Kamis, 29 Oktober 2009

Urgensi Dewan Pertimbangan Presiden ?


Oleh: Andryan, SH

Dalam pernyataan Presiden SBY ketika mengumumkan susunan anggota kabinetnya, juga tersiar maksud untuk memilih para deputi atau wakil menteri dan membentuk suatu keanggotaan lembaga yang turut membantu Presiden dalam menjalankan tugasnya sebagai kepala pemerintahan negara. Keanggotaan lembaga tersebut yakni Dewan Pertimbangan Presiden (wantimpres). Tentu saja wantimpres tidaklah sepopuler dengan lembaga kementerian negara. Akan terbesit dibenak kita acapkali kita mendengar mengenai keanggotaan wantimpres, apakah lembaga ini memang benar-benar dibutuhkan Presiden atau hanya untuk menarik para mitra politik beliau saja?.


Pembentukkan Dewan Pertimbangan Presiden tentu saja dapat menimbulkan kontroversi, mengingat selain para angota kabinet di tambah para deputi/wakil menteri pada bidang tertentu. Belum lagi adanya staf khusus kepresidenan dalam berbagai bidang. Tentu saja hal ini dapat membuat keanggotaan di tubuh lembaga kepresidenan menjadi gemuk, selain terjadinya tumpang tindih kewenangan, membludaknya para pembantu Presiden tersebut juga dapat memboroskan kas negara.


Khusus terhadap Dewan Pertimbangan Presiden (wantimpres), lembaga ini sebenarnya secara konstitusional adalah lembaga pemerintah yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden. Dasar pembentukkan Wantimpres berlandasan Pasal 16 UUD 1945 pasca amandemen ke-IV dan diperkuat dengan di sahkannya UU No.19 Thaun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden. Dewan ini sebenarnya adalah sebuah Council of State yang berkewajiban memberi pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah. Dewan ini merupakan sebuah badan penasihat belaka.


Wantimpres jelmaan DPA?


Berbicara mengenai Wantimpres, juga tidak bisa kita lepaskan oleh keberadaan Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dahulu kala merupakan lembaga tinggi negara. Akan tetapi, seiring dengan proses agenda reformasi, maka terjadilah amandemen UUD 1945 yang berujung dihapuskannya lembaga tinggi negara tersebut dalam perubahan keempat tahun 2002. DPA sebelumnya diatur dalam bab tersendiri, yakni BAB IV tentang Dewan Pertimbangan Agung. Setelah perubahan, keberadaan DPA diganti dengan suatu dewan pertimbangan yang ditempatkan dalam satu rumpun bab yang diatur dalam BAB III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara. Dengan dihapuskannya DPA, maka pada BAB IV yang sebelumnya merupakan landasan lembaga ini menjadi kosong dan tidak dicantumkan dalam subtansi UUD 1945 pasca amandemen ke-IV.


Maka tidah heran bahwa sebenarnya Wantimpres adalah penjelmaan dari DPA sebagai Dewan Pertimbangan untuk Presiden. Akan tetapi, meskipun jelmaan DPA, Wantimpres tentu sangat berbeda dengan lembaga penasihat di masa lalu tersebut. Wantimpres merupakan lembaga yang tergabung dalam lembaga kepresidenan, sedangan DPA dahulu adalah lembaga tinggi negara yang kedudukannya sejajar dengan Presiden. Dapat dikatakan bahwa Wantimpres adalah pembantu presiden yang kewenangan pengangkatan dan pemberhentian keanggotaannya berada di tangan Presiden.


Awal pembentukkan lembaga kepenasihatan lahir dari pernyataan Prof.Dr.Supomo,SH. dalam rapat besar Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 15 Juli 1945 menyatakan; “bahwa Kepala Negara dalam memegang dan menjalankan kekuasaan pemerintah negara di dampingi oleh satu atau dua orang Wakil Presiden dibantu oleh Menteri-menteri Negara dan dibantu pula oleh Dewan Penasihat yang bernama Dewan Pertimbangan Agung (Moh.Kusnardi dan Bintan R.Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, Gramedia, Jakarta, 1978, hlm 150). Jadi Dewan Pertimbangan Presiden ini digambarkan sebagai pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan”.


