Suara Hati
Selasa, 01 Februari 2011
Dismoralitas Vonis Gayus dan Ariel
Terdakwa kasus video asusila Nazril Irham atau Ariel Peterpen akhirnya divonis oleh majelis hakim PN.Bandung selama 3 tahun 6 bulan penjara, serta denda 250 juta. Tentu saja putusan yang diterima oleh vokalis kondang anak muda tersebut jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum yang menuntutnya 5 tahun penjara dengan tuduhan turut membantu penyebaran video pornonya yang diduga dilakukan bersama Luna Maya dan Cut Tari. Kekasih Luna Maya itu didakwa dengan pasal 29 UU no. 4 tahun 2008 tentang pornografi jo pasal 56 KUHP.
Sebenarnya majelis memberikan kesempatan untuk terdakwa menangkal, bukan hanya penyangkalan, tapi pembuktian bahwa keterangan ahli tidak benar. Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa hal yang memberatkan terdakwa yakni sebagai publik figur terdakwa harusnya menyadari tindakannya ditiru oleh penggemarnya. Sedangakn hal yang meringankan, terdakwa belum pernah tersangkut kasus hukum dan masih muda.
Menyikapi vonis dari majelis halim pengadilan pertama tersebut, tentunya masyarakat dapat memberi penilaian yang beraneka ragam. Banyak para penggemar Ariel yang tetap setia mendukung, tetapi pun juga sebaliknya bagitu besar massa yang tetap menyekal dan mengecam tindakan asusila yang dilakukan oleh Ariel karena dapat merusak moralitas sebagian besar generasi muda di negeri ini.
Sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya bahwa negeri ini menggelar persidangan yang juga menyedot perhatian masyarakat selain kasus asusila Ariel Peterpen yakni kasus mafia pajak, Gayus Halomoan Partahanan Tambunan. Beberapa pekan lalu majelis hakim PN. Jakarta Selatan telah menjatuhkan vonis tujuh tahun penjara kepada terdakwa kasus suap dan penggelapan pajak tersebut. Mantan pegawai Ditjen Pajak golongan III A tersebut dinyatakan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana dakwaaan subsider dan primer. Selain itu, majelis juga mengatakan bahwa Gayus memberikan keterangan yang tidak benar di persidangan. Gayus sebelumnya dituntut selama 20 tahun dengan denda sebesar Rp 500 juta dan subsider enam bulan. Selain menuntut pidana badan, jaksa juga meminta hakim untuk menjatuhkan pidana denda kepada Gayus Tambunan sebanyak Rp500 juta subsidair 6 bulan.
Gayus dan Ariel
Setidaknya kasus yang paling menyedot publik kita beberapa waktu ini yakni kasus mafia pajak Gayus Tambunan serta kasus asusila Ariel Peterpen. Kasus keduanya tidak hanya pendapat sorotan khusus dari berbagai media cetak dan elektronik secara nasional, juga mendapat berbagai macam argumentasi baik itu para pejabat negeri ini mulai dari Presiden hingga warga biasa di seputaran warung-warung kopi.
Sangat wajar antara keduanya dikatakan sebagai kasus besar meskipun vonis yang dilayangkan oleh majelis hakim di dua tempat jurisdiksi berbeda tersebut tidak dapat memuaskan publik. Sebab, kedua kasus tersebut juga merupakan problematika bangsa yang belum terselesaikan hingga kini. Kasus Gayus yang sebagai mafia pajak tidak hanya merugikan bangsa hingga berpuluh triliun rupiah karena adanya permainan antara Gayus sebagai pegawai pajak Depkeu dengan perusahaan 151 penunggak pajak, tetapi juga dapat menghancurkan generasi masa depan bangsa kita yang banyak putus pendidikan diakibatkan tidak mampu membiayai karena negara mengalami kerugian akibat ulah para koruptor seperti Gayus.
Kasus Gayus setidaknya bukanlah kasus biasa karena disamping merugikan negara juga kasus Gayus disinyalir melibatkan sejumlah tokoh-tokoh penting di negeri ini termasuk beberapa petinggi instasi penegak hukum itu sendiri. Maka, tidak heran apabila Gayus yang telah mendapat sorotan tajam oleh media nasional dapat berpiknik ria ke Bali hingga ke beberapa objek wisata mancanegara. Sungguh sebuah kenyataan pahit bagi negara yang berlandaskan hukum.
Kasus mafia pajak Gayus tentu sangat membuat bangsa ini harus menahan rasa geram. Mengapa tidak, pajak yang notabene merupakan uang rakyat harus dikorupsi dengan cara yang menyakitkan hati rakyat. Banyaknya angka putus sekolah serta semakin meningkatnya jumlah kemiskinan adalah potret betapa negeri ini masih terus diselimuti para perampok uang rakyat yang membuat rakyat harus kembali menahan diri untuk hidup lebih sejahtera.
Hal senada tentu juga terdapat dalam kasus asusila Ariel. Kasus yang semakin menambah panjang daftar negatif para artis tidak hanya berdampak buruk terhadap generasi muda bangsa ini, melainkan dalam kasus ini menggambarkan bahwa republik dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia sarat dengan dismoralitas dan hilangnya karakter bangsa yang telah dibangun oleh para pendiri negara (founding fathers).
Negeri kita memang telah kehilangan karakter bangsa karena bangsa ini selalu menganggap bahwa perbuatan asusila adalah perbuatan yang sangat wajar di tengah arus globalisasi. Maka, tidak heran bahwa semakin banyaknya anak muda yang masih mengenyam pendidikan sekolah pertama telah kehilangan keperawanannya akibat pergaulan bebas.
Dismoralitas Bangsa
Sebenarnya hancurnya moralitas bangsa kita terutama terhadap generasi muda tidak terlepas dari kurangnya pengawasan dan perhatian pemerintah sebagai institusi yang berwenang menjalankan negara ini. Misalnya saja kontrol terhadap sinetron dan perfilman yang bernuansa vulgar meskipun dibalut dengan mistis dan komedian. Hal inilah semakin meluapnya kebobrokan moralitas di negeri ini.
Vonis yang dijatuhkan terhadap kasus mafia pajak Gayus dan kasus asusila Ariel membuktikan bahwa negara kita telah mengalami dismoralitas bangsa karena tentunya melihat hasil putusan tersebut tidaklah sesuai dengan rasa keadilan, kemanusiaan, dan menjunjung tinggi norma agama serta norma yang berlaku di masyarakat. Bahkan, boleh jadi dengan adanya putusan yang tidak memberatkan antara Gayus dan Ariel tersebut dapat membuat masyarakat mengikuti perbuatan keji yang dilakukan keduanya yakni merampok uang rakyat dan melakukan perbuatan asusila.
Melihat kejahatan yang dapat berpengaruh terhadap orang banyak tersebut, tentunya majelis hakim PN.Jakarta Selatan dan PN.Bandung sebagai orang yang berwenang memutuskan suatu perkara tingkat pertama, harus memperberat masa hukuman baik terhadap kasus Gayus maupun kasus Ariel. Sebab, sebagaimana yang kita ketahui bahwa di negeri yang selalu menjadikan narapidana berduit menjadi nyaman tersebut, dapat membuat terpidana keduanya tersebut menjadi lebih ringan daripada putusan sebelumnya karena keduanya mempunyai pilihan untuk melakukan banding ke tingkat pengadilan tinggi.
Tidak hanya itu saja. Melalui berbagai bentuk remisi serta pengurangan-pengurangan masa hukuman lainnya, menjadikan masa hukuman yang mereka terima sebelumnya menjadi lebih ringan. Lalu, melewati 2/3 masa hukuman, mereka juga dapat lebih dahulu menghirup udara segar sebelum masa hukuman berakhir karena dapat mengajukan kebebasan bersyarat. Maka, tidak heran apabila kita dapat sebut bahwa vonis yang dijatuhkan terhadap kasus Gayus dan Ariel tersebut tidak lain sebagai bentuk dismoralitas bangsa yang semakin menjadikan republik ini kehilangan karakter bangsa karena semakin tumbuh suburnya para koruptor beriringan dengan tindakan asusila yang tidak mendapat hukuman setimpal.
Minggu, 30 Januari 2011
Politisi sebagai Koruptor?
Tidak dapat kita pungkiri bahwa sebagian besar para pelaku korupsi di tanah air kita tidak lain dan tidak bukan adalah para politisi dengan berlatar belakang warna partai politiknya. Hal ini dapat kita lihat dari maraknya kasus-kasus korupsi yang merasuki ranah legislatif maupun eksekutif. Dalam kekuasaan lagislatif baik di DPR gedung senayan maupun DPRD di berbagai kabupaten/kota dan provinsi secara nasional masih kental beraromakan korupsi yang dilakukan secara jamak oleh para anggota dewan tersebut. Lalu tidak itu saja, dalam kekuasaaan eksekutif yang berpuncak dari Presiden sebagai kepala pemerintahan, lalu di ikuti oleh para pembantunya sebagai Menteri Negara, Gubernur, Bupati/Walikota, juga sarat dengan tindakan korupsi yang semakin merajalela.
Tentu saja tanpa mengurangi keterlibatan di beberapa lembaga peradilan serta lembaga penegak hukum itu sendiri seperti Kejaksaan dan Kepolisian, para politisi yang bernaung baik di lembaga legislatif maupun eksekutif tersebut menempati pos nomor satu sarat dengan perilaku korupsi. Dalam pemberitaan beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa mantan anggota dewan Komisi IX DPR 1999-2004 ditetapkan sebagai tersangka, sebanyak 25 tersangka tersebut pun dipanggil tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semuanya akan diperiksa dalam kaitan kasus dugaan suap pemenangan Miranda Swaray Goeltom sebagai Deputi Gubernur Bank Indonesia tahun 2004. Hal inilh yang juga semakin menambah keyakinan masyarakat kita akan saratnya keterlibatan para politisi sebagai pelaku korupsi.
Hal yang sangat mengherankan bahwa sebagian besar para politisi yang terlibat dalam tindakan korupsi baik yang telah mendekam di jeruji besi karena telah divonis sebagai koruptor maupun yang masih dalam proses pemeriksaan dengan status tersangka serta berstatus terdakwa, para politisi tersebut merupakan elit politik dibawah partai politik yang sangat besar dan berkuasa serta juga partai politik yang menamakan dirinya sebagai partai oposisi. Bahkan, tanpa bermaksud merendahkan, partai politik dibawah panji-panji agama sering mengantarkan para politisinya tersebut dalam perilaku korupsi, apakah mereka yang mengatasnamakan agama juga tentunya memiliki etika dan moralitas yang baik pula?
Ada apa dengan para politisi di negeri ini? Bukankah mereka yang lebih bersuara keras nan lantang mengatakan akan “menyuarakan aspirasi rakyat”, mengapa mereka justru yang lebih di depan sebagai garda pengkhianatan terhadap rakyatnya sendiri. Sungguh ironis melihat sepak terjang para politisi di republik ini, terlebih lagi sebelum memangku suatu jabatan atau kekuasaan mereka tentu harus melewati suara rakyat sebagai konstituen. Berbagai janji-janji muluk mereka layangkan untuk menarik simpati rakyat dan juga ada beberapa permainan uang untuk mengelabui rakyat yang telah sedemikian susah. Hal hasil setelah menduduki pos jabatan tersebut justru uang rakyat sendiri yang mereka makan sebagai makanan kotor politisi tersebut.
Biang korupsi para politisi
Dalam tulisan Sigit Pamungkas yang juga dimuat di Harian Kompas 7 Agustus 2008, mengungkapkan bahwa sebenarnya korupsi para politisi bersumber dari tidak terpecahkannya salah satu misteri terbesar kehidupan kepartaian kita, yaitu kelangkaan finansial untuk survavilitas partai. Ada dua kesenjangan dalam keuangan partai (S-2 PLOD UGM, 2007). Pertama, sisi investasi finansial untuk memenuhi kebutuhan partai adalah tidak terbatas. Pada saat bersamaan, partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi tak terhingga. Kedua, ada ketidakseimbangan antara kebutuhan investasi partai dan sumber pembiayaan yang secara normatif diletakkan pada iuran dan sumbangan.
Kedua gap itu menjadi struktur pemaksa terjadinya korupsi yang dilakukan politisi. Politisi dihadapkan kewajiban mengatasi kelangkaan finansial partai agar diri dan partainya tetap bertahan. Jalan pintas yang ditempuh adalah kapitalisasi instrumen yang dimiliki politisi dalam mengendalikan perilaku eksekutif. Instrumen yang dimiliki politisi seperti fungsi penganggaran, pengawasan, dan legislasi ditransaksikan dengan eksekutif maupun pemodal untuk mendapat rente.
Akibatnya, korupsi adalah jalan yang harus ditempuh politisi guna mengatasi kelangkaan finansial partai. Survavilitas partai dalam membiayai aktivitasnya amat bergantung pada sejauh mana politisi mampu mengapitalisasikan instrumen miliknya. Dengan demikian, korupsi tidak lagi bersifat individual, tetapi kolektivitas partai. Boleh jadi, ketika korupsi tidak dilakukan, partai politik tersebut pun akan menjadi mati.
Lebih lanjut lagi diungkapkan oleh staff Pengajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM tersebut, bahwa selama misteri kepartaian tidak terpecahkan, keberlanjutan korupsi oleh politisi akan terus berlangsung. Pintu korupsi tetap terbuka, berjalan sistematis, dan senantiasa terjadi repetisi korupsi karena menyangkut survavilitas partai. Cepat atau lambat, upaya pemberantasan korupsi yang kini gencar dilakukan akan mendapat perlawanan dari politisi secara sistematis.
Politisi dan partai akan terus bersiasat dan mempercanggih metode berkorupsi agar terhindar dari jerat hukum. Partai akan senantiasa menjadi pembela dan pelindung politisi korup. Pendekatan hukum akan kembali menemukan jalan buntu saat tidak disertai upaya memecahkan misteri kepartaian. Di sini produktivitas kinerja partai menjadi kata kunci. Partai harus mampu mentransformasi aspirasi dan kepentingan publik menjadi agenda kebijakan. Dengan demikian, partai tidak perlu mendekat kepada rakyat dengan uang, tetapi dengan kebijakan.
Bernuansa Politis
Melihat kenyataan semakin maraknya kasus korupsi yang menjerat para politisi, rakyat pun semakin apatis terhadap pemberantasan korupsi yang tak kunjung usai. Hal ini disebabkan oleh kenyataan pahit karena sebagian besar penentu kebijakan di negeri ini juga dilakukan oleh para politisi itu sendiri. Politisi yang juga sebagai anggota dewan pastilah membuat suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan nada yang bersifat politis, lalu kemudian peraturan tersebut segeran dilakukan oleh pemerintah yang juga banyak dibanjiri oleh para politisi dalam menduduki jabatan sebagai Menteri Negara pasti juga akan membuat kebijakan dengan nuansa politis pula.
Bagaimana jadinya republik ini apabila suatu peraturan dan kebijakan dibuat serta dijalankan dengan maksud politis bukan sebaliknya memberi kebijakan yang pro terhadap rakyat dan pembangunan di negeri ini. Bahkan, apabila kita telisik lebih jauh dengan terlibatnya para politisi dalam kasus suap pemilihan Gubernur BI tersebut, boleh jadi juga beberapa petinggi di beberapa lembaga negara kita akan bernuansa politis karena proses pemilihan mereka untuk menjadi tambuk kekuasaan di beberapa lembaga negara juga melalui seleksi di gedung senayan yang selalu dimotori oleh parta politik tersebut. Sebut saja proses pemilihan Kapolri, Panglima TNI, Ketua KY, Ketua KPK, serta sebagian Hakim Agung dan Hakim Konstitusi mereka tentu menduduki jabatan setelah melalui proses penyaringan oleh anggota-anggota dewan yang juga sebagai politisi. Hal inilah yang semakin melapangkan jalan para politisi untuk melakukan tindakan korupsi dengan berbagai cara karena proses pemilihan sarat kental dengan nuansa politis.
Politisi Tumbuh Subur
Hingga kini pemberantasan koruphttp://www.blogger.com/img/blank.gifsi hanyalah tetap dan sampai kapanpun akan menjadi wacana tanpa ada tindakan yang nyata meskipun pendekar silih berganti dalam tambuk kepemimpinan apabila politisi semakin tumbuh subur di negeri ini. Politisi memang telah meracuni republik ini dengan berbagai tindakan korupsi.
Sejak era reformasi dihembuskan, banyak partai politik yang bermunculan dengan beraneka warna dan mencapai tujuan yang sama yakni menduduki kursi kekuasaan. Dengan semakin banyak dan maraknya partai politik pasca orde baru tersebut, juga secara otomatis banyak melahirkan para politisi dengan berbagai macam cara untuk mengejar kekuasaannya dan kemudian melakukan tindakan korupsi.
Minggu, 23 Januari 2011
Sentilan Lagu Andai Aku Gayus
Andai ku Gayus Tambunan, yang bisa pergi ke Bali/ Semua keinginan pasti bisa terpenuhi// Lucunya di negeri ini/ hukuman bisa dibeli/ kita orang yang lemah pasrah akan keadaan//
Gayus Tambunan lagi-lagi membuat puluhan juta rakyat negeri ini harus menahan rasa geram akibat ulahnya yang selalu menimbulkan kontroversi. Tidak cukup hanya berpiknik ria di pulau dewata Bali, Gayus pun rupanya juga telah merambah ke beberapa kota-kota wisata dunia, sebut saja Singapura, Hongkong, Thailand, Macau. Hal tersebut semakin membuat rakyat di republik ini harus berbuat sesuatu untuk mengekspresikan kekecewaan, kejengkelan, dan keputusasaan terhadap bobroknya sistem hukum dan moralitas penegak hukum di negeri ini.
Setelah beberapa ilustrasi dan sketsa foto-foto Gayus yang seolah-olah dengan berbagai penyamarannya menggunakan wig dan kacamata dapat mengelabui rakyat, kini inspirasi pun datang dalam sebuah dentungan lagu menggelitik dan menyentil yang menceritakan sepak terjangnya. Lagu berjudul "Andai Aku Jadi Gayus Tambunan" ini diciptakan oleh mantan napi Bona Paputungan. Bona sendiri agaknya iri melihat kehidupan Gayus yang bisa bebas plesir ke Bali hingga ke luar negeri ini. Berbeda dengan dirinya pada saat ditahan di Lapas Gorontalo ini yang harus pasrah tidak bisa berbuat banyak.
Sepenggal lirik di atas tersebut setidaknya dapat menggambarkan akan bobroknya penegakan hukum di republik ini. Ibarat sebuah pisau yang mana di bawah lebih tajam sedangkan di atasnya tumpul, begitu juga dengan hukum di negeri ini yang tegas dalam menjerat terhadap kaum lemah dan tidak berdaya serta tidak dapat berbuat banyak terhadap golongan atas.
Apa yang terjadi di negeri sangat kaya akan sumber daya alam ini, mengapa hukum begitu mudah diperjual-belikan dan seakan menjadi barang dagangan yang hanya mampu dibeli oleh kalangan ekomoni berduit dan berdasi saja. Bahkan, aparat penegak hukum sendiri yang seyogyanya menegakan panji-panji hukum pun seakan tidak berdaya dan ikut larut dalam permainan sandiwaran penuh dengan kotoran tersebut.
Sentilan Lagu Gayus
Penegakan hukum yang tebang pilih seakan membuat rakyat di negeri ini menjadi geram. Berbagai cara pun dikemas untuk menggambarkan kenyataan pahit di negeri yang berlandaskan hukum. Salah satu aktor yang kini menjadi topik hangat di balik pemberitaan kasus Gayus yakni Bona Paputungan. Ketenaran dan kontroversi Gayus Tambunan dalam kasus mafia pajak juga kini melekat dalam Bona Paputungan dengan membawakan lagu single hits “Andai Aku Gayus Tambunan”.
Mungkin apabila tidak adanya kasus Gayus dengan plesiran ke Bali, masyarakat pun tidak ada yang mengenal akan sosok Bona Paputungan. Dengan menjadi populer via lagu Gayus, Bona mendapat berbagai macam undangan untuk menjadi tamu di berbagai acara. Bahkan, siapa sangka kelak Bona akan mendapat tawaran untuk masuk studio rekaman, hal tersebut juga tidak terlepas dengan bakat musik yang dipertontonkannya ke publik.
Terlepas dari populernya sang vokalis lagu Gayus tersebut, sebenarnya dalam lirik lagu tersebut terdapat sentilan-sentilan yang dapat membawa kesadaran para petinggi di negara ini akan kenyataan pahit penegakan hukum selama hingga kini. Dalam beberapa lirik lagu tersebut disebutkan hanya bagi kaum berduit dapat melakukan apapun yang dikehendakinya sedangkan bagi orang yang lemah hanya bisa pasrah menghadapi keadaan yang tidak mengenakan di dalam sel tahanan. Lalu, sentilan berikutnya menggambarkan bahwa di negeri ini sangat lucu karena hukuman dapat diperjual-belikan bak barang dagangan yang ada di pasar tradisional.
Separah itukah sentilan dalam lirik lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” karya Bona Paputungan tersebut?. Itulah yang menjadi gambaran pekerjaan rumah penegak hukum kita yang belum terselesaikan hingga kini. Karenanya lirik yang dibuat oleh Bona menceritakan akan kenyataan pahit yang diterimanya sewaktu menjalani proses tahanan. Hal tersebut jugalah yang membuatnya terpanggil untuk menciptakan syair lagu yang membuka fakta akan suramnya dunia hukum kita.
Dalam kasus Gayus Tambunan yang saat itu menjadi tahanan tetapi dapat keluar dan pergi berpiknik ke daerah wisata baik di dalam negeri maupun luar negeri adalah salah satu fakta-fakta dari sekian banyak kasus-kasus yang cukup menghebohkan dan membuat geram rakyat akan bobroknya penanganan hukum di Indonesia.
Masih dalam ingatan kita bagaimana begitu banyak kasus-kasus hukum yang sangat menghebohkan. Hal tersebut bukan karena kasus tersebut menjerat para koruptor kelas kakap di negeri ini, melainkan di luar akal sehat kita membuktikan hukum dapat dijadikan sebagai etalase yang dapat dibeli oleh siapapun selagi masih mempunyai cukup banyak uang dan berkedudukan sebagai penguasa.
Di awal tahun ini kita dikejutkan oleh liputan berbagai media cetak dan elektronik nasional karena ditemukan adanya perjokian untuk para narapidana fiktif. Bagaimana hal tersebut bisa terjadi apabila masih saja adanya permainan kotor dalam lingkaran mafia-mafia hukum. Tentu saja sangat mustahil apabila para aparatur hukum tidak mengetahui adanya narapidana fiktif di dalam tahanan karena prosedur hukum dimulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, lalu lembaga pemasyarakkatan saling berkoordinasi antar satu sama lainnya. Inilah yang menambah keyakinan kita bahwa lingkaran setan bernama mafia hukum di negeri ini masih tumbuh dan bahkan dapat berkembang biak hingga ke anak cucu kita kelak.
Tentu permainan mafia hukum sesungguhnya tidak hanya sebatas perjokian napi saja yang secara mengejutkan di ekspos media pada awal tahun ini. Beberapa waktu yang lalu juga dalam sel tahanan di geledah dengan secara menghebohkan bahwa dalam hotel prodeo tersebut terdapat beberapa fasilitas mewah yang melibatkan terpidana kasus suap pengusaha Artalyta Suryani. Di sel yang seyogyanya sunyi sengap dan dinginnya alas lantai di dalam kamar tahanan, kini dapat di sulap menjadi kamar bernuansa hotel mewah bahkan juga dapat dikatakan seperti apartemen di kawasan elit kota metropolitan. Karena di dalamnya terdapat beberapa fasilitas mewah seperti kasur spring bed yang sangat empuk, pendingin dan pemanas ruangan, televisi beserta seperangkat dvd dengan bernuansa studio teater, kulkas yang berisi makanan siap saji dan beragam buah-buahan nan segar, ada juga kamar mandi dengan tersedianya air dingin dan panas, serta ada tempat khusus layanan salon kecantikan.
Sungguh hal tersebut membuat miris rakyat yang melalu merindukan adanya penegakan hukum tanpa pandang bulu baik terhadap rakyat biasa maupun rakyat berduit. Bagaimana mungkin sel tahanan yang dimaksudkan untuk membuat narapidana menjadi jera dan tidak melakukan perbuatan pidana karena dapat menjadi objek pesakitan justru membuat narapidana yang mendekam di dalam jeruji besi nan mewah menjadi nyaman berlama-lama dan sangat menikmati masa hukumannya tersebut.
Ancaman Terhadap Kritikus
Layaknya di negeri yang belum siap akan demokrasi, dengan membuat lagu beserta video klipnya Bona mendapat berbagai ancaman dan teror dari berbagai orang yang tak dikenal. Tentu saja orang yang berniat mengancam tersebut merasa kesal dan tersindir akibat lirik lagu Bona yang sangat menyentil para penegak hukum di negeri ini.
Ancaman dan teror terhadap Bona sesungguhnya bukanlah yang pertama di republik ini. Dalam catatan sejarah banyak para musisi, penyair dan seniman karena dengan aksinya dan karyanya baik melalui lagu, puisi, sandiwara teater, serta berbagai banyolan membuat mereka mendekam di jeruji besi karena menyindir pemerintah dan para pejabat kita. Koes Plus bersaudara, Iwan Fals, Doel Sumbang, WS Rendra, dan Taufik Ismail adalah segelintir orang-orang yang sangat peduli terhadap bangsa dan negara ini terutama sistem dan penegakan hukum yang masih carut-marut.
Kini, kita berharap sentilan dalam lagu “Andai Aku Gayus Tambunan” dapat membuat pejabat dan aparatur penegak hukum kita dapat mawas diri dan segera berbenah untuk menegakan panji-panji hukum. Terlebih lagi tidak adanya tebang pilih dalam penegakan hukum, karena hal tersebut untuk meyakini rakyat bahwa negara ini berkomitmen dalam memberantas mafia hukum yang semakin merajalela. Semoga..!!
Langganan:
Postingan (Atom)