan badan jalan, pangkalan beca dan angkot, kegiatan sosial yang menggunakan badan jalan (pesta atau kemalangan) dan penyeberang jalan Kemacetan lalulintas dan kecelakaan lalulintas yang cukup berbahaya juga sering terjadi akibat perilaku angkutan umum kota (angkot) yang sering nyelonong dan tiba-tiba berhenti di badan jalan untuk menaikkan/menurunkan penumpang dengan alasan “kejar setoran”. Jadi dengan demikian, kemacetan lalulintas perkotaan terjadi bukan saja karena rasio perkembangan prasarana jalan dengan pertambahan sarana (kendaraan) yang tidak seimbang serta juga tingkat disiplin pengendara yang sangat rendah.


Pertambahan sarana untuk angkutan umum terjadi kenaikan 11 persen per tahun. Sedangkan penambahan sepeda motor 11,96 dari tahun lalu. Akibatnya, kota Medan diliputi kemacetan lalu lintas yang semakin parah. Dishub mencatat jumlah angkutan umum tahun 2007 sudah mencapai 1.425.943 unit. Rinciannya, mobil penumpang sebanyak 189.157 unit, gerobak 120.328 unit, bus 12.751 unit. Sementara itu, sepeda motor mencapai 1.103.707 unit ditambah becak bermotor 26.500 unit.


Sebenarnya pembangunan sarana jembatan layang (fly over) yang sudah ada seperti di Amplas, Pulo Brayan dan akan rencananya dibangun di Jalan Jamin Ginting, Pondok Kelapa dan Kampung Lalang, hanya menyelesaikan kemacetan di spot tertentu saja atau fly over hanya menyelesaikan kemacetan di tempat itu, tidak terintegrasi di lokasi lain.


Ada beberapa solusi untuk mengatasi kemacetan lalu lintas di kota Medan. Pertama, melakukan pengaturan manajemen waktu dan penggunaan jalan, misalnya jam sekolah. Pemko Medan bisa mengatur jam masuk sekolah yang lebih cepat, sehingga tidak terjadi penumpukan kendaraan seperti yang dilakukan di Jakarta. Kedua, penggunaan jalur 3 in 1 pada kendaraan roda empat untuk daerah tertentu. Ketiga, Pemko Medan harus membenahi terminal dan fasilitas yang berkaitan dengan angkutan umum, antara lain, kondisi fisik kendaraan, tempat berhenti maupun menunggu angkot. Keempat, Pemko harus memikirkan persoalan lalu lintas dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Misalnya, dalam pemberian izin mendirikan bangunan seperti membuka lokasi perumahaan dan pertokoan, Pemko jangan hanya mengeluarkan SIMB tetapi harus memikirkan dampak lalu lintasnya dalam sebuah tata ruang. Kondisi saat ini, Pemko hanya mengeluarkan SIMB tetapi tidak memikirkan dampak lalu lintas.

Jumat, 25 Desember 2009

Peranan Advokat Sebagai Penegak Hukum


Oleh: Andryan, SH

Perseteruan antara cicak dan buaya beberapa waktu lalu telah membuka mata kita akan bobroknya penegakan hukum selama ini. Maka, program ganyang mafia peradilan dalam 100 hari pemerintahan SBY pun dideklarasikan. Reformis terhadap lembaga penegak hukum yang disinggung melekat terhadap lembaga Kejaksaan dan Kepolisian yang semakin hari semakin disorot oleh publik akibat penanganan berbagai kasus hukum yang tidak sesuai hati hurani dan rasa keadilan masyarakat. Tapi, apabila program ganyang mafia peradilan tersebut hanya melibatkan kedua lembaga penegak hukum tersebut, rasanya agak kurang lengkap apabila tidak mengikutsertakan reformasi kepada lembaga penegak hukum lainnya seperti Pengadilan (Hakim, Panitera, pegawai pengadilan) serta Advokat (Kepengacaraan).


Advokat merupakan satu-satunya penegak hukum yang statusnya bukan penyelenggara negara, yang mana hak keuangannya tidak dibebankan kepada APBN. Tapi, peranan advokat dalam menegakkan hukum dapat disejajarkan dengan hakim maupun jaksa. Sebagaimana termaktub dalam UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, menyatakan bahwa advokat adalah penegak hukum. Artinya, seluruh pelayanan, tindakan, dan bahkan tingkah laku advokat adalah dalam rangka atau sebagai penegak hukum. Sebagai penegak hukum tidak berarti advokat kebal hukum karena semua warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum. Namun, dengan pernyataan yang demikian menjadikan profesi advokat menjadi jelas dan tegas statusnya khususnya jika berhubungan dengan aparatur penegak hukum yang lain, seperti peyidik, penuntut umum, dan hakim. Dengan kata lain, secara formal telah diakui bahwa advokat adalah bagian dari sistem peradilan pidana.


Selama ini dalam sistem hukum kita terlihat semakin parah karena praktik-praktik curang dalam menangani proses hukum justru dilakukan secara sistematis oleh para aparat penegak hukum itu sendiri dan mereka dikenal dengan sebutan “mafia peradilan”. Sedangkan praktek-praktek koruptif yang sering mereka lakukan dapat dikategorikan sebagai “Judicial Corruption”, dan disimpulkan bahwa judicial corruption terjadi karena tindakan-tindakan yang menyebabkan ketidakmandirian lembaga peradilan dan institusi hukum (polisi, jaksa penuntut umum, advokat/ pengacara dan hakim). Tidak dapat dipungkiri bahwa advokat pun secara langsung maupun tidak langsung turut menciptakan terjadinya mafia peradilan dan judicial corruption. Padahal dapat dipastikan bahwa posisi advokat dalam sistem hukum kita mempunyai peran yang vital dan krusial karena hanya advokat lah yang memiliki akses menuju keadilan dan penghubung antara masyarakat dengan negara melalui institusi hukumnya.


Namun yang terjadi adalah bahwa sekarang profesi advokat lebih dikenal sebagai “broker” atau calo perkara yang berdiri tepat di antara kliennya dan aparat penegak hukum (hakim, jaksa dan polisi) sebagai pembeli dan penjual keadilan. Peran advokat yang seharusnya memberikan jasa hukum dan mewakili kliennya perlahan diganti dengan peran “mendekati” aparat penegak hukum agar perkara yang ditanganinya dapat dimenangkan dengan cara apapun. Advokat yang seharusnya berperan secara konsisten menjembatani kepentingan masyarakat dalam sistem peradilan, justru turut terlibat dan menjadi bagian dari mafia peradilan dan Judicial Corruption.


Maka, tidak heran selama ini suap-menyuap atau sogok-menyogok menjadi panorama dan praktik umum. Para pelaku pelanggaran hukum atau kejahatan dapat menikmati vonis bebas atau keringanan hukuman yang menguntungkan dengan praktik dalam penyelesaian perkara seperti itu. Kendati korupsi dan sogok-menyogok adalah kejahatan atau tindak pidana, tapi ironisnya para hakim dan jaksa maupun advokat yang diduga kuat terlibat praktik penyogokan, lebih sering justru menikmati pembebasan dan proses hukum.


Disamping sebagai jabatan mulia (officium nobile) yang melekat dipundak profesi advokat, juga tidak lupa kita memandang advokat selama ini sebagai profesi yang membuat penegakan hukum di republik ini menjadi semakin buram. Oleh karenanya, tidak heran bila di Indonesia mulai ada julukan “maju tak gentar membela yang bayar”, sedangkan advokat di Amerika Serikat juga mempunya julukan yang secara subtansial serupa. Misalnya sebutan super lawyer yaitu firma-firma hukum yang kuat di Washington, dicurigai dapat mengendalikan negara dan mewakili kliennya yang besar, yang jahat. Ke bawah lagi, ada shyster yaitu advokat yang tidak etis dan licik; ambulance chaser yaitu Advokat yang menggaet klien dengan cara membujuk korban kecelakaan agar menuntut ganti rugi, jadi advokat yang mendorong orang untuk berperkara dan ticket fixer adalah advocat yang menyuap atau menggunakan pengaruh untuk memanipulasi hasil agar terhindar dari hukuman. (Lawrence W.Friedman, Pengantar Hukum Amerika, Sinar Harapan, 2000).


Peranan Advokat


Lalu, bagaimana sebenarnya peranan advokat dalam penegakan hukum? Mengingat selama ini advokat pun secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam praktek mafia peradilan dan judicial corruption. Disinilah peran advokat sangat diharapkan oleh masyarakat luas untuk dapat membantu pemerintah dan masyarakat menciptakan penegakan hukum. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan ikut menentukan kebijakan dalam sistem peradilan mengingat bahwa advokat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem peradilan sehingga pandangannya mengenai sistem peradilan itu sendiri harus diperhatikan.


Seperti halnya Kepolisian, kehakiman dan kejaksaan, advokat pada hakekatnya juga mempunyai tugas yang sama yaitu hendak meluruskan hukum, mempertahankannya serta menegakkan hukum dan keadilan. Peranan advokat dalam menegakan hukum tidak dapat dianggap sebelah mata, advokat dapat membantu hakim dalam menemukan kebenaran materil. Advokat juga dapat mengungkap hal-hal yang mungkin belum terungkap dalam mencari fakta persidangan dan memberikan bahan agar hakim didalam memberi putusannya dapat sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.


Advokat juga dapat berperan sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) dan pengawal hak asasi manusia. Oleh karena itu, tidak heran kalau Shakespeare berkata “Let’s kill all the lawyer” dalam drama cade’s rebellion dimana maksudnya adalah upaya untuk mengubah pemerintahan demokratis ke pemerintahan otokrasi, maka harus menumpas para lawyers dahulu karena mereka dikenal sebagai pengawal konstitusi dan hak asasi manusia yang akan selalu menentang pemerintahan diktatorial.


Selain itu, advokat juga berperan serta dalam memperjuangkan HAM kliennya dan menjaga kesetaraan antara individu (klien) serta negara. Apapun putusan pengadilan yang sudah final (in kracht van gewijsde), advokat harus menganjurkan kliennya untuk tunduk dan menghormati pengadilan. Memang, advokat harus senantiasa menjaga rahasia klien ataupun mantan kliennya. Namun, kerahasiaan itu gugur ketika ada kewajiban utama terhadap pengadilan, misalnya, melaksanakan putusan pengadilan. Hubungan klien-advokat pun harus berdasarkan kejujuran, keterbukaan, dan transparansi. Kalau klien sudah tidak jujur dan terbuka, niscaya itu merendahkan martabat dan integritas advokat. (Frans H. Winata, Suara Rakyat Hukum Tertingi).


Namun, yang tak kalah pentingnya adalah bahwa peran advokat dalam penegakan hukum tidak akan berjalan baik dan bakal terjerumus dalam lingkaran mafia peradilan apabila tidak dilakukan pengawasan yang ketat dan terus-menerus terhadap perilaku dan etika para advokat. Tugas pengawasan ini merupakan tanggung jawab organisasi advokat karena eksistensi organisasi advokat erat kaitannya dengan sejauh mana fungsi-fungsi advokat dijalankan sesuai dengan profesi tersebut.


Peranan sebagai seorang advokat yang professional haruslah mempunyai komitmen untuk membela kebenaran dan keadilan tanpa rasa takut, yang memiliki pendirian yang teguh berpihak kepada keadilan dan kebenaran serta yang tidak selalu hanya memikirkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Karena itu sudah merupakan kewajiban dan keharusan bagi setiap advokat untuk mendukung dan turut berperan dalam penegakan hukum saat ini.