Dahulu DPA sebagai lembaga tinggi negara yang telah berdiri sejak tahun 1945, yaitu pertama kali dibentuk dengan Pengumuman Pemerintah tertanggal 25 September 1945. Pada waktu itu jumlah anggotanya hanya sebelas orang dan diketuai oleh Margono Djojohadikusumo hanya untuk waktu singkat sampai ia mengundurkan diri pada tanggal 6 November 1945 dan digantikan oleh Wiranatakusumah pada tanggal 29 November 1945. Selama periode revolusi fisik sampai tahun 1949, memang tidak banyak yang dapat dinilai mengenai keberadaan lembaga DPA ini. Apalagi dibawah konstitusi RIS Tahun 1949 dan UUDS Tahun 1950, memang tidak dikenal adanya lembaga DPA.


Perumus UUD RI Tahun 1945, telah memperhitungkan betapa seorang Presiden yang mendapat kekuasaan yang demikian besar serta tanggung jawab yang berat pula, senantiasa sibuk, dalam penyelenggaraan pemerintah serta menghadapi bermacam-macam masalah dan kesulitan. Berhubung dengan itu perlu ia di dampingi oleh suatu dewan yang akan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang obyektif dan bijaksana yang berdiri di luar kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini berarti kepada DPA, dibebankn kewajiban untuk senantiasa mengikuti perkembangan yang meliputi masalah-masalah yang berhubungan dengan masyarakat, bangsa dan negara, demikian juga usul-usul yang diberikan DPA tidak mengurangi tanggung jawab kepada negara dan bangsa.


DPA dahulu memang sangat dikenal sebagai lembaga akomodasi politik dan unsur moral pemerintah, yang mana keanggotaannya dipilih berdasarkan balas jasa, yang mana juga pada masa Orde Baru lembaga ini di isi oleh para purnawirawan TNI. Maka tidak heran DPA pada saat itu tidak dapat memberikan kinerja yang baik sebagaimana yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.


Urgensi Wantimpres


Melihat sepak terjang DPA yang tidak memberikan kinerja yang efektif, maka tidak heran sejak diadakannya Wantimpres pada tahun 2007, banyak menimbulkan berbagai kontroversi oleh sebagian kalangan. Sebab, apabila Presiden membutuhkan suatu masukkan berupa pertimbangan-pertimbangan dalam mengambil suatu kebijakan ketatanegaraan, telah ada sebuah lembaga sebelum berdirinya Wantimpres. Lembaga tersebut yakni Unit Kerja Presiden untuk Program Percepatan Reformasi (UKP3R) dan juga ada beberapa staf khusus kepresidenan. Akan tetapi, beberapa anggota DPR yang telah merumuskan terbentuknya Wantimpres menyatakan bahwa sebenarnya UKP3R maupun staf khusus sangat berbeda dengan Wantimpres. UKP3R dapat dikategorikan sebagai unit kerja atau staf Presiden, sedangkan Wantimpres adalah semacam dewan penasehat atau pemberi pertimbangan untuk Presiden, meskipun sama-sama sebagai pembantu Presiden, tapi anggota DPR menjamin keduanya tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.


Apabila kita mengacu terhadap sistem ketatanegaraan suatu negara, baik yang menerapkan sistem pemerintahan presidensil maupun sistem parlementer. Banyak negara yang menempatkan suatu wadah bagi lembaga yang akan memberi pertimbangan maupun nasihat kepada kepala negara; Raja, Presiden, maupun Perdana Menteri. Seperti yang diterapkan oleh Negara Belanda dengan nama Raad van Nederlandsch Indie (Raad van State) dan Negara prancis, Counseil d’Etat. Hal ini pun dimaksudkan agar kepala negara tersebut dalam mengambil kebijakkannya dapat berjalan secara cepat, efektif, dan dapat mengatasi persoalan bangsa dan negara yang sangat komplek. Jadi kehadiran Wantimpres sangatlah dibutuhkan oleh negara yang menjunjung tinggi demokrasi.


Wantimpres terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota dan 8 (delapan) orang anggota lainnya. Jadi jumlah seluruh anggota Dewan Pertimbangan Presiden sebanyak 9 orang, yang masing-masing membidangi suatu bagian berdasarkan keahliannya. Di lihat dari bidang-bidang yang ada, hal ini sangat mendukung bagi Presiden dalam menjalankan roda pemerintahannya. Mengingat bidang-bidang tersebut merupakan bidang yang secara praktis dapat mensejahterakan rakyat melalui kebijakan yang pro rakyat. Untuk itu Presiden harus sungguh-sungguh dalam menempati seseorang yang menduduki bidang-bidang tersebut. Seseorang yang menduduki bidang tertentu harus benar-benar ahli di bidangnya agar ia sanggup dan mampu menjalankan tugasnya secara maksimal dan juga dapat membantu Presiden dalam membuat dan memutuskan kebijakan dengan masing-masing pembidangan tersebut.

Tidak ada komentar: