Rabu, 30 Desember 2009

Tahun Baru Sebagai Introspeksi Diri


Oleh: Andryan, SH


Tahun baru telah menanti kita. Kini, kita akan memasuki tahun 2010 meninggalkan tahun 2009. Sebagaimana halnya tahun-tahun sebelumnya, tahun baru kali ini tentu juga dihiasi oleh berbagai suka cita menyambut pergantian masa tahunan tersebut. Akan tetapi, cukupkah kita menyambut pergantian tahun dengan suka cita seperti hura-hura dijalanan, menghidupkan kembang api secara besar-besaran, bergadang semalam suntuk, hingga aktivitas senonoh yang seharusnya tak patut kita lakukan dalam menyambut tahun baru. Tapi, setidaknya berbagai aktivitas dalam menyambut tahun baru tersebut seakan telah menjadi budaya, baik untuk kalangan dunia barat maupun kalangan dunia kita sendiri yakni dunia timur. Mengapa hal tersebut perlu terjadi?


Apabila kita telusuri, maka tahun baru merupakan momen yang paling tepat dalam mengintrospeksi diri kita untuk mencapai perubahan ke arah yang lebih baik. Sebagaimana halnya tahun baru islam (Hijriyah) yang telah berlalu beberapa pekan sebelumnya. Pada tahun baru islam tersebut kita disuguhi oleh sebuah makna “Hijrah”. Makna hijrah tidak hanya berarti bahwa suatu perpindahan atau perjalanan ke suatu daerah yang sebagaimana telah dilakoni oleh Rosululloh Muhammad Saw beserta para sahabat beliau, tapi makna sesungguhnya adalah suatu transformasi diri ke arah yang lebih baik. Maka tidak heran bagi umat islam diperintahkan agar melakukan hijrah bila keadaan sebelumnya tidak membuahkan perubahan yang berarti.


Bagi tahun masehi, pergantian tahun juga memiliki makna yang sama sebagaimana halnya dengan tahun baru hijriyah yakni mencapai keadaan yang lebih baik. Pada tahun-tahun sebelumnya, sebagian dari kita pasti ada yang menyadari bahwa pada tahun tersebut menjadi tahun yang kelabu, tahun yang suram, dan tahun yang tidak membuahkan perkembangan bagi individu kita. Maka, pantaskah kita menyambut tahun baru dengan tindakan yang hanya menghabiskan waktu, tenaga, dan materi saja. Padahal, kita tidak tahu untuk tahun selanjutnya apakah menjadi tahun yang dapat merubah kehidupan kita ke arah yang lebih baik atau malahan menjadi tahun yang semakin buruk untuk kita lalui dalam perjalanan hidup. Jika kita tidak mengevaluasi kehidupan kita yang telah berlalu, niscayalah kita tidak akan dapat mencapai kehidupan yang lebih baik tersebut. Sebab, berbagai kesalahan yang seharusnya tidak kita lakukan pada tahun yang lalu akan berpotensi terulang kembali jikalau kita tidak menyadari, mengevaluasi, serta mengintrospeksi diri pada kesalahan yang kita lakukan tersebut.


Lalu, apabila kita merayakan malam pergantian tahun dengan tindakan hura-hura tanpa merefleksikan perjalanan hidup kita dengan sang Khalik, maka sama saja kita tidak merasa bersyukur atas nikmat yang diberikan kepada kita berupa kesehatan, kesempatan, dan keimanan. Pergantian tahun merupakan sebuah renungan, apakah dengan semakin bertambahnya umur dan berkurangnya masa hidup kita, dapat kita pergunakan sebaik mungkin, tidak hanya untuk pribadi kita, keluarga, lingkungan sekitar, tapi juga untuk bangsa dan negara kita.


Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa malam pergantian tahun identik dengan pesta kembang api. Pergelaran tersebut tentunya memakan biaya yang sangat besar dan hanya kenikmatan sesaat saja. Pantaskah kita menghamburkan biaya-biaya yang tidak mempunyai faedah yang berarti tersebut diatas derita beberapa masyarakat kita yang hanya untuk membeli nasi sebungkus saja sangat sulit baginya? Tidak hanya itu saja, bagi bangsa kita tahun baru merupakan sebuah peringatan kemanusiaan. Sebab, sebagaimana yang telah kita ketahui tahun 2004 menjelang beberapa hari pergantian tahun, bangsa kita sedang menghadapi ujian yang maha berat dari sang pencipta. Gempa yang maha dahsyat diiringi oleh tsunami menelan ratusan ribu rakyat Indonesia di Aceh. Setidaknya inilah peringatan dari sang pencipta kepada makhluknya agar senantiasa mengambil hikmah setiap kejadian. Lalu, pantaskah kita merayakan secara besar-besaran pada tahun baru dan mengesampingkan renungan dari kejadian hikmah dimasa lampau?


Problematika Bangsa


Tidak hanya itu saja, problematika bangsa yang menyelimuti republik ini seakan tidak ada habisnya. Tahun 2009 merupakan tahun yang kelabu khususnya bagi penegakan hukum di tanah air. Pada tahun tersebut tidak jarang aparat penegak hukum yang sejogyanya menegakkan panji-panji hukum justru membuat hukum menjadi buram. Setidaknya yang menjadi sorotan publik pada tahun 2009 yakni skandal mafia peradilan pada kasus BLBL yang melibatkan petinggi Kejaksaan Agung serta jaksa koordinator kasus BLBI. Mereka secara mengejutkan melakukan jualbeli perkara dengan pengusaha kasus BLBI. Lalu, ada kasus kriminalisasi pimpinan KPK Bibit Samad Ryanto dan Chandra M.Hamzah yang seakan integritasnya dalam membongkar jaringan korupsi di republik ini digoyahkan oleh oknum yang juga merupakan aparat penegak hukum. Kemudian adanya berbagai kasus ketidakadilan hukum seperti kasus Prita Mulyasari yang mengeluhkan pelayanan kepada rumah sakit yang merawat kesehatannya, justru menimbulkan malapetaka ketidakadilan bagi pasien tersebut yang juga mempunyai haknya. Lalu, ada kasus nek Minah yang mencuri 3 buah Kakao seharga Rp.3000,- diproses secara hukum dengan tidak manusiawi.


Kemudian, disamping melibatkan rakyat secara ketidakadilan melalui proses hukum yang terbelit-belit, aparat penegak hukum dan khususnya pemimpin negeri ini seolah tidak mempunyai rasa kepekaan sosial. Sebab, lagi-lagi kucuran dana yang berasal dari uang rakyat harus mengalir kepada para petinggi dan orang yang berkepentingan untuk memperkaya dirinya. Kasus skandal Bank Century dengan dana bailout sebesar Rp. 6,7 Triliun, merupakan salah satu kasus yang meresahkan hati rakyat Indonesia setelah sebelumnya ada skandal BLBI. Dimanakah hati nurani pemimpin negeri ini? Disinilah kita harus kembali merenungkan dan mengintrospeksi diri kita kedepannya agar lebih bijak dan jangan salah langkah dalam memilih pemimpin untuk mempejuangkan kehidupan rakyatnya.


Kehidupan sebagian masyarakat Indonesia seakan semakin terimpit oleh melonjak tingginya harga kebutuhan pokok, sehingga mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok, sedangkan disisi lain terdapat sebagian kelompok masyarakat yang tergolong mampu secara ekonomi menggunakan harta kekayaannya untuk berfoya-foya. Tingginya angka kemiskinan ini dapat menimbulkan gejolak sosial, serta maraknya budaya kekerasan yang bertentangan dengan etika dan sopan santun sebagai bangsa yang beradab. Sebagaimana yang diungkapkan oleh mantan Sekjen PBB, Kofi Annan “bagaimanapun juga masyarakat tidak akan merasa nyaman kalau disekitarnya masih banyak fakir miskin”. Berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh bangsa ini semakin terasa lengkap karena penegakan hukum yang belum sungguh-sungguh memihak kepada hukum, kebenaran, dan keadilan. Padahal, penegakan hukum merupakan faktor penting dalam menentukan arah dan menyelenggarakan pembangunan. Aparat penegak hukum seringkali menggadaikan integritas profesinya untuk memperoleh keuntungan financial belaka dengan melakukan judicial corruption. (Frans H.Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi).


Mekipun pemerintahan SBY jilid II telah mendeklarasikan program ganyang mafia pada 100 hari. Tapi, program ini tidak akan berjalan tanpa adanya langah yang kongkrit dari semua elemen, baik para pemimpin negeri ini, aparatur penegak hukum, serta masyarakat selaku pemantau jalannya penegakan hukum. Masyarakat mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum secara efektif. Sebab, baik secara langsung maupun tidak langsung, masyarakat ikut terlibat dalam mafia peradilan tersebut, seperti melakukan sogok menyogok dalam jual beli perkara di pengadilan serta memberikan berbagai uang pelicin untuk memudahkan jalannya.


Untuk itu, kedepannya kita bersama elemen bangsa dan negara dapat melakukan perbaikan dan mengatasi problematika bangsa agar hukum dapat tegak dan kesejahteraan rakyat dapat tercapai. Kini, saatnya kita sambut pergantian tahun baru dengan sikap introspeksi diri untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Semoga...!!!

Tidak ada komentar: