Minggu, 03 Oktober 2010

Teroris dan Koruptor

Maraknya aksi perampokan yang juga dikutsertakan oleh tindakan brutal para terorisme tentu saja sangat mengganggu ketertiban dan keamanan di masyarakat kita. Hal ini bisa disadari mengingat aksi yang di pertontonkan para terorisme tersebut dapat sewaktu-waktu mengancam jiwa penduduk di negeri ini. Masih segar dalam ingatan kita akan begitu beringasnya para perampok bank CIMB Niaga di Medan yang menewaskan satu anggota Brimob Poltabes Medan serta melukai dua orang satpam yang berjaga di tempat kejadian perkara.

Peristiwa mengenaskan terhadap anggota kepolisian tidak berhenti di situ saja, beberapa minggu berselang anggota Densus 88 yang dikirimkan dari Mabes menangkap serta menembak mati 3 orang yang diduga terlibat dalam aksi perampokan di Medan beberapa waktu lalu tersebut. Akan tetapi, penangkapan dan penyergapan yang dilakukan Densus 88 tersebut mendapatkan perlawanan yang maha dahsyat. Setidaknya 3 orang anggota kepolisian setempat saat bertugas piket di Polsek Hamparan Perak harus mengakhiri hidupnya lebih cepat karena ditembak secara sadis oleh kawanan perampok yang disebut juga terlibat dalam jaringan terorisme di Indonesia.

Semakin tumbuh suburnya jaringan yang dibangun teroris di berbagai daerah di tanah air membuat pihak kepolisian seakan kebakaran jengot serta kewalahan dalam menghadapi para kelompok separatis tersebut. Bahkan, banyak pihak yang menyarankan kepada pihak kepolisian agar meminta bantuan kepada TNI dalam upaya memberantas aksi terorisme. Dengan dilibatkannya TNI dalam mengatasi aksi kekerasan dan teroris merupakan pilihan yang jitu mengingat TNI merupakan institusi yang siap untuk menjaga keamanan serta yang terpenting dalam mengawal kedaulatan dari ancaman musuh yang ingin menduduki republik ini.

Koruptor = Teroris

Berbicara mengenai terorisme yang telah memiliki jaringan kuat dan sangat sulit diberantas, kita pun sepintas teringat akan problema bangsa yang sepertinya sulit juga untuk diberantas yakni perilaku “korupsi”. Korupsi bukanlah hal yang baru di negeri ini. Dengan maraknya aksi kekerasan dan tindakan terorisme, kasus korupsi yang merupakan permasalahan bangsa lebih besar seakan terlupakan. Aksi korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab tersebut mengakibatkan bangsa kita kesulitan untuk bersaing dengan negara lain terutama dalam hal pendidikan karena banyaknya angka putus sekolah di Indonesia.

Entah berapa banyak para pejabat di negeri ini yang telah mendekam di jeruji besi karena terlibat dalam perilaku korupsi. Akan tetapi, seakan tindakan korupsi telah menjadi tren modern di era globalisasi yang tidak tentu arah ini. Oleh karenanya, sudah selayaknya para koruptor disandingkan atau disamakan dengan teroris yang keduanya tersebut selalu menimbulkan pemberitaan yang tiada henti baik di media cetak maupun media elektronik nasional.

Mengapa kita perlu menyandingkan para teroris dengan koruptor?. Karena antara keduanya merupakan masalah utama bangsa dan negara yang sampai kapanpun tiada henti menjadi promblematika akibat penegakan hukum yang lemah. Selama ini kita selalu menilai bahwa teroris adalah musuh amat yang sangat menakutkan dan harus dienyahkan hingga ke akarnya. Bahkan, dengan begitu membahayakannya para teroris, aparat keamanan pun langsung menembak mati kawanan yang masih diduga sebagai tersangka teroris dan belum melalui proses hukum yang semestinya. Akan tetapi, untuk urusan koruptor, kita selalu mempunyai alibi yang bermacam-macam dan menganggap perilaku koruptor adalah perilaku yang manusiawi dan telah menjadi tren modern untuk dilakukan secara jamak diberbagai instansi di tanah air.

Padahal apabila kita kaji lebih jauh, para koruptor yang telah “merampok” uang rakyat sesungguhnya merupakan musuh yang sangat beringas dibandingkan dengan aksi teroris. Sebab, dengan merampok uang rakyat tersebut pembangunan sumber daya manusia di republik ini akan tersendat hingga beberapa waktu yang sangat jauh. Pembangunan sumber daya manusia tersebut salah satunya adalah pendidikan. Bagaimana mungkin suatu negara akan dapat maju dan berkembang dengan sangat baik, manakala pendidikan untuk anak negeri tidak dapat di implementasikan dengan baik, yang salah satu indikator penghambatnya adalah perilaku korupsi yang dilakukan oleh para pemangku jabatan di negara kita.

Selanjutnya para koruptor yang telah mengakibatkan puluhan juta anak Indonesia tidak mempunyai pendidikan yang layak, juga diperparah dengan menumbuh-suburkan angka kemiskinan yang semakin memprihatinkan tersebut. Belum lagi beberapa dampak negatif sosial di masyarakat kita yang serba tidak menentu. Hal ini diakibatkan oleh sulitnya penegakan hukum terhadap para pelaku koruspi di republik ini.

Sementara itu, untuk urusan aksi terorisme yang juga dapat melumpuhkan sektor perekonomian kita, berbagai cara di lakukan untuk membasmi para teroris. Tidak sama halnya dengan koruptor, para teroris seakan tidak mempunyai rasa keadilan akibat tidak adanya pembelaan dari mereka untuk proses persidangan. Tidak hanya itu, di negara yang menjunjung tinggi hukum ini, proses hukum pun tidak selayaknya dijalankan dengan baik. Akibatnya, asas praduga tak bersalah yang menjadi satu kesatuan dalam KUHP dilanggar dengan dalih untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban di masyarakat. Padahal apabila negeri ini berkeinginan untuk membasmi para teroris, haruslah menangkap hidup-hidup lalu dengan proses persidangan supaya gerbong teroris dapat di ungkap hingga ke akar-akarnya, bukan sebaliknya menembak mati secara membabi-buta para kawanan yang masih diduga sebagai pelakunya.
Remisi untuk Teroris dan Koruptor?

Secara mengejutkan beberapa waktu yang lalu, pemerintah yang diwakili oleh Kemendepkumham akan memberikan pengurangan hukuman bagi pelaku terorisme. Pemerintah sementara mengambil kebijakan tidak akan memberikan remisi apalagi grasi kepada narapidana teroris. Ide penghapusan remisi yang akan digalakkan pemerintah ini berkembang dari aksi Abu Tholut alias Mustofa alias Imron yang dipenjara karena peledakan bom di Atrium Senen namun bebas sebelum habis masa vonisnya berkat remisi. Abu Tholut kembali beraksi bahkan memimpin pelatihan bersenjata ilegal di Aceh beberapa waktu lalu. Nama Abu Tholut kembali muncul ketika polisi membongkar jaringan perampok Bank CIMB Niaga di Medan. Abu Tholut di duga yang memerintahkan serangkaian perampokan sehingga polisi lalu menetapkannya sebagai buronan.

Wacana penghapusan remisi maupun grasi terhadap para teroris banyak mendapat dukungan dari berbagai kelompok dan parpol pendukung pemerintah. Lantas, sudah selayaknya-kah teroris tidak mendapatkan remisi maupun grasi?. Sementara itu, beberapa waktu silam juga republik ini seakan dikejutkan juga dengan diberikannya remisi dan grasi secara gamlang oleh pemerintah kepada para koruptor yakni Aulia Pohan dan Syaukarni. Dalam bebebapa argumen yang dilontarkan pemerintah pada saat itu bahwa pemberian remisi dan grasi terhadap para koruptor adalah perintah undang-undang.

Padahal apa bedanya teroris dengan korupsi. Mengapa pemerintah begitu antusias menghapus remisi dan grasi terhadap pada teroris dibandingkan dengan koruptor. Hal inilah yang masih menjadi pertanyaan besar di benak kita. Koruptor tak ubahnya dengan para kawanan perampok yang juga di duga sebagai teroris. Maka, sudah saatnya kita dan terutama aparat penegak hukum membasmi juga para koruptor seperti halnya membasmi para teroris. Tidak itu saja, apabila pemerintah berwacana menghapus remisi dan grasi terhadap narapidana teroris, maka harus juga di ikutsertakan menghapus remisi maupun grasi terhadap para narapidana koruptor. Hal ini dimaksudkan agar pemerintah tidak membedakan mana yang perampok uang rakyat sesungguhnya. Apabila penghapusan remisi dan grasi terhadap para teroris maupun koruptor dapat dilaksanakan. Maka, akan dapat memberikan efek jera antara keduanya agar pelaksanaan pembangunan, serta kemakmuran, kesejahteraan, dan juga rasa keamanan di masyarakat dapat terwujud di negara kita. Semoga..!!!

Tidak ada komentar: