Senin, 28 Juli 2008

AMANDEMEN KE- 5

"Implementasi Bab IV UUD Negara RI Tahun 1945"

Sejak runtuhnya rezim Soeharto pada pertengahan tahun 1998, bangsa Indonesia membuka lembaran baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hal ini ditandai oleh lahirnya era perubahan yang dikenal dengan era reformasi. Barbagai tuntutan di arahkan kepada pemerintahan baru pasca kediktatoran Soeharto. Reformasi hukum, adili soeharto beserta kroni-kroninya, itu merupakan bagian sepengal dari beberapa agenda dan amanah reformasi. Memang apabila kita melihat ke belakang, dimana untuk meruntuhkan rezim soeharto, bangsa Indonesia mengalami pengorbanan yang sangat berarti dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Tidak sedikit pengorbanan yang dilakukan bangsa Indonesia untuk meraih orde reformasi, dari pengorbanan nyawa mahasiswa yang dikenal dengan peristiwa semanggi, melonjaknya harga bahan kebutuhan pokok, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar hingga pada saat itu dari 2500 ke angka yang fantastis yakni 20.0000 rupiah. Akan tetapi, buntut dari beberapa pengorbanan bangsa Indonesia dapat menghirup angin segar dalam lembaran baru reformasi seperti sistem demokrasi langsung dalam pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah, kebebasan berargumen dan berekspresi, hingga tidak adanya lagi ketakutan terhadap penculikkan yang dahulu rentan dilakukan di era orde baru.

Salah satu tuntutan dan agenda dari reformasi adalah reformasi hukum, sebenarnya buntut dari kediktatoran dan kekacauan suatu negara tidak dapat dilihat hanya pada pemimpin atau orang dalam pemerintahan suatu negara tersebut melainkan dilihat dari beberapa kelemahan dalam sistem ketatanegaraan Republik Indoenasia, sehingga kelemahan yang ada dapat dimanfaatkan secara mendalam oleh pemimpin-pemimpin negara pada saat itu. Maka awal reformasi para pejabat pemerintahan dan negara sepakat untuk merubah dasar konstitusi kita yakni UUD Negara RI Tahun 1945. Istilah dalam bahasa hukum dalam merubah konstitusi yakni dengan nama amandemen. Sejak era reformasi tidak kurang telah dilakukan amandemen UUD Negara RI Tahun 1945 sebanyak 4 kali dari tahun 1999 hingga tahun 2002. Tidak kurang dari hasil 4 kali amandemen tersebut, telah mengubah ketentuan atau subtansi dalam UUD Negara RI Tahun 1945 itu 300 persen dan kemudian telah lahir berbagai macam lembaga, dewan, atau komisi negara dalam penyelenggaraan negara. Di samping lahirnya lembaga-lembaga negara baru juga ada lembaga yang telah dihapuskan dalam ketentuan tersebut karena dianggap sebagai lembaga negara ompong dan tidak menmpunyai peranan yang berarti dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.

Salah satu lembaga negara yang dimaksud adalah Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Dahulu DPA adalah lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan Presiden, DPR, BPK, dan MA. Tugas DPA tidak lain adalah memberi masukkan berupa pertimbangan dan nasihat kepada Presiden. Akan tetapi dewan yang beranggotakan 45 orang tersebut tidak relevan karena sarat dengan unsure politik dan moral. Kemudian Badan Pekerja (BP) di MPR padda saat itu sepakat untuk menghapus keberadaannya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.

Akan tetapi, setelah penghapusan DPA yang dahulu keberadaannya diatur dalam bab tersendiri yakni Bab IV Pasal 16. Kemudian setelah amandemen ke 4 Pasal 16 itu telah diganti dengan lembaga penasihat baru untuk presiden dengan nama Dewan Pertimbangan Presiden (DPP) yang keberadaannya dimasukkan dalam Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Tapi, setelah bab III tentang kekuasaan pemerintah negara kemudian dilanjutkan dengan bab V tentang Menteri Negara. Hal ini sangat rapuh sebab Bab IV tidak dimasukkan keberadaannya dalam ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945.

Sebernarnya apabila suatu pelajar yang ingin meneliti dan kemudian di masukkan ke dalam subtansi penulisan atau para penulis yang dituangkan dalam bentuk sebuah buku. Akan tetapi dalam subtansi penulisannya yang terdiri dari beberapa Bab, tapi ada bab yang tidak dimasukkan atau diselingi oleh bab yang lain, maka dapat dikatakan sebuah tulisan itu keliru dan dapat dikatakan sebagai ketidaksempurnaan walaupun isi dalam pembahasan itu mungkin saja bagus dan menarik.

Kini saatnya para badan panitia khusus di MPR untuk merumuskan kembali pembahasan mengenai perubahan ke V UD Negara RI Tahun 1945 dan yang paling menjadi perhatian adalah penempatan Bab IV ke dalam subtansi UUD Negara RI Tahun 1945, penempatan Bab IV itu pun dapat dimasukkan ke dalam pembahasan baru dalam amandemen ke V atau dapat juga Bab IV di isi tentang Menteri Negara yang dahulu termaktub dalam Bab V, hal ini dimaksudkan untuk tidak menjauhkan ketentuan Menteri Negara dengan Kekuasaan Pemerintahan Negara, sebab kedua Bab tersebut merupakan aktor dalam pelaksanaan pemerintahan Republik Indonesia.

Melihat kerancuan UUD Negara RI Tahun1945 yang tidak menempatkan Bab IV dalam ketentuan subtansi batang tubuh UUD Negara RI Tahun 1945, ada juga kerancuan lain yang menurut penulis harus segera di amandemen agar tidak terjadinya penyimpangan pelaksanaan dari ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945. Kerancuan yang lainnya yakni terdapat dalam Pasal 34 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, yang berbunyi “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Dari ketentuan ini yang terdapat kerancuan menurut penulis adalah “dipelihara”. Sedangkan dalam penjelasan UUD Negara RI Tahun 1945 menyatakan bahwa Pasal 34 “telah jelas”, akan tetapi masih terdapat permasalahan yang menurut sebagian orang sepele, akan tetapi dampaknya akan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Dalam kalimat “dipelihara” dalam kata sehari-hari dapat juga dartikan sebagai pertumbuhan yang akan selalu berkembangbiak dan akan terus berkembangan. Hal ini berakibat fatal sebab Negara harus mengasihi fakir miskin dan anak-anak terlantar, bukan untuk dikembangbiakan terus menerus yang akan dapat menghambat pertumbuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Jadi kalimat yang pas untuk amandemen Pasal 34 ayat (1) adalah “Negara wajib mengasihi fakir miskin dan anak-anak terlantar”.

Tidak ada komentar: